Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan karpal adalah salah satu
gangguan pada terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut
maupun akibat kelainan pada tulang tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan
terhadap nervus medianus di pergelangan tangan. CTS diartikan sebagai kelemahan pada
tangan yang disertai nyeri pada daerah distribusi nervus medianus (Viera 2003, Sidharta
2006)

Carpal tunnel syndrome (CTS) adalah sindrom yang paling umum dari semua sindrom
kompresi saraf (Phalen, 1972). Sindrom ini didefinisikan sebagai tanda-tanda dan gejala yang
dihasilkan dari kompresi saraf medianus di pergelangan tangan. CTS mengakibatkan
ketidaknyamanan dan nyeri yang mengganggu, keterbatasan aktivitas hidup sehari-hari,
kurang tidur dan keterbatasan dalam bekerja (Levine et al., 1993). Atroshi et al. (1999a, b)
mengidentifikasikan CTS sering muncul pada populasi umum. Dua puluh persen dari subyek
yang mengalami gejala nyeri, mati rasa, dan kesemutan di tangan,diperkirakan mengalami
CTS berdasarkan pemeriksaan klinis dan pengujian elektrofisiologi. Papanicolaou et al.
(2001) melaporkan bahwa estimasi terendah prevalensi CTS di populasi umum AS adalah
3,72%, menunjukkan jumlah yang lebih besar dari kelompok bergejala dibanding dengan
yang dilaporkan sebelumnya.

Carpal tunnel syndrome adalah salah satu gangguan yang paling umum pada ekstremitas
atas dan neuropati kompresi yang paling umum. Brain (1947) dan George Phalen (1950) telah
berjasa dalam mengenalkan Carpal tunnel syndrome (CTS) sebagai entitas penyakit; Namun
istilah Carpal tunnel syndrome pertama kali digunakan oleh Kremer et al. pada tahun 1953.
Terapi operatif pembebasan tekanan dalam terowongan karpal pertama kali dilakukan oleh
Herbert Galloway pada tahun 1924 dan Phalen (1957) memegang peran dalam
mempopulerkan penggunaan steroid untuk tatalaksana.

Carpal tunnel syndrome merupakan neuropati kompresi saraf medianus dalam


terowongan karpal di pergelangan tangan dengan kejadian yang paling sering, bersifat kronik,
dan ditandai dengan nyeri tangan pada malam hari, parestesia jari jari yang mendapat
inervasi dari saraf medianus, kelemahan dan atrofi otot thenar ( Kao 2003, Susanto 2004m
Aroori 2008). Dulu, sindroma ini juga disebu dengan nama acroparesthesia, median thenar
neuritis atau partial thenar athropy (De Jong 1992).
Epidemiologi

National Health Interview Study (NIHS) memperkirakan bahwa prevalensi CTS yang
dilaporkan sendiri diantara populasi dewasa adalah sebesar 1,55% (2,6 juta). CTS lebih
sering mengenai wanita daripada pria dengan usia berkisar 25 64 tahun, prevalensi tertinggi
pada wanita usia > 55 tahun, biasanya antara 40 60 tahun (Atrosi, Davis). Prevalensi CTS
dalam populasi umum telah diperkirakan 5% untuk wanita dan 0,6% untuk laki laki. CTS
adalah jenis neuropati kompresi yang paling sering ditemui. Sindroma tersebut unilateral
pada 42% kasus (29% kanan, 13 % kiri) dan 58% bilateral (Gorsche, Aroori)

Di Indonesia prevalensi CTS karena faktor pekerjaan masih belum diketaui dengan
pasti (Tana). Prevalensi dari populasi umum sekitar 3,8% (Atroshi). Penelitian yang
dilakukan oleh Silverstein (1987) pada 625 pekerja di 7 kawasan industri mengevaluasi faktor
faktor pekerjaan yang bisa mempengaruhi terjadinya CTS, ternyata ada enam faktor
pekerjaan yang menyebabkan berkembangnya CTS yaitu gerakan pergelangan/jari tangan
yang berulang, kontraksi yang kuat pada tendon, gerakan pergelangan tangan yang menekuk
kebawah (flexi) atau menekuk ke atas (ekstensi), gerakan tangan saat bekerja (gerakan
menjepit), tekananmekanik pada saraf medianus. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Armstrong (2008) di kawasan industri kerja ada empat hal yang berperan sebagai faktor
kontrol dari perkembangan CTS yaitu jenis kelamin, usia, IMT dan penyakit penyerta. CTS
merupakan hasil kombinasi dari kondisi kesehatan dan aktivitas fisik yang berulang yang
dapat meningkatkan tekanan pada nervus medianus sat melewati terowongan karpal.

Sekitar 3% orang dewasa AS mengalami CTS, sebagian besar berusia antara usia 40
dan 60 tahun. Perempuan hampir 3 kali lebih sering mengalami CTS dibandingkan pria 2.
Epidemiologi yang tepat dalam populasi Indian tidak diketahui. Berbagai faktor risiko yang
terkait termasuk diabetes, hipotiroidisme, rheumatoid arthritis, kehamilan, obesitas, riwayat
keluarga, dan trauma. Sebuah gerakan tangan yang berulang juga terkait meningkatkan resiko
4. Pekerjaan yang membutuhkan penggunaan alat yang bergetar kuat atau berulang-ulang
yang dioperasikan dengan gerakan tangan / pergelangan tangan (seperti pekerjaan perakitan
dan pengolahan makanan atau kemasan) juga telah dikaitkan dengan munculnya CTS 5.

Anatomi
Carpal tunnel didefinisikan sebagai ruang dibawah ligamentum karpal transversum, yang
membentang dari hamatum dan triquetrum pada sisi ulnar hingga skafoid dan trapezium pada
sisi radial radial, dan berbatasan posterior dengan tulang karpal. Terowongan karpal terdiri
dari saraf medianus dan sembilan tendon fleksor: tendon fleksor digitorum profunda (FDP)
dan fleksor digitorum superfisialis (FDS) ke jari telunjuk, jari tengah, jari manis dan jari
kelingking, bersama dengan tendon Fleksor polisis longus (FPL).

Ligamentum karpal transversum (TCL) memiliki kedalaman bervariasi antara 10 hingga


13mm6 dan tekanan normal 2,5 mmHg dalam karpal tunnel7. Rydevik8 menunjukkan bahwa
kompresi eksternal 20-30mmHg menginduksi perlambatan aliran venula epineurium yang
dapat berkembang menjadi stasis total aliran intraneural jika tekanan dinaikan hingga
80mmHg. Telah diamati bahwa tingkat tekanan krisis untuk penyumbatan pembuluh darah
mikro dan iskemia dengan blok konduksi saraf total adalah sekitar 40-50mmHg9.

Saraf medianus, berada paling superfisial di dalam kanal, memasuki terowongan karpal tepat
di garis tengah atau hanya sedikit kesisi terbagi menjadi cabang-cabang terminal pada akhir
distal dari ligamen karpal transversum.

Sifat fleksibel terowongan fibro-osseus membuat saraf medianus rentan terhadap kompresi.
Otot - otot yang juga melintas seperti palmaris profundus, lumbricalis, dan / atau badan otot
yang saling bersilangan dapat lebih mempersempit volume terowongan.
Patofisiologi dan Etiologi

Timbulnya gejala dapat bersifat ringan ataupun berat. Presentasi akut ditandai dengan
peningkatan yang cepat dan berkelanjutan dari tekanan di dalam terowongan karpal yang
membutuhkan dekompresi segera.

Penyebab onset akut termasuk trauma pergelangan tangan, infeksi, hematoma dan suntikan
bertekanan tinggi. Sebagian besar kasus memiliki presentasi berbahaya dengan gejala kronis.
Berbagai faktor anatomi yang bersifat sebagai space occupying lesions juga berperan dalam
timbulnya gejala. Berbagai faktor sistemik yang menyempitkan ruang yang sudah sempit
dalam terowongan karpal ini berperan baik dalam meningkatkan tekanan jaringan interstitial
atau menyebabkan pengendapan bahan patologis.

Carpal Tunnel Syndrome mempersulit sekitar 45% dari kehamilan, berkembang di trimester
ketiga yang sering membaik dengan pengobatan konservatif pasca-partum10. Berbagai
penelitian retrospektif telah dikaitkan penggunaan keyboard dan paparan getaran kerja untuk
CTS11.

Tekanan carpal tunnel telah terbukti meningkat pada pasien dengan CTS. Spesimen patologis
mengungkapkan adanya demielinasi, penebalan perineural dan fibrosis epineurial saraf.
Pemeriksaan konduksi saraf biasanya menunjukkan konduksi yang terhambat.

Etiologi dari CTS sendiri antara lain :

Herediter : neuropati herediter yang cenderung menjadi pressure palsy.


Trauma : dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah, pergelangan
tangan dan tangan.
Infeksi : tenosinovitis, tuberkulosis, dan sarkoidosis.
Metabolk : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes mellitus,
hipotiroidisme, kehamilan.
Neoplasma : kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase, myeloma.
Penyakit kolagen vascu;er : artritis reumatoid, polimyalgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
Degeneratif : osteoartritis.
Iatrogenik : pungsi arteri radialis, pemasangan shunt vaskuler untuk dialisis,
hematoma, komplikasi dan terapi antikoagulan.
Penggunaan tangan atau pergelangan tangan yang berlebihan dan repetitif.
Obesitas.
Anomali struktur bawaan.

Ada beberapa hipotesa mengenai patogenesis dari CTS. Sebagian besar faktor mekanik dan
vaskulerlah yang memegang peranan penting dalam terjadinya CTS. Umumnya CTS terjadi
secara kronis dimana terjadi penebalan fleksor retinakulum yang menyebabkan tekanan
terhadap nervus medianus. Tekanan yang berulang ulang dan lama akan mengakibatkan
peninggian tekanan intrafasikuler. Akibatnya aliran darah vena intrafasikuler melambat.
Kongesti yang terjadi ini akan mengganggu nutrisi intrafasikuler lalu diikuti oleh anoksia
yang akan merusak endotel. Kerusakan endotel ini akan mengakibatkan kebocoran protein
sehingga terjadi edema epineural. Hipotesa ini menerangkan bagaimana keluhan nyeri dan
sembab yang timbul terutama pada malam atau pagi hari akan berkurang setelah tangan yang
terlibat digerak gerakkan atau diurut, mungkin akibat terjadinya perbaikan sementara pada
aliran darah. Apabila ondisi ini terus berlanjut akan terjadi fibrosis epineural yang merusak
serabut saraf. Lama kelamaan saraf akan menjadi atrofi dan tergantikan oleh jaringan ikat
yang mengakibatkan fungsi nervus medianus terganggu secara menyeluruh (moeliono 1993,
Davis 2005)

Selain itu akibat adanya penekanan yang melebihi tekanan perfusi kapiler yang akan
menyebabkan gangguan mikosirkulasi dan timbul iskemik saraf. Keadaan iskemik ini
diperberat lagi oleh peninggian tekanan intrafasikuler yang menyebabkan berlanjutnya
gangguan aliran darah. Selanjutnya terjadi vasodilatasi yang menyebabkan edema sehingga
sawat darah saraf terganggu yang berakibat pada rusaknya saraf tersebut. (Moeliono 1993,
Barnardo 2004)

Penelitian yang telah dilakukan Kouyoumdjian (2000) menyatakan CTS terjadi karena
kompresi saraf median dibawah ligamentum karpal transversum berhubungan dengan
naiknya berat badan dan IMT. IMT yang rendah merupakn kondisi kesehatan yang baik untuk
proteksi fungsi nervus medianus (Werner 2004). Pekerja dengan IMT minimal 25 lebih
mungkin untuk terkena CTS dibandingkan dengan pekerja yang memiliki IMT rendah
(Atroshi 1999). American Obesity Association menemukan bahwa 70% dari penderita CTS
memiliki kelebihan berat badan (Atroshi 1999). Setiap peningkatan 1 nilai dari IMT normail
akan meningkatkan 8% resiko CTS (Nordstrom 1997).

Gejala klinis

Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sendorik saja. Gangguan motorik hanya
terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa parestesia, numbness, atau rasa
seoerti terkena aliran listrik (tingling) pada jari dan setengah sisi radial jari sesuai dengan
distribusi sensorik nervus medianus, walaupun kadang kadang dirasakan mengenai seluruh
jari jari (Bernardo, Davis, Salter). Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam
hari. Gejala lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat di malam hari
sehingga membangunkan penderita dari tidurnya. rasa nyeri ini umumnya agak berkurang
bila penderita memijit atau menggerak gerakkan tangannya atau dengan meletakkan
tangannya pada posisi yang lebih tiggi. Nyeri juga akan berkurang bila penderita lebih
banyak mengistirahatkan tangannya (Rambe, Barnardo, Davis, Aroori).

Apabila tidak segera ditangani dengan baik maka jari jari menjadi kurang terampil misalnya
saat memungut benda yang kecil. Kelemahan pada tangan juga sering dinyatakan dengan
keluhan adanya kesulitan bagi penderita sewaktu menggenggam. Pada tahap lanjut dapat
dijumpai atrofi otot otot thenar dan otot lainnya yang diinervasi oleh nervus medianus
(Moeliono, Davis).
Gejala klinisnya secara singkat dijabarkan oleh Grafton (2009) adalah sebagai berikut :

Mati rasa, rasa terbakar, atau kesemutan di jari jari dan telapak tangan.
Nyeri di telapak, pergelangan tangan, atau lengan bawah khususnya selama
pergerakan.
Penurunan kekuatan cengkraman.
Kelemahan pada ibu jari.
Sensasi jari bengkak (terasa tebal)
Kesulitan membedakan antara panas dan dingin.

Diagnosis

Diagnosis CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala klinis, juga diperkuat dengan
pemeriksaan yaitu :

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan harus dilakukan secara menyeluruh pada penderita dengan perhatian


khusus pada fungsi, motorik, sensorik, dan otonom tangan. Beberapa pemeriksaan dan
tes provokasi yang dapat membatu menegakkan diagnosis antara lain :

i. Phalens test :
1. Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal,
jika dalam waktu 60 detik muncul gejala seperti CTS, maka
harus dipertimbangkan tegaknya diagnosa karena beberapa
peneliti berpendapat tes ini sensitivitasnya baik.
ii. Torniquet test :
1. Pemasangan torniquet tensimeter diatas siku dengan tekanan
sedikit diatas tekanan darah sistolik. Bila dalam 1 menit timbul
gejala seperti CTS, maka dapat dipertimbangkan untuk
menyokong diagnosa.
iii. Tinels test :
1. Hasilnya mendukung diagnosa jika timbul parestesia atau nyeri
pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi
pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit
dorsofleksi.
iv. Flicks sign ;
1. Penderita diminta mengibaskan tangan atau menggerakkan jari
jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan
menyokong diagnosa CTS. Harus diingat pula bahwa tanda ini
juga dapat dijumai pada penyakit Raynaud
v. Thenar wasting :
1. Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi pada
otot otot thenar.
vi. Meinilai kekuatan dan keterampilan otot otot secara manual maupun
dengan alat dinamometer.
vii. Wrist extention test :
1. Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal,
sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga
dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala seperti
CTS, maka tes ini menyokong diagnosa.
viii. Pressure test :
1. Nervus medianus ditekan diterowongak karpal menggunakan
ibu jari. Bila dalam waktu 120 detik muncul gejala seperti CTS,
tes ini menyokong diagnosa.
ix. Botts sign :
1. Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya
pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat
menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan
mendukung diagnosa.
x. Pemeriksaan sensibilitas :
1. Bila penderita tidak bisa membedakan dua titik ( 2 point
discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus
medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosa.
xi. Pemeriksaan fungsi otonom :
1. Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat,
kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah inervasi
nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagosa CTS
(Greenberg 1994)
2. Pemeriksaan neurofisiologi

Pemeriksaan EMG dapat menunjukan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif,


dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot oto thenar. Pada beberapa kasus tidak
dijumpai kelainan karena EMG bisa didapatkan hasil yang normal pada 31% kasus
CTS. Kecepatan Hantaran Saraf dapat normal pada 15 25 % kasus, pada persentase
sisanya akan menurun dan masa laten distalnya (distal latency) akan memanjang,
menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan tangan.

Summary of Electrodiagnostic tests for the diagnosis of Carpal Tunnel Syndrome


1. Distal Median Motor Latency > 4.4 ms
2. Difference between distal motor latency of Median and Ulnar nerves > 1.1 ms
3. Difference between distal Sensory latency of Median and Ulnar nerves > 0.2 ms
4. Difference between median and ulnar sensory latencies on stimulating fourth digit
and recording from wrist at equal distance > 0.2 ms
5. Difference between median and radial sensory latencies on stimulating thumb and
recording from wrist at equal distance > 0.4 ms
6. Palm wrist conduction : Difference between median and ulnar sensory latencies
across 8 cm > 0.4 ms

3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan sinar X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah
ada penyebab lai seperti fraktur atau arthritis. Foto polos leher berguna untuk
menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT scan dan MRI dilakukan
pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi (Rambe 2004)

4. Pemeriksaan laboratorium

Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita berusia muda tanpa adanya
gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar
gula darah, kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe 2004).

Diagnostic tests for Carpal Tunnel Syndrome (CTS)

Test How Performed Condition Positive result Interpretation of


measured Positive Result
Patient places elbows on Numbness or tingling
Phalens test table, Paresthesias in in Probable CTS
forearms vertical, wrists
flexed response to Median nerve (sensitivity 0.75;
distribution within
position 60s specificity 0.47)

Percussion test Examiner lightly taps along Site of nerve Tingling response in Probable CTS if
(Tinels) median nerve at the wrist, lesion fingers at site of response is at the
proximal to distal compression wrist
(sensitivity 0.60;
specificity 0.67)
Direct compression of Paresthesias within
Carpal tunnel median Paresthesias in 30 Probable CTS
compression test nerve by examiner response to sec (sensitivity 0.87;
pressure specificity 0.90)
Patient marks sites of pain Signs on palmar side
Hand diagram or Patients of Probable CTS
altered sensation on outline perception of radial digits without (sensitivity 0.96;
diagram of the hand site of nerve signs in palm specificity 0.73);
negative
deficit predictive
value of a
negative
test = 0.91
Measure hand volume by Hand volume Probable
Hand-volume water Hand volume increased Dynamic
displacement; repeat after
stress test 7-min by CTS
stress test and 10-min rest 10 ml or more
Resting pressure of
Direct Wick or infusion catheter is Hydrostatic 25 Hydrostatic
measurement placed pressure while mm Hg or more (this compression
at wrist is
of carpal tunnel in carpal tunnel; pressure is resting and in value is probable
variable and may not
pressure measured response to be cause of CTS
position or
stress valid in and of itself)

Determine minimum Failure to


Static two-point separation Innervation discriminate Advanced nerve
density of points more than 6
Discrimination of two points perceived as slowly mm dysfunction
distinct when lightly
touched on adapting fibers apart
palmar surface of digit
Failure to
Moving two-point As above, but with points Innervation discriminate Advanced nerve
density of points more than 5
Discrimination moving quickly mm dysfunction
adapting fibers apart
Vibrometer head is placed
Vibrometry on Threshold of Asymmetry with Probable CTS
palmar side of digit;
amplitude quickly adapting contralateral hand or (sensitivity 0.87)
between radial and
at fibers ulnar
120 Hz increased to digits
threshold of
perception; compare median
and ulnar nerves in both
hands

Semmes- Monofilaments of Value greater than


Weinstein increasing Threshold of 2.83 Median nerve
diameter touched to palmar
monofilament side slowly adapting in radial digits impairment
test of digit until patient can tell fibers (sensitivity 0.83)
which
digit is touched
Latency greater than
Distal sensory Orthodromic stimulus and Latency and 3.5 Probable CTS
latency and recording across wrist conduction msec or asymmetry
conduction velocity of greater than 0.5 msec
Velocity sensory fibers compared with
contralateral hand
Latency greater than
Distal motor Orthodromic stimulus and Latency and 4.5 Probable CTS
latency and recording across wrist conduction msec or asymmetry
conduction velocity of
velocity motor greater than 1.0 msec
fibers of median
nerve
Electromyograph
y Needle electrodes placed in Denervation of Fibrillation Very advanced
potentials,sharp motor median
muscle thenar Muscles waves, nerve
increased compression
insertional activity

*
adapted from Szabo RM, Madison M: Carpal tunnel syndrome. Orthop Clin North Am 1992 ;
23: 105
Terapi

Terapi yang diberikan selain langsung untuk menangani CTS juga ditujukan untuk
menangani penyakit yang mendasari. Oleh karena itu sebaiknya terapi CTS dibagi atas 2
kelompok, yaitu :

1. Terapi langsung terhadap CTS.


a. Terapi konservatif
i. Istirahatkan pergelangan tangan.
ii. Obat anti inflamasi non steroid.
iii. Pemasangan bidai pada posisi anatomis pergelangan tangan. Dapat
dipasang terus menerus atau hanya pada malam hari pada saat tidur
selama 2 3 minggu.
iv. Injeksi steroid seperti dexametason 1 4 mg atau hidrokortison 10 -
25 mg atau metilprednisolon 20 mg atau 40 mg diinjeksikan kedalam
terowongan karpal menggunakan jarum nomor 23 atau 25 pada lokasi
1 cm ke arah proximal lipat pergelangan di sebelah medial tendon
musculus palmaris longus. Bila belum berhasil mengurangi gejala,
suntikan bisa diulangi setelah 2 minggu atau lebih. Tindakan operasi
dapat dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah
pemberian 3 kali suntikan.
v. Vitamin B6 ( piridoksin). Beberapa penelitian berpendapat bahwa
salah satu penyebab CTS adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka
menganjurkan pemberian piridoksin 100 300 mg/hari selama 3 bulan.
Tetapi beberapa penelitian lain berpendapat bahwa pemberian
piridoksin tidak bermanfaat bahkan dapat memberikan neuropati bila
diberikan dalam dosis yang besar.
vi. Fisioterapi. Ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan tangan
(Merliono, greenberg,rame,aroori)
b. Terapi operatif
i. Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan
dengan terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang
berat atau adanya atrofi otot otot thena. Pada CTS bilateral biasanya
operasi pertama dilakukan pada tangan yang paling nyeri walaupun
dapat sekaligus dilakukan operasi bilateral. Penelitian lain menyatakan
bahwa tindakan operasi mutlak dilakukan bila terapi konservatif gagal
atau bila ada atrofi otot otot thenar, sedangkan indikasi relatif
tindakan operasi adalah hilangnya sensibilitas yang persisten.
(Bernardo, rambe) Biasanya tindakan operasi CTS dilakukan secara
terbuka dengan anestesi lokal, tetapi sekarang telah dikembangkan
teknik operasi secara endoskopik. Operasi endoskopik memungkinkan
mobilisasi penderita secara dini dengan jaringan parut yang minimal,
tetapi karena terbatasnya lapangan operasi tindakan ini lebih sering
menimbulkan komplikasi operasi seperti cedera pada saraf. Beberapa
penyebab CTS seperti adanya massa atau anomali maupun
tenosinovitis pada terowongan karpal lebih baik dioperasi secara
terbuka (greenberg)
2. Terapi terhadap keadaan tau penyakit yang mendasari CTS
a. Keadaan atau penyakit yang mendasari terjadinya CTS harus ditanggulangi,
sebab bila tidak dapat menimbulkan kekambuhan CTS kembali. Pada keadaan
dimana CTS terjadi akibat gerakan tangan yang repetitif harus dilakukan
penyesuaian ataupun pencegahan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya CTS atau mencegah kekambuhannya antara lain :
i. Mengurangi posisi kaku pada pergelangan tangan, gerakan repetitif,
getaran peralatan tangan pada saat bekerja.
ii. Desain peralatan kerja supaya tangan dalam posisi natural saat kerja.
iii. Modifikasi tata ruang kerja untuk memudahkan variasi gerakan.
iv. Mengubah metode kerja untuk sesekali istirahat pendek serta
mengupayakan rotasi kerja.
v. Meningkatkan pengetahuan pekerja tentang gejala gejala dini CTS
sehinga pekerja dapat mengenali gejala gejala CTS lebih dini.
b. Disamping itu perlu pula diperhatikan beberapa penyakit yang sering
mendasari terjadinya CTS seperti : trauma akut maupun kronik pergelangan
tangan dan daerah sekitalnya, gagal ginjal, penderita yang sering
dihemodialisa, myxedema akibat hipertiroid, akromegali akibat tumor
hipofisis, kehamilan atau penggunaan pil kontrasepsi, penakit kolagen
vaskuler, artritis, tenosinovitis, infeksi pergelangan tangan, obesitas dan
penyakit lain yang dapat menyebabkan retensi cairan atau menebabkan
bertambahnya isi terowongan karpal.

Prognosis

Pada kasus CTS ringan, dengan terapi konservatif umumnya prognosis baik. Bila
keadaan tidak membaik dengan terapi konservatif maka tindakan operasi harus dilakukan.
Secara umum prognosis operasi juga baik, tetapi karena operasi hanya dilakukan pada
penderita yang sudah lama menderita CTS, maka penyembuhan postoperatifnya pun akan
bertahap.

Bila setela dilakukan tindakan operasi tidak juga diperoleh perbaikan maka
dipertimbangkan kembali kemungkinan berikut ini :

1. Kesalahan menegakkan diagnosa, mungkin jebakan / tekanan terhadap nervus


medianus terletak di tempat yang lebih proximal.
2. Telah terjadi kerusakan total pada nervus medianus.
3. Terjadi CTS yang baru sebagai akibat komplikasi operasi seperti akibat edema,
perlengketan, infeksi, hematoma atau jaringan parut hipertrofik.

Sekalipun prognosis CTS dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

Anda mungkin juga menyukai