Anda di halaman 1dari 33

PELANGGARAN SEPUTAR PERNIKAHAN :

IKHTILAT, MUSIK, MENINGGALKAN SHALAT


WAJIB

PELANGGARAN-PELANGGARAN SEPUTAR PERNIKAHAN YANG WAJIB


DIHINDARKAN ATAU DIHILANGKAN

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
9. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah berbaurnya laki-laki dan wanita sehingga terjadi pandang-
memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita.
Padahal, laki-laki dan wanita diperintahkan untuk menunduk-kan pandangan,
berdasarkan firman Allah:


Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara ke-maluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat. [An-Nuur : 30]

Begitu pun menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan
mahram adalah diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya aku tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya ucapanku


kepada seratus wanita sama halnya dengan ucapanku kepada seorang
wanita.[1]

Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.

Sungguh, ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum
dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal
baginya. [2]

Menurut syariat Islam, antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah
sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.

Syaikh Ibnu Baaz rahimahullaah berkata, Di antara perkara munkar yang


diadakan manusia pada zaman ini adalah meletakkan pelaminan pengantin di
tengah-tengah kaum wanita dan menyandingkan suaminya di sisinya, dengan
dihadiri wanita-wanita yang berdandan dan bersolek. Mungkin juga yang
menghadiri adalah kerabat pengantin pria dan wanita dari kalangan laki-laki.
Orang yang memiliki fitrah yang selamat dan kecemburuan terhadap agama
akan mengetahui kerusakan yang besar dari perbuatan ini, dan
memungkinkan kaum pria asing melihat para pemudi yang bersolek, serta
akibat buruk yang dihasilkannya. Oleh karena itu, wajib mencegah hal itu dan
menghapuskannya[3]
10. Musik
Kemungkaran lain dalam pernikahan adalah adanya musik, baik berupa alat
musik, lagu atau nyanyian atau panggung hiburan. Parahnya lagi, ada yang
sengaja mendatangkan para biduan dan biduanita ke pesta pernikahan untuk
menghibur para tamu undangan.
Musik dalam pandangan Islam hukumnya haram. Rasulullah shallallaahu
alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh, akan ada di antara ummatku beberapa kaum yang menghalalkan


zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik. [4]

Demikian juga lagu dan nyanyian, dalam syariat Islam hukumnya haram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan percakapan


kosong untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu dan
menjadikannya olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang
menghinakan. [Luqman : 6]
Ayat yang mulia ini ditafsirkan oleh Shahabat, Tabiin dan ulama ahli tafsir
dengan rincian sebagai berikut:

Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma berkata, Ayat ini turun tentang masalah
nyanyian dan sejenisnya. [5]

Abdullah bin Masud radhiyallaahu anhu berkata: Maksud dari




(percakapan kosong) adalah lagu dan nyanyian. Demi Allah yang tiada ilah
(yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia! (Beliau mengulangi
perkataannya tiga kali)[6]

Penafsiran yang sama dijelaskan juga oleh Jabir, Ikrimah, Said bin Jubair,
Mujahid, Mak-hul, Amr bin Syuaib dan Ali bin Badzii. [7]

Hasan al-Bashri menafsirkan ayat ini dengan alat musik.

Abdullah bin Masud radhiyallaahu anhu berkata:

Lagu dan nyanyian menimbulkan kemunafikan dalam hati. [8]

Semua jenis alat musik diharamkan dalam Islam.

Hanya ada satu alat musik yang boleh dimainkan, yaitu rebana. Itu pun hanya
boleh dilakukan pada tiga keadaan: ketika Iedul Fithri, Iedul Adh-ha, dan
pesta pernikahan. Dengan syarat, alat musik ini hanya boleh dimainkan oleh
gadis-gadis kecil yang belum baligh.

Pada hari pernikahan dianjurkan agar ditabuhkan rebana. Hal ini memiliki dua
faedah, yaitu:
1. Publikasi pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:



.

Pembeda antara perkara yang halal dengan yang haram pada pesta
pernikahan adalah tabuhan rebana dan nyanyian. [9]

Tentang Nasyid.
Di antara kemunkaran dalam pesta pernikahan adalah dipanggilnya tim
Nasyid untuk memeriahkan pernikahan. Padahal para ulama telah
menggariskan bahwa nyanyian dalam pesta pernikahan hanyalah boleh
dilakukan oleh gadis-gadis kecil dan boleh juga dengan menggunakan kaset,
apabila tidak ada gadis-gadis kecil yang menyanyi secara langsung.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa nasyid yang di-nyanyikan oleh para pemuda
itu dimainkan dengan alat-alat musik, atau mereka menggunakan acapela
sebagai ganti alat-alat musik dengan menggunakan mulut mereka. Padahal
alat-alat musik hukumnya haram.

Mengenai acapela, maka patutkah seorang muslim mengucapkan hal-hal


yang tidak bermanfaat. Yaitu dengan meniru suara gendang, bass, dan alat-
alat musik lainnya. Bahkan, karena terlalu asyiknya hingga mereka
menggoyang-goyangkan badan dan kaki mereka.

Innaa lillaahi wa inna ilaihi raajiuun.

Para ulama senantiasa berpesan agar menjauhi nasyid dan mengakrabkan


diri dengan membaca ayat-ayat Al-Qur-an.

Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullaah pernah ditanya, Bolehkah laki-


laki melantunkan nasyid Islami? Bagaimana jika diiringi dengan rebana? Dan
bolehkah dilantunkan selain pada waktu hari Ied dan pernikahan?

Maka Syaikh menjawab, Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Nasyid-nasyid


Islami adalah perkara bidah yang diada-adakan oleh orang-orang Sufi yang
banyak memalingkan manusia dari Al-Qur-an dan Al-Hadits. Terkecuali di
tempat-tempat jihad yang dimaksudkan untuk membangkitkan keperwiraan
dan semangat jihad fii sabilillaah. Namun jika diiringi rebana, maka ini adalah
perkara yang jauh dari kebenaran. [10]

Dengan demikian, nasyid-nasyid yang dibawakan oleh para pemuda, baik


dengan alat-alat musik yang mereka mainkan maupun dengan mulut-mulut
mereka yang menirukan alat-alat musik, adalah kemunkaran dalam pesta
yang harus dihindari. Mudah-mudahan Allah memberikan taufik kepada
pemuda agar senang membaca dan mendengarkan Al-Qur-an dan Sunnah
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam.

Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullaah ditanya mengenai (hukum)


nasyid. Beliau ditanya, Banyak ulasan dan komentar mengenai nasyid Islami.
Sementara di sana ada yang memfatwakan bolehnya dan ada pula yang
mengatakannya sebagai pengganti kaset-kaset lagu. Lalu apakah pendapat
Syaikh tentang hal ini?

Maka Syaikh menjawab, Penyebutan nama (Islami) ini sama sekali tidak
benar. Itu adalah penamaan yang baru. Di seluruh kitab para Salaf maupun
pernyataan para ulama, tidak ada nama nasyid Islami. Yang ada, bahwa
orang-orang Sufi menciptakan lagu-lagu yang dianggap sebagai agama, yang
disebut dengan as-sima. Karena zaman sekarang banyak golongan, partai
dan jamaah, maka setiap golongan, partai atau jamaah memiliki nasyid
sendiri-sendiri. Untuk menjaga ke-langsungannya mereka menamakannya
nasyid Islami. Penamaan ini tidak benar dan tidak boleh mengambil nasyid-
nasyid itu dan tidak boleh memasarkannya kepada manusia. [11]

Kesimpulannya, bahwa nasyid pada hari pernikahan dibolehkan selama isi


nasyid tersebut tidak keluar dari etika Islam. Juga dengan syarat nasyid
tersebut hanya boleh dinyanyikan oleh gadis-gadis kecil dengan
menggunakan duff (rebana), baik secara langsung maupun dengan kaset.
Dan tidak boleh dibawakan oleh laki-laki dewasa, apalagi dengan
menggunakan alat musik, baik langsung maupun dengan kaset.

11. Meninggalkan Shalat Wajib


Termasuk dalam kemungkaran pernikahan adalah kedua mempelai beserta
keluarga meninggalkan shalat wajib yang lima waktu.
Sangat disayangkan, sebagian besar kaum muslimin sengaja meninggalkan
shalat wajib ketika mereka melakukan resepsi pernikahan. Padahal,
bagaimana pun keadaannya seorang muslim tetap wajib mengerjakan shalat
yang lima waktu. Banyaknya tamu, make-up yang menempel di wajah atau
gaun pengantin yang dikenakan seharusnya tidak menghalangi dia untuk
melakukan shalat.

Menikah bukanlah satu alasan yang membolehkan pengantin wanita


meninggalkan shalat, begitu pula pengantin pria tidak boleh meninggalkan
shalat berjamaah.

Meninggalkan shalat wajib adalah dosa besar yang paling besar! Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

.
Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat. [12]

Hendaklah seorang muslim memperhatikan kewajiban terhadap Rabb-nya


pada hari yang paling istimewa baginya.

12. Lukisan, gambar dan patung


Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah
adanya lukisan-lukisan, gambar-gambar makhluk bernyawa, patung-patung,
termasuk juga fotografi dengan tujuan untuk kenangan pernikahan.[13]
Apabila di dalam suatu rumah terdapat lukisan (gambar) makhluk bernyawa,
patung, atau anjing, maka Malaikat rahmat tidak akan masuk ke rumahnya.
Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan
gambar. [14]

Juga sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam,

Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat patung-


patung atau gambar-gambar (lukisan). [15]

13. Pelanggaran-pelanggaran Lainnya


Membuat panggung-panggung hiburan seperti dangdut, wayang, ketoprak,
gambus, marawis, dan sejenisnya yang tidak selayaknya dilakukan oleh kaum
muslimin, karena termasuk perbuatan menyia-nyiakan waktu dan hartanya
untuk perbuatan maksiat. Contoh pelanggaran berikutnya yaitu menggelar
pesta joget muda-mudi yang jelas merusak generasi muda Islam.
Selain itu juga adanya standing party, yaitu makan atau minum sambil berdiri
di pesta pernikahan. Makan dan minum sambil berdiri dilarang dalam Islam.



.

Dari Anas radhiyallaahu anhu, dari Nabi shallallaahu alaihi wa sallam
bahwasanya beliau melarang sese-orang minum sambil berdiri.

Qatadah berkata, Kami bertanya kepada Anas radhiyallaahu anhu,


Bagaimana dengan makan sambil berdiri? Maka ia menjawab,
.

Itu lebih jelek atau lebih buruk lagi! [16]

Pelanggaran lainnya yaitu makan dan minum dengan tangan kiri. Islam
melarang makan dan minum dengan tangan kiri, karena syaitan makan dan
minum dengan tangan kiri.

Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

.



Apabila seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya.
Dan apabila ia minum, maka minumlah dengan tangan kanannya. Karena
sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya. [17]

Pelanggaran lainnya adalah membaca syahadat bagi seorang muslim ketika


ijab qabul pernikahan, atau pembacaan shighat taliq yaitu taliq talak
(menggantungkan talak) oleh pengantin pria seusai akad nikah, atau
membaca surat al-Fatihah ketika akad nikah [18], ratiban, atau melakukan
kawin lari. Semua perbuatan ini tidak ada contoh dari Nabi shallallaahu alaihi
wa sallam dan tidak pernah dilakukan oleh para Shahabat radhiyallaahu
anhum.

Itulah sebagian pelanggaran yang sering dilaku-kan dan masih banyak lagi
pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Mengeraskan Suara pada Dzikir


Sesudah Shalat
Nov 22, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScShalat17

Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang
berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air.
Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjamaah dengan
dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air.
Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara.
Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan
Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu alaihi
wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan
mengeraskan suara?

Dalil yang Jadi Rujukan

Dari Ibnu Jarir, ia berkata, Amr telah berkata padaku bahwa Abu
Mabad bekas budak Ibnu Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,

Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada


di masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ibnu Abbas berkata,
Aku mengetahui bahwa shalat telah selesai dengan mendengar hal
itu, yaitu jika aku mendengarnya. (HR. Bukhari no. 805 dan Muslim
no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

- -

Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu


alaihi wa sallam melalui suara takbir. (HR. Bukhari no. 806 dan
Muslim no. 583)

Berdasarkan hadits di atas, sebagian ulama berpendapat,


Dianjurkan mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat. Di
antara yang berpendapat seperti ini adalah Ibnu Hazm. Beliau
berkata,

Mengeraskan suara dengan bertakbir pada dzikir sesudah shalat


adalah suatu amalan yang baik. (Al Muhalla, 4: 260)
Demikian juga pendapat Ath Thobari, beliau berkata,

Hadits ini sebagai isyarat benarnya perbuatan para imam yang


bertakbir setelah shalat. (Rujuk Fathul Bari, 2: 325)

Pendapat Jumhur

Mayoritas ulama (baca: jumhur) menyelisihi pendapat di atas. Di


antara alasannya disinggung oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

Setelah menyebutkan perkataan Ath Thobari, Ibnu Hajar Al Asqolani


menyebutkan perkataan Ibnu Battol yang mengatakan, Hal ini tidak
pernah dilakukan oleh ulama salaf selain apa yang diceritakan dari
Ibnu Habib dalam Al Wadhihah, yaitu mereka senang bertakbir
saat peperangan setelah shalat Shubuh, Isya dengan tiga kali
takbir. Beliau berkata bahwa ini adalah perbuatan yang dilakukan
di masa silam. Ibnu Battol dalam Al Utaibah menyebutkan bahwa
Imam Malik berkata, Amalan tersebut muhdats (amalan bidah,
direka-reka). (Fathul Bari, 2: 325-326)

Pendapat jumhur inilah yang lebih tepat.

Pijakan Jumhur

Dalam hadits Abu Musa Al Asyari radhiyallahu anhu, ia berkata,

Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Jika


sampai ke suatu lembah, kami bertahlil dan
bertakbir dengan mengeraskan suara kami. Nabi shallallahu
alaihi wa sallam lantas bersabda, Wahai sekalian
manusia. Lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah menyeru
sesuatu yang tuli dan ghoib. Sesungguhnya Allah bersama
kalian. Allah Maha Mendengar dan Maha Dekat. Maha berkah nama
dan Maha Tinggi kemuliaan-Nya. (HR. Bukhari no. 2830 dan Muslim
no. 2704). Hal ini menunjukkan bahwa Rasul shallallahu alaihi wa
sallam tidaklah suka dengan suara keras saat dzikir dan doa.

Ath Thobari rahimahullah berkata,

Hadits ini menunjukkan dimakruhkannya mengeraskan suara


pada doa dan dzikir. Demikianlah yang dikatakan para salaf yaitu
para sahabat dan tabiin. (Fathul Bari, 6: 135)[1]

Adapun anjuran mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat,


tidaklah tepat. Karena yang dilakukan oleh Rasul shallallahu alaihi
wa sallam sendiri tidaklah membiasakan hal itu. Beliau boleh jadi
pernah melakukannya, namun hanya dalam rangka talim atau
pengajaran, bukan kebiasaan yang terus menerus. Demikianlah
pendapat Imam Syafii dan pendapat mayoritas ulama lainnya.
Imam Syafii dalam Al Umm (1: 151) berkata,

Aku menganggap bahwa Rasul shallallahu alaihi wa


sallam menjaherkan suaranya sedikit untuk mengajari para sahabat.
Karena kebanyakan riwayat yang aku tulis dan riwayat lainnya
menyebutkan bahwa beliau tidak berdzikir dengan tahlil dan takbir
setelah salam. Dan terkadang beliau juga berdzikir dengan tata cara
yang pernah disebutkan.

Imam Syafii berpendapat bahwa asal dzikir adalah dengan suara


lirih (tidak dengan jaher), berdalil dengan ayat,

Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu


dan janganlah pula terlalu merendahkannya (QS. Al Isro: 110).
Imam Syafii rahimahullah berkata tentang ayat tersebut,
Janganlah menjaherkan, yaitu mengeraskan suara. Jangan pula
terlalu merendehkan sehingga engkau tidak bisa mendengarnya
sendiri. (Al Umm, 1: 150)

Imam Asy Syatibi rahimahullah berkata, Doa jamai atau


berjamaah (dengan dikomandai dan satu suara) yang dilakukan
terus menerus tidak pernah dilakukan oleh Rasul shallallahu alaihi
wa sallam. Sebagaimana pula tidak ada perkataan atau persetujuan
beliau shallallahu alaihi wa sallam akan amalan ini. Dalam riwayat
Bukhari dari hadits Ummu Salamah disebutkan, Rasul shallallahu
alaihi wa sallam hanya diam sesaat setelah salam. Ibnu Syihab
berkata, Beliau diam sampai para wanita keluar. Demikian
anggapan kami. Dalam riwayat Muslim disebutkan dari
Aisyah radhiyallahu anha, Beliau tidaklah duduk selain sekadar
membaca, Allahumma antas salaam wa minkas salaam tabaroka
ya dzal jalaali wal ikrom. (Al Itishom, 1: 351)

Namun perlu diperhatikan bahwa hadits Ibnu Abbas yang telah


kami sebutkan bukanlah dalil dzikir dengan satu suara (dzikir
jamaah). Dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa dzikir sesudah
shalat harus dikomandoi oleh seorang imam sebagaimana kita
saksikan sendiri di beberapa masjid di sekitar kita. Yang tepat
adalah dzikir dilakukan secara individu, tanpa dikomandoi dan tidak
dengan suara keras.

Faedah dari Syaikhul Islam

Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan, Yang disunnahkan


dalam setiap doa adalah dengan melirihkan suara kecuali jika ada
sebab yang memerintahkan untuk menjaherkan.
Allah Taala berfirman,

Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang


lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas. (QS. Al Arof: 55)

Allah menceritakan tentang Zakariya,


Yaitu tatkala ia berdoa kepada Rabbnya dengan suara yang


lembut. (QS. Maryam: 3)

Demikian pula yang diperintahkan dalam dzikir.


Allah Taala berfirman,

Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan


diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu
pagi dan petang. (QS. Al Araf: 205). Dalam shahihain disebutkan
bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka
saat itu. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah


berdoa pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian
seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang
kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih
dari leher tunggangannya. Inilah yang disebutkan oleh para ulama
ketika dalam hal shalat dan doa, di mana mereka sepakat akan hal
ini. (Majmu Al Fatawa, 22: 468-469)

Faedah Dzikir dengan Lirih

Berikut di antara faedah dzikir dan doa lebih baik dengan suara
lirih:

Pertama: Menunjukkan keimanan yang baik, karena orang yang


berdzikir dengan melirihkan suara berarti mengimani Allah akan
selalu mendengar seruan hamba-Nya meskipun lirih.
Kedua: Inilah adab yang mulia di hadapan Al Malik, Sang Raja dari
segala raja. Ketika seorang hamba bersimpu di hadapan Sang Raja,
tentu saja ia tidak mengeraskan suara.

Ketiga: Lebih menunjukkan ketundukkan dan kekhusyuan yang


merupakan ruh dan inti doa. Orang yang meminta tentu saja akan
merendahkan diri, akan menundukkan hatinya pada yang diminta.
Hal ini sulit muncul dari orang yang mengeraskan doanya.

Keempat: Lebih meraih keikhlasan. [2]

Penutup

Setelah mengetahui hal ini, kita perlu menghargai sebagian orang


yang mengeraskan suara pada dzikir sesudah shalat. Mereka jelas
memiliki acuan, tetapi kurang tepat karena tidak merujuk lagi pada
riwayat lainnya. Yang tidak tepat bahkan
dinilai bidah adalah berdoa dan berdzikir berjamaah dengan satu
suara. Ini jelas tidak pernah diajarkan oleh Rasul shallallahu alaihi
wa sallam. Lihat sekali lagi perkataan Asy Syatibi di atas.

(

) .

Dari Aisyah, mengenai firman Allah, Dan janganlah kamu


mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula terlalu
merendahkannya. Ayat ini turun berkenaan dengan masalah doa.
(HR. Bukhari no. 6327)

Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah tuntunan


Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Sumber : https://rumaysho.com/2068-mengeraskan-suara-pada-
dzikir-sesudah-shalat.html
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut
(tadlarruaa wa khufyah). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas (Q.S. Al-Araaf [7] : 55)

DZIKIR DIKERASKAN APAKAH BIDAH?


(JILID 1)
DZIKIR DIKERASKAN APAKAH BIDAH? (JILID 1)

Oleh : Abu Akmal Mubarok

Secara umum atau dalam kondisi umum, maka berdoa kepada Allah
itu sebaiknya dilakukan dengan suara yang lembut dan tidak melampaui
batas. Tidak melampaui batas di sini adalah tidak dikeraskan.

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang


lembut (tadlarruaa wa khufyah). Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas (Q.S. Al-Araaf [7] : 55)

Dalam tafsir Jalalain disebutkan bahwa tadllarrua adalah merendahkan


diri sedangkan khufyah ialah suara yang berbisik (Tafsir Jalalain Jilid 2 Hal
643)

Dalam Tafsir Ibnu Jarir disebutkan bahwa tadlarrua ialah berendah diri
dan tenang dalam ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud dengan khufyah
ialah dengan hati yang khusyuk, penuh keyakinan kepada Keesaan dan
KekuasaanNya terhadap semua yang ada antara kalian dan Dia, bukan
dengan suara yang keras untuk pamer.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata AlKhurrasani, dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan maksud dari ayat tadlarruaa wa khufyah Yang dimaksud
dengan khilfah ialah suara yang pelan. Sehubungan dengan makna
firman-Nya di atas, Ibnu Juraij mengatakan bahwa makruh mengeraskan
suara, berseru, dan menjerit dalam berdoa; hal yang diperintahkan ialah
melakukannya dengan penuh rasa rendah diri dan hati yang khusyuk.
(Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 Hal. 358)

Namun Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat berikut ini :

Katakanlah: Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di


darat dan di laut, yang kamu berdoa kepada-Nya dengan tadlarrua wa
khufyah (lalu mengatakan) : Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan
kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang
bersyukur (Q.S. Al-Anaam [6] : 63)

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tadlarruaa adalah suara


yang keras sedangkan khufyah adalah suara yang lembut. Sehinga
terjemahannya semestinya adalah : Kamu berdoa kepadaNya dengan
suara yang keras dan suara yang lembut (Tasfsir Ibnu Katsir Jilid 7 Hal
310)

Demikian pula berzikir, baik dzikir itu isinya adalah asma-asma Allah atau
kalimat pujian kepada Allah (kalimat thoyyibah) maka dalam kondisi
normal sebaiknya dilakukan dengan suara yang lembut sebagaimana
firman Allah sebagi berikut :

Dan berdzikir lah kepada Rabb kalian dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut (tadlarruaa wa khufyah), dan dengan tidak
mengeraskan suara (wa duuna jahri min qoul), di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-Araaf [7] :
205)

Ketika menafsirkan ayat di atas Ibnu Katsir mengatakan : Artinya,


sebutlah nama Tuhanmu dalam dirimu dengan penuh rasa harap dan
takut, yakni dengan suara yang tidak terlalu keras. Untuk itulah maka
dzikir disunatkan dilakukan bukan dengan ucapan yang keras sekali
(Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9 Hal 299-300)
Sehubungan dengan hal ini Rasulullah s.a. w pernah ditanya, Apakah
Tuhan kami dekat, maka kami akan berbicara dengan suara perlahan?
Ataukah jauh, maka kami akan berbicara dengannya dengan suara yang
keras? Maka Allah SWT. menurunkan firman-Nya : Dan apabila hamba-
hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah) bahwasannyaAku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepadaKu. (Q.S. Al-
Baqarah [2] :186)

Dalam ayat yang lain kita dapati isyarat serupa yaitu ketika diceritakan
bagaimana Nabi Zakariyya a.s. berdoa kepada Allah dengan suara yang
lembut :

yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada Tuhannya dengan suara


yang lembut (Q.S. Maryam [19] : 3)

Demikian pula dalam ayat-ayat yang lain terdapat perintah untuk berdoa
dengan suara yang pelan saj karena Allah mengetahui apa yang tersirat
dalam hati manusia

Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia


mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (Q.S. Thaha [20] : 7)

Maksud ayat ini ialah: tidak perlu mengeraskan suara dalam mendoa,
karena Allah mendengar semua doa itu walaupun diucapkan dengan
suara rendah. Ad-Dhahak mengatakan bahwa yang dimaksud siirun
(rahasia) di situ adalah apa yangterbetik dalam hatimu sedangkan yang
dimaksud dengan akhfa (tersembunyi) adalah apa yang belum terbetik
dalam hatimu. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan : Dia mengetahui as-siiru yaitu apa yang dirahasiakan anak
cucu Adam dalam dirinya. Sedangkan wa akhfa adalah apa yang
disembunyikan dari anak cucu Adam yang nanti dia akan menjadi
pelakunya sebelum dia mengetahuinya.

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.


Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman
[31] : 19)

Juga dalam ayat yang lain Allah berfirman agar menyeru nama Allah dan
asmaul husna dengan suara pertengahan, tidak keras dan tidak pula
pelan.

Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang


mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama
yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di
antara kedua itu (Q.S. Al-Israa [17] : 110)

Namun ayat ini sebenarnya berbicara tentang kondisi di masa awal Islam.
Dimana ketika itu kaum kafir protes akan kerasnya bacaan shalat dan
bacaan Al-Quran kaum muslimin sehingga membuat tetangga-tetangga
tertarik mendengarnya dan kemudian terpengaruh masuk Islam. Asbabun
Nuzul ayat ini sebagaimana dijelaskan pada hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Yaqub bin Ibrahim Telah menceritakan


kepada kami Husyaim Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr dari
Said bin Jubair dari Ibnu Abbas r.a. mengenai firman Allah: dan
janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah
pula merendahkannya, (Q.S. Al Israa : 110). Ibnu Abbas berkata; ayat
ini turun ketika Rasulullah s.a.w. sembunyi-sembunyi di Makkah. Beliau
s.a.w. bila mengimami shalat para sahabatnya, mengeraskan suara saat
membaca Al Qur`an. Ketika orang-orang musyrik mendengarkan hal itu,
mereka mencela Al Qur`an, mencela yang menurunkannya dan yang
membawakannya. Maka Allah Azza Wa Jalla berfirman kepada NabiNya:
(Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu)
maksudnya adalah dalam bacaanmu sehingga orang-orang musyrik
mendengarnya dan mereka mencela al Qu`ran dan: Dan janganlah pula
merendahkannya dari para sahabatmu sehingga mereka tidak dapat
mendengarkan dan mengambil Al Qu`ran darimu dan: Maka carilah jalan
tengah di antara kedua itu. (H.R. Bukhari No. 4353)

Maka ayat di atas tidak bisa diterapkan untuk melarang orang


mengucapkan asmaul husna dengan suara yang keras karena ayat
tersebut berbicara pada kondisi masa lalu agar asma Allah dan Al-Quran
itu sendiri tidak dilecehkan oleh orang kafir setiap kali mereka
mendengarnya.

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan


kepada kami Al Laits dari Uqail berkata Ibnu Syihab, telah menceritakan
kepadaku Urwan bin Az Zubair bahwa Aisyah radliallahu anha, istri Nabi
s.a.w. berkata : kagetlah para pembesar Quraisy dari kalangan
Musyrikin yang akhirnya mereka memanggil Ibnu Ad Daghinah ke
hadapan mereka dan berkata kepadanya: Sesungguhnya kami telah
memberikan jaminan kepada Abu Bakar dengan jaminan dari anda untuk
beribadah di rumahnya, namun dia melanggar hal tersebut dengan
membangun tempat shalat di halaman rumahnya serta mengeraskan
shalat dan bacaan, padahal kami khawatir hal itu akan dapat
mempengaruhi istri-istri dan anak-anak kami, dan ternyata benar-benar
terjadi. Maka laranglah dia. Jika dia mau beribadah kepada Rabbanya di
rumahnya saja silakan. (H.R. Bukhari No. 3616)

Dalam sebuah hadits shahih juga diriwayatkan bahwa suatu ketika perang
Khaibar Rasulullah s.a.w. melarang para sahabat bertakbir dengan
berteriak-teriak dengan suara keras :

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail telah menceritakan


kepada kami Abdul Wahid dari Ashim dari Abu Utsman dari Abu Musa Al
Asyari r.ah. ia berkata; Ketika Rasulullah s.a.w. perang melawan
(penduduk) Khaibar, -atau dia berkata- Ketika Rasulullah s.a.w. melihat
orang-orang menuruni lembah sambil meninggikan suara dengan
bertakbir, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa ilaaha illallah, maka Rasulullah
s.a.w. bersabda: Rendahkanlah, karena kalian tidak menyeru kepada
Dzat yang tuli dan Dzat yang ghaib. Sesungguhnya kalian menyeru Dzat
yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat dan Dia selalu bersama kalian.
(H.R. Bukhari No. 3883 Muslim No. 4873 Abu Daud No. 1305 dan Ahmad
No. 18910)

Maka kalau melihat rangkaian ayat di atas, kita akan berkesimpulan


bahwa berdoa, berdzikir, bersholawat, membaca Al-Quran dan memuja
muji asma Allah hendaknya dilakukan dengan suara lembut dan perlahan.
Dari sini maka tampillah para pemuda yang terlalu bersemangat
kemudian mengecam orang-orang yang berdzikir dan berdoa dengan
suara yang keras bahkan lebih jauh lagi orang yang berdzikir dengan
suara keras sebagai bidah dan keluar dari sunnah.

Yang benar adalah bahwa berdoa, berdzikir, bersholawat, membaca


asmaul husna, membaca Al-Quran dan semacam itu jika sendirian adalah
lebih baik sedang-sedang saja. Perlahan dan suara lembut namun bukan
berarti berbisik. Tidak pula berarti dibaca dalam hati melainkan sebaiknya
tetap bersuara yaitu terdengar oleh orang di sebelahnya jika ada. Lalu jika
sedang sendirian atau tidak ada acara apa-apa janganlah Anda tiba-tiba
berdoa atau bertakbir Allahu Akbar !! dengan suara yang keras. Apalagi
jika sedang jalan-jalan di terminal Blok M atau Mall karena pasti nanti
dikira orang gila.

Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa dalam Islam banyak hal yang
pada dasarnya begini dan dilarang begitu, namun jika ada perlunya boleh
begitu. Misalkan : pada dasarnya shalat itu tidak boleh bergerak-gerak di
luar gerakan sholat namun jika ada perlunya boleh bergerak (Hal ini tidak
dibahas di sini namun dibahas di tulisan tersendiri). Demikian pula ketika
khutbah jumat pada dasarnya harus diam dan tidak boleh ngobrol atau
mengatakan sesuatu dengan suara keras karena akan gugur pahala
jumatnya, namun jika ada perlunya boleh-boleh saja (Hal ini tidak
dibahas di sini namun dibahas di tulisan tersendiri).

Demikian pula dalam masalah berdoa, berdzikir, bersholawat, bertakbir dll


pada dasarnya jika sendirian harus dilakukan dengan suara lembut dan
tidak boleh dengan suara keras. Sebagian ulama mengatakan makruh.
Dan jika tidak ada perlunya maka jangan bersuara keras. Namun.. sekali
lagi namun, jika ada perlunya dan perlunya ini memang syari (perlu di
sini adalah perlu sesuai syariat) maka dibolehkan untuk berdoa, berdzikir,
bersholawat, bertakbir dengan suara yang keras. Yaitu dalam kondisi-
kondisi tertentu yang akan kami sampaikan sebagai berikut :

1. Boleh Membaca Al-Quran Dengan Suara Keras

Walaupun ada ayat yang menyatakan agar berdoa dan berdzikir dengan
suara pelan, namun itu tidak berarti tidak boleh bersuara keras. Rasulullah
s.a.w. kadang di malam hari (di rumah bukan ramai-ramai di masjid)
membaca Al-Quran dengan suara keras sebagaimana diceritakan Aisyah
r.ah.:

Telah mengabarkan kepada kami Syuaib bin Yusuf dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman dari Muawiyah bin Shalih dari
Abdullah bin Abu Qais dia berkata; Aku pernah bertanya kepada Aisyah
tentang cara Rasulullah s.a.w. membaca (Al-Quran) di malam hari,
`Beliau membacanya dengan bersuara keras atau pelan (tanpa bersuara)?
Aisyah menjawab; Semuanya pernah dilakukan beliau. Kadang beliau
membacanya dengan suara keras dan kadang membacanya dengan pelan
(tanpa bersuara) . (H.R. Nasai No. 1644 Tirmidzi No. 411) Nashiruddin
Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.

Hal ini sejalan dengan tafsir dari Ibnu Katsir yang berbeda mengartikan
kata tadlarru ketika menafsirkan (Q.S. Al-Anaam [6] : 63) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan tadlarruaa adalah suara yang keras
sedangkan khufyah adalah suara yang lembut. Sehinga terjemahannya
adalah : Kamu berdoa kepadaNya dengan suara yang keras dan suara
yang lembut (Tasfsir Ibnu Katsir Jilid 7 Hal 310)

Memang suatu ketika Nabi s.a.w. pernah menegur para sahabat yang
membaca Al-Quran dengan suara keras :

Dari Abu Said al-Khudri r.a., dia berkata, Rasulullah s.a.w. pernah
beritikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara
bacaan al-Quran, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda,
Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada
Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu
sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang
lainnya dalam membaca Al-Quran. (H.R. Abu Daud)

Namun sebenarnya hadits ini maksudnya adalah ketika ada orang sedang
shalat, jangan ada yang membaca Quran dengan suara keras, karena
akan menggangu orang yang sedang shalat. Hal ini sebagaimana
diperjelas pada hadits berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Attab telah menceritakan kepada kami


Abu Hamzah -yakni As Sukkari- dari Ibnu Abu Laila dari Shadaqah Al Makki
dari Ibnu Umar berkata : Suatu hari beliau mengeluarkan kepalanya
seraya bersabda: Sesungguhnya orang yang shalat itu hakekatnya
sedang bermunajat kepada Rabbnya azza wajalla, maka hendaklah salah
seorang dari kalian melihat dengan apa ia bermunajat kepada Rabbnya,
dan janganlah sebagian kalian dengan sebagian lainnya mengeraskan
suaranya ketika membaca Al Quran. (H.R. Ahmad No. 5096)

Namun jika tidak ada orang shalat di dekatnya boleh saja membaca Al-
Quran dengan suara keras hingga terdengar orang lain agar bisa juga
menjadi pelajaran dan pengingat bagi orang lain. Dalam sebuah hadits
diceritakan seorang sahabat semalaman membaca Al-Quran dengan
suara keras sampai terdengar oleh Rasulullah s.a.w. namun Rasulullah
s.a.w. tidak mengecam bahkan memujinya karena beliau ikut mendengar
dan menjadi pengingat bagi diri beliau sendiri

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail telah menceritakan


kepada kami Hammad dari Hisyam bin Urwah dari Urwah dan Aisyah
r.ah, bahwa seorang laki-laki melakukan shalat malam dam membaca Al
Quran dengan mengeraskan suaranya. Di pagi harinya Rasulullah s.a.w.
bersabda: Semoga Allah merahmati Fulan, dengan bacaan yang ia
lakukan tadi malam, ia telah banyak mengingatkan aku dengan ayat-ayat
yang aku lupa. (H.R. Abu Daud 3456)

Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Khalid Telah menceritakan


kepada kami Muawiyah bin Shalih dari Bahir bin Sad dari Khalid bin
Madan dari Katsir bin Murrah dari Uqbah bin Amir ia berkata, Rasulullah
s.a.w. bersabda: Orang yang mengeraskan suara saat membaca Al
Quran seperti orang yang terang-terangan dalam bersedekah. Dan orang
yang memelankan suaranya saat membaca Al quran seperti orang
bersedekah secara diam-diam. (H.R. Ahmad No. 16802)

2. Boleh Menyebut Asma Allah Dengan Suara Keras Ketika Adzan


Ketika mengumandangkan adzan tentu dibolehkan bersuara keras karena
tujuannya memang pemberitahuan waktu shalat dan mengajak orang
tanda shalat. Maka adzan harus bisa terdengar sampai jauh. Pada zaman
dulu muadzin naik ke menara dan jaman sekarang bisa menggunakan
loud speaker.

Berkata; aku telah membacanya di hadapan Abdurrahman; dari Malik dari


Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Shashaah Al Mazi
dari bapaknya, Bahwasanya ia mengabarkan kepadanya, bahwa Abu Said
berkata kepadanya; engkau adzan untuk menegakkan shalat, maka
hendaklah mengeraskan suaramu. Karena sesungguhnya tidaklah jin,
manusia atau sesuatu yang lain mendengar suara seorang mu`adzin
kecuali ia akan menjadi saksi pada hari kiamat, aku dengar itu dari
Rasulullah s.a.w.. (H.R. Ahmad No. 10879)

3. Boleh Membaca Al-Quran Dengan Suara Keras Ketika


Mengimami Shalat

Walaupun ada ayat Dan berdzikir lah kepada Rabb kalian dalam
hatimu (Q.S. Al-Araaf [7] : 205) dan juga ada ayat Serulah Allah atau
serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu (Q.S. Al-
Israa [17] : 110) namun ketika Anda sedang menjadi imam atau
mengimami shalat dimana disunnahkan untuk dikeraskan bacaannya
(Maghrib, Isya, Subuh, Shalat Jumat dll) maka boleh saja disuarakan
dengan suara keras.

Telah menceritakan kepada kami Husyaim telah memberitakan kepada


kami Abu Bisyr dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas berkata; Jika Nabi
s.a.w. mengimami shalat para sahabatnya, beliau mengeraskannya saat
membaca al Qur`an (H.R. Ahmad No. 1756)

Karena memang bacaan Imam harus didengar orang banyak. Mungkin


Anda akan membantah bahwa itu bukan dzikir tapi shalat. Maka shalat itu
juga terkandung di dalamnya dzikir yang artinya mengingat Allah. Ketika
Imam membaca Al-Fatihah, dan surat Al-Quran maka di dalamnya juga
termuat asma Allah, kalimat dzikir seperti subhanallah, alhamdulillah,
atau asma-asma Allah seperti dalam surat Al-Hasyr dll, maka kami
katakan semua ini boleh disuarakan dengan suara keras karena ada
alasannya.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bakar bin Ar Rayyan
telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Mubarrak dari Imran bin
Za`idah dari ayahnya dari Abu Khalid Al Wali dari Abu Hurairah bahwa dia
berkata; Bacaan Nabi s.a.w. dalam shalat malam, terkadang beliau
mengeraskan suara dan terkadang melirihkannya. (H.R. Abu Daud No.
1132)

Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan


kepada kami Ismail berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari
Ikrimah dari Ibnu Abbas berkata, Nabi s.a.w. membaca (dengan suara
dikeraskan) sesuai apa yang diperintahkan dan juga diam (tidak
mengeraskan) sesuai apa yang diperintahkan (Dan tidaklah Rabbmu
lupa) (Q.S. Maryam [19] : 64). (Sesungguhnya telah ada pada diri
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu) (Q.S. Al Ahzab [33] : 21).
(H.R. Bukhari No. 732)

4. Boleh Berdzikir Dengan Suara Keras Sehabis Shalat

Sebagian orang mengatakan bahwa berdzikir dengan suara keras setelah


shalat itu tidak boleh dan merupakan bidah. Namun kenyataannya hal ini
dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. pada waktu itu dan tercatat dalam hadits
sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas r.a. berikut ini :

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Nashir berkata, telah


menceritakan kepada kami Abdurrazaq berkata, telah mengabarkan
kepada kami Ibnu Juraij berkata, telah mengabarkan kepadaku Amru
bahwa Abu Mabad mantan budak Ibnu Abbas, mengabarkan kepadanya
bahwa Ibnu Abbas r.a. mengabarkan kepadanya, bahwa mengeraskan
suara dalam berdzikir setelah orang selesai menunaikah shalat fardlu
terjadi di zaman Nabi s.a.w. . Ibnu Abbas mengatakan, Aku mengetahui
bahwa mereka telah selesai dari shalat itu karena aku mendengarnya.
(H.R. Bukhari No. 796)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim telah


mengabarkan kepada kami Muhammad bin Bakr telah mengabarkan
kepada kami Ibn Juraij katanya; (Dan diriwayatkan dari jalur lain) telah
menceritakan kepadaku Ishaq bin Manshur dan lafadz darinya, dia
berkata; telah mengabarkan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan
kepada kami Ibn Juraij telah mengabarkan kepadaku Amru bin Dinar,
bahwa Abu Mabad mantan budak Ibn Abbas mengabarinya, bahwa Ibn
Abbas pernah mengabarinya; Bahwa mengeraskan suara dzikr sehabis
shalat wajib, pernah terjadi di masa Nabi s.a.w. . kata Abu Mabad; Ibn
Abbas mengatakan; Akulah yang paling tahu tentang hal itu, ketika
mereka telah selesai (mengerjakan shalat), sebab aku pernah
mendengarnya. (H.R. Muslim No. 919)

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Musa al Balhi telah


menceritakan kepada kami Abdurrazaq telah mengabarkan kepadaku Ibnu
Juraij telah mengabarkan kepada kami Amru bin Dinar bahwa Abu Mabad
bekas budak Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya, bahwa Ibnu
Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Mengeraskan suara dzikir
ketika orang-orang selesai dari shalat fardlu itu telah dilakukan di masa
Rasulullah s.a.w., dan Ibnu Abbas mengatakan; Aku mengetahuinya
ketika mereka selesai melakukan itu dan aku juga mendengarnya. (H.R.
Abu Daud No. 851) Nashiruddin Al-Albani menyatakan hadits ini shahih.

Telah menceritakan kepada kami Abdurrazaq dan Ibnu Bakr keduanya


berkata; telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij ia berkata; telah
mengabarkan kepadaku Amru bin Dinar bahwa Abu Mabad mantan budak
Ibnu Abbas telah mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Abbas
mengabarkan kepadanya bahwa meninggikan suara dzikir ketika selesai
orang-orang selesai shalat wajib adalah berlaku pada masa Nabi s.a.w..
Bahwa ia berkata; Ibnu Abbas berkata; Aku mengetahui hal itu bila
mereka selesai, bila aku mendengarnya. (H.R. Ahmad No. 3298) seluruh
perawi hadits ini tsiqoh

Maka sebagian orang yang menyangka bahwa berdzikir dengan suara


keras setelah shalat itu merupakan hal yang bertentangan dengan sunnah
adalah prasangka yang salah. Karena hal ini telah terjadi pada zaman
Nabi s.a.w. dan tidak ada hadits atau riwayat yang menceritakan protes
dari sahabat bahwa ini salah atau bidah. Namun suara keras di sini tidak
berarti berteriak, melainkan tetap seperlunya saja.

5. Boleh Berdoa Dengan Suara Yang Keras

Walaupun dalam Al-Quran Allah berfirman : Berdoalah kepada Tuhanmu


dengan berendah diri dan suara yang lembut (tadlarruaa wa khufyah).
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas
(Q.S. Al-Araaf [7] : 55)

Hal ini tidak berarti sama sekali tidak boleh sama sekali berdoa dengan
suara yang keras yaitu jika ada alasannya misal karena saking memelas
dan mengadu kepada Allah dan untuk menimbulkan optimisme bagi orang
yang berdoa maka itu dibolehkan.
Rasulullah s.a.w. setiap habis selesai shalat berjamaah, kemudian
membaca doa dengan mengeraskan suara yang terdengar oleh semua
jamaah. Hal ini dikisahkan dalam hadits berikut :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair


telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami
Hisyam dari Abu Zubair katany : Setelah selesai shalat dan membaca
salam, Ibn Zubair sering memanjatkan doa; LAA ILAAHA ILLALLAAH
WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHU, LAHUL MULKU WALAHUL HAMDU
WAHUWA ALAA KULLI SYAIIN QADIIR, LAA HAULA WALAA QUWWATA ILLAA
BILLAAH, LAA-ILAAHA ILALLAAH WALAA NABUDU ILLAA IYYAAH, LAHUN
NIMATU WALAHUL FADHLU WALAHUTS TSANAAUL HASAN, LAA-ILAAHA
ILLALLAAH MUKHLISIHIINA LAHUD DIINA WALAU KARIHAL KAAFIRUUNA.
(Tiada sesembahan yang hak selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-
Nya, bagi-Nya selaga puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tiada
Daya dan kekuatan selain dengan pertolongan Allah. Tiada sesembahan
yang hak selain Allah, dan Kami tidak beribadah selain kepada-Nya,
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, hanya bagi-Nya ketundukan,
sekalipun orang-orang kafir tidak menyukai). Rasulullah s.a.w. selalu
mengeraskan suara dengan kalimat ini setiap selesai shalat. (H.R. Muslim
No. 935)

Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah s.a.w. memuji Dzul Bijadain


karena selalu berdoa dengan suara yang keras.

Telah menceritakan kepada kami Yunus Telah menceritakan kepada kami


Ibnu Lahiah dari Harits bin Yazid dari Ali bin Rabah dari Uqbah bin Amir,
bahwasanya Nabi s.a.w. bersabda kepada seorang laki-laki yang biasa
dipanggil Dzul Bijadain: Sesungguhnya ia adalah seorang Awwaah.
Demikian itu karena ia adalah seorang yang banyak berdzikir kepada
Allah azza wajalla di dalam Al Quran, dan selalu mengeraskan suara saat
berdoa. (H.R. Ahmad No. 16811) Seluruh perawi nya tsiqoh.

Bersambung Jilid 2

Hukum Mengeraskan Dzikir Setelah


Shalat, Disertai Hadist dan
Penjelasanya!
28 JUNI PUR WANTO
ISLAM

795 SHARES

1 komentar

Bagaimana hukum mengeraskan dzikir setelah shalat?

Kenapa setiap selesai shalat jamaah kita membaca dzikir


bersama sama dengan suara dikeraskan? Karena ada ustadz
yang berpendapat bahwa ini Bidah yang harus ditinggalkan.
Lalu ustadz tersebut membaca hadits-hadits perintah
memelankan dzikir.

Kemudian bagaimana yang benar?


Ada sebagian pemahaman kelompok umat Islam yang menilai
dzikir berjamaah adalah bidah tercela, yang seakan-akan
harus dihapus dari muka bumi.
Padahal, jika kita mau sedikit meneliti, kalangan yang
menjaharkan dzikir, yakni mereka yang duduk dalam suatu
majelis lalu melafadzkan tahlil, tahmid, tasbih, takbir dan
semisalnya dengan suara keras bukannya tidak memiliki dalil.

Berikut ini dalil- dalil kalangan yang mengamalkan dzikir Jahr,


kami bagi menjadi dua bagian : Pertama dalil bolehnya
membaca dzikir secara bersama-sama dan kedua dalil
bolehnya mengeraskan dzikir.

A. Dalil kebolehan dzikir bersama.


Secara pengamalan, aktivitas dzikir adalah amalan yang
dikerjakan secara sendiri-sendiri. Ini bisa kita lihat dari format
dzikir itu sendiri dan juga praktek dan contoh langsung dalam
sunnah Nabawiyyah. Namun bukan berarti ini menjadi dalil
larangan membaca dzikir secara bersama-sama. Karena
ternyata terdapat sejumlah dalil yang menyebutkan kebolehan
dzikir yang berjamaah alias dibaca bersama-sama. Berikut
diantaranya :

Sebuah hadits qudsi dari Muaz bin Anas secara marfu: Allah
swt.berfirman:

Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali


Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku.
Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-
orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang
tertinggi.

Baca Juga : Hukuman bagi Anak Durhaka Kepada Kedua


Orangtua. Berikut Dikisahkan Pada Masa Rasulullah SAW

Hadits dari Abu Said Khudri dan Abu Hurairah Nabi


shallahualaihi wassalam bersabda :

,

.

Tidak satu kaumpun yang duduk dzikir kepada Allah Taala,


kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh
rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh
Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya. (HR.Muslim,
Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).

Hadits dari shahabat Muawiyah :

:
:

, : .

.

Nabi shalallahualaihi wassalam pergi mendapatkan satu


lingkaran dari sahabat-sahabatnya, beliau bertanya Mengapa
kamu duduk disini? Ujar mereka : Maksud kami duduk disini
adalah untuk dzikir pada Allah Taala dan memuji-Nya atas
petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami
dengan menganut agama Islam. Sabda Nabi Demi Allah tak
salah sekali ! Kalian duduk hanyalah karena itu. Mereka
berkata : Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya, saya
tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada
kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan
bahwa Allah taala telah membanggakan kalian terhadap
)Malaikat . (HR.Muslim

Hadits riwayat al imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah,


bahwa Rasulallah shalallahualaihi wassalam bersabda :

,
: , ,
) ( :
, : . : :
: , ,
, : : : , : :
:
, . : : , : :
: : , :
, :
:
,
.

Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang


berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang
berdzikir. Apabila mereka menemu- kan sekolompok orang
yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling
menyeru :'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'.
Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan
sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu
telah berpisah maka para malaikat tersebut berpaling dan naik
kelangit. Maka bertanyalah Allah kepada mereka . Allah
berfirman : Darimana kalian semua ? Malaikat berkata : Kami
datang dari sekelompok hambaMu dibumi. Mereka bertasbih,
bertakbir dan bertahlil kepadaMu. Allah berfirman : Apakah
mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Tidak pernah !
Allah berfirman : Seandainya mereka pernah melihatKu ?
Malaikat berkata: Andai mereka pernah melihatMu niscaya
mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepadaMu, lebih
bersemangat memujiMu dan lebih banyak bertasbih padaMu.
Allah berfirman: Lalu apa yang mereka pinta padaKu ?
Malaikat berkata: Mereka minta syurga kepadaMu. Allah
berfirman : Apa mereka pernah melihat syurga ? Malaikat
berkata : Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau
mereka pernah melihatnya? Malikat berkata: Andai mereka
pernah melihanya niscaya mereka akan bertambah semangat
terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar
keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman: Dari hal apa
mereka minta perlindungan ? Malaikat berkata: Dari api neraka.
Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat neraka ? Malaikat
berkata: Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau
mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Kalau
mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga
menghindarkan diri darinya. Allah berfirman: Aku persaksikan
kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka. Salah
satu dari malaikat berkata : Disitu ada seseorang yang tidak
termasuk dalam kelompok mereka. Dia datang semata-mata
karena ada satu keperluan. Allah berfirman : Mereka (termasuk
seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk
bersama mereka tidak akan kecewa".

B. Mengeraskan suara
Mayoritas ulama berpendapat, pada asalnya dzikir adalah
amalan khofi yang afdhalnya dibaca sirr, karena dzikir adalah
wujud kedekatan dengan Allah yang maha dekat yang cukup
dibaca dengan pelan agar tidak menimbulkan ria.
Namun, bukan berarti dzikir secara jahar (keras) terlarang dan
hukumnya haram, karena ada juga sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa jika dikhawatirkan riya memang dzikir
afdhalnya sirr, namun jika tidak maka Jahr lebih afdhal karena
bisa mengusir kemalasan dan kelalaian. Hal ini didasarkan
dengan ada beberapa riwayat yang menyebutkan justru dzikir
ketika shalat dibaca dengan suara keras. Berikut diantaranya :

Baca Juga : Mengapa Ditengah Bacaan Doa Qunut Dibaca


Lirih/Sirr ? Ini Penjelasanya !

Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :

: ,
:

Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam.


Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan
suaranya disebuah masjid. Akupun berkata : Wahai Rasuallah,
jangan-jangan orang ini sedang riya. Beliau berkata : Tidak !
Akan tetapi dia itu seorang awwah (yang banyak mengadu
kepada Allah). (HR.Baihaqi)
Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata : Aku dikabarkan oleh
Abu Mabad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari
tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata :

Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika


orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa
Rasulallah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata :

Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir ketika orang-orang


usai melaksanakan shalat wajib merupakan kebiasaan yang
berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
Ibnu Abbas menambahkan, Aku mengetahui mereka selesai
shalat dengan itu, apabila aku mendengarnya. (HR. Bukhari)

Beberapa fatwa ulama yang membolehkan dzikir Jahr


Ibnu Huzaiman memasukkan hadits riwayat imam Bukhari
diatas ke dalam bab : Rafu al-Shaut bi al-Takbiir wa al-Dzikr
inda Inqidha al-Shalah (Bab: meninggikan (mengeraskan)
suara takbir dan dzikir ketika selesai shalat (wajib).. hal ini
menunjukkan bahwa beliau memahami bolehnya mengeraskan
takbir dan dzikir sesudah shalat.
Ibnu Daqaiq dalam kitabnya Ihkamul Ahkam Syarah Umdatul
Ahkam, juga menyatakan hal yang sama, Dalam hadits ini,
terdapat dalil bolehnya mengeraskan dzikir setelah shalat, dan
takbir secara khusus termasuk dalam kategori dzikir."

Imam al-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan,


bahwa hadits ini (riwayat Bukhari Muslim diatas) adalah dalil
bagi pendapat sebagian ulama salaf bahwa disunnahkan
mengeraskan suara takbir dan dzikir sesudah shalat wajib. Dan
di antara ulama mutaakhirin yang menyunahkannya adalah
Ibnu Hazm al-Zahiri.

Sedangkan Imam al-Syafii rahimahullah, memaknai hadits di


atas dengan mengatakan, bahwa beliau shallallahu'alaihi
wasallam mengeraskan (dzikir sesudah shalat) hanya dalam
waktu sementara saja untuk mengajari mereka tentang sifat
dzikir, bukan mengeraskan terus menerus. Imam Syafii
berpendapat agar imam dan makmum melirihkan dzikir kepada
Allah Taala sesudah shalat, kecuali kalau imam ingin agar
makmum belajar darinya, maka dia mengeraskan dzikirnya
sehingga ia melihat makmum telah belajar darinya, lalu
melirihkannya. Dan beliau memaknai hadits tersebut dengan
ini.

Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan:


Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh
kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat
menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang
ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang
sangat kuat.

Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya Al-Umdah Fi Al-


Ahkaam hal.25 berkata: Abdullah bin Abbas menyebutkan
bahwa berdzikir dengan meng- angkat suara dikala para
jemaah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan
sentiasa di zaman Rasullullah shalallahualaihi wasslam.

Baca Juga : Dosa Pezina Mengenai Keluarganya,


Tetangganya, Keturunanya Hingga Tikus Dirumahnya dan
Semut Di Liang Sekitar Rumahnya, Naudzubillah.

Pendapat yang sama bisa kita temukan dari Imam Abd Wahab
Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah, Imam Al-
Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah dan Imam as-
Syaukani dalam Nail al-Autar dan lainnya.

Berkata Imam Syafii dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai


berikut : Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya
berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dari keduanya
melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan
para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia
boleh melakukan jahar.

Dapat didapatkan suatu kesimpulan bahwa berdzikir secara


jahr dalam shalat adalah amalan yang disandarkan kepada
dalil yang shahih, bukan bentuk ibadah yang merupakan bidah
yang tercela. Apalagi bila tujuannya untuk mengajarkan
jamaah seperti yang dilakukan di Pesantren-pesantren guna
mengajarkan kepada para thulab maka ini lebih baik lagi.
Meskipun secara perintah umum dzikir secara sirr lebih afdhal
dan yang menjadi amalan Tsabit dari Nabi.

Anda mungkin juga menyukai