Anda di halaman 1dari 13

RADD (FIQIH MAWARIS)

I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Apabila dalam suatu kasus pembagian warisan, ahli warisnya hanya terdiri dari ashabul al
furud saja, ada tiga kemungkinan yang terjadi yaitu terjadi kekurangan harta, terjadi kekurangan
harta, dan bagian yang diterima ahli waris tepat persis dengan harta warisan yang dibagi. Jika
terjadi pembagian warisan seperti ini disebut dengan masalah adilah . yang terakhir ini tidak
menimbulkan persoalan. Oleh karena itu uraian makalah kami akan difokuskan pada dua
masalah yaitu pada kekurangan harta dan kelebihan harta warisan.
2. Rumusan masalah
a. Apa pengertian Radd dan bagaimana cara penyelesaiannya ?
b. Apa perbedaan pendapat para Ulama dalam menyelesaian harta yang terdapat sisa harta ?
c. Bagaimana perhitungan pembagian warisan apabila ahli waris terdiri dari Ashhab al-Furudl yang
terjadi kekurangan harta dan bagaimana penyelesaian pembagian warisan yang mengalami
kekurangan?
3. Tujuan
a. pengertian Radd dan cara penyelesaiannya
b. Mengetahui perbedaan pendapat para Ulama dalam menyelesaian harta yang terdapat sisa harta
c. Mengetahui perhitungan pembagian warisan apabila ahli waris terdiri dari Ashhab al-Furul
yang terjadi kekurangan harta dan penyelesaianya.

II. PEMBAHASAN

1. Pengertian Rad dan bagaimana penyelesaiannya


Rad secara harfiyah artinnya mengembalikan, sedangkan menurut istilah adalah
kekurangan dalam pokok masalah dan pertambahan dalam jumlah bagian-bagian yang
ditetapkan. masalah ini terjadi apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta setelah
ahli waris ashab al-furud memperoleh bagianya. Cara radd ini ditempuh bertujuan untuk
mengembalikan sisa harta kepada ahli waris yang ada seimbang dengan bagian yang diterima
masing-masing secara proporsional.[1]
Caranya adalah mengurangi angka masalah sehingga besarnya sama dengan jumlah
bagian yang diterima oleh ahi waris. Apabila tidak ditempuh cara radd, akan menimbulkan
persoalan siapa yang berhak menerima kelebihan harta, sementara tidak ada ahli waris yang
menerima asabah. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dikemukakan beberapa contoh :
a. Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta
warisannya sebesar Rp 12.000.000,- bagian masing-masing adalah:
Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
Ahli waris bag AM 6 HW Rp 1.200.000,- penerimaan
Anak perempuan 1/2 3 3/6 x Rp 12.000.000,- = Rp 6.000.000,-
Ibu 1/6 1 1/6 x Rp 12.000.000,- =Rp2.000.000,-
4 jumlah = Rp 8.000.000,-
Terdapat sisa harta sebesar Rp 12.000.000,- - Rp 8.000.000,- = Rp 4.000.000
Jika diselesaikan dengan cara radd :
Ahli waris bag AM 6-4 HW Rp 12.000.000,- penerimaan
Anak perempuan 1/2 3 x Rp 12.000.000,- = Rp 9.000.000,-
Ibu 1/6 1 x Rp 12.000.000,- =Rp3.000.000,-
4 jumlah = Rp 12.000.000,-
Anak perempuan yang semula menerima bagian 6.000.000,- berubah mendapat bagian Rp
9.000.000,- dan ibu yang semula menerima bagian Rp 2.000.000,- mendapat bagian Rp
3.000.000,-
b. Harta warisan yang ditinggalkan simati sebesar Rp 8.400.000,- ahli warisnya terdiri dari istri dan
ibu.
Bagian masing-masing adalah :
Jika tidak diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 12 HW Rp 8.400.000,- penerimaan
Istri 3 3/12 x Rp 8.400.000,- = Rp 2.400.000,-
Ibu 1/3 4 4/12 x Rp 8.400.000,- =Rp2.800.000,-
Jumlah Rp 4.900.000
Terdapat sisa harta warisan sebesar Rp 8.400.000,--Rp 4.900.000,- = Rp 3.500.000,-
Jika diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 12-7 HW Rp 8.400.000,- penerimaan
Istri 3 3/7 x Rp 8.400.000,- = Rp 3.600.000,-
Ibu 1/3 4 4/7 x Rp 8.400.000,- =Rp4.800.000
7 jumlah = Rp 8.400.000,-
c. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : ibu dan 2 saudara seibu. Harta warisan
yang ditinggalkan sejumlah Rp 3.6000.000,- bagian masing-masing :
Jika tidak diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 6 HW Rp 3.000.000,- penerimaan
Ibu 1/6 1 1/6 x Rp 3.600.000,- = Rp 6.00.000,-
2 sdr seibu 1/3 2 2/6 x Rp 3.600.000,- =Rp1.200.000,-
3 jumlah = Rp 1.800.000
Terdapat sisa harta sebanyak Rp 3.600.000,- -Rp 1.800.000,- = Rp 1.800.000,-
Jika diselesaikan dengan radd :
Ahli waris bag AM 6-3 HW Rp 3.000.000,- penerimaan
Ibu 1/6 1 1/3 x Rp 3.600.000,- = Rp 1.200.000,-
2 sdr seibu 1/3 2 2/3 x Rp 3.600.000,- =Rp2.400.000,-
3 jumlah = Rp 3.600.000
Ibu yang semula menerima Rp 600.000,- berubah menjadi, mendapat bagian Rp1.200.000,- dan
2 sdara seibu berubah dari Rp 1.200.000,- menjadi Rp 2.400.000.
Syarat-syarat berlakunya radd :
a.) Adanya pewaris dengan penentuan.
b.) Tidak ada ashobah.
c.) Adanya sisa dari harta peninggalan.
d.) Apabila tidak dipenuhi syarat-syarat ini, maka tidak berlaku radd.
Para pewaris yang menerima radd :
Semua ashabul furud boleh menerima radd, kecuali suami istri. Radd berlaku untuk 8 asbahul
furud :
a.) Anak perempuan.
b.) Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
c.) Saudara perempuan seayah seibu.
d.) Saudara perempuan seayah.
e.) Ibu.
f.) Nenek yang shahih.
g.) Saudara perempuan seibu.
h.) Saudara laki-laki seibu
Adapun ayah dan kakek- walaupun keduanya termasuk ashabul furudh dalam beberapa keadaan,
namun mereka berdua tidak boleh menerima radd. Karena bila mana terdapat ayah atau kakek,
maka tidak mungkin terjadi radd dalam masalah itu, karena waktu itu keduanya menjadi
ashobah dan mengambil sisanya.
Para pewaris yang tidak boleh menerima radd diantara ashabul furud adalah suami istri saja. Hal
ini disebabkan kekerabatan mereka bukan kekerabatan nasabiyah tapi kekerabatan sababiyah.
Sebab ini telah terputus dengan kematian maka masing-masing dari suami istri hanya mengambil
radhunya saja tanpa tambahan. Adapun sisa harta maka dia dikembalikan lagi kepada ashabul
furudh lainya.[2]
2. Perbedaan pendapat para ulama dalam menyelesaikan harta yang terdapat sisa harta
Terhadap penyelesaian masalah dengan cara radd ini, ternyata ada ulama yang tidak
setuju sama sekali sebagian ada yang setuju dengan syarat, dan sebagian lagi menyatakan dengan
tegas menerima. Dibawah ini akan diuraikan perbedaan pendapat tersebut :[3]
a. Radd atau pengembalian sisa harta warisan bila dilaksanakan hanya terbatas pada ahli waris
nasabiyah. Jadi, ahli waris sababiyah-suami atau isteri-tidak dapat menerima radd. Demikian
pendapat mayoritas (jumhur) ulama. Mula-mula pendapat ini dikemukakan oleh ali bin abi
thalib, kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Fuqaha Mutaakhirin dari
madzhab syafiiyah, malikiyah, syiah zaidiyah, dan syiah imamiyah. Dasar hukum yang
dipedomaninya adalah :
Firman Allah SWT :



dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak dari pada
yang lain dalam kitab Allah. (QS Al-Anfal : 75)
Ayat tersebut pada prinsipnya adalah mengatur pembagian warisan kepada ashab al-furud, tetapi
kemudian dijadikan dasar penyelesaian masalah radd. Pertimbangannya adalah mereka yang
memiliki hubungan darah lebih pantas menerima pengembalian harta sisa, dari pada kaum
muslimin yang tidak ada ikatan kekerabatan atau hubungan darah. Karena jika sisa harta itu
diserahkan kepada bait al-mal maka kaum muslimin itulah yang akan memanfaatkannya.
Praktek yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketika pada suatu saat didatangi oleh
seorang perempuan yang menanyakan status budak yang baru saja diserahkan kepada ibunya,
dan beberapa hari kemudian ibunya meninggal dunia. atas pertanyaan itu Nabi SAW menegaskan
:

kamu pantas menerima pahala, dan budak itu kembali kepadamu dengan jalan pewarisan
Atas dasar penegasan Nabi SAW tersebut dapat dipahami bahwa penyelesaian pembagian
warisan dengan cara radd kepada ahli waris adalah ditunjuk oleh Rosulullah SAW. sebab kalau
saja Nabi SAW menyelesaikannya tidak dengan cara radd, maka anak perempuan tersebut hanya
berhak menerima separohnya saja. Memang dalam hal ini, tidak ada penjelasan melalui contoh
harta lain, tetapi penegasan Rasul bahwa budak itu kembali kepada anak perempuan itu dengan
cara pewarisan itu adalah isyarat yang cukup tegas, bahwa beliau setuju dengan cara radd.
Jadi atas dasar alasan-alasan diatas, ahli waris yang berhak menerima pengembalian sisa harta
hanyalah ashab al wurud nasabiyah. berikut ini akan diselesaikan contoh penyelesaian radd
menurut mayoritas ulama :
a.) Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terdiri dari istri, ibu dan saudara seibu. Harta
warisannya sebesar Rp 10.800.000,- bagian masing-masing adalah:
Ahli waris bag AM 12 Rp 10.800.000,- penerimaan
Istri 1/4 3 3/12 x Rp 10.800.000,- = Rp 2.700.000,-
(sisa harta Rp 10.800.000,- - Rp 2.700.000,-= Rp 8.100.000,-)
Ibu 1/3 4 4/6 x Rp 8.100.000,- = Rp 5.400.000,-
Sdr.seibu 1/6 2 2/6 x Rp 8.100.000,- =Rp2.700.000,-
6 jumlah = Rp 10.800.000
b.) Seorang meninggal dunia, harta warisan yang ditinggalkan sebesar Rp 4.800.000,- ahli warisnya
terdiri dari suami, saudara perempuan seibu, dan nenek. Bagian masing-masing :
Ahli waris bag AM 6 HW Rp 4.800.000,- penerimaan
Suami 1/2 3 3/6 X Rp 4.800.000,- = Rp 2.400.000,-
(sisa harta Rp 4.800.000,- - Rp 2.400.000,- = Rp 2.400.000,-)
Sdr seibu 1/6 1 1/2 x Rp 2.400.000,- = Rp 1.200.000,-
Nenek 1/6 1 1/2 x Rp 2.400.000,- =Rp1.200.000,-
2 jumlah = Rp 4.800.000,-
b. radd dapat dilakukan dengan mengembalikan sisa semua harta warisan kepada ahli waris yang
ada, baik ashab al furud nasabiyah maupun sababiyah. Pendapat ini dikemukakan pleh sahabat
Usman bin Affan. Pertimbangannya, logika dan segi praktis pembagian warisan. Ia
mengataklan suami dan istri dalam masalah aul bagian mereka ikut terkurangi, maka apabila
terdapat kelebihan harta, maka sudah sepantasnya mereka juga diberi hak untuk menerima
kelebihan tersebut.
Apabila contoh pada poin (1) menurut pendapat mayoritas ulama. Diselesaikan menurut
pendapat Usman maka dapat dihasilkan pembagian sebagai berikut :
(1) Angka asal masalah diturunkan 12 menjadi 9 :
Ahli waris bag AM 12-9 HW Rp 10.800.000,- penerimaan
Istri 1/4 3 3/9 x Rp 10.800.000,- = Rp 3.600.000,-
Ibu 1/3 4 4/9 x Rp 10.800.000,- = Rp 4.800.000,-
Sdr seibu 1/6 2 2/9 x Rp 10.800.000,- =Rp2.400.000,-
9 jumlah = Rp 10.800.000,-
Istri yang semula menerima bagian Rp 2.700.000,- berubah mendapat bagian Rp 3.600.000,-
kadi mendapat tambahan sebesar Rp 900.000,-
(2) Angka asal masalah diturunkan dari 6 menjadi 5
Ahli waris bag AM 6-5 HW Rp 4.800.000,- penerimaan
Suami 1/2 3 3/5 x Rp 4.800.000,- = Rp 2.880.000
Sdr.seibu 1/6 1 1/5 x Rp 4.800.000,- = Rp 960.000
Nenek 1/6 1 1/5 x Rp 4.800.000,- =Rp960.000,-
5 jumlah = Rp 4.800.000,-
Suami yang semula menerima bagian Rp 2.400.000,- mendapat tambahan sebesar Rp 480.000,-
hingga menjadi Rp 2.880.000,-
c. Pendapat yang menolak secara mutlaq penyelesaian pembagian warisan dengan cara radd.
Demikian pendapat Zaid ibnu Tsabit dan minoritas ulama lainnya. Diantaranya Urwah bin Al
Zuhri, Imam SyafiI, Ibnu Hazm Al Zahiry Al Andalusy, dan para fuqaha malikiyah dan
syafiiyah.
Menurut pendapat ini apabila dalam pembagian warisan terdapat kelebihan harta, tidak perlu
dikembalikan kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke bait al mal. Kaum musliminlah yang
berhak memanfaatkannya. Seperti dikatakan Muhammad Syarbiny, fuqaha Syafiiyah
menegaskan, baik bait al mal atau kas perbendaharaan negara berfungsi dengan baik atau tidak ,
hak terhadap kelebihan harta warisan itu berada pada kaum muslimin, dan kepala bait al mal
itulah sebagai Nadzir atau penanggung jawab atas kepentingan kaum muslimin.[4]
Dalam penelitian Fathur Rahman, pendapat tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi umat
Islam pada waktu itu yang sangat membutuhkan biaya dan bantuan negara melalui wadah bait al
mal. Perubahan dan dinamika masyarakat dimana fuqaha syafiiyah hidup tampaknya
mengalami perubahan dan kemajuan. Lebih-lebih peranan bait al mal tidak lagi berfungsi secara
optimal sehingga dengan kenyataan sosial semacam ini, fuqaha syafiiyah mengubah
pendapatnya. Menurut mereka dalam rangka refungsionalisasi kelebihan harta, sebaiknya
dikembalikan saja kepada ashab al furud atau zawi arham jika ada secara proporsional.
Pendapat terakhir cukup praktis dan rasional namun demikian tidak bisa diberlakukan secara
mutlak. Karena apabila pada suatu saat kepentingan kaum muslimin sangat membutuhkan
pendanaan, yang salah satunya harus dipenuhi misalnya melalui sarana bait al mal, maka
kelebihan harta perlu disetor ke bait al mal. Akan tetapi jika kebutuhan umum hanya bersifat
subside saja maka cara radd untuk mengembalikan sisa harta kepada ahli waris merupakan cara
yang lebih tepat.
Adapun alasan-alasan para ulama yang menolak cara penyelesaian pembagian warisan dengn
cara radd adalah:
1.) Allah SWT telah menentukan bagian-bagian tertentu (furud al muqadarah) kepada ahli waris
ashab al furud secara pasti (qatiy). Besar kecilnya bagian tidak perlu ditambah-tambah atau
dikurangi (QS An-Nisa : 11-12). Menambah bagian ahli waris melebihi ketentuan yang
seharusnya diterima menurut nas, berarti melampaui batas-batas yang digariskan oleh Allah.
Padahal terhadap mereka yang melampaui batas Allah memberi ultimatum dalam firman Nya :


dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasulnya dan melanggar ketentuan-ketentuannya,
niscaya Allah akan memasukkannya kedalam api neraka, sedangkan ia kekal didalamnya dan
baginya siksa yang menghinakan (QS An Nisa : 14)
2.) Nabi Muhammad SAW telah menegaskan bahwa Allah telah menentukan hak-hak yang dapat
diterima oleh seorang ahli waris. Sabda beliau menyatakan :
( )
sesungguhnya Allah SWT telah memberi hak kepada pemegang hak (HR Tirmidzi)
hadits diatas dikeluarkan setelah turun ayat 14 surat An Nisa. Artinya hadits tersebut bermaksud
untuk menguatkan hujjah ayat tersebut oleh karena itu siapapun ada kewajiban dan perlu
memperhatikannya didalam melakukan pembagian hartsa warisan
3.) Para ahli waris yang telah menerima bagian tertentu tidak berhak menerima sisa harta warisan,
karena tidak ada jalan untuk memilikinya. Untuk itu, sisa harta yang ada harus diselesaikan
kepada bait al mal. Seperti halnya harta peninggalan simati yang tidak mempunyai ahli waris
sama sekali.
3. Perhitungan pembagian warisan apabila ahli waris terdiri dari Ashab Al-Furudl yang terjadi
kekurangan harta dan penyelesaiannya.
Terjadi kekurangan harta yaitu apabila ahli waris banyak dalam furud al muqaddarah
dilaksanakan apa adanya. oleh karena itu, cara penyelesaiannya adalah bagian yang diterima oleh
masing-masing ahli waris dikurangi secara proporsional menurut besar kecilnya bagian yang
mereka terima. Ini disebut masalah Aul.
Auol secara bahasa mempunyai sejumlah arti, ia bisa berarti kedzaliman, firman Allah :
.
hal itu supaya kamu cenderung tidak berbuat aniaya
Secara harfiyah aul artinya bertambah atau meningkat. sedangkan Menurut istilah ialah
tambahan dalam seluruh saham yang ditetapkan dan kekurangan pada bagian-bagian para
pewaris.[5] Dikatakan aul karena dalam praktek pembagian warisan, angka asal masalah harus
ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang diterima oleh ahli waris yang ada.
Langkah ini diambil, karena apabila pembagian warisan diselesaikan menurut ketentuan buku
semestinya, maka akan terjadi kekurangan harta.[6]
Kasus aul pertama kali muncul adalah ketika sahabat Umar bin Khattab ditanya oleh seorang
sahabat tentang penyelesaian pembagian warisan dimana ahli warisnya terdiri dari suami dan 2
orang saudara perempuan sekandung menerima 2/3. Jika asal masalahnya 6 berarti suami
menerima bagian 1/2, berarti x 6 = 3, dan 2 saudara perempuan sekandung 2/3 berarti 2/3 x 6
= 4. Jadi jumlah seluruhnya 7 artinya kelebihan 1.
Menghadapi pertanyaan tersebut sahabat Umar bimbang. Beliau tidak mengetahui siapa
diantara mereka yang harus didahulukan. Sebab, sekiranya beliau telah mengetahuinya beliau
tentu tidak akan menemui kebimbangan. Kemudian, disampaikanlah masalah ini kepada Zaid
ibnu Tsabit dan Abbas ibnu Abdul muthalib seraya beliau berkata sekiranya aku memulai
dengan memberikan bagian kepadasuami, maka bagian 2 saudara perempuan sekandung, tentu
tidak sempurna baginya, atau sekiranya aku mulai memberikan bagian kepada 2 saudara
perempuan sekandung tentu suami tidak sempurna bagiannya[7].
Atas dasar pendapat sahabat Abbas bin Abdul Muthalib tersebut dan disaksikan oleh Zaid ibnu
Tsabit, beliau menyelesaikan kasus diatas dengan cara aul, yaitu menaikkan angka asal masalah
sebesar angka jumlah bagian yang diterima ahli waris semula.[8]
Ahli waris bag AM di aulkan 7 penerimaan
Suami 1/2 3 3/6 3/7
Sdr.pr.skd 1/3 4 4/6 4/7
7 7/6 7/7
Pokok-pokok masalah yang mengalami aul dan tidak mengalami aul :
Pokok masalah ada tujuh : tiga diantaranya mengalami aul dan empat tidak mengalami aul.
Adapun tiga pokok yang mengalami aul adalah : enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat
(24). Adapun pokok yang tidak mengalami aul adalah dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan
(8). Apabila salah satu dari pokok-pokok masalah termasuk bilangan ini maka tidak mungkin
terjadi aul dalam masalah.
Adapun pokok-pokok yang mengalami aul sebagai mana kami jelaskan, tiap pokok-pokok
itu mempunyai cara aul tersendiri. Pokok enam (6) bertambah menjadi sepuluh (10), baik ganjil
maupun genap, yakni enam bertambah menjadi tujuh, delapan, Sembilan, dan sepuluh, tidak
lebih dari itu. Dua be;las bertambah menjadi tujuh belas (17), baik ganjil maupun genap, yakni ia
bertambah menjadi 13 dan 15 serta 17 maka ia mengalami aul empat kali saja. Dua puluh empat
(24) bertambah menjadi dua puluh tujuh (27) dengan sekali aul dalam masalah yang tersohor
bernama masalah minbariyah[9]. Dinamakan minbariyah karena Ali karomallohu wajhah
memutuskan itu diatas mimbar.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa contoh disertai bagian harta warisannya :
1.) Seseorang meninggal dunia harta warisannya sebesar Rp 60.000.000,- ahli warisnya terdiri dari:
istri, ibu, 2 saudara perempuan sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing adalah :
a. Jika diselesaikan apa adanya :
Ahli waris bag AM 12 HW Rp 60.000.000,- penerimaan
Istri 3 3/12 x Rp 60.000.000,- = Rp 15.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/12 x Rp 60.000.000 = Rp 10.000.000,-
2 sdr pr skd 2/3 8 8/12 x RP 60.000.000 = Rp 40.000.000,-
Sdr seibu 1/6 2 2/12 x Rp 60.000.000 =Rp 10.000.000,-
15 jumlah = Rp 75.000.000,-
Hasilnya terjadi kekurangan harta sebesar Rp 75.000.000,- - Rp 60.000.000,- = Rp 15.000.000,-
b. Apabila diselesaikan dengan cara aul :
Ahli waris bag AM 12-15 HW Rp 60.000.000,- penerimaan
Istri 3 3/15 x Rp 60.000.000,- = Rp 12.000.000,-
Ibu 1/6 2 2/15 x Rp 60.000.000 = Rp 8.000.000,-
2 sdr pr skd 2/3 8 8/15 x RP 60.000.000 = Rp 32.000.000,-
Sdr seibu 1/6 2 2/15 x Rp 60.000.000 =Rp 8.000.000,-
15 jumlah = Rp 60.000.000,-
Angka asal masalah diaulkan dari 12 menjadi 15, karena apabila tidak diaulkan akan terjadi
kekurangan harta sebesar Rp 15.000.000,-
2.) Harta warisan peninggalan si mati sebesar 120.000.000,- ahli warisnya terdiri dari : suami, 3
anak perempuan, nenek, dan kakek. Bagian masing-masing adalah :
Ahli waris bag AM 12-15 HW Rp 120.000.000,- penerimaan
Suami 3 3/15 x Rp 120.000.000,- = Rp24.000.000,-
3 anak pr 2/3 8 8/15 x Rp 120.000.000,- = Rp 64.000.000,-
Nenek 1/6 2 2/15 x Rp 120.000.000,- = Rp 16.000.000,-
Kakek 1/6 2 2/15 x Rp 120.000.000,- = Rp 16.000.000,-
+as
15 jumlah = Rp 120.000.000
Asal masalah diaulkan dari 12 menjadi 15 karena apabila tidak diaulkan akan terjadi
kekurangan harta sebesar Rp 30.000.000,-
3.) Seseorang meninggal dunia ahli warisnya terediri dari : istri, ibu, 2 anak perempuan dan bapak.
Harta warisannya sebesar Rp 64.800.000,- bagian masing-masing adalah :
Ahli waris bag AM 24-27 HW Rp 64.800.000,- penerimaan
Isteri 1/8 3 3/27 x Rp 64.800.000,- = Rp. 7.200.000
Ibu 1/6 4 4/27 x Rp 64.800.000,- = Rp 9.600.000,-
2 ank pr 2/3 16 16/27 x Rp 64.800.000,- = Rp 38.400.000,-
Bapak 1/6 4 4/27 x Rp 64.800.000,- = Rp 9.600.000,-
+as
27 jumlah = Rp 64.800.000
Angka asal masalah diaulkan dari 24 menjadi 27. Jika tidak diaulkan akan terjadi kekurangan
harta sebesar Rp 8.100.000
4.) Harta warisan yang ditinggalkan simati sebesar Rp 4.800.000,- ahli warisnya terdiri dari: suami,
2 saudara perempuan seayah, dan nenek. Bagian masing0masing adalah :
Ahli waris bag AM 6-8
Suami 3 3/8 x Rp 4.800.000,- penerimaan
2 sdr pr seay 2/3 4 4/8 x Rp 4.800.000,- = Rp 1.800.000,-
Nenek 1/6 1 1/8 x Rp 4.800.000,- = Rp 2.400.000,-
8 = Rp 6.00.000,-
Jumlah = Rp 4.800.000,-
Angka masalah diaulkan dari 6 menjadi 8. Jika tidak di aulkan maka akan terjadi kekurangan
harta sebesar Rp 1.600.000,-
Perlu diingat :
1.) Setiap masalah dimana terdapat pewaris yang mendapat separuh harta dan lainnya mendapat sisa
atau dua pewaris yang masing-masing mendapat setengah, maka masalahnya dari dua dan tidak
terjadi aul padanya.
2.) Setiap masalah dimana pewaris mendapat sepertiga dan yang lain mendapat sisa atau terdapat
dua pewaris, yang satu mendapat sepertiga dan yang lain mendapat dua pertiga, maka
masalahnya dari tiga dan tidak terjadi aul padanya.
3.) Setiap masalah dimana pewaris mendapat seperempat dan yang lain mendapat sisa atau terdapat
dua pewaris, yang satu mendapat seperempat dan yang lain mendapat setengah maka masalahnya
dari empat dan terjadi aul padanya.
4.) Setiap masalah dimana pewaris mendapat seperdelapan dan yang lain mendapat sisa atau
terdapat didalamnya dua pewaris, yang satu mendapat seperdelapan dan yang lain mendapat
setengah, maka masalahnya dari delapan dan tidak terjadi aul padanya.
Terhadap masalah aul ini ada sahabat yang menolaknya yaitu Ibnu Abbas, sayangnya
meskupin ia menentang pendapat ayahnya sendiri ia tidak berani mengungkapkannya pada Umar
bin Khattab. Baru setelah Umar wafat ia mengemukakan fatwanya. Ia mengetakan :


demi Allah andaikata didahulukan orang yang oleh Allah Taala didahulukan, atau diakhirkan
orang yang olehnya diakhirkan maka tidak ada masalah aul dalam pembagian warisan sama
sekali
Setelah mendengar fatwa Ibn Abbas, seseorang mengajukan pertanyaan: siapakah orang
yang didahulukan oleh Allah? beliau menjawab: orang yang didahulukan dari bagian satu
kebagian yang lain oleh Allah, seperti suami, istri, atau ibu. Mereka itulah yang didahulukan
oleh Allah. Orang yang dipindahkan dari bagian tertentu kepada bagian bukan yang ditentukan-
seperti anak dan saudara perempuan-itulah yang diakhirkan.[10]
Ketika ibnu abbas didesak pertanyaan: bagaimana jika masalah itu terjadi masalah aul?
Beliau menjawab : kugabungkan yang bahaya-bahaya kepada yang lebih jelek keadaanya,
yaitu anak-anak perempuan dan saudara-saudara perempuan. Atas dasar penjelasan diatas laki-
laki penanya berkomentar : fatwamu itu tidak berfaedah bagimu sedikitpun, sebab andaikata
kamu meninggal, sungguh harta peninggalanmu dibagi oleh ahli warismu tanpa mengindahkan
fatwamu itu. Mendengar bantahan ini, Ibnu Abbas marah sekali seraya mengatakan :
katakanlah kepada mereka yang berpendapat ad nya aul sampai nanti kami kami berkumpul,
lalu kami berdoa kepada Tuhan hingga Allah menimpakan laknat Nya kepada para pembohong.
Sungguh zat yang bisa menghitung butir-butir pasir dipadang alij tidak akan meninggalkan
harta peninggalan dua paroan dan satu pertigaan oleh karena apabila ini telah dikurangi
separo dan separo lagi maka dimanakah tempat yang sepertiga?[11]
Pendapat Ibnu Abbas tersebut diikuti oleh fuqaha syiah imamiyah dan jafariyah.[12]
Alasan yang dikemukakan ialah pertama, ketentuan bagian dalam warisan telah diatur dalam Al-
Quran secara sempurna. Oleh karena itu setiap pemilik hak atas furud al muqaddarah harus
dipenuhi. Apabila ternyata tidak memungkinkan, maka hak-hak sebagian ahli waris yang dalam
keadaan tertentu berubah menjadi asabah seperti anak-anak dan saudara tidak perlu dipenuhi
bagiannya. Konsekuensinya sebagai penerima asabah sewaktu-waktu harus menerima bagian
kecil atau bahkan tidak menerimanya sama sekali. Kedua, ahli waris asbab al furud dipandang
sebagai ahli waris yang harus didahulukan pemberian hak-haknya.
Jadi apabila kembali pada contoh kasus yang dihadapi oleh sahabat Umar bin Khattab adalah :
AM6
- Suami 3
- 2 sdr pr skd as 3
6
Bagian 2 saudara perempuan sekandung yang sedianya 2/3 bagian menjadi meskipun
tidak ada ahli waris yang lain yang kedudukannya bisa mengubah ketentuan bagian saudara.
Jadi, seakan-akan saudara menerima bagian asabah maa al-ghair, karena ada suami. Padahal
sesungguhnya ahli waris yang bisa mengubah hak waris saudara perempuan sekandung adalah
anak perempuan atau cucu perempuan garis laki-laki. Argumentasi yang digunakan adalah
bahwa saudara perempuan bisa berubah bagianya menerima asabah maa al-ghair ketika
bersama-sama dengan saudara laki-laki.

III. PENUTUP
Kesimpulan

Rad secara harfiyah artinnya mengembalikan, masalah ini terjadi apabila dalam pembagian
warisan terdapat kelebihan harta setelah ahli waris ashab al-furud memperoleh bagianya.
Caranya adalah mengurangi angka masalah sehingga besarnya sama dengan jumlah bagian yang
diterima oleh ahi waris. Mayoritas (jumhur) ulama berpendapat, sisa harta dikembalikan kepada
ahli waris ashab al furud nasabiyah.Usman bin Affan menyatakan bahwa sisa harta secara
mutlaq dikembalikan kepada semua ahli waris yang ada tanpa membedakan status
kekerabatanya. Zaid bin Tsabit menolak penyelesaian pembagian warisan dengan cara radd
secara mutlaq, menurutnya sisa harta diserahkan kepada bait al mal.
aul artinya bertambah atau meningkat. Dikatakan aul karena dalam praktek pembagian
warisan, angka asal masalah harus ditingkatkan atau dinaikkan sebesar angka bagian yang
diterima oleh ahli waris yang ada. Terhadap masalah aul ini ada sahabat yang menolaknya yaitu
Ibnu Abbas.
2. Kritik dan saran
Demikianlah makalah tentang perkembangan hukum Islam pada masa Sahabat yang telah
kami paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan
pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita
semua.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Fatchur.1981. Ilmu Waris. Bandung: Al Marif


Musa, Muhammad Yusuf. Al-Tirkah wa al-Miras fi al islam. Kairo: Dar Al Marifah
Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ali As-Shabuni, Muhammad. 1388. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. Surabaya:
Mutiara Ilmu.
[1] Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm. 116-117
[2] Muhammad Ali As-Shabuni. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. Surabaya: Mutiara
Ilmu. 1388. Hlm. 109-110
[3] Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm. 120-128
[4] Fatchur Rahman. Ilmu Waris. Bandung: Al Marif. 1981. Hlm. 424-425
[5] Muhammad Ali As-Shabuni. Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam. Surabaya: Mutiara
Ilmu. 1388. Hlm. 101
[6] Ahmad Rofiq. Fiqih Mawaris. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001. Hlm. 109
[7] Muhammad Yusuf Musa. Al-Tirkah wa al-Miras fi al islam. Kairo: Dar Al Marifah. Hlm.
322
[8] Muhammad Ali As-Shabuni. Ilmu Hukum Waris MENURUT Ajaran Islam. Surabaya:
Mutiara Ilmu. 1388. Hlm. 101-102.
[9] Muhammad Ali As-Shabuni. Ilmu Hukum Waris MENURUT Ajaran Islam. Surabaya:
Mutiara Ilmu. 1388. Hlm 102-108
[10] Fatchur Rahman. Ilmu Waris. Bandung: Al Marif. 1981. Hlm. 410
[11] Muhammad Yusuf Musa. Al-Tirkah wa al-Miras fi al islam. Kairo: Dar Al Marifah. Hlm.
323
[12] Fatchur Rahman. Ilmu Waris. Bandung: Al Marif. 1981. Hlm. 412

Anda mungkin juga menyukai