Anda di halaman 1dari 66

REFERAT

PENYAKIT LOWER MOTOR


NEURON

Disusun Oleh :
Aimi Nadiah bt Abd Latif
11-2010-199

Dokter Pembimbing :
Dr. Hardhi Pranata Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


PERIODE 24 OKT-26 NOV 2011
1
RUMAH SAKIT BHAKTI YUDHA, DEPOK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan referat ini dengan judul Penyakit LMN. Referat ini disusun
sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta memenuhi persyaratan
dalam penilaian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit
Bhakti Yudha, Depok.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi para mahasiswa fakultas kedokteran, dokter, dan
masyarakat Indonesia. Serta semoga dapat menambah pengetahuan
dalam bidang kedokteran dan dapat menjadi bekal dalam profesi kami
kelak.
Kami menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak
kekurangan baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca referat ini. Atas perhatian
yang diberikan kami ucapkan terima kasih.

November

2011

Penulis

2
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Lower Motor Neuron 8

Gambaran Klinis 9

Diagnosis dan Pemeriksaan penunjang 10

Pembagian Lesi pada Lower Motor Neuron

12

Diagnosa Banding 53

Penatalaksanaan 54

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 57

Daftar Pustaka

3
BAB I

PENDAHULUAN

Impuls motorik untuk gerakan volunteer terutama dicetuskan di girus


presentralis lobus frontalis (korteks motorik primer, area 4 Brodman) dan
area kortikal di sekitarnya (neuron motorik pertama). Impuls tersebut
berjalan di dalam jaras serabut yang panjang (terutama traktur
kortikonuklearis dan traktus kortikospinalis/jaras pyramidal), melewati
batang otak dan turun ke medulla spinalis ke kornu anterius, tempat
mereka membentuk kontak sinaptik dengan neuron motorik kedua-
biasanya melewati satu atau beberapa interneuron perantara.
Serabut saraf yang muncul dari area 4 dan area kortikal yang
berdekatan bersama-sama membentuk traktus piramidalis, yang
merupakan hubungan yang paling langsung dan tercepat antara area
motorik primer dan neuron motorik di kornu anterius. Selain itu, area
kortikal lain (terutama korteks premotorik, area 6) dan nuclei subkotikalis
(terutama ganglia basalia) berpartisipasi dalam control neuron gerakan.
Area-area tersebut membentuk lengkung umpan balik yang kompleks satu
dengan lainnya dan dengan korteks primer dan serebelum; struktur ini
mempengaruhi sel-sel di kornu anterius medulla spinalis melalui beberapa
jaras yang berbeda di medulla spinalis. Fungsinya terutama untuk
memodulasi gerakan dan untuk mengatur tonus otot.
Impuls yang terbentuk di neuron motorik kedua pada nuclei nervi
kranialis dan kornu anterius medulla spinalis berjalan melewati radiks
anterior, pleksus saraf (diregio servikal dan lumbosakral) serta saraf
perifer dalam perjalanannya ke otot-otot rangka. Impuls dihantarkan ke
sel-sel otot melalui motor end plate taut neuromuscular.

4
Lesi pada neuron motorik pertama di otak dan medulla spinalis
biasanya menimbulkan paresis spastic, sedangkan lesi neuron motorik
orde kedua di kornu anterius, radiks anterior, saraf perifer, atau motor end
plate biasanya menyebabkan paresis falsid. Deficit motorik akibat lesi
pada system saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh
berbagai defisit sensorik , otonomik, kognitif, dan/atau defisit
neuropsikologis dalam berbagai bentuk, tergantung pada lokasi dan sifat
lesi penyebabnya.

Gambar 1 : Hubungan dari korteks serebri hingga otot

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu :


1.Sistem saraf pusat (sentral), terbagi atas:
a. Otak
b. Sumsum tulang belakang(medula spinalis)

5
2.Sistem saraf perifer (tepi) terdiri atas:
A. Divisi Aferen, membawa informasi ke SSP (memberitahu SSP mengenai
lingkungan eksternal dan aktivitas-aktivitas internal yg diatur oleh SSP
B. Divisi Eferen, informasi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke
organ efektor (otot atau kelenjar yg melaksanakan perintah untuk
menimbulkan efek yg diinginkan), terbagi atas:
-Sistem saraf somatik, yg terdiri dari serat-serat neuron motorik yg
mempersarafi otot-otot rangka
-Sistem saraf otonom, yg mempersarafi otot polos, otot jantung dan
kelenjar, terbagi atas :
1. Sistem saraf simpatis
2. Sistem saraf Parasimpatis

SUSUNAN SARAF PUSAT


Sistem saraf pusat terdiri dari Otak (encephalon; brain) tersusun atas
cerebrum dan cerebellum; Batang Otak yang terdiri dari mesencephalon,
pons, medulla oblongata; dan Sumsum tulang belakang (medulla spinalis).
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang
dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata dan serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons
bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam
kesadaran dan kewaspadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik.
Area bicara motorik Broca terletak pada gyrus frontalis inferior di antara
ramus ascendens anterior dan ramus ascendens posterior fissure lateralis
(area Broadman 44 dan 45). Area ini penting di hemisphere bagian kiri

6
atau hemisphere dominan dan ablasio akan menimbulkan paralisis fungsi
bicara. Area bicara Broca membentuk kata-kata melalui hubungannya
dengan area motorik primer yang ada di dekatnya; otot-otot laring, mulut,
lidah, palatum molle, dan otot-otot pernapasan distimulasi sesuai
kebutuhan. Cerebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.

Gambar 2 : Perjalanan Impuls Motorik

PUSAT MOTORIS DAN SENSORIS


Pada corteks cerebral terdapat beberapa daerah :
Korteks serebral mengandung 3 jenis fungsional area yaitu motor area,
sensori area, dan asosiasi area. Neuron motoris dan neuron sensoris

7
terdapat pada motoris area dan sensoris area pada korteks serebri. Semua
neuron pada korteks serebri merupakan inter neuron.
Setiap hemisfer terdapat fungsi motoris dan sensoris yang berlawanan
pada sisi tubuh (kontralateral).
Sekalipun sebagian besar struktur pada 2 hemisfer kanan dan kiri simetris,
tetapi tidak ada fungsi yang sama. Masing masing memiliki spesialisasi
fungsi kortikal.
Yang sangat penting yang harus kita ingat tidak ada fungsi area pada
korteks serebri yang bekerja sendirian.
AREA MOTORIS
Motoris area pada korteks serebri, dengan gerakan volunter yang
terkontrol yang terdapat pada lobus frontalis terdiri dari motor korteks
primer, premotor korteks, area broca, frontal eye field.

AREA SENSORIS
Terdapat pada korteks serebri yaitu pada lobus parietal, insular,
temporal,dan occipital. Terdiri dari korteks primer somatosensoris, korteks
asosiasi somatosensoris, area visual, area auditory, korteks olfaktori,
korteks gustatory, area sensori visual, korteks vestibuler.

Definisi Lower Motor Neuron


Lower Motor Neuron (LMN) merupakan neuron motorik yang
menghubungkan antara batang otak/medula spinalis (melalui kornu
anterior) dengan neuromuscular junction (NMJ), yang membawa impuls
dari Upper Motor Neuron (UMN) dengan sel otot sebagai efektornya.
Motor neuron penyakit (seperti namanya) melibatkan motor neuron,
yang ada dua jenis: upper motor neurone dan lower motor neuron. Upper
motor Neuron memiliki sel tubuh pada korteks motor (di otak) dan
mengirim akson proyeksi ke tulang sedangkan lower motor neurones
memiliki sel tubuh dalam sumsum tulang dan akson proyeksi yang
berhubungan dengan otot-otot di berbagai bagian tubuh. Jika upper motor
neuron atas menjadi aktif, itu mengirimkan sinyal ke bawah yang akson,
yang menyebabkan pembebasan neurotransmiter. Neurotransmiter ini

8
menyebabkan lower motor neurone yang lebih rendah yang terhubung
untuk menjadi aktif dan, pada gilirannya, mengirim sinyal ke bawah yang
akson. Ini kemudian menyebabkan pembebasan neurotransmiter berbeda,
yang dirilis ke jaringan otot, menyebabkan otot berkontraksi. Reaksi
berantai ini membolehkan manusia ada mampu bergerak.

Gambar 3 : Sistem Lower motor Neuron; terdiri dari


1. Sel (ventral) cornu anterior
2. Serabut Saraf / Radiks terdiri dari axon, mielin dan
neurotransmiter

3. Neuromuskuler junction

4. Motor End Plate Otot

9
Gambar 4 : Perjalanan UMN dan LMN

Gambaran Klinis

LESI LOWER MOTOR NEURON


1. Paralisis flaksid otot yang disuplai.
2. Atrofi otot yang disuplai.
3. Kehilangan refl ek otot yang disuplai.
4.Vasikulasi muskuler. Keadaan ini merupakan twitching otot
yang hanya terlihat jika terdapat kerusakan yang lambat dari sel
5.Kontraktur muskuler. Ini adalah pemendekan otot yang mengalami
paralise, lebih sering terjadi pada otot antagonis, dimana kerjanya tidak
lagi dilawan oleh otot yang mengalami paralise. 3
Bila kerusakan UMN relatif lebih dominan , gejala utamanya bisa
berupa spastisitas, kekakuan dan klonus kaki. Keterlibatan bulbar biasanya
berupa kombinasi UMN dan LMN dan menyebabkan suara serak ,

perubahan artikulasi dan suara sengau 3


Lidah biasanya dikenai secara simetris, gerakannya melambat,
dijumpai fasikulasi dan atrofi. Bila spastisitas dan parese berlanjut bisa
terjadi disfagia.
10
Gangguan sensoris biasanya tidak dijumpai pada MND , tetapi
kadang-kadang bisa dijumpai parestesia, perasaan dingin dan perasaan

tebal (numbness) 1,3,7


Jarang dijumpai adanya gangguan miksi dan defekasi, kecuali terjadi
paralise yang berat dari otot-otot skelet yang melibatkan otot-otot gluteus
dan daerah sakral.
Hal ini karena nukleus Onuf yang terdapat di anterior horn safar spinal S 2

dan S3 relatif resisten terhadap denervasi yang terjadi pada MND 3,7

Fungsi otonom umurnnya normal 3,7. Penderita MND tidak


mengalami dekubitus sekalipun pada tahap lanjut karena fungsi sensorik
dan regulasi otonom dari aliran darah kulit berjalan baik. Demensia bisa
ditemukan pada 3-5% penderita MND tetapi tipenya berbeda dengan
dernensia tipe Alzheimer dan biasanya menunjukan demensia lobus

frontalis1,3

Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Yang terpenting untuk menegakkan diagnosa Motor Neuron Disease

(MND) adalah diagnosa klinis 3,4 Karena belum ada pemeriksaan khusus
untuk MND, maka diagnosa pasti baru dapat diketahui pada otopsi post-
mortem dengan memeriksa otak ,medulla spinalis dan otot penderita.
Gejala utama yang menyokong diagnosa adalah adanya tanda-tanda
gangguan UMN dan LMN pada daerah distribusi saraf spinal tanpa
gangguan sensoris dan biasanya dijumpai fasikulasi spontan. Gambaran
khasnya berupa kombinasi tanda-tanda UMN dan LMN pada ekstremitas

dengan adanya fasikulasi lidah 10


Implikasi dari penegakan diagnosa MND adalah bahwa kita
menegakkan adanya suatu penyakit yang akan berkembang terus menuju
kematian. Jadi penting sekali untuk menegakkan diagnosa secara teliti
dengan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan
melakukan pemeriksaan yang lengkap dan sesuai. Pemeriksaan

11
elektrofisiologis, radiologis, biokimiawi, imunologi dan histopatologi
mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya.
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat

untuk menegakkan .diagnosa MND 3 .Rekaman EMG menunjukkan adanya

fibrilasi dan fasikulasi yang khas pada atrofi akibat denervasi 15


Pemeriksaan biokimiawi darah penderita MND kebanyakan berada

dalam batas normal 3,14 .Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa MND. Protein cairan serebrospinal sering dijumpai

normal atau sedikit meninggi 1,3,6,9 .Kadar plasma kreatinin kinase (CK)

meninggi sampai 2-3 kali nilai normalnya pada sebagian penderita 3,4,6,
tetapi penulis lain menyatakan kadarnya normal atau hanya sedikit

meninggi 1,9. Enzim otot carbonic anhydrase III (CA III) merupakan

petunjuk yang lebih sensitif 3.


Pemeriksaaan radiologis berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
diagnosa lainnya .MRI dan CT-scan otot bermanfaat untuk membedakan
atrofi otot
neurogenik dari penyakit miopatik dan dapat menunjukkan distribusi

gangguan penyakit ini 3 .MRI mungkin dapat menunjukkan sedikit atrofi


dari korteks motorik dan degenerasi Wallerian dari traktus motorik di

batang otak dan medulla spinalis 1 .


Block dkk mendemonstrasikan kemampuan proton magnetic resonance
spectroscopy untuk mendeteksi perubahan metabolik pada korteks
motorik primer dari penderita MND yang sesuai dengan adanya kerusakan
sel neuron regional dan berbeda secara bermakna dengan orang sehat
atau penderita neuropati motorik
Biopsi otot mungkin perlu dilakukan untuk membedakan MND yang

menimbulkan slowly progressive proximal weakness dari miopati 1. Bila


dilakukan biopsi otot, terlihat serabut otot yang mengecil dan hilangnya
pola mosaik yang nomlal dari serabut-serabut otot .
Diagnosa MND menurut El Escorial Criteria For ALS Diagnosis adalah :

12
1. ALS:
tanda UMN dan LMN pada regio bulbar dan minimal 2 regio
spinal, atau
tanda UMN dan LMN pada 3 regio spinal.
2. Kemungkinan besar ALS (probable ALS) :
tanda UMN dan LMN pada minimal 2 regio (beberapa tanda
UMN harus restoral terhadap tanda LMN)
3. Kemungkinan ALS (possible ALS) :
tanda UMN dan LMN hanya pada 1 regio atau
hanya tanda UMN pada minimal 2 regio atau
tanda LMN rostral terhadap tanda UMN.
4. Curiga ALS (suspected ALS) :
tanda LMN pada minimal 2 regio.

Handisurya dan Yan Utama 6 mengajukan kriteria diagnostik MND


berdasarkan :

1. Anamnesa: adanya kelemahan yang progresif.


2. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai :
a. adanya gangguan motorik.
b. tidak ada gangguan sensorik.
c. tidak ada gangguan fungsi otonom.
d. didapat salah satu atau keduanya dari tanda-tanda LMN (atrofi,
fasikulasi) dan tanda-tanda UMN (peninggian refleks tendon pada
ekstremitas yang atrofi, refleks patologis yang positif).

3. Pemeriksaan penunjang :
a. laboratorium: kadar protein dalam CSS normal atau sedikit
meninggi.
b. Enzim CPK meningkat (pada 70% kasus).
c. EMG: terdapat adanya potensial denervasi dan otot-otot yang
dipersarafi oleh dua atau lebih akar safar pada setiap tiga daerah
atau lebih (ekstremitas, badan, kranium). Biasanya terdapat
potensial sinkron, kadang-kadang terdapat giant potential.

13
d. Kecepatan Hantaran Saraf (: normal
e. Biopsi otot : terdapat gambaran histologis yang sesuai dengan
atrofi neurogen.
f. Biopsi saraf: tidak terdapat kelainan pada saraf

Pembagian Lesi pada Lower Motor Neuron

Lesi pada Jaras Motorik Perifer

Paralisis flaksid disebabkan oleh interupsi unit motorik di suatu tempat


manapun, dapat di kornu anterius, salah satu atau beberapa radiks
anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer. Kerusakan unit motorik
memutuskan serabut otot di unit motorik dari persarafan volunter maupun
refleks. Otot-otot yang terkena sangat lemah (plegia), dan terdapat
penurunan tonus otot yang jelas (hipotonia), serta hilangnya refleks
(arefleksia) karena lengkung refleks regang monosinaptik terputus. Atrofi
otot terjadi dalam beberapa minggu, ketika otot tersebut secara perlahan-
lahan digantikan oleh jaringan ikat; setelah beberapa bulan atau tahun
terjadinya atrofi yang progresif, penggantian ini akan selesai.

Sindrom paralisis flaksid terdiri dari:


Penurunan kekuatan kasar
Hipotonia atau atonia otot
Hiporefleksia atau arefleksia
Atrofi otot
Lesi biasanya dapat dilokalisasi secara spesifik di kornu anterius, radiks
anterior, pleksus saraf, atau saraf perifer dengan bantuan elektromiografi
dan elektroneurografi. Jika paralisis pada satu atau beberapa ekstremitas
disertai oleh defisit somatosensorik dan otonom, lesi diduga berada di
distal radiks saraf dan dengan demikian terletak di pleksus saraf atau di
saraf tepi.

1. Lesi Pada Sel Motorik Cornu Anterior Medulla Spinalis


14
POLIOMIELITIS

A. Definisi

Poliomielitis ialah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus


dengan predileksi pada sel anterior masa kelabu sumsum tulang
belakang dan inti motorik batang otak dan akibat kerusakan bagian
susunan saraf pusat tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot.3,4
B. Etiologi

Virus polimielitis tergolong dalam enterovirus yang filtrabel.Terdapat


3 strain virus yaitu tipe 1(brunhilde),tipe 2 (langsing),dan tipe 3
(leon).Epidemi yang ganas biasanya disebabkan virus tipe 1, ringan
tipe 3,sedangkan tipe 2 kadang menyebabkan kasus sporadik.3
Virus dapat bertahan berbulan-bulan dalam air dan bertahun dalam
deep freeze.Virus dapat dimusnahkan dengan pengeringan atau
pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium
permanganat.Reservoir alamiah satu-satunya adalah manusia .Masa
inkubasi antara 7-10 hari, kadang antara 3-35 hari.3

C. Patogenesis

Virus masuk lewat rongga orofaring ,berkembang dalam traktus


digestivus,kelenjar getah bening regional dan sistem
retikuloendotel.Dalam keadaan ini timbul : 1.perkembangan virus
2.tubuh bereaksi dengan membentuk tipe antibodi spesifik.Bila
pembentukan antibodi cepat dan mencukupi maka virus akan
ternetralisasi,sehingga timbul gejala klinis yang ringan atau tidak sama
sekali.Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat dari pembentukan zat
anti,maka akan timbul viremia dan gejala klinis,kemudian virus akan
terdapat dalam feses untuk beberapa minggu.3,4
D. Patofisiologi

Berbeda dengan virus lainnya yang menyerang saraf,maka


neuropatologi poliomielitis biasanya patognomik.Virus hanya

15
menyerang sel dan daerah tertentu susunan saraf.Tidak semua neuron
yang terkena mengalami kerusakan yang sama . Daerah yang biasa
terkena poliomielitis :4
a. Medula spinalis terutama kornu anterior
b. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial
serta formasio retikularis yang mengandung pusat vital
c. Serebelum terutama inti-inti pada vermis
d. Midbrain terutama masa kelabu ,substansia nigra dan kadang-
kadang nucleus rubra.
e. Talamus dan hipotalamus
f. Palidum
g. Korteks serebri hanya daerah motorik

E. Manifestasi Klinik

Tanda klinis penyakit polio pada manusia sangat jelas.Sebagian besar


(90%) infeksi virus polio menyebabkan inaparent infection,
sedangkan 5% menampilkan gejala abortive infection,1% nonparalitik
dan sisanya menunjukan tanda klinik paralitik.Bagi penderita dengan
tanda klinik paralitik, 30% akan sembuh, 30% menunjukan kelumpuhan
ringan, 30% menunjukan kelumpuhan berat dan 10% menujukan gejala
berat serta bisa menimbulkan kematian. Masa inkubasi 3-35 hari.
Penderita sebelum ditemukannya vaksin terutama berusia di bawah 5
tahun.Setelah adanya perbaikan sanitasi serta penemuan vaksin,usia
penderita bergeser menjadi kelomok anak usia di atas 5 tahun. 4
Stadium akut sejak ada gejala klinis hingga dua minggu,ditandai
dengan suhu tubuh meningkat,jarang terjadi lebih dari 10 hari,kadang
disertai sakit kepala dan muntah.Kelumpuhan itu terjadi akibat
kerusakan sel-sel motor neuron di medulla spinalis dan invasi
virus.Kelumpuhan tersebut bersifat asimetris sehingga menimbulkan
deformitas(gangguan bentuk tubuh) yang cenderung menetap atau
bahkan menjadi lebih berat.Sebagian besar kelumpuhan terjadi pada
tungkai (78,6%), sedangkan 41<4% akan mengenai
lengan.Kelumpuhan akan memakan waktu 2 hari hingga 2 bulan.4

16
Gambar 5 : Gambaran Klinis Poliomielitis

Stadium sub akut (2 minggu 2 bulan) ditandai dengan


hilangnya demam dalam waktu 24 jam atau kadang suhu tidak terlalu
tinggi.Kadang disertai kekakuan otot dan nyeri otot ringan.Kelumpuhan
anggota gerak yang layuh dan biasanya pada salah satu sisi.Stadium
konvaselent(dua bulan hingga dua tahun) ditandai dengan pulihnya
kekuatan otot.Sekitar 50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 6-9
bulan setelah fase akut.Kemudian setelah usia dua tahun,diperkirakan
tidak terjadi lagi perbaikan otot.Stadium kronik atau dua tahun lebih
sejak gejala awal penyakit biasanya menunjukan kekuatan otot yang
mencapai tingkat menetap dan kelumpuhan otot permanen.4
F. Gejala

Terdapat 4 pola dasar pada infeksi polio:3


1. Silent infection
Setalah masa inkubasi 7-10 hari ,tidak terdapat gejala klinis.Pada
suatu epidemik diperkirakan terdapat pada 90-95% penduduk dan
menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.
2. Poliomielitis abortif
Diperkirakan terdapat 4-8% pada penduduk suatu epidemik.Timbul
mendadak,berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari.Gejala
17
yang timbul berupa infeksi virus,peri malaise, anoreksia,
nausea,muntah,nyeri kepala,nyeri tenggorok,konstipasi,dan nyeri
abdomen.Diagnosis pasti dengan menemukan virus di
jaringan.Diagnosa banding : influenza atau infeksi bakteri daerah
naso faring.
3. Poliomielitis non paralitik
Gejal klinik sama dengan poliomielitis abortif hanya nyeri
kepala,nausea dan muntah lebih berat yang timbul 1-2 hari.Khas
untuk penyakit ini adalah nyeri dan kaku otot belakang leher,tubuh
dan tungkai dengan hipertonia,mungkin disebabkan oleh lesi pada
batang otak,ganglion spinal dan kolumna posterior.Bila anak
berusaha untuk duduk dari sikap tidur, maka ia akan menekuk kedua
lutut ke atas sedangkan kedua lengan menunjang ke belakang pada
tempat tidur (tanda tripod) dan terlihat kekakuan otot spinal oleh
spasme.Kuduk kaku terlihat secara positif dengan Kernig dan
Brudzinsky yang positif .Head drop yaitu bila tubuh penderita
ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak akan menyebabkan
kepala terjatuh ke belakang.Refleks tendon biasanya tidak berubah
dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomielitis paralitik.
Diagnosa banding : Meningitis serosa,meningismus,tonsillitis akut
yang berhubungan dengan adenitis servikalis.
4. Poliomielitis paralitik
Secara klinis dapat dibedakan berdasarkan tingginya lesi pada

susunan saraf.
a.Bentuk spinal
Gejala berupa paralisis otot leher
,abdomen,tubuh,diafgrama,thoraks,dan terbanyak ekstermitas
bawah.Tersering otot besar pada tungkai bawah otot quadrisep
femoris,pada lengan otot deltoideus.Sifat paralisis
asimetris.Refleks tendon berkurang atau menghilang. serta tidak
terdapat gangguan sensibilitas.
Diagnosa banding:
Pseudoparalisis yang non-neurogen : tidak ada kuduk kaku,
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma,demam reumetik
akut,osteomielitis.

18
Polineuritis: gejala parapelgi dengan gangguan
sensibilitas,dapat dengan paralisis palatum mole dan
gangguan otot bola mata.
Sindrom guillain barre ,bedanya :
- Sebelum paralisis pada 50% sindorm guillain barre terdapat
demam tinggi.
- Paralisis tidak akut seperti poliomielitis ,tetapi perlahan-
lahan.
- Topografi paralisis berbeda dimana terjadi kelumpuhan
bilateral simetris.
- Likuor serebrospinal pada stadium permulaan polimielitis
adalah pleiositosis sedangkan pada sindrom guillain barre
protein menigkat.
- Prognosis sindrom guilain barre sembuh tanpa gejala sisa
- Pada sindrom guillain barre terdapat gangguan sensorik.
b.Bentuk bulber
Gangguan motoirk satu atau saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi
c.Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk
bulbar
d.Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium,kesadaran yang menurun,tremor
dan kadang-kadang kejang.
G. Penatalaksanaan3,4

Silent infection : istirahat


Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari,bila tidak terdapat gejala lagi
dapat beraktivitas.Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan muskulo-kletal.
Poliomielitis paraltik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2
minggu,perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat
terjadi paralisis pernafasan .Terapi kausal tidak ada.
Pengobatan simptomatik bergantung pada :
1) Fase akut
Analgetika untuk rasa nyri otot.Lokal diberi pembalut
hangat.Sebaiknya diberi papan penahan pada telapak
kaki.Antipiretika untuk menurunkan suhu.Bila terdapat retensio
urine lakukan katerisasi.Pada poliomielitis tipe bulber kadang-

19
kadang reflek menelan terganggu dengan bahaya pneumonia
aspirasi.Untuk itu kepala anak diletakkan lebih rendah dan
dimiringkan ke salah satu sisi.
2) Sesudah fase akut
Kontraktur,atrofi dan antoni otot dikurangi dengan
fisioterapi.Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang.
Akupuntur dilakukan sedininya yaitu segera setelah diagnosis dibuat
akan memberi hasil yang memuaskan.

H. Prognosis

Bergantung pada beratnya penyakit.Pada bentuk paralitik


bergantung pada bagain yang terkena.Bentuk spinal dengan paralisis
pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik.Tipe
bulber prognosisnya buruk,kematiannya biasanya Karena kegagalan
fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder pada jalan nafas.otot-
otot yang lumpuh dan tidak pulih kembali menunjukan paralisis itpe
flasid dengan Atonia,arefleksi dan degenarasi.3
Komplikasi residual paralisis tersebut ialah kontraktur terutama
sendi,subluksasi bila otot yang terkena sekitar sendi ,perubahan trofik
oleh sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi
ulserasi.Pada keadaan ini diberikan pengobatan secara ortopedik.3

2. Lesi pada Pleksus Saraf/Radiks

Sindrom Guillain Barre

Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh
autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf
yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga
indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa.1, 2

Fase awal dimulai dengan munculnya tanda tanda kelemahan dan


biasanya tampak secara lengkap dalam 2 3 minggu. Ketika tidak terlihat

20
penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari
sampai 2 minggu. Fase penyembuhan mungkin berakhir 4 6 bulan dan
mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit
pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa
dapat menetap.

Angka kejadian Guillain Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara


1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Sampai saat ini belum ada
terapi spesifik untuk Guillain Barre Syndrome. Sebagian besar penderita
dapat sembuh sendiri. Namun demikian Guillain Barre
Syndrome memerlukan perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan
(gejala sisa) cukup tinggi terutama pada keadaan akut yang dapat
menimbulkan gagal napas akibat kelemahan otot pernapasan dan bisa
1, 2
berlanjut pada kematian.

Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu penyakit


autoimun oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya
didahului dengan faktor pencetus. Sedangkan etiologinya sendiri yang
pasti belum diketahui, diduga oleh karena :6,7

a. Infeksi : misal radang tenggorokan atau radang


lainnya

b. Infeksi virus : measles, Mumps, Rubela, Influenza A,


Influenza B, Varicella zoster, Infections mono nucleosis
(vaccinia,variola, hepatitis inf, coxakie)

c. Vaksin : rabies, swine flu

d. Infeksi yang lain :Mycoplasma pneumonia, Salmonella


thyposa, Brucellosis, campylobacter jejuni

e. Keganasan : Hodgkinsdisease, carcinoma,lymphoma

21
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan
campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih
berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini
mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik,
sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga
menyerang myelin.6,7

Pada dasarnya Guillain barre adalah self Limited atau bisa sembuh
dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi
kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita
memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.6,7

A. Patofisiologi

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun


lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat
antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah
limfosit yang berubah responya terhadap antigen.7
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka
semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin
terlepas dan menyebabkan system penghantaran implus terganggu. 7
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua
saraf perifer dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya
merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau
hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axor
telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
7
biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.

22
B. Gejala
Timbulnya gejala klinik ini biasanya didahului dengan adanya infeksi
traktus rospiratorius bagian atas satu-dua minggu (OSLER, 1960) atau
diarrheae (MERRITT, 1973). HEWER, 1968 mendapatkan penyakit ini
sesudah sepsis intra abdominal dan tindakan pembedahan. Selain itu bisa
6
pula didahului sakit otot atau kaku kuduk.
-Motorik Kelumpuhan biasanya timbul sesudah tidak ada panas,
kelumpuhan ini sering mengenai tungkai bawah dan bilateral
symetris walaupun kadang-kadang bisa asymetris (DYCKPJ 1971, OSLER,
1966). Otot-otot lengan atau facial sering terkena. MARSHALL (1963)
MASUCCI (1971) pada kelumpuhan ini otot-otot proksimal dan distal dari
lengan dan tungkai juga bisa terkena bersama-sama, tetapi otot-otot ini
tak pernah atrofi (EIBEN, 1963) tetapi sebaliknya MASUCCI (1971) telah
mendapatkan 14 kasus dengan atrofi otot. Kelumpuhan ini bisa ascenden
(Landry's ascending paralysis), mengenai otot ekstrimitas. atas,muka, otot
pernafasan.

23
-Sensibilitas. Telah diketahui bahwa gangguan sensibilitas ini ringan
disertai paresthesia dan rasa sakit otot, walaupun bisa pula gangguan
sensibilitas ini berat. Gangguan sensibilitas ini pada bagian distal berupa
glove & stocking. Selain itu rasa vibrasi dan posisi juga bisa terganggu
-Gangguan vegetatif. Lima persen penderita mengalami retensio urine
atau incontinentia atau gangguan pada sphincter recti. Bila terjadi
gangguan pada vasomotor akan terjadi hipotensi orthostatic. Beberapa
pengarang juga mengatakan bisa terjadi hipertensi karena kontrole
terhadap vasomotor itu hilang (MARSCHALL, 1963).
-Cerebrospinal fluid (CSF) . GUILLAIN, BARRE, STROLL, 1916 pada
penyelidikannya mendapatkan adanya dissociasi cytoalbuminique
yaitu peninggian protein liqour tanpa peninggian sel. Mereka tidak
memasukan penderita dengan protein kurang dari 300 - 400 mg/100 ml.
Penyelidikan berikutnya masih bertentangan mengenai protein liqour ini.
Bahkan pada penderita ini bisa pula protein normal. SOFFER (1978) istilah
dissociasi cytoalbuminique tak bisa diterima lagi karena hal ini bisa pula
pada penyakit lain, seperti polyneuritis karena diabetes mellitus, dan lain-
lain. Protein liqaor pada umumnya meningkat sesuai dengan
progressivitas penyakit, atau normal pada minggu pertama dari penyakit
dan kemudian meningkat. Tak ada hubungannya antara naiknya protein
liquor dengan gejala klinis, biasanya protein naik malah pada stadium
penyembuhan.

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:7


1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak
timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai titik
nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan
gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan
mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih
berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang
permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.

24
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang
stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan
gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada
sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang
masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status
generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya
sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf
yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan
hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak
dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan. Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu
terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun
berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase
ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita
mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya
tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat
kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Kriteria Diagnostik
Untuk menentukan diagnose dari Acute Idiopathic Polyneuritis
telah ditentukan modifikasi kriteria dari OSLER, dan SIDELL (1960),
25
MASUCCI KURTZKER , (1971) dan SOFFER et al (1978) sebagai
berikut :6
Penyakit ini bukan disebabkan oleh penyakit-penyakit
penyebab polyneuropathy seperti diabetes mellitus, porphyria,
collagen disease, infectious mononucleosis, intoksikasi,
defisiensi, atau neoplasma.
Onset bisa akut atau subakut.
Kelumpuhan otot biasanya bilateral dan simetris dengan type
"lower motor neuron, dan Kelumpuhan yang bersifat
ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar
ke ekstrimitas atas.
Gangguan sensibilitas dan motorik bisa terdapat bersamaan,
dapat pula hanya motorik saja tanpa gangguan sensibilitas.
Gangguan sensibilitas subjektif dan objektif tidak menonjol
bila dibandingkan dengan gangguan motorik.
Gangguan sensibilitas ini bisa berupa 'glove & stocking, "
tetapi tidak berbatas tegas (tidak segmental).
Refleks tendo bisa berkurang atau hilang sama sekali, begitu
pula refleks superfisial (SAR) atau refleks cremaster. Saraf otak
bisa terganggu bisa pula tidak.
CSF protein biasanya naik, tetapi bisa pula normal pada
minggu pertama, kemudian akan naik. Tetapi bisa pula protein
ini tetap normal untuk beberapa minggu atau bulan.
Pada kebanyakan penderita penyembuhan cepat, bisa pula
dengan gejala sisa atau paralyse otot pernafasan, bahkan bisa
pula disusul dengan kematian.

4. Pemeriksaan penunjang

Cairan serebrospinal (CSS). Yang paling khas adalah adanya disosiasi


sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL)
tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada
kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal;
setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di
saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan
menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset.

26
Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam
CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm. 7,8
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG).
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok
konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS
kurang dari 60% normal.7,8
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah
onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal.
Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS,
akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.7,8
Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap
darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe
lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat
pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang
akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.7,8
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T
serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada
lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak
sering.7,8

27
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).7,8
Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang
relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler
serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan
demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena
pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik
intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,
saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit
dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati,
limpa, jantung, dan organ lainnya.7,8

Diagnosis Banding

GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan
motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:
Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens,
meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula
penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula
akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit
sensorik ataupun arefleksia.7

Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil
masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F;
sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski.7

Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa


keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.7,8

Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan


kaleng yang terinfeksi. Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai
dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya
bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.7

28
Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;
umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang
menempel pada kulit.7,8

Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan


mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan
peningkatan serum asam aminolevulinik delta.7,8

Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri


dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat
daripada GBS.7

Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah


tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase
syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.7,8

Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala


meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.7,8

Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan


pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki
jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang
dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan
gaya gravitasi.7,8

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan


medis dan perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran
(outcome). Dalam fase dini yang masih progresif, harus dilakukan
observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib. 6
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi
(plasmaferesis dan Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat
mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat tindakan2 lain yang
membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai
penyakit ini. Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan
pada imunomodulasi. Menurut petunjuk guideline dari American Academy
29
of Neurology (AAN), maka pengobatan SGB yang dimulai secara dini
dalam waktu 2 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat
mempercepat waktu penyembuhan. Hanya plasmaferesis (plasma
exchange therapy) dan imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti
efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah terbukti dapat
memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya
mahal dan ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2
regimen pengobatan itu hampir sama dan komparabel.6
Sekarang ini pengobatan lebih diarahkan pada imunomodulasi. Terapi
yang lebih efektif yaitu dengan pemberian imunogobulin secara intravena
(IVIG, intravenous immunoglobin). Hasil dari pemberian plasmapharesis
6
dan IVIg sama saja, tetapi IVIG lebih kecil efek sampingnya.
Plasmaferesis (PE): secara historis dan case control studies terbukti
menurunkan beratnya penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek
durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak segera dan tidak dramatis.
PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller Fisher;
suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas
PE pada ke 2 penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya
diberikan secepat mungkin pada penderita SGB yang tidak dapat berjalan
tanpa bantuan (unable to walk unassisted).Plasma yang akan diganti
dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 10 hari seluruhnya
adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran
yang terus-menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti
plasma yang dipakai adalah albumin 5%. Pelaksanaan PE yang lebih
intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya aman dan
ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik
dan bisa juga dilakukan didaerah subklavia. Komplikasi yang bisa timbul
adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan perdarahan karena faktor
6
pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.
Imunoglobulin intravena (IVIg 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis
dan imunologis dari SGB dan mengurangi produksi otoantibodi dan
meningkatkan pelarutan dan penyingkiran kompleks imun. IVIg
menetralisir antibodi mielin yang bersirkulasi melalui antibodi anti idiotipik

30
dan men- down-regulate sitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon
gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan
mempromosikan terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4
g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5 hari) atau cara lain dengan
1 2
pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal.
dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu
diulang setelah 4 minggu, sehingga juga memerlukan beaya yang banyak.
Pemberian IVIg adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun
harganya mahal. IVIg berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada
6
fasilitas PE.
Kontraindikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi
IgA dan antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada interaksi dengan obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Sebaiknya diperiksa serum
IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg
dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya
kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko
terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%),
urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus
sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal
tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit
ginjal sebelumnya.6
Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan
agaknya juga bisa menyingkirkan otoantibodi dan imun kompleks dari
serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari serum .
Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada

interaksi dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.6

3. Lesi Pada Neuromuskular Junction

Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis (MG) merupakan kelainan antibodi yang jarang terjadi,
di mana terbentuk antibodi IgG yang merusak reseptor ACh nikotinik pada

31
membran postsinaps di taut saraf otot (neuromuscular junction). Sehingga
terjadi hambatan pengikatan ACh pada reseptornya di NMJ,
mengakibatkan kelemahan otot, penurunan kekuatan dan proses recovery
dari kelelahan yang cukup lama. Gejala timbul jika 30% reseptor
mengalami kerusakan, diawali dengan kelemahan otot bulbar lalu
kelemahan generalisata. Antibodi ini tidak menyerang reseptor ACh di sel
otot polos dan otot jantung, karena perbedaan antigenisitas dengan
reseptor ACh postsinaps di otot rangka.

Penyebab produksi autoantibodi ini belum diketahui sepenuhnya, namun


diduga thymus berperan dalam terjadinya penyakit ini. Sekitar 75% pasien
MG memiliki gangguan thymus (hiperplasia thymus, thymoma) dan terjadi
perbaikan gejala MG apabila dilakukan thymectomy. Prognosis MG cukup
baik apabila didiagnosis dan tatalaksana dengan tepat.

Gejala pada MG antara lain:

- 85% pasien mengalami kelemahan otot kelopak mata dan


ekstraokular menyebabkan ptosis dan/atau diplopia.

- Jika mengenai otot fasial menyebabkan perubahan raut wajah dan


berbicara, jika mengenai otot faringeal menyebabkan kesulitan
mengunyah dan menelan.

- Kelemahan otot bulbar dan dapat berlanjut menjadi MG generalisata

- Kelemahan leher dan tungkai proksimal

- Kelemahan respiratorik. Sebanyak 1% mengalami gagal bernapas.

- Mortalitas bila terdapat aspirasi (akibat kelemahan otot faringeal),


pneumonia, atau gagal bernapas.

Diagnosis pada MG ditentukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


fisis (gejala). Pada anamnesis hendaknya ditemukan keluhan kelemahan
generalisata atau otot-otot tertentu (misal: pada saat menaiki tangga),
penurunan toleransi aktifitas fisik yang membaik setelah istirahat. Riwayat
pengobatan tertentu dapat memperburuk (eksaserbasi) gejala, seperti

32
pada penggunaan antibiotik (makrolid, fluorokuinolon, aminoglikosida,
tetrasiklin, klorokuin), antidisritmia (beta bloker, ca-channel bloker,
kuinidin, lidokain) , difenilhidantoin, lithium, CPZ, relaksan otot, L-tiroksin,
ACTH, dan kortikosteroid.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gejala sbb:

- Ptosis

- Kelemahan otot yang membaik setelah istirahat

- Gangguan ekspresi wajah akibat kelemahan otot fasial. Rahang


terlihat lemah.

- Leher cenderung jatuh (fleksi) ke arah depan pada saat duduk

- Gaya berjalan pincang

- Penggunaan suara hidung

- Refleks muntah (-)

- Napas cepat dan dangkal. Batuk (-).

- Dapat dilakukan tes dengan antikolinesterase (AChEI). Diberikan


2mg edrofonium, disusul 8mg 45 detik kemudian bila dosis pertama tidak
menimbulkan reaksi. Respons positif ditandai dengan peningkatan
kekuatan otot.

Tatalaksana untuk MG meliputi pemberian antikolinesterase (penghambat


asetilkolinesterase/AChEI), seperti edrofonium, piridostigmin atau
neostigmin. Pemberian kortikosteroid (prednison, metilprednisolon) untuk
mengatasi kelainan autoimun yang terjadi, baik idiopatik maupun didapat.
Dampak dari pemberian antikolinesterase adalah kontriksi saluran napas
dan bronkospasme,untuk itu dapat diberikan bronkodilator 1-agonis
(salbutamol, albuterol), atau bronkodilator antikolinergik (ipratropium).

33
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas 14,15.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction14.

A. Epidemiologi

Myastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui,


dan dapat terjadi pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih
sering tampak pada usia 20-50 tahun. Wanita lebih sering menderita
penyakit ini dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria
yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4. Pada wanita, penyakit
ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun,
sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42
tahun14,15.

B. Patofisiologi

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat


penting pada patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang
mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang
terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya
autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis
rheumatoid, dan lain-lain15.
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana
autoantibodi pada serum penderita miastenia gravis secara
langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah yang memegang
peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik
asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien
dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor

34
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata14,15.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik
terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum
sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan
sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel
T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik15.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa.
Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin
terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik,
sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk
insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis15.

35
C. Gejala Klinis

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan


yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan
meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa
ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan
berkurang apabila penderita beristirahat15. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain :
Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis . Ptosis yang
merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus
okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita
miastenia gravis. Walupun pada miastenia gravis otot levator
palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular
masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan
otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia
gravis. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala15.

36
Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular
(ptosis).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari
otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas14. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk
ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah
kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.14,15
D. Klasifikasi Myasthenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA),


miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut16:

a. Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada


saat menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

b. Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah,


serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular.

37
c. Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan.

d. Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot


pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot
anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan
klas IIa.

e. Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.


Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang.

f. Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot


aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan
otot orofaringeal yang ringan.

g. Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot


pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat
kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.

h. Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami


kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot
okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

i. Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota


tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan.

j. Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot


pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga
terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

38
k. Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi
mekanik.

Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan


strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore
hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih
jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun 14.

E. Diagnosis Myasthenia Gravis

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan


pemeriksaan sebagai berikut34 :

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang


keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya
bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita
menjadi anartris dan afonis.

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara


terus-menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah
suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak
tampak lagi.

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan


beberapa tes antara lain;

1 Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak


terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara
intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan
otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan
ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka
ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini kelopak mata yang lemah harus

39
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.

2 Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara


intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.

3 Uji Kinin

Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian


diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis,
strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat.

3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Anti-asetilkolin reseptor antibody

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu


miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.
80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita
dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia
gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody15. Rata-rata titer
antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang
dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut15:

40
Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia
Gravis

Osserman Class Mean antibody Percent Positive


Titer

R 0.79 24

I 2.17 55

IIA 49.8 80

IIB 57.9 100

III 78.5 100

IV 205.3 89

Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB =


moderate generalized, III = acute severe, IV = chronic severe15

Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer
tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit
miastenia gravis.

Antistriated muscle (anti-SM) antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita


miastenia gravis. Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar
84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang dari
40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari
40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
41
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan


hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif),
menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

Antistriational antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis


menunjukkan adanya antibody yang berikatan dalam pola
cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan
pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan
yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan
miastenia gravis.

2. Imaging

Chest x-ray (foto roentgen thorak).

Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada


roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu
massa pada bagian anterior mediastinum. Hasil roentgen yang
negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya thymoma
ukuran kecil.

Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua


kasus miastenia gravis, terutama pada penderita dengan usia
tua.

MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai


pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis
miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan

42
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.

CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma)


in a patient with myasthenia gravis.

3. Elektrodiagnostik15

Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah


reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya
suatu potensial aksi.

Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan


kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat
mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada interval
interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh
jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi
pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber
density yang normal.

4 Penatalaksanaan

43
Plasma Exchange (PE)17

Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi


dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi
dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.
Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling
efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada
pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis.
PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani
thymektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode
postoperative.

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak


pusat kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap
kali terapi untuk 5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%)
dengan larutan salin yang disuplementasikan dengan kalsium dan
natrium dapat digunakan untuk replacement. Efek PE akan
muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan hingga lebih
dari 10 minggu.

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya


pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi
kalsium, magnesium, dan natrium yang dpat menimbulkan
terjadinya hipotensi. Trombositopenia dan perubahan pada
berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada terapi PE
berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang
dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan
pemberian fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

Intravenous Immunoglobulin (IVIG)17

44
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah
complement-activating aggregates yang relatif aman untuk
diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum
diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat
dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak
terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan
IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman
dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara
terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam
kondisi krisis.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari


pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG
dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level
anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari
sejak dilakukan pemasangan infus.

Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah


nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan
infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike
symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit
kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24 jam pertama.

Intravenous Methylprednisolone (IVMp)17

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila


tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari
kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian
dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien

45
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,
sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi
ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu
setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan
dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat
digunakan.

Kortikosteroid17

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan


paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon
terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu
2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Durasi kerja kortikosteroid
dapat berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3
bulan. Kortikosteroid memiliki efek yang kompleks terhadap
sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap miastenia gravis
masih belum diketahui. Koortikosteroid diperkirakan memiliki efek
pada aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel
T serta antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan
memiliki peran yang menguntungkan dalam memposisikan
kortikosteroid di tempat kelainan imun pada miastenia gravis.
Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami
penurunan dari titer antibodinya.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala


klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol
dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan
kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering
pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas 30
mg setiap harinya, aka timbul efek samping berupa osteoporosis,
diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

Azathioprine

46
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis
yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid
dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi
merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek
terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan


2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50
mg/hari hingga dosis optimafl tercapai. Azathioprine merupakan
obat yang secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh
dan secara umum memiliki efek samping yang lebih sedikit
dibandingkan dengan obat imunosupresif lainnya. Respon
Azathioprine sangant lambat, dengan respon maksimal
didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi
pada sekitar 50% kasus, kecuali penggunaannya juga
dikombinasikan dengan obat imunomodulasi yang lain.

Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan


interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap aktivasi sel T-
helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi. Dosis awal
pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam
dua atau tiga dosis. Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Cyclosporine dapat menimbulkan efek
samping berupa nefrotoksisitas dan hipertensi.

Thymectomy (Surgical Care)

Thymectomy telah digunakan untuk mengobati pasien dengan


miastenia gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan thymoma
denga atau tanpa miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Telah
banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus
dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus
dianggap sebagai penyebab yang mungkin bertanggungjawab

47
terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan
bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada
miastenia gravis.

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah


tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi
dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah
kesembuhan yang permanen dari pasien.

Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan bahwa


thymektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia
gravis, walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan
masih tidak dapat dibuktikan oleh standar yang seksama. Secara
umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu
satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan
remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).
Beberapa ahli percaya besarnya angka remisi setelah pembedahan
adalah antara 20-40% tergantung dari jenis thymektomi yang
dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi yang tergantung dari
semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-60% lima
hingga sepuluh tahu setelah pembedahan.

4. LESI PADA SARAF TEPI


NEUROPATHY PERIFER
Definisi
Neuropati perifer adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan
gangguan saraf (-saraf) perifer akibat berbagai penyebab. Polineuropati
sering berkaitan dengan penyakit sistemik, misalnya diabetes dan obat,
toksin lingkungan, dan beragam penyakit genetik. Mononeuropati
mengisyaratkan keterlibatan fokal satu berkas saraf dan menandakan
11,12
penyebab lokal seperti trauma, penekanan, atau penjepitan.

Etiologi

48
Ada beberapa penyebab neuropati perifer. Antaranya cedera mendadak,
tekanan berkepanjangan pada saraf, dan destruksi saraf akibat penyakit
atau keracunan. Penyebab tersering neuropati perifer adalah diabetes
mellitus, defisiensi vitamin, alkoholisme yang bersamaan dengan gizi
buruk, dan kelainan bawaan. Tekanan pada saraf dapat akibat tumor,
pertumbuhan tulang abnormal, penggunaan kast atau kruk, atau postur
paksa karena kekakuan untuk jangka yang lama. Artritis rematoid, vibrasi
berlebihan dari peralatan berat, perdarahan pada saraf, herniasi diskus,
terpapar dingin atau radiasi, dan berbagai jenis kanser juga dapat
menekan saraf. Neuropati perifer yang umum, parestetika meralgia, khas
dengan sensasi terbakar, baal, dan sensitifitas bagian depan paha.
Mikroorganisme dapat menyerang saraf secara langsung dengan akibat
kerusakan saraf tepi. Penyebab lain adalah bahan toksik, termasuk logam
berat (timbal, air raksa, arsen), karbon monoksida, dan pelarut.
Penyebab utama Neuropati Perifer12
Autoimmunitas (poliradikuloneuropati demielinatif inflamatori).
Vaskulitis (kelainan jaringan ikat).
Kelainan sistemik (diabetes, uremia, sarkoidosis, myxedema, akromegali).
Kanser (neuropati paraneoplastik).
Infeksi (leprosi, kelainan Lyme, AIDS, herpes zoster).
Disproteinemia (mieloma, krioglobulinemia)
Defisiensi nutrisional serta alkoholisme.
Kompresi dan trauma.
Bahan industri toksik serta obat-obatan.
Neuropati keturunan.

Klasifikasi
Neuropati perifer dapat diklasifikasikan mengikut jumlah saraf yang
terkena atau jenis sel saraf yang terkena (motorik, sensorik, otonom), atau
proses yang memberi afek pada saraf (peradangan misalnya dalam
neuritis).13
Mononeuropati

49
Mononeuropati adalah jenis neuropati yang hanya mempengaruhi saraf
tunggal. Penyebab paling umum mononeuropati adalah melalui kompresi
fisikal pada saraf yang dikenal sebagai neuropati kompresi. Salah satu
contoh dari neuropati kompresi adalahCarpal tunnel syndrome. Cedera
langsung ke saraf, gangguan suplai darah (iskemia), atau peradangan juga
dapat menyebabkan mononeuropati.13
Multipleks Mononeuritis
Multipleks mononeuritis adalah keterlibatan simultan atau berurutan
individu batang saraf tidak infektif, baik sebagian atau seluruhnya,
berkembang dari harian ke bertahun dan biasanya menyajikan dengan
kehilangan akut atau subakut dari sensori dan fungsi motorik saraf tepi
individu. Pola keterlibatan adalah asimetris, walaubagaimanapun, apabila
penyakit ini berkembang, defisit menjadi lebih terimpit dan simetris,
sehingga sulit untuk membedakan dari polineuropati. Multipleks
mononeuritis juga dapat menyebabkan rasa sakit yang dicirikan sebagai
nyeri yang sangat dalam dan memburuk pada malam hari dan seringnya
pada punggung bawah, pinggul atau kaki. Pada pasien dengan diabetes
mellitus, multipleks mononeuritis biasanya ditemui sebagai akut, nyeri
unilateral, nyeri paha parah diikuti oleh kelemahan otot anterior dan
kehilangan refleks lutut.1,6,7

Polineuropati
Dalam polineuropati, sel-sel saraf di berbagai bagian tubuh yang terafek,
tanpa memperhatikan saraf mana yang dilalui. Tidak semua sel saraf yang
terkena dalam kasus tertentu.Dalam aksonopati distal, satu pola umum,
badan sel neuron tetap utuh, tapi akson yang terpengaruh secara
proporsional panjangnya. Neuropati diabetes adalah penyebab paling
umum dari pola ini. Dalam polineuropati demielinasi, selubung mielin
sekitar akson rusak, yang mempengaruhi kemampuan akson untuk
mengkonduksi impuls listrik. Pola ketiga dan yang paling tidak biasa terjadi
mempengaruhi sel tubuh dari neuron secara langsung. Efek dari ini
menyebabkan gejala di lebih dari satu bagian tubuh, sering secara
simetris. Adapun neuropati apapun, gejala utama termasuk kelemahan

50
atau kejanggalan gerakan (motor), sensasi yang tidak biasa atau tidak
menyenangkan seperti kesemutan atau terbakar, pengurangan
kemampuan untuk merasakan tekstur, suhu, dan gangguan
keseimbangan ketika berdiri atau berjalan (sensorik ). Pada kebanyakan
polineuropati, gejala-gejala ini dirasakan dahulu dan paling parah pada
kaki. Gejala otonom juga dapat terjadi, seperti pusing ketika berdiri,
disfungsi ereksi dan kesulitan mengendalikan buang air kecil.12,13

Neuropati Otonom
Neuropati otonom merupakan bentuk polineuropati yang mempengaruhi
sistem involunter, sistem saraf non-sensorik (sistem saraf otonom) yang
mempengaruhi sebagian besar organ internal seperti otot-otot kandung
kemih, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan organ kelamin.
Saraf-saraf ini tidak berada di bawah kendali kesadaran seseorang dan
berfungsi secara otomatis. Serabut saraf otonom membentuk koleksi
besar di toraks, abdomen dan panggul di luar medula spinalis, namun
mereka memiliki hubungan baik dengan medula spinalis dan
otak. Umumnya neuropati otonom terlihat pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe 1 dan 2 dalam jangka panjang. 13
Neuritis
Gejala tergantung pada saraf yang terlibat, tetapi mungkin termasuk rasa
sakit, paresthesia, paresis, hypoesthesia (mati rasa), anestesi, lumpuh,
dan hilangnya refleks. 13
Jenis-jenis neuritis meliputi:
Polineuritis atau Neuritis Multiple
Neuritis Brakial
Neuritis Optik
Neuritis Vestinular
Neuritis Kranial, sering mewakili sebagai Bells Palsy

Gejala Klinis
Gejala klinis bagi pasien-pasien dengan disfungsi nervus perifer adalah
masalah pada fungsi normal saraf perifer tersebut. Seperti pada fungsi

51
sensorik, biasanya terdapat gejala kehilangan fungsi ( simtom negatif),
yang disertai dengan kekebasan, tremor dan abnormalitas cara
berjalan.11,13
Gejala pertambahan fungsi (simtom positif) termasuk kesemutan, nyeri,
gatal dan merangkak. Nyeri dapat menjadi cukup kuat sehingga perlu
penggunaan opioid (narkotika) obat (misalnya, morfin, oksikodon). Kulit
dapat menjadi begitu hipersensitif sehingga pasien dilarang menyentuh
apa pun bagian-bagian dari tubuh mereka, terutama kaki. Orang dengan
tingkat sensitivitas ini tidak dapat memakai kaus kaki atau sepatu, dan
akhirnya menjadi tidak dapat keluar dari rumah.11,13
Gejala motorik termasuk kehilangan fungsi (negatif) gejala kelemahan,
kelelahan, terasa berat, dan kelainan gaya berjalan, dan mendapatkan
fungsi (positif) gejala kram, tremor, dan muscle twitch.11,13
Dari pemeriksaan fisik, pasien dengan neuropati perifer umum biasanya
kehilangan sensori distal atau motorik dan kehilangan sensori, meskipun
mereka yang memiliki patologi (masalah) pada saraf tepi dapat normal;
mungkin menunjukkan kelemahan proksimal, seperti pada neuropati
inflamasi seperti Guillain- Barre syndrome, atau mungkin menunjukkan
11,13
gangguan fokal sensorik atau kelemahan, seperti di mononeuropati.

52
13
A. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk menangani penyebab neuropati tersebut.


Sekiranya penyebab dapat diatasi, neuropati akan sembuh dengan sendiri.
Satu lagi tujuan pengobatan adalah untuk melegakan dan mengurangkan
rasa sakit yang disebabkan oleh neuropati perifer.
Anti nyeri : Simptom yang ringan dapat diatasi dengan obat anti nyeri.
Untuk simptom yang berat, obat yang lebih kuat dapat digunakan. Tapi
obat yang mengandung opioid seperti kodein, dapat menyebabkan
ketergantungan, efek sedatif atau konstipasi. Jadi obat ini hanya
digunakan apabila kesemua obat lain tidak berkesan.
Obat anti kejang : Obat seperti gabapentin (Neurontin), topiramate
(Topamax), pregabilin (Lyrica), carbamazepine (Tegretol) dan fenitoin
(Dilantin) pada asalnya indikasinya adalah untuk epilepsi. Tetapi dapat
juga digunakan untuk nyeri saraf. Efek samping antaranya adalah mual
dan pusing.
Patch Lidokain : Mengandung anestesi topikal. Dipakai pada area di mana
terasa sangat nyeri dan penggunaan boleh sehingga empat patch dalam

53
sehari. Efek sampingnya kurang tetapi dapat terjadi rash pada tempat
pemakaian.
Antidepressan : Antidepressan trisiklik seperti amitriptyline dan
nortriptyline pada asalnya digunakan untuk merawat depresi. Obat ini juga
dapat digunakan untuk mengurangkan rasa nyeri saraf dengan cara
mengganggu proses biokimia pada otak dan saraf tunjang .Inhibitor
reuptake Serotonin dan norepinefrin duloxetine juga terbukti efektif untuk
neuropati perifer disebabkan diabetis. Efek samping antaranya termasuk
mual, pusing, hilang nafsu makan dan konstipasi.13
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : Pada prosedur ini,
elektrod yang boleh melekat diletakkan pada kulit dan arus elektrik yang
kecil disalurkan pada frekuensi yang pelbagai. Terapi ini harus sering
dilakukan dan terbukti dapat meringankan gejala neuropati.13

5. LESI PADA OTOT

MYOPATHIES

A. Definisi

Myopati adalah sekumpulan penyakit otot dimana fiber otot

tidak dapat berfungsi yang disebabkan oleh berbagai faktor yang

menyebabkan kelemahan otot. Kram otot, kekakuan dan spasme

juga dapat dikaitkan dengan miopati.

B. Kelas

Miopati terbagi kepada dua yaitu herediter dan didapat.

1. Herediter

Distrofi otot

Distrofi otot adalah istilah yang digunakan untuk


menggambarkan sekelompok kelainan bawaan yang
menyebabkan kelemahan otot yang progresif.

54
Duchenne muscular dystrophy (DMD)

Paling umum ditemukan. Mulai sebelum umur 5


tahun dan dapat ditemukan sporadic atau mengenai
beberapa anggota keluarga. Prevalensi lelaki lebih dari
wanita yang sering terkena.
Onset gejalanya beransur-ansur. Pada mulanya
normal kemudian mulai jalan kaku, mudah jatuh dan
sukar bangkit bila tidak dibantu.
Terjadi waddling gait (berjalan seperti onta atau
bebek). Kelemahan otot-otot ekstensor dari tulang
punggung dan lutut menyebabkan penderita bangkit
secara khas dari lantai, yaitu penderita tengkurap
dahulu, lalu menaruh badannya keposisi merangkak.
Kaki kemudian diletakkan dengan kuat dilantai dengan
bantuan lengannya dan berangsur-angsur mengangkat
bagian atas dari badannya dengan memanjat
tungkainya sendiri dengan bantuan tangannya
(climbing up his own leg) ini disebut Gower Sign.

55
Becker muscular dystrophy (BMD)

Relatif benigne, diwariskan secara sex-linked


resesif trait. Gejala-gejalanya sama dengan yang
ditemukan pada tipe Duchene, hanya progresifitas dari
penyakit ini lebih lambat. Penyakit ini mulai sesudah
umur 5 tahun, dan penderita masih dapat berjalan pada
umur 10 tahun, adakalanya sampai umur 25 tahun atau
lebih. Kelemahan terjadi terutama pada otot-otot
pergelangan panggul, lalu otot-otot kelompok pectoralis
dan jarang gangguan jantung.
Distal muscular dystrophy (DD):

Relatif jarang dan benigne ini diwariskan secara


autosomal dominant, walaupun didapat banyak kasus
yang sporadic. Bentuk ini mulai pada umur dewasa pada

56
mana terjadi atropi progresif yang kronis dari otot-otot
distal dari keempat ekstremitas. Otot-otot proksimal dan
muka mula-mula tidak diserang, akan tetapi dapat pada
stadium lanjut.
Distrofi Otot Juvenil

Bentuk ini relatif benigne walaupun dapat


ditemukan bentuk yang lebih berat. Pria lebih dari
wanita.
Pada facioscapulohumeral type dari Landouzzy
dan Dejerine yang diwariskan secara autosomal
dominant, atropi mula-mula mengenai otot-otot muka,
pergelangan bahu dan lengan.
Akan tetapi pada beberapa varian, otot-otot muka
hanya sedikit diserang dan dinamakan Juvenile
muscular dystrophy atau limb girdle type of muscular
dystrophy dari Erb yang diwariskan secara autosomal
recessive,mula-mula menyerang pergelangan panggul
atau bahu.
Pada kedua varian ini kelemahan dan atropi otot-
otot pergelangan panggul adalah sama, akan tetapi
biasanya kurang berat. Pseudohipertrophy jarang dilihat
pada kelompok ini.
Oculopharyngeal muscular dystrophy (OPMD)
Mempengaruhi orang dewasa gejala ptosis ringan
dan disfagia. Otot-otot ekstra ocular dan kadang-kadang
otot-otot muka dan ekstermitas bagian proksimal dapat
diserang.

2. Didapat

Dermatomyositis adalah keadaan di mana terjadi nyeri otot


dan rash pada kulit. Kesannya dapat terjadi inflamasi kronis pada
otot dan kulit, yang menyebabkan nyeri, lemah, atrofi otot dan
disfungsi otot. Rash yang berwarna ungu atau gelap dapat timbul

57
di kulit biasanya di area kelopak mata dan di area di mana
terdapat otot dan sendi seperti siku, lutut, buku lima dan
pergelangan kaki.
Punca sebenar dermatomyositis tidak jelas. Diperkirakan
berkaitan dengan genetik atau infeksi sebelumnya. Penyakit ini
juga hampir sama dengan penyakit autoimun kerana sistem
pertahanan tubuh menyerang otot dan kulit.
Simptom dermatomyositis biasanya berkembang dengan
perlahan, berminggu minggu hingga beberapa bulan. Sekali
menderita penyakit ini, pasien akan mengalami episode remisi
yang disertai dengan simptom yang sangat menonjol.
Simptom yang paling biasa dan sering adalah rash pada kulit
yang berwarna merah kegelapan atau ungu yang timbul di area
kulit otot yang berkaitan dengan pergerakan sendi. Simptom
pada otot berlaku apabila pembuluh darah pada fiber otot
mengalami inflamasi, mengakibatkan kerusakan otot sehingga
terjadi kelemahan otot, atrofi, dan nyeri. Simptom
dermatomyositis dapat dirawat sehingga pulih sepenuhnya.
Rawatan yang selalu dilakukan adalah pemakaian
immunosupresan seperti kortikosteroid, yang akan menekan
sistem pertahanan tubuh dan mengurangkan rasa nyeri.
Gejala-gejala dermatomyosis dapat menjadi berat sekiranya
terdapat gejala seperti berikut :
Ruam kulit ungu atau merah gelap

Kesulitan menelan (disfagia)

Kelelahan

Demam

Nyeri otot

Kelemahan otot

Meluasnya kelemahan otot

58
Berikut merupakan antara gejala yang dapat mengancam
nyawa yaitu :
Nyeri dada atau tekanan

Kesulitan bernapas atau napas cepat

Ketidakmampuan untuk buang air kecil

Kelemahan otot yang sangat besar

Nyeri otot yang parah

C. Penyebab

Miopati idiopatik diperkirakan akibat kekebalan yang


diperantarai fenomena termasuk sarkoidosis dengan miopati,
polymyositis , dan dermatomiositis . Beberapa miopati idiopatik
yang berhubungan dengan penyakit jaringan ikat, misalnya, lupus
eritematosus sistemik (SLE), rheumatoid arthritis (RA), dan
poliarteritis nodosa .
Penyebab infeksi meliputi:
Trichinosis

Sistiserkosis (Taenia solium)

59
Toksoplasmosis

Human immunodeficiency virus (HIV)

Coxsackie virus A dan B

Influensa

Penyakit Lyme

Staphylococcus aureus infeksi otot (sering menyebabkan


pyomyositis)

Endokrin penyebab miopati meliputi:


Addison penyakit, terutama ketika cairan dan elektrolit
masalah hadir

Penyakit Cushing

Hipotiroidisme (CK mungkin agak tinggi)

Hipertiroidisme (CK bisa normal)

Hiperparatiroidisme

Menyebabkan drug-induced atau beracun dari miopati termasuk


penggunaan sebagai berikut:
Steroid (terutama dengan dosis tinggi berkepanjangan, dosis
terbagi atas 25 mg / d, penggunaan steroid fluorinated)

AZT

Lovastatin dan statin lainnya

Kokain

Kolkisin

60
Amiodarone dan lain-lain yang menghambat CYP3A4 bila
dikombinasikan dengan simvastatin

D. Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk penyakit miopati.


Terapi hanya berdasarkan simptomatik.

Diagnosa Banding
1. Syringomyelia. Biasanya ditemukan otot-otot ektremitas superior dan
otot-otot bulbar yang mengecil. Siringomielia ditandai dengan
pembentukan satu atau beberapa rongga berisi-cairan di medula
spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia.
Rongga ini, disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme
yang berbeda dan terdisitribusi dengan pola karakteristik yang
berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya.Siringomielia
paling sering mengenai medula spinalis servikalis, umumnya
menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan
ekstremitas atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak
traktus medula spinalis yang panjang, menyebabkan (para) paresis
spastik, dan gangguan pada proses berkemih, defekasi, dan fungsi
seksual.
2. Spondilitis servikalis. Bisa dijumpai kombinasi lesi UMN dan LMN
pada otot-otot ekstremitas superior. Biasanya disertai gangguan
sensoris.
3. Neuropati motorik. Dijumpai gangguan konduksi saraf motorik
dengan penurunan refleks tendon dan sedikit gangguan sensoris.
4. Miopati hipertiroidi. Dapat berupa kelumpuhan otot-otot dengan
keterlibatan bulbar. Bisa dijumpai fasikulasi tetapi tidak ada tanda-
tanda gangguan traktus kortikospinalis dan biasanya dijumpai tanda
klinis hipertiroidi.

61
5. Spinal muscular atrophy. Berbeda dengan MND karena tidak ada
keterlibatan traktus kortikospinalis, biasanya berjalan lambat dan ada
riwayat penyakit ini dalam keluarga.
6. Multiple entrapment neuropathies. Biasanya disertai gangguan
sensibilitas, nyeri dan Tinel's sign yang positif.
7. Multiple sclerosis. Biasanya disertai neuritis optika, diplopia dan
gangguan otot-otot ekstraokular serta adanya tanda-tanda keterlibatan
serebellar.
8. Penyakit vaskular multifokal. Keadaan ini dapat menyebabkan
pseudobulbar palsy dengan tetraparese spastik tanpa gangguan
sensoris. Tetapi biasanya disertai riwayat stroke berulang dan sering
pula disertai dengan gangguan pada gerakan bola mata.
9. Sindroma post poliomielitis. Adanya kelumpuhan baru dari otot-otot
disertai atrofi yang terjadi pada otot-otot yang sebelumnya telah atau
belum terlibat pada fase akut infeksi poliomielitis. Biasanya baru timbul
paling sedikit 15 tabun setelah infeksi poliomielitis akut. Berbeda dari
MND dalam hal kecepatan berkembang penyakitnya, kelumpuhan
bulbar dan tidak adanya tanda-tanda keterlibatan traktus kortikospinal.

Penatalaksanaan
MND adalah penyakit yang menakutkan karena penyakitnya terus
berlanjut sedangkan terapinya belum ada yang efektif disertai adanya
beberapa gejala klinis yang progresif. Belum ada terapi yang spesifik

untuk penyakit MND, yang ada baru berupa terapi suportif 1,6.

Penatalaksanaan penderita MND membutuhkan pendekatan multidisiplin


bervariasi menurut latar belakang sosial ekonomi, budaya dan keluarga.
Penyakit ini menyangkut problem erika, logistik dan edukasi.
Masalah etika terlibat pada saat pengambilan keputusan untuk
memberikan alat bantu penafasan buatan, pemberian makan dengan cara
artifisial dan penggunaan obat-obat golongan narkotik pada tahap akhir
penyakit ini. Masalah logistik dan edukasi timbul dari jarangnya penyakit

62
ini dijumpai dan kenyataan bahwa banyak dokter maupun perawat yang
kurang berpengalaman menangani paralise bulbar dan paralise
pernafasan kronik yang progresif.
Tujuan terapi adalah mempertahankan penderita dapat berfungsi
dengan baik selama mungkin, membantu stabilitas emosi dan menangani
masalah fisik bila sudah timbul.Obat-obat seperti baclofen, diazepam,
tizanidine dan dantrolene dapat dipakai untuk mengatasi spastisitas yang
terjadi.
Bensimon dkk. melaporkan penggunaan riluzole, suatu zat anti
glutamat, dapat memperlambat perkembangan MND dengan bulbar onset
dan memperpanjang harapan hidup penderita selama 3 bulan . Riluzole
adalah suatu derivat benzothiazole yang menghambat pelepasan glutamat
dari ujung safar presinaptik ; menstabilkan 'sodium channels' pada
keadaan inaktif dan mengantagonis efek glutamat di postsinaptik melalui

mekanisme yang belum diketahui dengan sempurna 1,9


Penelitian farmakologi klinik ditujukan pada pengembangan obat
yang dapat mempengaruhi fungsi motorik melalui aksi langsung pada
UMN dan LMN, atau secara tidak langsung melalui sirkuit saraf atau
jaringan penyokongnya. Penggunaan TRH dan analog TRH, recombinant
insulin-like growth factorIGF-I) , faktor neurotropik seperti brain -derived
neurotrophic factor (BNDF) dan ciliary neurotrophic factor (CNTF) , bloker
reseptor glutamat seperti dextamorphan ,serta penghambat superoxydase

dysmutase masih dalam penelitian 6.9,12


Dalam praktek sehari-hari beberapa gejala yang sangat
mengganggu sering ditemukan seperti disfagia, tersedak, liur menetes
clan disartria .Untuk mengatasi liur menetes penderita dianjurkan menjaga
posisi kepalanya sedikit ekstensi, latihan menutup mulut , mengurangi
makanan yang mengandung susu atau mengulum potongan es. Kalau
perlu dapat diberi atropin peroral, amitriptilin atau piridostigmin.
Untuk mengatasi disfagia, penderita dilatih mencari makanan
dengan ujung lidah, meregang lidah, menggigit dengan kuat dan menutup
mulut. Makanan yang lunak tetapi padat lebih baik daripada makanan cair.
Karena penderita sulit menelan cairan, makanan yang dikonsumsinya
63
harus banyak mengandung air. Mengulum potongan es kadang-kadang
dapat membantu penderita agar dapat menelan dengan
lebih baik. Neostigmin atau piridostigmin dapat diberikan bila perlu
.Pemasangan NGT dilakukan bila : (1). Dehidrasi berat ; (2). Sering
tersedak ; (3). Pneumonia
aspirasi ; (4). Sangat sulit menelan clan (5) Berat badan menurun terus .
Agar tidak sering tersedak dianjurkan agar makan perlahan-lahan, setelah
mengunyah tunggu sebentar sebelum menelan makanan, tetap dalam
posisi duduk 30 menit setelah makan dan frekuensi makan ditambah

tetapi dengan porsi kecil.


Fisioterapi terutama ditujukan untuk melatih sisa-sisa serabut otot
yang reinervasi yang masih dapat dilatih dan untuk otot yang mengalami

disuse atrophy pada penderita yang cacat atau inaktif 6 .Pergerakan sendi
perlu untuk menghindari kekakuan sendi dan nyeri. Fisioterapi juga
diperlukan karena dapat membantu mengatasi kekecewaan penderita.
Penanganan psikososial ditujukan untuk membantu stabilitas emosi
penderita dan keluarganya begitu mengetahui MND adalah penyakit yang
belum dapat diobati. Penderita harus memperoleh penjelasan bahwa ia
masih dapat hidup normal dengan penyakitnya tersebut dan dapat
mengatasi problem yang muncul.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

64
Gangguan pada Lower Motor Neuron (LMN) merupakan gangguan
yang terjadi pada jaras LMN yaitu mulai dari keluarnya saraf melalui cornu
anterior medulla spinalis hinggalah ke otot-otot. Lesi pada LMN memiliki
ciri antara lain: penurunan tonus otot, penurunan kekuatan, refleks
fisiologis berkurang atau (-), refleks patologis (-). Dapat dijumpai atrofi otot
rangka yang dipersarafi oleh LMN yang bersangkutan, fasikulasi (gerakan
involunter) dan paralisis. Penyebab lesi pada LMN bermacam-macam dan
dapat dikelompokkan berdasarkan letak lesinya.
Gangguan pada LMN dapat dikelaskan kepada beberapa bagian
berdasarkan letak lesi tersebut. Jika lesi tersebut terdapat pada cornu
anterior maka gangguan yang terdapat adalah poliomyelitis, manakala
sekiranya lesi terletak pada radix medulla spinalis adalah terjadinya
Guillian Barre syndrome dan hernia nucleus pulposus. Namun seringnya
Guillian Barre syndrome terjadi kerusakkan pada serabut myelin tersebut.
Jika lesi tersebut pada neuromuscular junction akan menyebabkan
penyakit myasthenia gravis.
Sekiranya terdapat lesi pada saraf tepi maka terjadinya neuropati
yang dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab. Sekiranya lesi terletak
pada otot gangguan yang terjadi pada otot adalah miopati. Miopati dapat
disebabkan oleh keturunan (bawaan) yang terdapat berbagai jenis
kelainan distrofi otot ataupun didapat dari infeksi atau lain-lain.
Namun begitu, penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut adalah
berdasarkan penyebabnya tersebut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk
gangguan pada LMN.

Daftar Pustaka

65
1. Snell R. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 5th ed.
Jakarta: EGC; 2005.
2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1998.
3. Goldenberg W, Sinert H. Myasthenia Gravis. [Online]. 2010 May 21
[cited 2010 Dec 12]; Diunduh dari,
URL: http://emedicine.medscape.com/article/793136-overview

Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6 th ed. New


York: Mc-Graw Hill Co ; 1997. p.1089-1094.
4. Martin JE, Swash M. The Pathology of Motor Neuron Disease. In :
Leigh PN , Swash M. editors. Motor Neuron Disease Biology and
Management. London: Springer-Verlag ;1995.p.163-188.
5. Swash M, Schwartz MS. Motor Neuron Disease: The Clinical
Syndrome. In : Leigh PN., Swash M.editors. Motor Neuron Disease
Biology and Management. London: Springer-Verlag ; 1995.p.1-17.

6. Greenhall R. Motor Neurone Disease: A description. In: Cochrane GM


editor. The Management of Motor Neurone Disease. Edinburgh:
Churchill Livingstone ;1987.p.1-13.

7. Chou SM. Pathology of Motor System Disorder. In : Leigh PN , Swash


M.editors. Motor Neuron Disease Biology and Management. London:
Springer-Verlag ; 1995.p.53-92.

8. Handisurya I, Utarna Y. Gambaran Klinis Motor Neuron Disease.


Neurona. 1995; 12 : 21-26.

9. Martin JE, Swash M. The Pathology Of Motor Neuron Disease. In :


Leigh PN

10. Mc Donald CM: Neuromuscular Diseases.Pediatric


Rehabilitation (3rd Edition). Edited by: Molnar EG. Philadelphia. 1999.

11. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga


University Press. Page: 301-305. 1991

66

Anda mungkin juga menyukai