Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan karpal adalah salah satu
gangguan pada terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut
maupun akibat kelainan pada tulang tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan
terhadap nervus medianus di pergelangan tangan. CTS diartikan sebagai kelemahan pada
tangan yang disertai nyeri pada daerah distribusi nervus medianus (Viera 2003, Sidharta
2006)
Carpal tunnel syndrome (CTS) adalah sindrom yang paling umum dari semua sindrom
kompresi saraf (Phalen, 1972). Sindrom ini didefinisikan sebagai tanda-tanda dan gejala yang
dihasilkan dari kompresi saraf medianus di pergelangan tangan. CTS mengakibatkan
ketidaknyamanan dan nyeri yang mengganggu, keterbatasan aktivitas hidup sehari-hari,
kurang tidur dan keterbatasan dalam bekerja (Levine et al., 1993). Atroshi et al. (1999a, b)
mengidentifikasikan CTS sering muncul pada populasi umum. Dua puluh persen dari subyek
yang mengalami gejala nyeri, mati rasa, dan kesemutan di tangan,diperkirakan mengalami
CTS berdasarkan pemeriksaan klinis dan pengujian elektrofisiologi. Papanicolaou et al.
(2001) melaporkan bahwa estimasi terendah prevalensi CTS di populasi umum AS adalah
3,72%, menunjukkan jumlah yang lebih besar dari kelompok bergejala dibanding dengan
yang dilaporkan sebelumnya.
Carpal tunnel syndrome adalah salah satu gangguan yang paling umum pada ekstremitas
atas dan neuropati kompresi yang paling umum. Brain (1947) dan George Phalen (1950) telah
berjasa dalam mengenalkan Carpal tunnel syndrome (CTS) sebagai entitas penyakit; Namun
istilah Carpal tunnel syndrome pertama kali digunakan oleh Kremer et al. pada tahun 1953.
Terapi operatif pembebasan tekanan dalam terowongan karpal pertama kali dilakukan oleh
Herbert Galloway pada tahun 1924 dan Phalen (1957) memegang peran dalam
mempopulerkan penggunaan steroid untuk tatalaksana.
National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi CTS yang
dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah sebesar 1,55% (2,6 juta). CTS lebih
sering mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 64 tahun, prevalensi tertinggi
pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 60 tahun (Atrosi, Davis). Prevalensi CTS
dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki laki. CTS
adalah jenis neuropati kompresi yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral
pada 42% kasus (29% kanan, 13 % kiri) dan 58% bilateral (Gorsche, Aroori)
Di Indonesia prevalensi CTS karena faktor pekerjaan masih belum diketaui dengan
pasti (Tana). Prevalensi dari populasi umum sekitar 3,8% (Atroshi). Penelitian yang
dilakukan oleh Silverstein (1987) pada 625 pekerja di 7 kawasan industri mengevaluasi faktor
faktor pekerjaan yang bisa mempengaruhi terjadinya CTS, ternyata ada enam faktor
pekerjaan yang menyebabkan berkembangnya CTS yaitu gerakan pergelangan/jari tangan
yang berulang, kontraksi yang kuat pada tendon, gerakan pergelangan tangan yang menekuk
kebawah (flexi) atau menekuk ke atas (ekstensi), gerakan tangan saat bekerja (gerakan
menjepit), tekananmekanik pada saraf medianus. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Armstrong (2008) di kawasan industri kerja ada empat hal yang berperan sebagai faktor
kontrol dari perkembangan CTS yaitu jenis kelamin, usia, IMT dan penyakit penyerta. CTS
merupakan hasil kombinasi dari kondisi kesehatan dan aktivitas fisik yang berulang yang
dapat meningkatkan tekanan pada nervus medianus sat melewati terowongan karpal.
Sekitar 3% orang dewasa AS mengalami CTS, sebagian besar berusia antara usia 40
dan 60 tahun. Perempuan hampir 3 kali lebih sering mengalami CTS dibandingkan pria 2.
Epidemiologi yang tepat dalam populasi Indian tidak diketahui. Berbagai faktor risiko yang
terkait termasuk diabetes, hipotiroidisme, rheumatoid arthritis, kehamilan, obesitas, riwayat
keluarga, dan trauma. Sebuah gerakan tangan yang berulang juga terkait meningkatkan resiko
4. Pekerjaan yang membutuhkan penggunaan alat yang bergetar kuat atau berulang-ulang
yang dioperasikan dengan gerakan tangan / pergelangan tangan (seperti pekerjaan perakitan
dan pengolahan makanan atau kemasan) juga telah dikaitkan dengan munculnya CTS 5.
Anatomi
Carpal tunnel didefinisikan sebagai ruang dibawah ligamentum karpal transversum, yang
membentang dari hamatum dan triquetrum pada sisi ulnar hingga skafoid dan trapezium pada
sisi radial radial, dan berbatasan posterior dengan tulang karpal. Terowongan karpal terdiri
dari saraf medianus dan sembilan tendon fleksor: tendon fleksor digitorum profunda (FDP)
dan fleksor digitorum superfisialis (FDS) ke jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari
kelingking, bersama dengan tendon Fleksor polisis longus (FPL).
Saraf medianus, berada paling superfisial di dalam kanal, memasuki terowongan karpal tepat
di garis tengah atau hanya sedikit kesisi terbagi menjadi cabang-cabang terminal pada akhir
distal dari ligamen karpal transversum.
Sifat fleksibel terowongan fibro-osseus membuat saraf medianus rentan terhadap kompresi.
Otot - otot yang juga melintas seperti palmaris profundus, lumbricalis, dan / atau badan otot
yang saling bersilangan dapat lebih mempersempit volume terowongan.
Patofisiologi dan Etiologi
Timbulnya gejala dapat bersifat ringan ataupun berat. Presentasi akut ditandai dengan
peningkatan yang cepat dan berkelanjutan dari tekanan di dalam terowongan karpal yang
membutuhkan dekompresi segera.
Penyebab onset akut termasuk trauma pergelangan tangan, infeksi, hematoma dan suntikan
bertekanan tinggi. Sebagian besar kasus memiliki presentasi berbahaya dengan gejala kronis.
Berbagai faktor anatomi yang bersifat sebagai space occupying lesions juga berperan dalam
timbulnya gejala. Berbagai faktor sistemik yang menyempitkan ruang yang sudah sempit
dalam terowongan karpal ini berperan baik dalam meningkatkan tekanan jaringan interstitial
atau menyebabkan pengendapan bahan patologis.
Carpal Tunnel Syndrome mempersulit sekitar 45% dari kehamilan, berkembang di trimester
ketiga yang sering membaik dengan pengobatan konservatif pasca-partum10. Berbagai
penelitian retrospektif telah dikaitkan penggunaan keyboard dan paparan getaran kerja untuk
CTS11.
Tekanan carpal tunnel telah terbukti meningkat pada pasien dengan CTS. Spesimen patologis
mengungkapkan adanya demielinasi, penebalan perineural dan fibrosis epineurial saraf.
Pemeriksaan konduksi saraf biasanya menunjukkan konduksi yang terhambat.
Ada beberapa hipotesa mengenai patogenesis dari CTS. Sebagian besar faktor mekanik dan
vaskulerlah yang memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi
secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan
terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang ulang dan lama akan mengakibatkan
peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat.
Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia
yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein
sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan
sembab yang timbul terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang
terlibat digerak gerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada
aliran darah. Apabila ondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak
serabut saraf. Lama kelamaan saraf akan menjadi atrofi dan tergantikan oleh jaringan ikat
yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh (moeliono 1993,
Davis 2005)
Selain itu akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler yang akan
menyebabkan gangguan mikosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik ini
diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya
gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga
sawat darah saraf terganggu yang berakibat pada rusaknya saraf tersebut. (Moeliono 1993,
Barnardo 2004)
Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian (2000) menyatakan CTS terjadi karena
kompresi saraf median dibawah ligamentum karpal transversum berhubungan dengan
naiknya berat badan dan IMT. IMT yang rendah merupakn kondisi kesehatan yang baik untuk
proteksi fungsi nervus medianus (Werner 2004). Pekerja dengan IMT minimal 25 lebih
mungkin untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerja yang memiliki IMT rendah
(Atroshi 1999). American Obesity Association menemukan bahwa 70% dari penderita CTS
memiliki kelebihan berat badan (Atroshi 1999). Setiap peningkatan 1 nilai dari IMT normail
akan meningkatkan 8% resiko CTS (Nordstrom 1997).
Gejala klinis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sendorik saja. Gangguan motorik hanya
terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, numbness, atau rasa
seoerti terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan
distribusi sensorik nervus medianus, walaupun kadang kadang dirasakan mengenai seluruh
jari jari (Bernardo, Davis, Salter). Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam
hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat di malam hari
sehingga membangunkan penderita dari tidurnya. rasa nyeri ini umumnya agak berkurang
bila penderita memijit atau menggerak gerakkan tangannya atau dengan meletakkan
tangannya pada posisi yang lebih tiggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih
banyak mengistirahatkan tangannya (Rambe, Barnardo, Davis, Aroori).
Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari jari menjadi kurang terampil misalnya
saat memungut benda yang kecil. Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan
keluhan adanya kesulitan bagi penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat
dijumpai atrofi otot otot thenar dan otot lainnya yang diinervasi oleh nervus medianus
(Moeliono, Davis).
Gejala klinisnya secara singkat dijabarkan oleh Grafton (2009) adalah sebagai berikut :
Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari jari dan telapak tangan.
Nyeri di telapak, pergelangan tangan, atau lengan bawah khususnya selama
pergerakan.
Penurunan kekuatan cengkraman.
Kelemahan pada ibu jari.
Sensasi jari bengkak (terasa tebal)
Kesulitan membedakan antara panas dan dingin.
Diagnosis
Diagnosis CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala klinis, juga diperkuat dengan
pemeriksaan yaitu :
1. Pemeriksaan fisik
i. Phalens test :
1. Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal,
jika dalam waktu 60 detik muncul gejala seperti CTS, maka
harus dipertimbangkan tegaknya diagnosa karena beberapa
peneliti berpendapat tes ini sensitivitasnya baik.
ii. Torniquet test :
1. Pemasangan torniquet tensimeter diatas siku dengan tekanan
sedikit diatas tekanan darah sistolik. Bila dalam 1 menit timbul
gejala seperti CTS, maka dapat dipertimbangkan untuk
menyokong diagnosa.
iii. Tinels test :
1. Hasilnya mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi
pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit
dorsofleksi.
iv. Flicks sign ;
1. Penderita diminta mengibaskan tangan atau menggerakkan jari
jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS. Harus diingat pula bahwa tanda ini
juga dapat dijumai pada penyakit Raynaud
v. Thenar wasting :
1. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi pada
otot otot thenar.
vi. Meinilai kekuatan dan keterampilan otot otot secara manual maupun
dengan alat dinamometer.
vii. Wrist extention test :
1. Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga
dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala seperti
CTS, maka tes ini menyokong diagnosa.
viii. Pressure test :
1. Nervus medianus ditekan diterowongak karpal menggunakan
ibu jari. Bila dalam waktu 120 detik muncul gejala seperti CTS,
tes ini menyokong diagnosa.
ix. Botts sign :
1. Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnosa.
x. Pemeriksaan sensibilitas :
1. Bila penderita tidak bisa membedakan dua titik ( 2 point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.
xi. Pemeriksaan fungsi otonom :
1. Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,
kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah inervasi
nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagosa CTS
(Greenberg 1994)
2. Pemeriksaan neurofisiologi
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah
ada penyebab lai seperti fraktur atau arthritis. Foto polos leher berguna untuk
menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi (Rambe 2004)
4. Pemeriksaan laboratorium
Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita berusia muda tanpa adanya
gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar
gula darah, kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe 2004).
Percussion test Examiner lightly taps along Site of nerve Tingling response in Probable CTS if
(Tinels) median nerve at the wrist, lesion fingers at site of response is at the
proximal to distal compression wrist
(sensitivity 0.60;
specificity 0.67)
Direct compression of Paresthesias within
Carpal tunnel median Paresthesias in 30 Probable CTS
compression test nerve by examiner response to sec (sensitivity 0.87;
pressure specificity 0.90)
Patient marks sites of pain Signs on palmar side
Hand diagram or Patients of Probable CTS
altered sensation on outline perception of radial digits without (sensitivity 0.96;
diagram of the hand site of nerve signs in palm specificity 0.73);
negative
deficit predictive
value of a
negative
test = 0.91
Measure hand volume by Hand volume Probable
Hand-volume water Hand volume increased Dynamic
displacement; repeat after
stress test 7-min by CTS
stress test and 10-min rest 10 ml or more
Resting pressure of
Direct Wick or infusion catheter is Hydrostatic 25 Hydrostatic
measurement placed pressure while mm Hg or more (this compression
at wrist is
of carpal tunnel in carpal tunnel; pressure is resting and in value is probable
variable and may not
pressure measured response to be cause of CTS
position or
stress valid in and of itself)
*
adapted from Szabo RM, Madison M: Carpal tunnel syndrome. Orthop Clin North Am 1992 ;
23: 105
Terapi
Terapi yang diberikan selain langsung untuk menangani CTS juga ditujukan untuk
menangani penyakit yang mendasari. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2
kelompok, yaitu :
Prognosis
Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosis baik. Bila
keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan.
Secara umum prognosis operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada
penderita yang sudah lama menderita CTS, maka penyembuhan postoperatifnya pun akan
bertahap.
Bila setela dilakukan tindakan operasi tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :
Sekalipun prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.