REFERAT Aime
REFERAT Aime
Disusun Oleh :
Aimi Nadiah bt Abd Latif
11-2010-199
Dokter Pembimbing :
Dr. Hardhi Pranata Sp.S
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan referat ini dengan judul Penyakit LMN. Referat ini disusun
sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta memenuhi persyaratan
dalam penilaian di Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit
Bhakti Yudha, Depok.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi yang
bermanfaat bagi para mahasiswa fakultas kedokteran, dokter, dan
masyarakat Indonesia. Serta semoga dapat menambah pengetahuan
dalam bidang kedokteran dan dapat menjadi bekal dalam profesi kami
kelak.
Kami menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak
kekurangan baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya.
Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari semua pihak yang membaca referat ini. Atas perhatian
yang diberikan kami ucapkan terima kasih.
November
2011
Penulis
2
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN 4
Gambaran Klinis 9
12
Diagnosa Banding 53
Penatalaksanaan 54
Kesimpulan 57
Daftar Pustaka
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
Lesi pada neuron motorik pertama di otak dan medulla spinalis
biasanya menimbulkan paresis spastic, sedangkan lesi neuron motorik
orde kedua di kornu anterius, radiks anterior, saraf perifer, atau motor end
plate biasanya menyebabkan paresis falsid. Deficit motorik akibat lesi
pada system saraf jarang terlihat sendiri-sendiri; biasanya disertai oleh
berbagai defisit sensorik , otonomik, kognitif, dan/atau defisit
neuropsikologis dalam berbagai bentuk, tergantung pada lokasi dan sifat
lesi penyebabnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
2.Sistem saraf perifer (tepi) terdiri atas:
A. Divisi Aferen, membawa informasi ke SSP (memberitahu SSP mengenai
lingkungan eksternal dan aktivitas-aktivitas internal yg diatur oleh SSP
B. Divisi Eferen, informasi dari SSP disalurkan melalui divisi eferen ke
organ efektor (otot atau kelenjar yg melaksanakan perintah untuk
menimbulkan efek yg diinginkan), terbagi atas:
-Sistem saraf somatik, yg terdiri dari serat-serat neuron motorik yg
mempersarafi otot-otot rangka
-Sistem saraf otonom, yg mempersarafi otot polos, otot jantung dan
kelenjar, terbagi atas :
1. Sistem saraf simpatis
2. Sistem saraf Parasimpatis
6
atau hemisphere dominan dan ablasio akan menimbulkan paralisis fungsi
bicara. Area bicara Broca membentuk kata-kata melalui hubungannya
dengan area motorik primer yang ada di dekatnya; otot-otot laring, mulut,
lidah, palatum molle, dan otot-otot pernapasan distimulasi sesuai
kebutuhan. Cerebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan.
7
terdapat pada motoris area dan sensoris area pada korteks serebri. Semua
neuron pada korteks serebri merupakan inter neuron.
Setiap hemisfer terdapat fungsi motoris dan sensoris yang berlawanan
pada sisi tubuh (kontralateral).
Sekalipun sebagian besar struktur pada 2 hemisfer kanan dan kiri simetris,
tetapi tidak ada fungsi yang sama. Masing masing memiliki spesialisasi
fungsi kortikal.
Yang sangat penting yang harus kita ingat tidak ada fungsi area pada
korteks serebri yang bekerja sendirian.
AREA MOTORIS
Motoris area pada korteks serebri, dengan gerakan volunter yang
terkontrol yang terdapat pada lobus frontalis terdiri dari motor korteks
primer, premotor korteks, area broca, frontal eye field.
AREA SENSORIS
Terdapat pada korteks serebri yaitu pada lobus parietal, insular,
temporal,dan occipital. Terdiri dari korteks primer somatosensoris, korteks
asosiasi somatosensoris, area visual, area auditory, korteks olfaktori,
korteks gustatory, area sensori visual, korteks vestibuler.
8
menyebabkan lower motor neurone yang lebih rendah yang terhubung
untuk menjadi aktif dan, pada gilirannya, mengirim sinyal ke bawah yang
akson. Ini kemudian menyebabkan pembebasan neurotransmiter berbeda,
yang dirilis ke jaringan otot, menyebabkan otot berkontraksi. Reaksi
berantai ini membolehkan manusia ada mampu bergerak.
3. Neuromuskuler junction
9
Gambar 4 : Perjalanan UMN dan LMN
Gambaran Klinis
dan S3 relatif resisten terhadap denervasi yang terjadi pada MND 3,7
frontalis1,3
(MND) adalah diagnosa klinis 3,4 Karena belum ada pemeriksaan khusus
untuk MND, maka diagnosa pasti baru dapat diketahui pada otopsi post-
mortem dengan memeriksa otak ,medulla spinalis dan otot penderita.
Gejala utama yang menyokong diagnosa adalah adanya tanda-tanda
gangguan UMN dan LMN pada daerah distribusi saraf spinal tanpa
gangguan sensoris dan biasanya dijumpai fasikulasi spontan. Gambaran
khasnya berupa kombinasi tanda-tanda UMN dan LMN pada ekstremitas
11
elektrofisiologis, radiologis, biokimiawi, imunologi dan histopatologi
mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyakit lainnya.
Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat
dalam batas normal 3,14 .Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa MND. Protein cairan serebrospinal sering dijumpai
normal atau sedikit meninggi 1,3,6,9 .Kadar plasma kreatinin kinase (CK)
meninggi sampai 2-3 kali nilai normalnya pada sebagian penderita 3,4,6,
tetapi penulis lain menyatakan kadarnya normal atau hanya sedikit
meninggi 1,9. Enzim otot carbonic anhydrase III (CA III) merupakan
12
1. ALS:
tanda UMN dan LMN pada regio bulbar dan minimal 2 regio
spinal, atau
tanda UMN dan LMN pada 3 regio spinal.
2. Kemungkinan besar ALS (probable ALS) :
tanda UMN dan LMN pada minimal 2 regio (beberapa tanda
UMN harus restoral terhadap tanda LMN)
3. Kemungkinan ALS (possible ALS) :
tanda UMN dan LMN hanya pada 1 regio atau
hanya tanda UMN pada minimal 2 regio atau
tanda LMN rostral terhadap tanda UMN.
4. Curiga ALS (suspected ALS) :
tanda LMN pada minimal 2 regio.
3. Pemeriksaan penunjang :
a. laboratorium: kadar protein dalam CSS normal atau sedikit
meninggi.
b. Enzim CPK meningkat (pada 70% kasus).
c. EMG: terdapat adanya potensial denervasi dan otot-otot yang
dipersarafi oleh dua atau lebih akar safar pada setiap tiga daerah
atau lebih (ekstremitas, badan, kranium). Biasanya terdapat
potensial sinkron, kadang-kadang terdapat giant potential.
13
d. Kecepatan Hantaran Saraf (: normal
e. Biopsi otot : terdapat gambaran histologis yang sesuai dengan
atrofi neurogen.
f. Biopsi saraf: tidak terdapat kelainan pada saraf
A. Definisi
C. Patogenesis
15
menyerang sel dan daerah tertentu susunan saraf.Tidak semua neuron
yang terkena mengalami kerusakan yang sama . Daerah yang biasa
terkena poliomielitis :4
a. Medula spinalis terutama kornu anterior
b. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial
serta formasio retikularis yang mengandung pusat vital
c. Serebelum terutama inti-inti pada vermis
d. Midbrain terutama masa kelabu ,substansia nigra dan kadang-
kadang nucleus rubra.
e. Talamus dan hipotalamus
f. Palidum
g. Korteks serebri hanya daerah motorik
E. Manifestasi Klinik
16
Gambar 5 : Gambaran Klinis Poliomielitis
susunan saraf.
a.Bentuk spinal
Gejala berupa paralisis otot leher
,abdomen,tubuh,diafgrama,thoraks,dan terbanyak ekstermitas
bawah.Tersering otot besar pada tungkai bawah otot quadrisep
femoris,pada lengan otot deltoideus.Sifat paralisis
asimetris.Refleks tendon berkurang atau menghilang. serta tidak
terdapat gangguan sensibilitas.
Diagnosa banding:
Pseudoparalisis yang non-neurogen : tidak ada kuduk kaku,
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma,demam reumetik
akut,osteomielitis.
18
Polineuritis: gejala parapelgi dengan gangguan
sensibilitas,dapat dengan paralisis palatum mole dan
gangguan otot bola mata.
Sindrom guillain barre ,bedanya :
- Sebelum paralisis pada 50% sindorm guillain barre terdapat
demam tinggi.
- Paralisis tidak akut seperti poliomielitis ,tetapi perlahan-
lahan.
- Topografi paralisis berbeda dimana terjadi kelumpuhan
bilateral simetris.
- Likuor serebrospinal pada stadium permulaan polimielitis
adalah pleiositosis sedangkan pada sindrom guillain barre
protein menigkat.
- Prognosis sindrom guilain barre sembuh tanpa gejala sisa
- Pada sindrom guillain barre terdapat gangguan sensorik.
b.Bentuk bulber
Gangguan motoirk satu atau saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi
c.Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk
bulbar
d.Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium,kesadaran yang menurun,tremor
dan kadang-kadang kejang.
G. Penatalaksanaan3,4
19
kadang reflek menelan terganggu dengan bahaya pneumonia
aspirasi.Untuk itu kepala anak diletakkan lebih rendah dan
dimiringkan ke salah satu sisi.
2) Sesudah fase akut
Kontraktur,atrofi dan antoni otot dikurangi dengan
fisioterapi.Tindakan ini dilakukan setelah 2 hari demam hilang.
Akupuntur dilakukan sedininya yaitu segera setelah diagnosis dibuat
akan memberi hasil yang memuaskan.
H. Prognosis
Guillain Barre Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan
difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh
autoimun, di mana proses imunologis tersebut langsung mengenai radiks
spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Saraf
yang diserang bukan hanya yang mempersarafi otot, tetapi bisa juga
indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau mati rasa.1, 2
20
penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari
sampai 2 minggu. Fase penyembuhan mungkin berakhir 4 6 bulan dan
mungkin bisa sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit
pada kebanyakan pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa
dapat menetap.
21
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan
campylobacter jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebih
berat. Hal ini dikarenakan strujtur biokimia dinding bakteri ini
mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik,
sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga
menyerang myelin.6,7
Pada dasarnya Guillain barre adalah self Limited atau bisa sembuh
dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi
kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita
memerlukan respirator untuk alat bantu nafasnya.6,7
A. Patofisiologi
22
B. Gejala
Timbulnya gejala klinik ini biasanya didahului dengan adanya infeksi
traktus rospiratorius bagian atas satu-dua minggu (OSLER, 1960) atau
diarrheae (MERRITT, 1973). HEWER, 1968 mendapatkan penyakit ini
sesudah sepsis intra abdominal dan tindakan pembedahan. Selain itu bisa
6
pula didahului sakit otot atau kaku kuduk.
-Motorik Kelumpuhan biasanya timbul sesudah tidak ada panas,
kelumpuhan ini sering mengenai tungkai bawah dan bilateral
symetris walaupun kadang-kadang bisa asymetris (DYCKPJ 1971, OSLER,
1966). Otot-otot lengan atau facial sering terkena. MARSHALL (1963)
MASUCCI (1971) pada kelumpuhan ini otot-otot proksimal dan distal dari
lengan dan tungkai juga bisa terkena bersama-sama, tetapi otot-otot ini
tak pernah atrofi (EIBEN, 1963) tetapi sebaliknya MASUCCI (1971) telah
mendapatkan 14 kasus dengan atrofi otot. Kelumpuhan ini bisa ascenden
(Landry's ascending paralysis), mengenai otot ekstrimitas. atas,muka, otot
pernafasan.
23
-Sensibilitas. Telah diketahui bahwa gangguan sensibilitas ini ringan
disertai paresthesia dan rasa sakit otot, walaupun bisa pula gangguan
sensibilitas ini berat. Gangguan sensibilitas ini pada bagian distal berupa
glove & stocking. Selain itu rasa vibrasi dan posisi juga bisa terganggu
-Gangguan vegetatif. Lima persen penderita mengalami retensio urine
atau incontinentia atau gangguan pada sphincter recti. Bila terjadi
gangguan pada vasomotor akan terjadi hipotensi orthostatic. Beberapa
pengarang juga mengatakan bisa terjadi hipertensi karena kontrole
terhadap vasomotor itu hilang (MARSCHALL, 1963).
-Cerebrospinal fluid (CSF) . GUILLAIN, BARRE, STROLL, 1916 pada
penyelidikannya mendapatkan adanya dissociasi cytoalbuminique
yaitu peninggian protein liqour tanpa peninggian sel. Mereka tidak
memasukan penderita dengan protein kurang dari 300 - 400 mg/100 ml.
Penyelidikan berikutnya masih bertentangan mengenai protein liqour ini.
Bahkan pada penderita ini bisa pula protein normal. SOFFER (1978) istilah
dissociasi cytoalbuminique tak bisa diterima lagi karena hal ini bisa pula
pada penyakit lain, seperti polyneuritis karena diabetes mellitus, dan lain-
lain. Protein liqaor pada umumnya meningkat sesuai dengan
progressivitas penyakit, atau normal pada minggu pertama dari penyakit
dan kemudian meningkat. Tak ada hubungannya antara naiknya protein
liquor dengan gejala klinis, biasanya protein naik malah pada stadium
penyembuhan.
24
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang
stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan
gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada
sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam
memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang
masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status
generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya
sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf
yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan
hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak
dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase
penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin
bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum
dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan. Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu
terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun
berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan
gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai
terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk
menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati
nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase
ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita
mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya
tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat
kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Kriteria Diagnostik
Untuk menentukan diagnose dari Acute Idiopathic Polyneuritis
telah ditentukan modifikasi kriteria dari OSLER, dan SIDELL (1960),
25
MASUCCI KURTZKER , (1971) dan SOFFER et al (1978) sebagai
berikut :6
Penyakit ini bukan disebabkan oleh penyakit-penyakit
penyebab polyneuropathy seperti diabetes mellitus, porphyria,
collagen disease, infectious mononucleosis, intoksikasi,
defisiensi, atau neoplasma.
Onset bisa akut atau subakut.
Kelumpuhan otot biasanya bilateral dan simetris dengan type
"lower motor neuron, dan Kelumpuhan yang bersifat
ascending yaitu mulai dari ekstrimitas bawah yang menjalar
ke ekstrimitas atas.
Gangguan sensibilitas dan motorik bisa terdapat bersamaan,
dapat pula hanya motorik saja tanpa gangguan sensibilitas.
Gangguan sensibilitas subjektif dan objektif tidak menonjol
bila dibandingkan dengan gangguan motorik.
Gangguan sensibilitas ini bisa berupa 'glove & stocking, "
tetapi tidak berbatas tegas (tidak segmental).
Refleks tendo bisa berkurang atau hilang sama sekali, begitu
pula refleks superfisial (SAR) atau refleks cremaster. Saraf otak
bisa terganggu bisa pula tidak.
CSF protein biasanya naik, tetapi bisa pula normal pada
minggu pertama, kemudian akan naik. Tetapi bisa pula protein
ini tetap normal untuk beberapa minggu atau bulan.
Pada kebanyakan penderita penyembuhan cepat, bisa pula
dengan gejala sisa atau paralyse otot pernafasan, bahkan bisa
pula disusul dengan kematian.
4. Pemeriksaan penunjang
26
Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam
CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm. 7,8
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG).
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi
saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok
konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda
keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta
berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS
kurang dari 60% normal.7,8
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula
dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah
onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal.
Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat
mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS,
akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan
periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.7,8
Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis
polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur,
limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada
fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap
darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah
salah satu gejala. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe
lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat
demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat
pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang
akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu
sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.7,8
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T
serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada
lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak
sering.7,8
27
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan
adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).7,8
Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang
relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler
serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan
demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan
degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena
pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik
intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,
saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit
dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati,
limpa, jantung, dan organ lainnya.7,8
Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan
motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut:
Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens,
meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula
penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula
akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit
sensorik ataupun arefleksia.7
Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil
masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F;
sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks
patologis Babinski.7
28
Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;
umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang
menempel pada kulit.7,8
5. Penatalaksanaan
30
dan men- down-regulate sitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon
gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan
mempromosikan terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4
g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5 hari) atau cara lain dengan
1 2
pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal.
dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu
diulang setelah 4 minggu, sehingga juga memerlukan beaya yang banyak.
Pemberian IVIg adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun
harganya mahal. IVIg berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada
6
fasilitas PE.
Kontraindikasi adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi
IgA dan antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada interaksi dengan obat ini dan
sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan. Sebaiknya diperiksa serum
IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula, bahwa pemberian IVIg
dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya
kejadian tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko
terjadinya serangan migren, dan bisa terjadi aseptik meningitis (10%),
urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-infus
sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal
tubuler pada manula, dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit
ginjal sebelumnya.6
Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti
dengan suatu substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan
agaknya juga bisa menyingkirkan otoantibodi dan imun kompleks dari
serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari serum .
Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada
Myasthenia Gravis
Myasthenia Gravis (MG) merupakan kelainan antibodi yang jarang terjadi,
di mana terbentuk antibodi IgG yang merusak reseptor ACh nikotinik pada
31
membran postsinaps di taut saraf otot (neuromuscular junction). Sehingga
terjadi hambatan pengikatan ACh pada reseptornya di NMJ,
mengakibatkan kelemahan otot, penurunan kekuatan dan proses recovery
dari kelelahan yang cukup lama. Gejala timbul jika 30% reseptor
mengalami kerusakan, diawali dengan kelemahan otot bulbar lalu
kelemahan generalisata. Antibodi ini tidak menyerang reseptor ACh di sel
otot polos dan otot jantung, karena perbedaan antigenisitas dengan
reseptor ACh postsinaps di otot rangka.
32
pada penggunaan antibiotik (makrolid, fluorokuinolon, aminoglikosida,
tetrasiklin, klorokuin), antidisritmia (beta bloker, ca-channel bloker,
kuinidin, lidokain) , difenilhidantoin, lithium, CPZ, relaksan otot, L-tiroksin,
ACTH, dan kortikosteroid.
- Ptosis
33
Myastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu
kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas 14,15.
Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan
pulih kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic
transmission atau pada neuromuscular junction14.
A. Epidemiologi
B. Patofisiologi
34
(anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang
menderita acquired myasthenia gravis generalisata14,15.
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik
terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum
sepenuhnya dapat dimengerti. Miastenia gravis dapat dikatakan
sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan
produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus
merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel
T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,
biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik15.
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan
dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara
langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa.
Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Ikatan
antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui
beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin
terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah
reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik,
sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk
insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis15.
35
C. Gejala Klinis
36
Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular
(ptosis).
Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin
memburuk. Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari
otot ocular, otot wajah, otot leher, hingga ke otot
ekstremitas14. Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan
dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk
ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari otot
faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah
kesukaran menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle
akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita
minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.14,15
D. Klasifikasi Myasthenia Gravis
37
c. Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau
keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan.
38
k. Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi
mekanik.
39
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat.
3 Uji Kinin
3 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
40
Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia
Gravis
R 0.79 24
I 2.17 55
IIA 49.8 80
IV 205.3 89
Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada
penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer
tersebut tidak dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit
miastenia gravis.
Antistriational antibodies
2. Imaging
42
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.
3. Elektrodiagnostik15
4 Penatalaksanaan
43
Plasma Exchange (PE)17
44
Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah
complement-activating aggregates yang relatif aman untuk
diberikan secara intravena. Mekanisme kerja dari IVIG belum
diketahui secara pasti, tetapi IVIG diperkirakan mampu
memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody tidak dapat
dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak
terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan
IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi. IVIG
diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,
karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi
yang hanya beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman
dan beberapa data, tidak terdapat respon yang sama antara
terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan yang
tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam
kondisi krisis.
45
menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,
sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi
ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu
setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan
dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat
digunakan.
Kortikosteroid17
Azathioprine
46
Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis
yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid
dengan dosis tinggi. Azathioprine dapat dikonversi menjadi
merkaptopurin, suatu analog dari purin yang memiliki efek
terhadap penghambatan sintesis nukleotida pada DNA dan RNA.
Cyclosporine
47
terhadap kejadian miastenia gravis. Penelitian terbaru menyebutkan
bahwa terdapat faktor lain sehingga timus kemungkinan
berpengaruh terhadap perkembangan dan inisiasi imunologi pada
miastenia gravis.
Etiologi
48
Ada beberapa penyebab neuropati perifer. Antaranya cedera mendadak,
tekanan berkepanjangan pada saraf, dan destruksi saraf akibat penyakit
atau keracunan. Penyebab tersering neuropati perifer adalah diabetes
mellitus, defisiensi vitamin, alkoholisme yang bersamaan dengan gizi
buruk, dan kelainan bawaan. Tekanan pada saraf dapat akibat tumor,
pertumbuhan tulang abnormal, penggunaan kast atau kruk, atau postur
paksa karena kekakuan untuk jangka yang lama. Artritis rematoid, vibrasi
berlebihan dari peralatan berat, perdarahan pada saraf, herniasi diskus,
terpapar dingin atau radiasi, dan berbagai jenis kanser juga dapat
menekan saraf. Neuropati perifer yang umum, parestetika meralgia, khas
dengan sensasi terbakar, baal, dan sensitifitas bagian depan paha.
Mikroorganisme dapat menyerang saraf secara langsung dengan akibat
kerusakan saraf tepi. Penyebab lain adalah bahan toksik, termasuk logam
berat (timbal, air raksa, arsen), karbon monoksida, dan pelarut.
Penyebab utama Neuropati Perifer12
Autoimmunitas (poliradikuloneuropati demielinatif inflamatori).
Vaskulitis (kelainan jaringan ikat).
Kelainan sistemik (diabetes, uremia, sarkoidosis, myxedema, akromegali).
Kanser (neuropati paraneoplastik).
Infeksi (leprosi, kelainan Lyme, AIDS, herpes zoster).
Disproteinemia (mieloma, krioglobulinemia)
Defisiensi nutrisional serta alkoholisme.
Kompresi dan trauma.
Bahan industri toksik serta obat-obatan.
Neuropati keturunan.
Klasifikasi
Neuropati perifer dapat diklasifikasikan mengikut jumlah saraf yang
terkena atau jenis sel saraf yang terkena (motorik, sensorik, otonom), atau
proses yang memberi afek pada saraf (peradangan misalnya dalam
neuritis).13
Mononeuropati
49
Mononeuropati adalah jenis neuropati yang hanya mempengaruhi saraf
tunggal. Penyebab paling umum mononeuropati adalah melalui kompresi
fisikal pada saraf yang dikenal sebagai neuropati kompresi. Salah satu
contoh dari neuropati kompresi adalahCarpal tunnel syndrome. Cedera
langsung ke saraf, gangguan suplai darah (iskemia), atau peradangan juga
dapat menyebabkan mononeuropati.13
Multipleks Mononeuritis
Multipleks mononeuritis adalah keterlibatan simultan atau berurutan
individu batang saraf tidak infektif, baik sebagian atau seluruhnya,
berkembang dari harian ke bertahun dan biasanya menyajikan dengan
kehilangan akut atau subakut dari sensori dan fungsi motorik saraf tepi
individu. Pola keterlibatan adalah asimetris, walaubagaimanapun, apabila
penyakit ini berkembang, defisit menjadi lebih terimpit dan simetris,
sehingga sulit untuk membedakan dari polineuropati. Multipleks
mononeuritis juga dapat menyebabkan rasa sakit yang dicirikan sebagai
nyeri yang sangat dalam dan memburuk pada malam hari dan seringnya
pada punggung bawah, pinggul atau kaki. Pada pasien dengan diabetes
mellitus, multipleks mononeuritis biasanya ditemui sebagai akut, nyeri
unilateral, nyeri paha parah diikuti oleh kelemahan otot anterior dan
kehilangan refleks lutut.1,6,7
Polineuropati
Dalam polineuropati, sel-sel saraf di berbagai bagian tubuh yang terafek,
tanpa memperhatikan saraf mana yang dilalui. Tidak semua sel saraf yang
terkena dalam kasus tertentu.Dalam aksonopati distal, satu pola umum,
badan sel neuron tetap utuh, tapi akson yang terpengaruh secara
proporsional panjangnya. Neuropati diabetes adalah penyebab paling
umum dari pola ini. Dalam polineuropati demielinasi, selubung mielin
sekitar akson rusak, yang mempengaruhi kemampuan akson untuk
mengkonduksi impuls listrik. Pola ketiga dan yang paling tidak biasa terjadi
mempengaruhi sel tubuh dari neuron secara langsung. Efek dari ini
menyebabkan gejala di lebih dari satu bagian tubuh, sering secara
simetris. Adapun neuropati apapun, gejala utama termasuk kelemahan
50
atau kejanggalan gerakan (motor), sensasi yang tidak biasa atau tidak
menyenangkan seperti kesemutan atau terbakar, pengurangan
kemampuan untuk merasakan tekstur, suhu, dan gangguan
keseimbangan ketika berdiri atau berjalan (sensorik ). Pada kebanyakan
polineuropati, gejala-gejala ini dirasakan dahulu dan paling parah pada
kaki. Gejala otonom juga dapat terjadi, seperti pusing ketika berdiri,
disfungsi ereksi dan kesulitan mengendalikan buang air kecil.12,13
Neuropati Otonom
Neuropati otonom merupakan bentuk polineuropati yang mempengaruhi
sistem involunter, sistem saraf non-sensorik (sistem saraf otonom) yang
mempengaruhi sebagian besar organ internal seperti otot-otot kandung
kemih, sistem kardiovaskular, saluran pencernaan, dan organ kelamin.
Saraf-saraf ini tidak berada di bawah kendali kesadaran seseorang dan
berfungsi secara otomatis. Serabut saraf otonom membentuk koleksi
besar di toraks, abdomen dan panggul di luar medula spinalis, namun
mereka memiliki hubungan baik dengan medula spinalis dan
otak. Umumnya neuropati otonom terlihat pada pasien dengan diabetes
mellitus tipe 1 dan 2 dalam jangka panjang. 13
Neuritis
Gejala tergantung pada saraf yang terlibat, tetapi mungkin termasuk rasa
sakit, paresthesia, paresis, hypoesthesia (mati rasa), anestesi, lumpuh,
dan hilangnya refleks. 13
Jenis-jenis neuritis meliputi:
Polineuritis atau Neuritis Multiple
Neuritis Brakial
Neuritis Optik
Neuritis Vestinular
Neuritis Kranial, sering mewakili sebagai Bells Palsy
Gejala Klinis
Gejala klinis bagi pasien-pasien dengan disfungsi nervus perifer adalah
masalah pada fungsi normal saraf perifer tersebut. Seperti pada fungsi
51
sensorik, biasanya terdapat gejala kehilangan fungsi ( simtom negatif),
yang disertai dengan kekebasan, tremor dan abnormalitas cara
berjalan.11,13
Gejala pertambahan fungsi (simtom positif) termasuk kesemutan, nyeri,
gatal dan merangkak. Nyeri dapat menjadi cukup kuat sehingga perlu
penggunaan opioid (narkotika) obat (misalnya, morfin, oksikodon). Kulit
dapat menjadi begitu hipersensitif sehingga pasien dilarang menyentuh
apa pun bagian-bagian dari tubuh mereka, terutama kaki. Orang dengan
tingkat sensitivitas ini tidak dapat memakai kaus kaki atau sepatu, dan
akhirnya menjadi tidak dapat keluar dari rumah.11,13
Gejala motorik termasuk kehilangan fungsi (negatif) gejala kelemahan,
kelelahan, terasa berat, dan kelainan gaya berjalan, dan mendapatkan
fungsi (positif) gejala kram, tremor, dan muscle twitch.11,13
Dari pemeriksaan fisik, pasien dengan neuropati perifer umum biasanya
kehilangan sensori distal atau motorik dan kehilangan sensori, meskipun
mereka yang memiliki patologi (masalah) pada saraf tepi dapat normal;
mungkin menunjukkan kelemahan proksimal, seperti pada neuropati
inflamasi seperti Guillain- Barre syndrome, atau mungkin menunjukkan
11,13
gangguan fokal sensorik atau kelemahan, seperti di mononeuropati.
52
13
A. Penatalaksanaan
53
sehari. Efek sampingnya kurang tetapi dapat terjadi rash pada tempat
pemakaian.
Antidepressan : Antidepressan trisiklik seperti amitriptyline dan
nortriptyline pada asalnya digunakan untuk merawat depresi. Obat ini juga
dapat digunakan untuk mengurangkan rasa nyeri saraf dengan cara
mengganggu proses biokimia pada otak dan saraf tunjang .Inhibitor
reuptake Serotonin dan norepinefrin duloxetine juga terbukti efektif untuk
neuropati perifer disebabkan diabetis. Efek samping antaranya termasuk
mual, pusing, hilang nafsu makan dan konstipasi.13
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : Pada prosedur ini,
elektrod yang boleh melekat diletakkan pada kulit dan arus elektrik yang
kecil disalurkan pada frekuensi yang pelbagai. Terapi ini harus sering
dilakukan dan terbukti dapat meringankan gejala neuropati.13
MYOPATHIES
A. Definisi
B. Kelas
1. Herediter
Distrofi otot
54
Duchenne muscular dystrophy (DMD)
55
Becker muscular dystrophy (BMD)
56
mana terjadi atropi progresif yang kronis dari otot-otot
distal dari keempat ekstremitas. Otot-otot proksimal dan
muka mula-mula tidak diserang, akan tetapi dapat pada
stadium lanjut.
Distrofi Otot Juvenil
2. Didapat
57
di kulit biasanya di area kelopak mata dan di area di mana
terdapat otot dan sendi seperti siku, lutut, buku lima dan
pergelangan kaki.
Punca sebenar dermatomyositis tidak jelas. Diperkirakan
berkaitan dengan genetik atau infeksi sebelumnya. Penyakit ini
juga hampir sama dengan penyakit autoimun kerana sistem
pertahanan tubuh menyerang otot dan kulit.
Simptom dermatomyositis biasanya berkembang dengan
perlahan, berminggu minggu hingga beberapa bulan. Sekali
menderita penyakit ini, pasien akan mengalami episode remisi
yang disertai dengan simptom yang sangat menonjol.
Simptom yang paling biasa dan sering adalah rash pada kulit
yang berwarna merah kegelapan atau ungu yang timbul di area
kulit otot yang berkaitan dengan pergerakan sendi. Simptom
pada otot berlaku apabila pembuluh darah pada fiber otot
mengalami inflamasi, mengakibatkan kerusakan otot sehingga
terjadi kelemahan otot, atrofi, dan nyeri. Simptom
dermatomyositis dapat dirawat sehingga pulih sepenuhnya.
Rawatan yang selalu dilakukan adalah pemakaian
immunosupresan seperti kortikosteroid, yang akan menekan
sistem pertahanan tubuh dan mengurangkan rasa nyeri.
Gejala-gejala dermatomyosis dapat menjadi berat sekiranya
terdapat gejala seperti berikut :
Ruam kulit ungu atau merah gelap
Kelelahan
Demam
Nyeri otot
Kelemahan otot
58
Berikut merupakan antara gejala yang dapat mengancam
nyawa yaitu :
Nyeri dada atau tekanan
C. Penyebab
59
Toksoplasmosis
Influensa
Penyakit Lyme
Penyakit Cushing
Hiperparatiroidisme
AZT
Kokain
Kolkisin
60
Amiodarone dan lain-lain yang menghambat CYP3A4 bila
dikombinasikan dengan simvastatin
D. Penatalaksanaan
Diagnosa Banding
1. Syringomyelia. Biasanya ditemukan otot-otot ektremitas superior dan
otot-otot bulbar yang mengecil. Siringomielia ditandai dengan
pembentukan satu atau beberapa rongga berisi-cairan di medula
spinalis; penyakit yang serupa di batang otak disebut siringobulbia.
Rongga ini, disebut siring, dapat terbentuk oleh berbagai mekanisme
yang berbeda dan terdisitribusi dengan pola karakteristik yang
berbeda, sesuai dengan mekanisme pembentukannya.Siringomielia
paling sering mengenai medula spinalis servikalis, umumnya
menimbulkan hilangnya sensasi nyeri dan suhu di bahu dan
ekstremitas atas. Siring yang meluas secara progresif dapat merusak
traktus medula spinalis yang panjang, menyebabkan (para) paresis
spastik, dan gangguan pada proses berkemih, defekasi, dan fungsi
seksual.
2. Spondilitis servikalis. Bisa dijumpai kombinasi lesi UMN dan LMN
pada otot-otot ekstremitas superior. Biasanya disertai gangguan
sensoris.
3. Neuropati motorik. Dijumpai gangguan konduksi saraf motorik
dengan penurunan refleks tendon dan sedikit gangguan sensoris.
4. Miopati hipertiroidi. Dapat berupa kelumpuhan otot-otot dengan
keterlibatan bulbar. Bisa dijumpai fasikulasi tetapi tidak ada tanda-
tanda gangguan traktus kortikospinalis dan biasanya dijumpai tanda
klinis hipertiroidi.
61
5. Spinal muscular atrophy. Berbeda dengan MND karena tidak ada
keterlibatan traktus kortikospinalis, biasanya berjalan lambat dan ada
riwayat penyakit ini dalam keluarga.
6. Multiple entrapment neuropathies. Biasanya disertai gangguan
sensibilitas, nyeri dan Tinel's sign yang positif.
7. Multiple sclerosis. Biasanya disertai neuritis optika, diplopia dan
gangguan otot-otot ekstraokular serta adanya tanda-tanda keterlibatan
serebellar.
8. Penyakit vaskular multifokal. Keadaan ini dapat menyebabkan
pseudobulbar palsy dengan tetraparese spastik tanpa gangguan
sensoris. Tetapi biasanya disertai riwayat stroke berulang dan sering
pula disertai dengan gangguan pada gerakan bola mata.
9. Sindroma post poliomielitis. Adanya kelumpuhan baru dari otot-otot
disertai atrofi yang terjadi pada otot-otot yang sebelumnya telah atau
belum terlibat pada fase akut infeksi poliomielitis. Biasanya baru timbul
paling sedikit 15 tabun setelah infeksi poliomielitis akut. Berbeda dari
MND dalam hal kecepatan berkembang penyakitnya, kelumpuhan
bulbar dan tidak adanya tanda-tanda keterlibatan traktus kortikospinal.
Penatalaksanaan
MND adalah penyakit yang menakutkan karena penyakitnya terus
berlanjut sedangkan terapinya belum ada yang efektif disertai adanya
beberapa gejala klinis yang progresif. Belum ada terapi yang spesifik
untuk penyakit MND, yang ada baru berupa terapi suportif 1,6.
62
ini dijumpai dan kenyataan bahwa banyak dokter maupun perawat yang
kurang berpengalaman menangani paralise bulbar dan paralise
pernafasan kronik yang progresif.
Tujuan terapi adalah mempertahankan penderita dapat berfungsi
dengan baik selama mungkin, membantu stabilitas emosi dan menangani
masalah fisik bila sudah timbul.Obat-obat seperti baclofen, diazepam,
tizanidine dan dantrolene dapat dipakai untuk mengatasi spastisitas yang
terjadi.
Bensimon dkk. melaporkan penggunaan riluzole, suatu zat anti
glutamat, dapat memperlambat perkembangan MND dengan bulbar onset
dan memperpanjang harapan hidup penderita selama 3 bulan . Riluzole
adalah suatu derivat benzothiazole yang menghambat pelepasan glutamat
dari ujung safar presinaptik ; menstabilkan 'sodium channels' pada
keadaan inaktif dan mengantagonis efek glutamat di postsinaptik melalui
disuse atrophy pada penderita yang cacat atau inaktif 6 .Pergerakan sendi
perlu untuk menghindari kekakuan sendi dan nyeri. Fisioterapi juga
diperlukan karena dapat membantu mengatasi kekecewaan penderita.
Penanganan psikososial ditujukan untuk membantu stabilitas emosi
penderita dan keluarganya begitu mengetahui MND adalah penyakit yang
belum dapat diobati. Penderita harus memperoleh penjelasan bahwa ia
masih dapat hidup normal dengan penyakitnya tersebut dan dapat
mengatasi problem yang muncul.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
64
Gangguan pada Lower Motor Neuron (LMN) merupakan gangguan
yang terjadi pada jaras LMN yaitu mulai dari keluarnya saraf melalui cornu
anterior medulla spinalis hinggalah ke otot-otot. Lesi pada LMN memiliki
ciri antara lain: penurunan tonus otot, penurunan kekuatan, refleks
fisiologis berkurang atau (-), refleks patologis (-). Dapat dijumpai atrofi otot
rangka yang dipersarafi oleh LMN yang bersangkutan, fasikulasi (gerakan
involunter) dan paralisis. Penyebab lesi pada LMN bermacam-macam dan
dapat dikelompokkan berdasarkan letak lesinya.
Gangguan pada LMN dapat dikelaskan kepada beberapa bagian
berdasarkan letak lesi tersebut. Jika lesi tersebut terdapat pada cornu
anterior maka gangguan yang terdapat adalah poliomyelitis, manakala
sekiranya lesi terletak pada radix medulla spinalis adalah terjadinya
Guillian Barre syndrome dan hernia nucleus pulposus. Namun seringnya
Guillian Barre syndrome terjadi kerusakkan pada serabut myelin tersebut.
Jika lesi tersebut pada neuromuscular junction akan menyebabkan
penyakit myasthenia gravis.
Sekiranya terdapat lesi pada saraf tepi maka terjadinya neuropati
yang dapat diakibatkan oleh berbagai penyebab. Sekiranya lesi terletak
pada otot gangguan yang terjadi pada otot adalah miopati. Miopati dapat
disebabkan oleh keturunan (bawaan) yang terdapat berbagai jenis
kelainan distrofi otot ataupun didapat dari infeksi atau lain-lain.
Namun begitu, penatalaksanaan terhadap penyakit tersebut adalah
berdasarkan penyebabnya tersebut. Tidak ada pengobatan spesifik untuk
gangguan pada LMN.
Daftar Pustaka
65
1. Snell R. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. 5th ed.
Jakarta: EGC; 2005.
2. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1998.
3. Goldenberg W, Sinert H. Myasthenia Gravis. [Online]. 2010 May 21
[cited 2010 Dec 12]; Diunduh dari,
URL: http://emedicine.medscape.com/article/793136-overview
66