Anda di halaman 1dari 9

Talfiq Antar Madzhab dalam Kajian Hukum Islam

A. Pendahuluan
B. Pembahasan
1. Devinisi Talfiq
Talfiq secara etimologi yaitu derivasi dari kata Laffaqa-yulaffiqu
yaitu menggambungkan dan mengumpulkan.1 Adapun secara
terminologi yaitu sebuah tindakan atau melakukan sesuatu dalam satu
permasalahan dengan sikap (kaifiyah) yang tidak sesuai dengan imam-
imam mujtahid yang dahulu.2
Talfiq yaitu taklid yang dibentuk dari dua madzhab atau lebih
menjadi satu bentuk ibadah atau muamalah.3 Maksudnya yaitu para
mujtahid berbeda pendapat dalam sebuah ibadah atau muamalah
dalam beberapa syarat dan rukun yang terdii dari 2 atau lebih.
Kemudian didapati seseorang yang mengikuti pendapat tersebut dalam
sebagian hukumnya dan kepada yang lain pada sebagian hukum yang
lain. Sehingga lahir dari taqlid jenis tersebut gambaran baru yang
tersusun dari beberapa pendapat yang tidak satupun dikatakan oleh
para mujtahid. Jika hasil tersebut dihadapkan ke hadapan salah satu
ulama mujtahid tersebut niscaya mereka tidak akan menerimanya.4
Adapun contoh aplikasinya yaitu Seperti seorang mukallaf
berwudlu dengan cara Imam Syafi'i, yakni dengan cukup mengusap
sebagian kepala, kemudian ia menyentuh perempuan ajnaby (bukan
mahrom) dengan beranggapan wudlunya tidak batal karena mengikuti
madzhabnya imam Hanafi. Lantas ia melakukan shalat dengan
keadaan wudlu seperti itu. Maka shalatnya ini tidaklah sah menurut

3 Ghazi bin Mursyid bin Khalaf Al-Utaibi, At-Talfiq Baina Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah
Wa Alaqatuha bi Taisir AL-Fatwa, (t.tp: t.p, t.t), hlm. 10

4 Nihayah muhtaj/ 1, 47,Muhammad Said Al-Bani, Umdah Tahqiq, (Beirut: Dar Al-
Qadiri, 1997), hlm. 91
dua madzhab tersebut. Menurut imam Hanafi, shalatnya tidak sah
karena dalam wudlunya tidak mengusap seperempat kepala (rubu'ur
rais). Sedangkan menurut imam Syafi'i tidak mengesahkannya
disebabkan ia shalat tidak dalam keadaan berwudlu karena terbatalkan
oleh menyentuh perempuan.5
2. Dalil Kebolehan Talfiq
Talfiq merupakan sesuatu yang baru dikalangan umat Islam.
Istilah ini muncul ketika sebagian umat islam mulai menutup pintu
ijtihad mereka dan memilih untuk mengikuti ulama madzhab baik
dengan berpegang kepada dalil yang mereka ambil dari ulama
madzhab (ittiba'), maupun hanya sebatas mengikuti perkataan
mereka tanpa mengetahui dalil-dalilnya (taqlid).
Menurut DR. Wahbah Zuhaili, pada dasarnya melakukan talfiq itu
diperbolehkan untuk para muqallid, karena agama Allah itu mudah,
tidak sulit. Kebolehan melakukan talfiq tersebut merupakan sebuah
kemudahan untuk seluruh umat manusia.
3. Kolerasi Talfiq dengan Ijtihad
a. Dengan Ijtihad
Talfiq masuk dalam ijtihad, karena seseorang yang melakukan
talfiq telah memutuskan sebuah pendapat.
b. Dengan Taqlid
Talfiq disebutkan oleh para ulama beriringan dengan
ijtihad. Hal tersebut dikarenakan talfiq merupakan proses
mengambil pendapat dari banyak madzhab yang berbeda. Talfiq
tidak diketahui kecuali setelah sampai pada derajat mujtahid
muthlak dari kalangan fuqaha. Jikalau ia mengambil pendapat
dari berbagai pendapat ulama madzhab yang berbeda-beda
mewajibkan talfiq menjadi taqlid. Terkadang talfiq disebutkan
ketika berbicara taqlid karena ia merupakan cabang dari cabang-
cabang taqlid. Bagaimanapun, taqlid lebih umum daripada talfiq

5 Ghazi bin Mursyid bin Khalaf Al-Utaibi, At-Talfiq Baina ......, hlm. 11
dan talfiq lebih khusus daripada taqlid. Jadi, kolerasi talfiq dan
taqlid hanyalah sebuah kolerasi antara umum dan khusus.6
c. Tatabbu Rukhash
Umum dan khusus, talfik lebih umum daripada tatabbu rukhash.
d. Muraah khilaf
Muraaah khilaf lebih khusus daripada talfiq, sedang talfiq lebih
umum daripada muraah khilaf.
4. Hukum Talfiq Madzhab Fiqih
Mengenai hukum talfiq terdapat 37 pendapat mengenai hal itu:
a. Pendapat yang melarang mengambil rukhsah secara mutlak.
Pendapat ini dilandasi dengan wajibnya mengambil satu
madzhab tertentu. Bagi kalngan ulama yang mengharuskan
berpedoman dengan satu madzhab tertentu mereka cenderung
mengharamkan talfik. Tidak ada pembahasan talfik dalam
madzhab mereka.
Diantaranya yaitu Abdul Ghani An-Nabulsi, Muhammad Al-Amin
Asy-Syinqithy, ulama mutaakhir Syafiiyah,
b. Diperbolehkan secara mutlak, yaitu pendapat Ad-Dasuqi dari
ulama Malikiyyah.
c. Diperbolehkan dengan beberapa syarat dan kaidah. Jika talfiq
dilakukan tanpa pertimbangan syarat dan kaidah maka
diharamkan. Pendapat ini merupakan pendapat imam 4 madzhab
dan beberapa ulama lainnya. Namun, mereka berbeda pendapat
mengenai syarat yang harus dipenuhi dalam ber-talfiq.
Diantaranya yaitu:
1. Tidak ada maksud tatabbu rukhash didalamnya. Syarat ini
dilazimi oleh Syaikh Mara Al-Karami yang diikuti oleh Ar-
Rahibani, Asy-Syathi, Ibnu Badran dan Muallimi.
2. Tidak menyelisihi atau melanggar ijma yang ada. Hal ini
sebagaimana yang dikemukakan oleh imam Al-Qirafi dan Asy-
Syatibi.
6 Abdullah bin Muhammad bin Hasan As-Saidi, At-Talfiq wa Hukmuhu fi Al-Fiqhi Al-
Islami, (Saudi: Jamiah Al-Mulk, t.t.), hlm. 13

7 Muhammad Sulaiman Al-Fara, At-Talfiq wa Dhawabituhu fi Fiqh Al-Islami, (t.tp: t.p,


t.t), hlm. 3
3. Tidak dilakukan atas dasar taqlid. Hal ini dikemukakan oleh
Ibnu Al-Hammam, Ibnu Amir Al-Haj, Al-Hasyimi An-Nabulisi
menambahkan bahwa dengan melakukan talfiq seseorang
tidak keluar dari pendapat yang lazim ia terima dan telah
diijmakan. Misalnya ada seseorang bertaqlid kepada imam
Abu Hanifah dalam masalah nikah tanpa Wali yang
konsekuensinya sah thalaknya. Mengapa? Karena wali
merupakan syarat wajib dalam keabsahan sebuah pernikahan
secara ijma. Jika lelaki yang bertaqlid tersebut mentalak
istrinya dengan talak 3 lantas ia ingin bertaqlid pada madzhab
Syafii dalam masalah talak yaitu tidak jatuh thalak karena
pernikahan tanpa wali maka tidak diperbolehkan baginya
karena seolah dia telah menarik taqlidnya yang pertama.
4. Diperbolehkan jika terdapat dharurah. Hal ini sebagaimana
yang dipilih oleh Asy-Syafsyawi.
5. Sedangkan Muhammad Said Al-Bani, seorang pakar dalam
masalah talfiq menyebutkan bahwa talfiq diperbolehkan
dengan syarat. Adapun ringkasan pendapatnya, yaitu:
a. Terdapat talfiq yang dilarang secara mutlak. Talfiq tersebut
memiliki dua macam, yaitu:
Talfiq bathil secara dzatnya, sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Nawas,
Iraqy telah menghalalkan nabidz dan
meminumnya lantas ia berkata keduanya haram
selamanya karena memabukkan.
Sedangkan Hijazi,
Hal ini, yaitu menghalalkan nabidz dan meminumnya
merupakan mardud dari asalnya.
Talfiq pada sesuatu yang diharamkan secara
dzatnya. Diantaranya yaitu:
- Tatabbu rukhash dengan sengaja
- Talfiq untuk mencabut hasil keputusan hakim.
- Talfiq yang dengan talfiq tersebut
mengahruskannya meninggalkan konsekuensi
taqlidnya.
b. Talfiq yang diperbolehkan dengan perincian. Tidak
diperbolehkan menghukuminya dengan hukum mutlak.
Akan tetapi dalam menghukuminya berbeda-beda
berdasarkan pada perbedaan tingkatan mukallaf dan jenis
ibadahnya.
Adapun mukallaf, mereka terbagi pada beberapa tingkat,
yaitu:
- Para ahli ijtihad muthlak, mereka tidak diperboleehkan
melakukan talfiq. Mengapa? Karena mereka adalah pionir
dalam istidlal dan istinbath hukum, bukan ahli taqlid.
- Mujtahid dalam hal-hal yang mereka ketahui dan
muqallid pada hal yang tidak mereka ketahui. Golongan
ini juga tidak diperbolehkan melakukan talfiq pada
permasalahan yang mereka ketahui dalilnya dan boleh
pada hal yang mana mereka bertaqlid. Mereka terkait
dengan ahlu tarjih dan takhrij.
- Adapun selain mereka (mutafaqqihah al-madzahib) dan
orang-orang awwam, mereka masuk dalam kategori
mukallaf yang boleh melakukan talfiq.
Sedangkan Imam Ar-Razi dalam kitab Al-Mahshul dan
syarahnya yang mengutip persyaratan imam Ar-Rayani dan
komentar Ibnu Abdissalam, dapat disimpulkan bahwa boleh
tidaknya talfiq tergantung pada motifasi dalam melakukan talfiq
tersebut. Motivasi ini diukur dengan kemaslahatan yang bersifat
umum. Jika ternyata motifasinya adalah negatif, dengan arti
mempermainkan agama atau mempermudah agama, maka
hukumnya tidak boleh. Misalnya, seseorang menikah tanpa wali,
saksi dan tanpa menyebutkan mahar, padahal untuk memenuhi
hal tersebut tidak susah. Maka jelas bahwa orang tersebut
menganggap remeh dan ringan ajaran agama dan
mempermainkan hukum syara.
Adapun jika talfiq dilakukan dengan motifasi mashlahat,
yaitu menghindarkan kesulitan dalam menjalankan syariat maka
talfiq dapat dilakukan.
Bila talfiq dilakukan oleh suatu negara dalam pembentukan
undang-undang yang akan dijalankan umat Islam, maka tidak
ada alasan untuk menolaknya karena suatu negara dalam
berbuat untuk ummatnya berdasarkan pada kemaslahatan
umum. Sebagai contoh, undang-undang dalam masalah
perkawinan yang berlaku hampir di semua negara yang
berpenduduk muslim, dirumuskan atas dasar talfiq.

5. Syarat Penerapan Talfiq


Sebagai bentuk kehati-hatian dalam melakukan talfiq, perlu kiranya
kita mengikuti persyaratan yang dikemukakan oleh Al-Alai, yaitu:
a. Pendapat yang dikemukakan oleh madzhab lain itu dinilainya
lebih bersikap hati-hati dalam menjalankan agama.
b. Dalil dari pendapat yang dikemukakan madzhab itu dinilainya
kuat dan rajih.
c. Tidak menyelisihi ijma, qawaid ataupun qiyas jali yang terbebas
dari penghalang.
6. Ruang Lingkup Talfiq
Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang
lingkupnya adalah dalam masalah-masalah ijtihadi yang bersifat
zhanni (bukan merupakan perkara qathi atau pasti, Pent.). Adapun
setiap perkara yang malum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam
agama ini, berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum
syari (yang pasti), yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan
pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi
membuat talfiq di dalamnya.
Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat
mengarah kepada pembolehan (penghalalan) perkara yang
diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang
bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi
tiga bagian sebagai berikut:
a. Hukum yang berdasar pada kemudahan dan kelapangan
yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap manusia.
Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah
(ibadah mahdhah), karena dalam masalah ibadah seperti ini
tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan diri seorang
hamba kepada Allah. Dalam masalah ini, lebih baik bagi
seorang keluar dari khilaf dan tidak menjerumuskan dirinya
dalam kesulitan dan bahaya jika memang ibadah tersebut
adaalah azimah. Jika orang tersebut tahu bahwa dirinya tidak
mampu melaksanakan sebuah ibadah berdasarkan azimah
atau ia mengalami hal yang mengharuskan dan memaksanya
melakukan talfiq maka dalam kondisi tersebut tidak mengapa.
Terutama dalam memberikan fatwa bagi orang yang
berhalangan, mengalami kepayahan, sakit hatinya. Hal ini
ditujukan supaya mereka terbiasa dengan beban taklif sedikit
demi sedikit.
Pengecualian dari jenis ini yaitu dalam masalah ibadah
maliyah. Hal tersebut dikarenakan dalam ibadah maliyah
dibangun atas dasar tasydid dan ikhtiyath. Sehingga
dianjurkan bagi seorang mufti berfatwa dengan menisbatkan
pada kemaslahatan fuqara.
b. Hukum yang didasarkan pada sikap warai dan ke-ihtiyatan.
Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan dengan sesuatu
yang dilarang Allah Swt karena membuat madlorot. Dalam
hukum ini tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan
bertalfiq kecuali dalam keadaan dharurat. Terutama dalam hal
yang berkaitan dengan hak hamba. Misalnya larangan
memakan bangkai.
c. Hukum yang didasarkan pada kemaslahatan dan
kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had
dan transaksi sosial ekonomi. Maka dalam hal ini (pernikahan)
yang diambil yang paling banyak maslahatnya dan diukur
dengan barometer syari.
Adapun dalam masalah muamalah, pemberdayaan harta,
sanksi, penumpahan darah dan hukum ketatanegaraan dan
selainnya yang Allah perintahkan guna menjaga
kemaslahatan hamba dan kelanggengan hidup maka tidak
diperbolehkan hanya merujuk pada satu mufti, tapi merujuk
pada ushul syariah dan kaidah-kaidah umumnya jika
diinisbatkan pada mukallaf yang mempunyai kecakapan
istinbath, atau pada qaul para mujtahid tarjih dan takhrij.
Sehingga hasilnya, setiap madzhab diambil pendapat yang
lebih dekat pada maslahat hamba dan kebahagiaan mereka
walaupun mengahruskan adanya talfiq.
Sebagai kalimat terakhir, terdapat sebuah kaidah dalam
bertalfiq, yaitu: jika tujuan talfiq untuk menghancurkan
pundi-pundi agama islam, memutuskan siyasat dan
hikmahnya maka hal tersebut diharamkan. Adapun jika talfiq
ditujukan untuk memperkuat sendi-sendi syariat Islam dan
menguak hikmah serta siyasatya maka ia diperintahkan.
Pendapat Al-Bani tersebut diikuti oleh Dr. Wahbah Az-Zuhaili,
Talfiq diperbolehkan ketika terdapat hajah dan dalam kondisi
darurah, bukan sekedar karena main-main, sendagurau atau
hanya berpindah-pindah saja, atau mengambil pendapat yang
lebih mudah secara sengaja tanpa menilik maslahat syarinya.
Talfiq hanya berlaku pada sebagian hukum-hukum ibadah dan
uamalah yang bersifat ijtihadiyah bukan qathiyyah.
7. Pandangan Ulama Mutaakhirin Mengenai Tatabbu Ar-
Rukhash
Sebagian Ulama mutaakhirin berpendapat bahwasanya tatabuu
rukhos diperbolehkan secara mutlak. Mereka berdalil Buitstu bil
hanafiyati samahah kami diutus dengan agama yang adil dan
mudah. Padahal jika ingin mengakaji maksud dari hadits diatas
pada kata mudah adalah kemudahan itu terikat dengan dasar-
dasar syariat dan bukan dengan maksud tatabuu rukhos, bukan
pula mengambil pendapat sesuai dengan hawa nafsu.
Imam asy-Syatibi mengatakan bahwasanya tatabuu rukhos
cenderung mengikuti hawa nafsu, sedangkan syariat melarang
seseorang mengikuti hawa nafsunya. Jika seseorang mengikuti
hawa nafsu, maka dia telah menyelisihi dasar yang telah disepakati
syariat, dan juga firman Allah taala surat an-nisa:59. Tempat
perbedaan pendapat merupakan tempat terjadinya perselisihan,
sehingga tidak sah seseorang mengembalikannya dengan hawa
nafsu. Tapi harus dikembalikan sama syariat.
8. Apakah seseorang yang bermadzhab dengan madzhab
tertentu boleh melakukan talfiq?
Diperbolehkan, sebagaimana yang dinisbatkan Al-Futuhi pada
pendapat mayoritas. Hal tersebut dikarenakan para sahabat tidak
mewajibkan bagi orang awwam menentukan madzhab tertentu.
Sedangkan membatasi mengambil satu mufti dalam memecahkan
masalah merupakan hal yang menyelisihi sejarah perjalanan para
pendahulu. Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwasannya jika
seseorang mendapat kejelasan diantara dua pendapat satu atas
lainnya baik dengan dali terpisah jika ia tahu, atau dengan melihat
bahwa seorang lebih tahu mengenai sebuah permasalahan
daripada yang lain, maka seseorang tersebut wajib berpindah pada
qaul yang dianggapnya lebih dekat pada Allah dan Rasul-Nya,
karena Allah mewajibkan seseorang hamba supaya mentaati-Nya
dan Rasul-Nya dalam setiap kondisi.

Anda mungkin juga menyukai