Anda di halaman 1dari 5

PELANGGARAN HAM

Tragedi Panjang Kematian Munir

Kamis 13 Oktober 2016, 11:42 WIB


Andi Saputra detikNews

Jakarta - 12 tahun berlalu, meninggalnya aktivis HAM Munir masih menyisakan tanda tanya
besar: siapa otak pembunuhan Munir? Presiden Joko Widodo tidak tinggal diam dan
memerintahkan Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kapolri Jenderal Tito Karnavian menelusuri
kembali jejak kasus itu.
6 September 2004 Pukul 21.55 WIB
Munir berangkat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Amsterdam. Dari Jakarta kemudian
transit di Bandara Changi, Singapura. Ia menggunakan maskapai penerbangan Garuda
Indonesia dengan nomor penerbangan GA 974 jenis pesawat Boeing 747-400 dengan
kapasitas penumpang sekitar 380 orang.

7 September 2004
Tiba di Bandara Changi untuk transit sekitar pukul 00.40 waktu setempat.

7 September 2004
Berangkat kembali ke Amsterdam menggunakan pesawat yang sama sekitar pukul 01.50
waktu setempat. Sebelumnya ia berkenalan dengan dr. Tarmizi Hakim, ahli bedah jantung
dari Rumah Sakit Jantung dan pembuluh darah Harapan di pintu pemeriksaan. Setelah
berbincang dua sampai tiga menit mereka berpisah. Tarmizi masuk lewat pintu depan di
nomor 1E kelas bisnis sedangkan Munir lewat pintu belakang duduk satu barisan dengan
dokter tersebut di nomor 40 kelas ekonomi. Tiga jam penerbangan kemudian Munir
mengeluhkan sakit perut dan badannya lemas. Ia meminta pramugari mencari dr. Tarmizi
untuk menolongnya. Sebelumnya ia telah enam kali muntah berak dan bolak-balik ke toilet.
Tarmizi bangun dan menolong Munir dan memberikan obat untuk menghentikan muntahnya.
Namun tak berhasil. Sehabis makan obat, Munir kembali ke toilet. Setidaknya dua kali dia
muntah setelah makan obat. Munir kemudian mulai tenang dan minta tidur di lantai dekat
toilet. Dia sempat diberikan teh manis campur garam dan air putih campur garam. Kemudian
dr. Tarmizi juga memberikan obat penenang dengan dosis ringan. Sekitar pukul 6 waktu
setempat. Dr. Tarmizi bangun dan sempat menanyakan kondisi Munir. Pramugari yang
ditanya mengatakan kondisi Munir baik-baik saja. Munir sudah pindah tidur dari dekat toilet
ke kursi nomor empat. Setelah dr. Tarmizi selesai makan, pramugari memintanya mencek
kondisi Munir karena tidak ada reaksi. Setelah diperiksa ternyata Munir telah
menghembuskan nafasnya.

Pukul 08.10 waktu Amsterdam


Pesawat mendarat di Bandara Schipoll. Polisi dan dokter memeriksa jenazah Munir. dr.
Tarmizi diinterogasi di Bandara.

11 September 2004
Jenazah Munir tiba Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh pada Sabtu (11/9) tepat
pukul 21.10. Jenazah almarhum dan rombongan pengantar diangkut dengan Boeing 737
Merpati MZ-3300.

12 September 2004
PKN
PELANGGARAN HAM
Jenazah Munir dimakamkan di kota Batu, Malang, Jawa Timur.

11 November 2004
Institut Forensik Belanda (NFI) membuktikan Munir meninggal akibat racun arsenik dengan
jumlah dosis yang fatal.

18 Maret 2005
Pollycarpus resmi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan Mabes Polri.

5 April 2005
Polri menetapkan dua kru Garuda yaitu kru pentry Oedi Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti
menjadi tersangka kasus Munir.

23 Juni 2005
Rekonstruksi kasus kematian Munir dilakukan.

29 Juli 2005
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat melimpahkan berkas
perkara ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Lantas PN Jakpus menetapkan 5
anggota majelis hakim untuk menangani kasus Munir dengan tersangka Pollycarpus. Mereka
adalah Cicut Sutiyarso (ketua), Sugito, Liliek Mulyadi, Agus Subroto dan Ridwan Mansyur.

9 Agustus 2005
Pollycarpus didakwa melakukan pembunuhan berencana. Motif Pollycarpus dalam
membunuh Munir adalah demi menegakkan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia)
karena Munir banyak mengkritik pemerintah.

17 November 2005
Muchdi PR bersaksi di persidangan. Dia menyangkal punya hubungan dengan Pollycarpus.

1 Desember 2005
JPU menuntut menuntut hukuman penjara seumur hidup untuk Pollycarpus.
12 Desember 2005
PN Jakpus menjatuhi hukuman 14 tahun penjara kepada Pollycarpus. Ia dinyatakan terbukti
melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir dengan cara memasukkan racun arsenik
ke dalam mie goreng yang disantap Munir saat penerbangan menuju Singapura.

27 Maret 2006
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
tetap menghukum 14 tahun penjara.

3 Oktober 2006
MA mengeluarkan keputusan kasasi yang menyatakan Pollycarpus tidak terbukti melakukan
tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Munir. Polly hanya terbukti bersalah
menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan. Polly lantas hanya divonis 2 tahun
penjara.

3 November 2006
Polly dieksekusi dengan dijebloskan ke LP Cipinang.

PKN
PELANGGARAN HAM
25 Desember 2006
Pollycarpus bebas dari LP Cipinang setelah mendapat remisi susulan 2 bulan dan remisi
khusus satu bulan.

25 Januari 2007
MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan kejaksaan terkait pembunuhan aktivis
HAM Munir. Polly divonis 20 tahun penjara. Ia menyatakan akan mengajukan PK atas
putusan PK tersebut.

Februari 2008
Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia ini divonis satu tahun penjara di kasus
tersebut.

19 Juni 2008
Muchdi ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan Munir. Deputi V BIN/Penggalangan
(2001-2005) itu diduga kuat terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap aktivis HAM
Munir.

11 Agustus 2008
Muchdi diserahkan ke Kejaksaan Agung.

31 Desember 2008
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menvonis Muchdi PR bebas murni dari
segala dakwaan.

10 Juli 2009
MA menguatkan vonis bebas Muchdi PR. Duduk sebagia ketua majelis kasasi Vallerine JL
Krierkhof dengan anggota hakim agung Hakim Nyak Pha dan Muchsin.

28 Januari 2010
MA menghukum Garuda Indonesia dengan mewajibkan memberikan ganti rugi kepada
Suciwati lebih dari Rp 3 miliar.

2 Oktober 2013
Polly mengajukan PK dan MA mengabulkannya dengan mengurangi Pollycarpus dari 20
tahun menjadi 14 tahun penjara. Hingga berita ini diturunkan, pihak berwenang MA belum
membeberkan alasan pengurangan hukuman itu.

28 November 2014
Pollycarpus bebas bersyarat. Total, Pollycarpus mendapat remisi berlimpah: 4 tahun, 6 bulan,
dan 20 hari.

13 Oktober 2016
Presiden Joko Widodo meminta Jaksa Agung HM Prasetyo mengusut kasus Munir lagi.

"Seperti yang dikatakan presiden dalam pertemuan dengan pakar dan praktisi hukum
beberapa waktu lalu, konteks kerangka yang lebih besar reformasi di bidang hukum, salah
satu yang ingin dilakukan pemerintahan sekarang adalah persoalan persoalan masa lalu.

PKN
PELANGGARAN HAM
Waktu itu yang disebut adalah kasus almarhum Munir," kata Juru Bicara Presiden, Johan
Budi, Kamis (13/10/2016).

ANALISA :

Munir merupakan seorang pejuang Hak Asasi Manusia. Suaranya selalu lantang ketika
menyuarakan pembelaan terhadap orang-orang yang tertindas maupun terhadap segala
sesuatu yang diyakininya tidak benar. Kadang memang pernyataan yang di sampaikan
begitu keras sehingga terasa menyakitkan. Cara berpikirnya yang tidak linear sering membuat
terkejut. Tokoh muda ini meninggal didalam pesawat Garuda Indonesia saat dia terbang dari
Jakarta menuju Amsterdam. Ia berangkat ke Belanda untuk belajar, memperdalam ilmunya di
Utrech. Kematiannya yang mendadak itu mengejutkan berbagai pihak. Namun meski
kedukaan yang mendalam, sebagai orang yang beriman, kita harus rela melepaskan
kepergiannya kembali keharibaan-Nya. Akan tetapi ditemukan keganjilan dari autopsy yang
dilakukan terhadap Almarhum di Belanda. Ditemukan kadar Arsenicum yang diluar batas
kewajaran didalam tubuh Munir. Menurut laporan ditemukan Arsenicum mencapai 460 mg
didalam tubuh Almarhum. Hasil autopsy itu segera memunculkan dugaan adanya
kesengajaan dalam kematian Munir. Tokoh pejuang HAM itu diduga sudah direncanakan
untuk dibunuh.

HAK YANG DILANGGAR

Hak yang di langgar dalam kasus munir yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan
sengaja atau sudah melanggar hak untuk hidup dalam Pasal 28 "Setiap orang berhak
untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Orang pertama
yang menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah
Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7 September
2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas palsu dan mengikuti
penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir semakin terkuat tatkala
Pollycarpus meminta Munir agar berpindah tempat duduk dengannya. Pada akhirnya, 20
Desember 2005 Pollycarpus BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman penjara.
Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakui dirinya sebagai pembunuh Munir,
berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat tugas dan hal-hal yang janggal. Namun,
timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh Munir. Apakah dia bermusuhan atau
bertengkar dengan Munir. Tidak ada historis yang menggambarkan hubungan mereka
berdua. Pembunuhan berencana dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) diatur
dalam pasal 340 adalah Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun".
Sangat disayangkan sekali jika para hakim dan jaksa penuntut umun membebaskan
tersangka pembunuhan Munir dan hanya memberi mereka sanksi yang sangat ringan karena
pada 28 November 2014 dinyatakan Pollycarpus bebas bersyarat. Total, Pollycarpus
mendapat remisi berlimpah: 4 tahun, 6 bulan, dan 20 hari. Padahal ini adalah kasus
pengambilan hak hidup seseorang dan termasuk kasus pelanggaran HAM berat. Tetapi
hukum dinegara Indonesia tidak kuat dan tidak mengikat semua orang. Kejahatan yang
dilakukan oleh tersangka terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto pasti telah didukung oleh
beberapa pihak. Karena kejanggalan yang terjadi saat rencananya berjalan sangat mulus tanpa
ada halangan yang berarti. Seharusnya hakim dan jaksa, komnas HAM, dan masyarakat
bekerja sama untuk menuntaskan kasus Munir ini. Bagaimana bisa dikatakan negara
PKN
PELANGGARAN HAM
indonesia adalah negara yang demokrasi tinggi jika hukum yang berlaku tidak setimpal
dengan apa yang diperbuat oleh tersangka. Orang yang telah membunuh seorang Munir
harusnya dijatuhi hukuman mati karena dia telah membunuh orang yang sangat berpengaruh
untuk Indonesia dan salah satu orang pandai dan orang yang baik untuk mempertahankan
kebenaran yang telah lama hilang.
Kasus Munir merupakan contoh lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir
juga merupakan hasil dari sisa-sisa pemerintahan orde baru. Seharusnya kasus Munir ini
dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter
karena setiap manusia atau warga negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak
hidup, hak memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman. Sedangkan bangsa Indonesia saat
ini memiliki sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM
seluruh masyarakat Indonesia.

Penyelesaian Kasus HAM di Era Jokowi Tidak Jelas


(menurut Sindonews.com) Janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuntaskan sejumlah
kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu belum penuhi selama dua tahun
jalannya pemerintahan ini. Sedangkan, penuntasan kasus HAM masa lalu merupakan salah
satu dari 42 agenda prioritas reformasi hukum dan perlindungan HAM. "Jokowi, melalui
Sekretariat Negara bahkan tidak mampu menjaga dokumen yang sangat berharga terkait
pembunuhan Almarhum Munir," imbuhnya. Melalui putusan Komisi Informasi Publik (KIP)
diketahui, dokumen tim pencari fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said
Thalib yang sudah diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dinyatakan
hilang. "Jangankan menuntaskan, menjaga dokumen saja, negara tidak mampu," tuturnya.
Karena itu, Jokowi berjanji akan merevisi Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran
HAM.

PKN

Anda mungkin juga menyukai