Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
9. Adanya Ikhtilath
Ikhtilath adalah berbaurnya laki-laki dan wanita sehingga terjadi pandang-
memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita.
Padahal, laki-laki dan wanita diperintahkan untuk menunduk-kan pandangan,
berdasarkan firman Allah:
Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara ke-maluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
mereka perbuat. [An-Nuur : 30]
Begitu pun menyentuh dan berjabat tangan dengan wanita yang bukan
mahram adalah diharamkan dalam syariat Islam, sebagaimana Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
.
Sungguh, ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum
dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh wanita yang tidak halal
baginya. [2]
Menurut syariat Islam, antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah
sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.
Demikian juga lagu dan nyanyian, dalam syariat Islam hukumnya haram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma berkata, Ayat ini turun tentang masalah
nyanyian dan sejenisnya. [5]
Penafsiran yang sama dijelaskan juga oleh Jabir, Ikrimah, Said bin Jubair,
Mujahid, Mak-hul, Amr bin Syuaib dan Ali bin Badzii. [7]
Hanya ada satu alat musik yang boleh dimainkan, yaitu rebana. Itu pun hanya
boleh dilakukan pada tiga keadaan: ketika Iedul Fithri, Iedul Adh-ha, dan
pesta pernikahan. Dengan syarat, alat musik ini hanya boleh dimainkan oleh
gadis-gadis kecil yang belum baligh.
Pada hari pernikahan dianjurkan agar ditabuhkan rebana. Hal ini memiliki dua
faedah, yaitu:
1. Publikasi pernikahan.
2. Menghibur kedua mempelai.
Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
.
Pembeda antara perkara yang halal dengan yang haram pada pesta
pernikahan adalah tabuhan rebana dan nyanyian. [9]
Tentang Nasyid.
Di antara kemunkaran dalam pesta pernikahan adalah dipanggilnya tim
Nasyid untuk memeriahkan pernikahan. Padahal para ulama telah
menggariskan bahwa nyanyian dalam pesta pernikahan hanyalah boleh
dilakukan oleh gadis-gadis kecil dan boleh juga dengan menggunakan kaset,
apabila tidak ada gadis-gadis kecil yang menyanyi secara langsung.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa nasyid yang di-nyanyikan oleh para pemuda
itu dimainkan dengan alat-alat musik, atau mereka menggunakan acapela
sebagai ganti alat-alat musik dengan menggunakan mulut mereka. Padahal
alat-alat musik hukumnya haram.
Maka Syaikh menjawab, Penyebutan nama (Islami) ini sama sekali tidak
benar. Itu adalah penamaan yang baru. Di seluruh kitab para Salaf maupun
pernyataan para ulama, tidak ada nama nasyid Islami. Yang ada, bahwa
orang-orang Sufi menciptakan lagu-lagu yang dianggap sebagai agama, yang
disebut dengan as-sima. Karena zaman sekarang banyak golongan, partai
dan jamaah, maka setiap golongan, partai atau jamaah memiliki nasyid
sendiri-sendiri. Untuk menjaga ke-langsungannya mereka menamakannya
nasyid Islami. Penamaan ini tidak benar dan tidak boleh mengambil nasyid-
nasyid itu dan tidak boleh memasarkannya kepada manusia. [11]
Meninggalkan shalat wajib adalah dosa besar yang paling besar! Rasulullah
shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:
.
Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat. [12]
Malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing dan
gambar. [14]
Pelanggaran lainnya yaitu makan dan minum dengan tangan kiri. Islam
melarang makan dan minum dengan tangan kiri, karena syaitan makan dan
minum dengan tangan kiri.
.
Apabila seseorang dari kalian makan, makanlah dengan tangan kanannya.
Dan apabila ia minum, maka minumlah dengan tangan kanannya. Karena
sesungguhnya syaitan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan
tangan kirinya. [17]
Itulah sebagian pelanggaran yang sering dilaku-kan dan masih banyak lagi
pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Jika Anda berada di Saudi Arabia, akan terlihat fenomena dzikir yang
berbeda setelah shalat lima waktu yang jarang kita lihat di tanah air.
Para jamaah sama sekali tidak melakukan dzikir berjamaah dengan
dikomandoi imam sebagaimana kita lihat di sekitar kita, di tanah air.
Mereka berdzikir sendiri-sendiri, namun dengan mengeraskan suara.
Inilah di antara pendapat fikih Hambali yang dianut di kerajaan
Saudi Arabia. Namun bagaimana tuntunan Rasul shallallahu alaihi
wa sallam mengenai dzikir sesudah shalat, apakah benar dengan
mengeraskan suara?
Dari Ibnu Jarir, ia berkata, Amr telah berkata padaku bahwa Abu
Mabad bekas budak Ibnu Abbas- mengabarkan kepadanya bahwa
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata,
- -
Pendapat Jumhur
Pijakan Jumhur
Berikut di antara faedah dzikir dan doa lebih baik dengan suara
lirih:
Penutup
(
) .
Sumber : https://rumaysho.com/2068-mengeraskan-suara-pada-
dzikir-sesudah-shalat.html
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut
(tadlarruaa wa khufyah). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas (Q.S. Al-Araaf [7] : 55)
Secara umum atau dalam kondisi umum, maka berdoa kepada Allah
itu sebaiknya dilakukan dengan suara yang lembut dan tidak melampaui
batas. Tidak melampaui batas di sini adalah tidak dikeraskan.
Dalam Tafsir Ibnu Jarir disebutkan bahwa tadlarrua ialah berendah diri
dan tenang dalam ketaatan kepadaNya. Yang dimaksud dengan khufyah
ialah dengan hati yang khusyuk, penuh keyakinan kepada Keesaan dan
KekuasaanNya terhadap semua yang ada antara kalian dan Dia, bukan
dengan suara yang keras untuk pamer.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ata AlKhurrasani, dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan maksud dari ayat tadlarruaa wa khufyah Yang dimaksud
dengan khilfah ialah suara yang pelan. Sehubungan dengan makna
firman-Nya di atas, Ibnu Juraij mengatakan bahwa makruh mengeraskan
suara, berseru, dan menjerit dalam berdoa; hal yang diperintahkan ialah
melakukannya dengan penuh rasa rendah diri dan hati yang khusyuk.
(Tafsir Ibnu Katsir Jilid 8 Hal. 358)
Namun Ibnu Katsir dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat berikut ini :
Demikian pula berzikir, baik dzikir itu isinya adalah asma-asma Allah atau
kalimat pujian kepada Allah (kalimat thoyyibah) maka dalam kondisi
normal sebaiknya dilakukan dengan suara yang lembut sebagaimana
firman Allah sebagi berikut :
Dan berdzikir lah kepada Rabb kalian dalam hatimu dengan merendahkan
diri dan rasa takut (tadlarruaa wa khufyah), dan dengan tidak
mengeraskan suara (wa duuna jahri min qoul), di waktu pagi dan petang,
dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-Araaf [7] :
205)
Dalam ayat yang lain kita dapati isyarat serupa yaitu ketika diceritakan
bagaimana Nabi Zakariyya a.s. berdoa kepada Allah dengan suara yang
lembut :
Demikian pula dalam ayat-ayat yang lain terdapat perintah untuk berdoa
dengan suara yang pelan saj karena Allah mengetahui apa yang tersirat
dalam hati manusia
Maksud ayat ini ialah: tidak perlu mengeraskan suara dalam mendoa,
karena Allah mendengar semua doa itu walaupun diucapkan dengan
suara rendah. Ad-Dhahak mengatakan bahwa yang dimaksud siirun
(rahasia) di situ adalah apa yangterbetik dalam hatimu sedangkan yang
dimaksud dengan akhfa (tersembunyi) adalah apa yang belum terbetik
dalam hatimu. Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas r.a. yang
mengatakan : Dia mengetahui as-siiru yaitu apa yang dirahasiakan anak
cucu Adam dalam dirinya. Sedangkan wa akhfa adalah apa yang
disembunyikan dari anak cucu Adam yang nanti dia akan menjadi
pelakunya sebelum dia mengetahuinya.
Juga dalam ayat yang lain Allah berfirman agar menyeru nama Allah dan
asmaul husna dengan suara pertengahan, tidak keras dan tidak pula
pelan.
Namun ayat ini sebenarnya berbicara tentang kondisi di masa awal Islam.
Dimana ketika itu kaum kafir protes akan kerasnya bacaan shalat dan
bacaan Al-Quran kaum muslimin sehingga membuat tetangga-tetangga
tertarik mendengarnya dan kemudian terpengaruh masuk Islam. Asbabun
Nuzul ayat ini sebagaimana dijelaskan pada hadits berikut ini :
Dalam sebuah hadits shahih juga diriwayatkan bahwa suatu ketika perang
Khaibar Rasulullah s.a.w. melarang para sahabat bertakbir dengan
berteriak-teriak dengan suara keras :
Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa dalam Islam banyak hal yang
pada dasarnya begini dan dilarang begitu, namun jika ada perlunya boleh
begitu. Misalkan : pada dasarnya shalat itu tidak boleh bergerak-gerak di
luar gerakan sholat namun jika ada perlunya boleh bergerak (Hal ini tidak
dibahas di sini namun dibahas di tulisan tersendiri). Demikian pula ketika
khutbah jumat pada dasarnya harus diam dan tidak boleh ngobrol atau
mengatakan sesuatu dengan suara keras karena akan gugur pahala
jumatnya, namun jika ada perlunya boleh-boleh saja (Hal ini tidak
dibahas di sini namun dibahas di tulisan tersendiri).
Walaupun ada ayat yang menyatakan agar berdoa dan berdzikir dengan
suara pelan, namun itu tidak berarti tidak boleh bersuara keras. Rasulullah
s.a.w. kadang di malam hari (di rumah bukan ramai-ramai di masjid)
membaca Al-Quran dengan suara keras sebagaimana diceritakan Aisyah
r.ah.:
Telah mengabarkan kepada kami Syuaib bin Yusuf dia berkata; telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman dari Muawiyah bin Shalih dari
Abdullah bin Abu Qais dia berkata; Aku pernah bertanya kepada Aisyah
tentang cara Rasulullah s.a.w. membaca (Al-Quran) di malam hari,
`Beliau membacanya dengan bersuara keras atau pelan (tanpa bersuara)?
Aisyah menjawab; Semuanya pernah dilakukan beliau. Kadang beliau
membacanya dengan suara keras dan kadang membacanya dengan pelan
(tanpa bersuara) . (H.R. Nasai No. 1644 Tirmidzi No. 411) Nashiruddin
Al-Albani mengatakan hadits ini shahih.
Hal ini sejalan dengan tafsir dari Ibnu Katsir yang berbeda mengartikan
kata tadlarru ketika menafsirkan (Q.S. Al-Anaam [6] : 63) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan tadlarruaa adalah suara yang keras
sedangkan khufyah adalah suara yang lembut. Sehinga terjemahannya
adalah : Kamu berdoa kepadaNya dengan suara yang keras dan suara
yang lembut (Tasfsir Ibnu Katsir Jilid 7 Hal 310)
Memang suatu ketika Nabi s.a.w. pernah menegur para sahabat yang
membaca Al-Quran dengan suara keras :
Dari Abu Said al-Khudri r.a., dia berkata, Rasulullah s.a.w. pernah
beritikaf di masjid lalu beliau mendengar mereka mengeraskan suara
bacaan al-Quran, lalu beliau membuka tabir pemisah seraya bersabda,
Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian bermunajat kepada
Rabb-nya. Oleh karena itu, janganlah sebagian kalian mengganggu
sebagian lainnya, dan janganlah sebagian mengangkat suara atas yang
lainnya dalam membaca Al-Quran. (H.R. Abu Daud)
Namun sebenarnya hadits ini maksudnya adalah ketika ada orang sedang
shalat, jangan ada yang membaca Quran dengan suara keras, karena
akan menggangu orang yang sedang shalat. Hal ini sebagaimana
diperjelas pada hadits berikut ini :
Namun jika tidak ada orang shalat di dekatnya boleh saja membaca Al-
Quran dengan suara keras hingga terdengar orang lain agar bisa juga
menjadi pelajaran dan pengingat bagi orang lain. Dalam sebuah hadits
diceritakan seorang sahabat semalaman membaca Al-Quran dengan
suara keras sampai terdengar oleh Rasulullah s.a.w. namun Rasulullah
s.a.w. tidak mengecam bahkan memujinya karena beliau ikut mendengar
dan menjadi pengingat bagi diri beliau sendiri
Walaupun ada ayat Dan berdzikir lah kepada Rabb kalian dalam
hatimu (Q.S. Al-Araaf [7] : 205) dan juga ada ayat Serulah Allah atau
serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah
kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula
merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu (Q.S. Al-
Israa [17] : 110) namun ketika Anda sedang menjadi imam atau
mengimami shalat dimana disunnahkan untuk dikeraskan bacaannya
(Maghrib, Isya, Subuh, Shalat Jumat dll) maka boleh saja disuarakan
dengan suara keras.
Hal ini tidak berarti sama sekali tidak boleh sama sekali berdoa dengan
suara yang keras yaitu jika ada alasannya misal karena saking memelas
dan mengadu kepada Allah dan untuk menimbulkan optimisme bagi orang
yang berdoa maka itu dibolehkan.
Rasulullah s.a.w. setiap habis selesai shalat berjamaah, kemudian
membaca doa dengan mengeraskan suara yang terdengar oleh semua
jamaah. Hal ini dikisahkan dalam hadits berikut :
Bersambung Jilid 2
795 SHARES
1 komentar
Sebuah hadits qudsi dari Muaz bin Anas secara marfu: Allah
swt.berfirman:
,
.
:
:
, : .
.
,
: , ,
) ( :
, : . : :
: , ,
, : : : , : :
:
, . : : , : :
: : , :
, :
:
,
.
B. Mengeraskan suara
Mayoritas ulama berpendapat, pada asalnya dzikir adalah
amalan khofi yang afdhalnya dibaca sirr, karena dzikir adalah
wujud kedekatan dengan Allah yang maha dekat yang cukup
dibaca dengan pelan agar tidak menimbulkan ria.
Namun, bukan berarti dzikir secara jahar (keras) terlarang dan
hukumnya haram, karena ada juga sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa jika dikhawatirkan riya memang dzikir
afdhalnya sirr, namun jika tidak maka Jahr lebih afdhal karena
bisa mengusir kemalasan dan kelalaian. Hal ini didasarkan
dengan ada beberapa riwayat yang menyebutkan justru dzikir
ketika shalat dibaca dengan suara keras. Berikut diantaranya :
Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :
: ,
:
Pendapat yang sama bisa kita temukan dari Imam Abd Wahab
Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah, Imam Al-
Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah dan Imam as-
Syaukani dalam Nail al-Autar dan lainnya.