Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara jujur harus diakui bahwa sejarah Peradilan Agama di


Indonesia, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman telah
cukup memakan waktu yang sangat panjang, sepanjang agama Islam itu
sendiri eksis di Indonesia. Dikatakan demikian, karena memang Islam
adalah agama hukum, dalam arti sebuah aturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Allah Sang Pencipta (hablumminallah) yang
sepenuhnya dapat dilakukan oleh pemeluk agama Islam secara pribadi
(person) dan juga mengandung kaidah-kaidah yang mengatur hubungan
manusia dengan manusia lain (hablumminannas) dan dalam kehidupan
masyarakat yang memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk
melaksanakannya secara paripurna.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa antara Islam dan hukum


Islam selalui berjalan beiringan tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena
itu pertumbuhan Islam selalu diikuti oleh pertumbuhan hukum islam itu
sendiri. Jabatan hakim dalam Islam merupakan kelengkapan pelaksanaan
syariat Islam. Sedangkan peradilan itu sendiri merupakan kewajiban
kolektif , yakni sesuatu yang dapat ada dan harus dilakukan dalam
keadaan bagaimanapun juga.

Peradilan Islam di Indonesia yang di kenal dengan Peradilan Agama


keberadaannya jauh sebelum Indonesia merdeka karena ketika Islam
mulai berkembang di Nusantara, Peradilan Agama juga telah muncul
bersamaan dengan perkembangan kelompok di kala itu, kemudian
memperoleh bentuk-bentuk ketatanegaraan yang sempurna dalam
kerajaan-kerajaan Islam. Hal ini karena masyarakat Islam sebagai anggota
masyarakat adalah orang yang paling mentaati hukum dalam pergaulan
orang perseorangan maupun pergaulan umum.

1
Peradilan Agama yang telah lama dikenal masyarakat muncul
sebelum datangnya Penjajah Belanda yang banyak mengalami pasang
surut hingga sekarang, pada mulanya peradilan Islam sangat sederhana
sesuai dengan kesederhanaan masyarakat dan perkara-perkara yang
diajukanya kepadanya pada awal islam, lalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan hukum yang berkembang dalam Masyarakat.1

Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim


pengadilan agama berpedoman kepada kitab fikih yang berasal dari
madzhab, yang penggunaannya dapat dipastikan tergantung pada
kemampuan hakim-hakim pengadilan agama yang bersangkutan dalam
memahami secara utuh dan menyeluruh kitab-kitab fikih tersebut.
Dampaknya tidak menutup kemungkinan timbul suatu putusan yang
berbeda-beda, walaupun perkara-perkara yang diajukan kepadanya sama.
Untuk itu, sudah seyogianya kita memiliki pula hukum materiil berupa
hukum islam yang berbentuk kodifikasi yang nantinya dijadikan landasan
bersama dalam mengadili, sehingga tidak akan menimbulkan disparitas
(perbedaan) putusan lagi.
Seiring munculnya negara modern pada abad ke-19 di Eropa, hukum
pun menjadi bersifat rasional dan liberal. Segala provisi hukum dituntut
dapat dinalar dan diterima oleh semua pihak yang ada dalam ikatan
kontrak sosial negara modern. Konsep negara dan hukum modern seperti
ini merambah pula negara-negara muslim. Kodifikasi hukum negara mulai
menggantikan pendapat-pendapat hukum para fuqoha. Bahkan, sejumlah
gerakan sekular ikut pula mendorong dan menfasilitasi adanya
pembelokan hukum dari para pendapat ahli hukum islam dan Kehadiran
Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum agama Islam
dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik hukum
menampakkan dua hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku
khusus bagi umat Islam. Menunjukkan bahwa dalam rangka pembinaan
hukum nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan wawasan
nusantara tidak dapat dilaksanakan sepenuhnya (secara kaku), demi

1 Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981). Hlm.35.

2
kepentingan yang harus lebih dijamin yaitu kepentingan untuk
memberikan ruang gerak bagi kesadaran hukum masyarakat terhadap
hukum agama. Kedua, adanya hak kelompok tertentu dalam masyarakat
dalam hal ini ummat islam untuk melaksanakan hukum agamanya tidak
dapat ditawar. Dalam kaitannya dengan slogan bhineka tunggal ika,
kesempatan yang diberikan oleh pemerintah bagi dibentuk dan
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam adalah bentuk ke-bhinneka-an
dalam kesadaran menjalankan hukum agama, namun tetap tunggal ika
dalam wadah Negara Rukum Republik Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka pemakah akan menyimpulkan


pembahasan ini menjadi beberapa rumusan masalah, diantaranya adalah

1. Apakah Pengertian Peradilan Agama?


2. Bagaimana sejarah pekembangan peradilan agama?
3. Apa kompetensi atau wewenang Peradilan Agama?
4. Bagaimana Kemunculan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?
5. Apakah pengertian Kompilasi Hukum Islam?
6. Bagaimana Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam?
7. Bagaimana kedudukan dan penerapan Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia?
8. Bagaimana Kompilasi Hukum Islam dalam Tinjauan Madzhab?

C. Tujuan Pembahasan

Dari rumusan masalah diatas, maka tujuan pembahasan pemakalah


dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Menjelaskan mengenai pengertian Peradilan Agama.


2. Menjelaskan sejarah Peradilan Agama
3. Menjelaskan dasar hukum dan wewenang Peradilan Agama
4. Untuk mengetahui kemunculan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
5. Untuk mengetahui Pengertian Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia
6. Untuk mengetahui Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
7. Untuk mengetahui Kedudukan dan Penerapan Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia.

3
8. Untuk Mengetahui Kompilasi Hukum Islam dalam Tinjauan
Madzhab?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Srudi Kritis Keberadaan dan Kompetensi Peradilan Agama

1. pengretian Peradilan Agama

Kata Peradilan berasal dari akar kata adil,dengan awalan per dan
dengan imbuhan an. Kata Peradilan sebagai terjemahan dari qadha yang
berarti memutuskan ,melaksanakan, menyelesaikan.2 Adapula yang
menyatakan bahwa umumnya kamus tidak membedakan antara peradilan
dengan pengadilan.3

2 Ahmad Warson Munawir, al-Munawir (Kamus Arab-Indonesia) cet 1(Jakarta :


1996) hal.1215

3 Abdul Mujib Mabruri Thalhah sapiah AM.kamus isyilah fiqih, (Jakarta :


PT.Pustaka Firdaus)hal.258

4
Dalam literature-literatur fikih Islam, peradilan disebut qadha,
artinya menyelesaikan, seperti firman Allah :

Manakala Zaid telah menyelesaikan keperluannya dari Zainab


(QS.Al-Ahzab :37). Ada juga yang berarti menunaikan, seperti firman Allah
:

Apabila shalat telah ditunaikan maka bertebaranlah kepelosok


bumi (QS. Al-Jumuah :10)

Disamping arti menyelesaikan dan menunaikan seperti diatas, arti


qadha adapula yang berarti memutuskan hukum atau menetapkan
sesuatu ketetapan. Dalam dunia peradilan menurut para pakar, makna
yang terakhir inilah yang dianggap lebih signifikan. Di mana makna
hukum disini pada asalnya berarti menghalangi atau mencegah
karenanya qadhi dinamakan hakim karena seorang hakim berfungsi untuk
menghalangi orang yang zalim dari penganiayaan. Oleh karena itu apabila
seseorang mengatakan hakim telah menghukumkan begini,artinya
hakim telah meletakan sesuatu hak atau mengembalikan sesuatu kepada
pemiliknya yang berhak.4

Kata Peradilan menurut istilah ahli fikih adalah berarti :

a. Lembaga Hukum (tempat dimana seseorang mengajukan


permohonan keadilan)
b. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama
atas dasar harus mengikutinyan.5

Letak perbedaan antara hukum Islam dan hukum hukum itu terletak
pada waktu munculnya hukum tersebut. Hukum Islam telah ada sebelum
manusia ada. Sedang hukum umum baru ada setelah manusia ada.
Sedangkan hakim dalam hal ini hanya menerapkan hukum yang sudah

4 Hasbi Ash-Shiddqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta


:PT.Maarif)hal 29

5 Ibid.hal.30

5
ada dalam kehidupan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada. Dari
pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa tugas peradilan
berarti menampakan hukum agama, tidak tepat bila dikatakan
menetapkan suatu hukum. Abdul Halim mengatakan bahwa makna
peradilan selain yang diungkapkan oleh Ibn Abidin, adapula ulama yang
berpendapat bahwa makna peradilan itu berarti menyelesaikan suatu
sengketa dengan hukum Allah.

2. sejarah singkat Peradilan Agama

Bericara tentang perjalan Peradilan Agama yang telah dilalui dalam


rentang waktu yang demikian panjang, berarti kita berbicara tentang
masa lalu yakni sejarah Peradilan Agama. Hal tersebut dianggap penting
untuk rencana melangakah kemasa yang akan datang, guna terhindar
dari sandungan yang berulang pada lubang yang sama. Namun harus
diakui bahwa data sejarah Peradilan Agama tidak mudah
mendapatkannya, seperti yang dikatakan para ahli,termasuk Dniel S.Lev,
mengakui bahwa sumber rujukan Peradilan Agama sangatlah minim
karena sengaja dilewatkan oleh para cerdik panda Muslim masa lalu,
yang selalu memandang remeh dan ,malah cenderung menganggapnya
sebagai wujud kemunduran sisa masa kejayaan Islam. Ada pula yang
beranggapan bahwa sebagai penyebabnya adalah karena adanya gap
antara sarjana muslim pendidikan Eropa dengan yang bukan. Satu pihak
yakni yang berpindidikan Eropa tidak menghendaki berlakunya Peradilan
6
Agama.

Tentang keberadaan pelaksanan Syariat Islam masa lalu, terutama


bidang hukumnya, sekiranya kita perhatikan buku-buku tentang sejarah
hukum dinusantara pada umumnya menjadikan hukum kolonial sebagai
pusat uraiannya. Tulisan dan penelitian tentang perkembangan hukum
dikerajaan-kerajaan merdeka yang ada di nusantara yang tidak terkait
dengan kehadiran belanda masih sangat minim. Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tidak ada catatan tentang keadaan hukum di Negara-

6 A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia ( jakarta : kencana ,2006) hal.31

6
negara merdeka milik nenek moyang di nusantara ini. Baik setelah datang
Belanda maupun sebelumnya.7

Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua


macam Peradilan yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Peradilan
Perdata mengurus perkara-perkara yang menjadi urusan raja, sedang
Peradilan Padu mengurus perkara-perkara yang bukan menjadi urusan
raja.8 Dilihat dari segi materi hukumnya, Peradilan Perdata bersumber
pada hukum Hindu. Sedangakan Peradilan Padu berdasarkan pada hukum
Indonesia asli. Selain berbeda sumbernya, dua macam Pengadilan
tersebut juga berbeda lingkungan kekuasaanya. Aturan-aturan hukum
Perdata dilukiskan dalam papakem atau kitab hukum, sehingga menjadi
hukum tertulis sedangkan hukum Padu bersumber pada hukum kebiasaan
dalam praktik sehari-hari, sehingga merupakan hukum tidak tertulis.

Dengan masuknya Islam ke Indonesia yang untuk pertama kali


pada abad pertama hijriyah atau bertepatan dengan abad ke VII Masehi
yang dibawa langsung dari Arab oleh Saudagar-saudagar dari Mekkah dan
Madinah yang sekaligus sebagai mubaligh. Maka dalam praktik sehari-
hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama
islam yang bersumber pada kitab-kitab fikih. Di dalam kitab-kitab fikih
termuat aturan dan tata cara ibadah seperti
taharah,shalat,puasa,zakat,dan haji serta sistem Peradilan yang disebut
qadha. Karena lembaga qadha seprti yang disebut dalam kitab fikih itu
belm fapat dilaksanakan sepenuhnya, maka dalam penyelesaian perkara-
perkara antar penduduk yang beragama Islam dilakukan melalui tahkim,
yakni para pihak yang berperkara secara sukarela menyerahkan perkara
mereka pada seorang ahli agama,ulama,atau mubaligh untuk diselesaikan
dengan ketentuan bahwa kedua pihak yang bersengketa akan mematuhi
putusan yang diberikan ahli agama itu. Menurut biasanya perkara yang
7 Soepomo, Sistem hukum di Indonesia Perang Dunia Kedua, (Bandung :
Pradnya Paramita, 1983) Hal.45

8 Thesna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta : vernus NV,1978)


hal.16

7
diputus lembaga hakim ini adalah perkara yang nonpidana. Pada
beberapa tempat, tahkim ini melembaga sebagai peradilan syara. Berkat
cara dakwah yang persuasif, bahkan pada beberapa kerajaan, peradilan
syara ini berdampingan secara baik dengan peraturan raja yang
umumnya bersumber dari adat. Priode tahkim ini dapat diduga sebagai
awal perkembangan Peradilan Agama di Indonesia.9

Priode selanjutnya disebut priode tuliyah ah lal halli wa al-aqd.


Priode ini dapat dilihat ketika pemerintah Hindia Belanda mulai
menyerahkan sebagian wewenang peradilan kepada sultan-sultan atau
raj-raja, seperti pada kerajaan Samudra Pasai,Aceh,Demak,dan Banten.
Priode berikutnya disebut priode tuliyah dari imam.priode ini dimulai
ketika Islam datang dan diterima oleh raja-raja seperti pada kerajaan
Mataram. Dengan penerimaan agama Islam dalam kerajaan, otomatis
para hakim pelaksana peradilan diangkat oleh sultan atau imam atau wall
al-amr. Pada priode ini hampir disemua Swapraja Islam,jabatan
keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan jabatan
pemerintahan umum. Misalnya, tngakat desa ada jabatan agama yang
disebut kaum,kaim,modin,amil. Ditingkat kecamatan ada yang disebut
penghulu nabi. Di tingkat kabupaten ada penghulu seda. Dan ditingkat
kerajaan disebut penghulu Agung yang berfungsi sebagai hakim atau kadi
yang dibantu beberapa penasihat yang kemudian dikenal dengan
Pengadilan Surambi.10

3. kompetensi Peradilan Agama

Kata kekuasaan disini sering disebut juga dengan kompetensi, yang


berasal dari bahasa Belanda competentie, yang kadang-kadang
diterjemahkan juga dengan wewnang sehingga ketiga kata tersebut
dianggap semakna. Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam
kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal,

9 Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia (Malang : setara press


2014),hal.41

10 Ibid

8
yaitu tentang kekuasaan relatif" dan kekuasaan Absolut, sekaligus
dibicarakan pula didalmnya tentang tempat mengajukan gugatan/
permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan. 11

Wewnang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai


dengan pasal 53 UU Nomor 50 tahun 2009 (3 Tahun 2006 tentang
perubahan UU No. 7 tahun 2006) tentang Peradilan Agama. Wewenang
relatif Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR. atau pasal142 RB.g
jo Pasal 66 dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989, sedang wewnang absolut
berdasarkan pasal 49 UU No.7 tahun 1989, yaitu kewenangan mengadili
perkara-perkara perdata bidang (a) Perkawinan;(b)
Kewarisan,Wasiat,Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
(c)Wakaf,Zakat,Infaq,Shadaqah dan ekonomi Islam.

a. Wewenang Relatif Peradilan Agama


Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan Pengadilan yang satu
jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaanya dengan kekuasaan
Pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya
antara Pengadilan Negri Blitar dengan Pengadilan Negri
Surabaya,antara pengadilan Agama Blitar dan Pengadilan Agama
Sapeken.
Pengadilan Negri Malang dan Pengadilan Negri Surabaya satu
jenis, sama-sama satu lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama
Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama Blitar dan
Pengadilan Sapeken satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan
Pengadilan Agama dan satu tingkatan,sama-sama tingkat pertama.
Untuk menentukan kompetensi relatif setiap Pengadilan
Agama dasar hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan
Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Dalam pasal 54 UU Nomor 7
tahun 1989 ditentukan bahwa acara berlakunya pada lingkungan
peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada
lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu, landasan untuk

11 Roihan A.Rasyid, hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta


:CV.Rajawali,1992)hal.25

9
menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama merujuk kepada
ketentuan pasal 118 HIR atau Pasal 73 UU Nomor 7 Tahun 1989.12

b. Wewenang Absolut Peradilan Agama


kekuasaan absolut artinya kekuasaan Pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkata Pengadilan,
dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau
tingkatan Pengadilan lainnya misalnya, Pengadilan Agama berkuasa
atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan
bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan
Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara tingkat
pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama
atau Mahkamah Agung. Kewenangan Absolut Peradilan Agama meliputi
bidang-bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infak shadaqah, dan ekonomi sayriah.

B. Kemunculan Kompilasi Hukum Islam


Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai
referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran
Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985.
Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih
yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil
menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul
persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman
para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-
persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam
itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di
Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum
Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang
sama. Secara material memang telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan
12 M.Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
Mahkamah Syariyah di Indonesia,(Jakarta : kencana,2007)hal 33

10
rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafii.
Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya
keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan
perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini
didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1. Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara
lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2. Persepsi yang tidak seragam tentang syariah menyebabkan hal-
hal:
a. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut
hukum Islam itu (maa anzalallahu),
b. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syariat itu
(Tanfiziyah) dan
c. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan
jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3. Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum
Islam diberlakukan
1. Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa
Alamfiri,
2. Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama
Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan
3. Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana
Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung
RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul
dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi
para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja
keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di
dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya
instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang
Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan.

11
Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun
1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi
besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka
saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan
Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan
Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah
ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat
seluruh umat Islam Indonesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan
lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali
dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan
Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.

C. Pengertian Kompilasi Hukum Islam


Kata kompilasi berasal dari bahasa Latin compilare
yangmempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti
mengumpulkanperaturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-
mana. Dalam bahasainggris compilation (himpunan undang-undang).
Dalam bahasa belandaditulis compilatie (kumpulan dari lain-lain
karangan). Dalam KamusBesar Bahasa Indonesia, Kompilasi berarti
kumpulan yang tersusun secarateratur (tentang daftar informasi,
karangan dan sebagainya). Koesnomemberi pengertian Kompilasi dalam
dua bentuk. Pertama sebagai hasilusaha mengumpulkan berbagai
pendapat dalam satu bidang tertentu, keduaKompilasi diartikan dalam
wujudnya sebagai suatu benda seperti berupasuatu buku yang berisi
kumpulan pendapat-pendapat yang ada mengenaisuatu bidang persoalan
tertentu.13Bustanul Arifin menyebut KompilasiHukum Islam sebagai "fiqih
dalam bahasa undang-undang atau dalambahasa rumpun Melayu disebut
peng-kanun-an hukum syara.14Wahyu Widiana menyatakan bahwa

13M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai Keadilan KompilasiHukum Islam,
Yogyakarta : Total Media, 2006, hlm. 94.

14Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah Hambatan danProspeknya, Jakarta :
Gema Insani Press, 1996, hlm. 49.

12
"Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang
ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri atas 3 kelompok
materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan(170 pasal), Hukum Kewarisan
termasuk Wasiat dan Hibah (44 pasal), danHukum Perwakafan (14 pasal),
ditambah satu pasal Ketentuan Penutupyang berlaku untuk ketiga
kelompok hukum tersebut.Rumusan yang sama dikemukakan Muhammad
Daud Ali, KompilasiHukum Islam adalah kumpulan atau himpunan kaidah-
kaidah hukumIslam yang disusun secara sistematis. Isi dari Kompilasi
Hukum Islamterdiri atas tiga buku, masing-masing buku dibagi ke dalam
beberapa babdan pasal, dengan sistematika sebagai berikut :
Buku I Hukum Perkawinan terdiri dari 19 bab dengan 170 pasal.
Buku II Hukum Kewarisan terdiri dari 6 bab dengan44 pasal
(daripasal 171 sampai dengan Pasal 214).
Buku III Hukum Perwakafan, terdiri dari 5 Bab dengan 14 Pasal
(dariPasal 215 sampai dengan Pasal 228). 15 Kebutuhan akan adanya
KompilasiHukum Islam bagi Peradilan Agama sudah lama menjadi catatan
dalamsejarah Departemen Agama.
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam dapat dikatakan
sebagaihukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dikatakan tertulis sebab
sebagianmateri Kompilasi Hukum Islam merupakan kutipan dari atau
menunjukmateri perundangan yang berlaku, seperti UU Nomor 1 Tahun
1974,tentang Perkawinan, UU Nomor 22 Tahun 1946 jo UU 32 Tahun
1954,tentang Pencatatan Nikah bagi Umat Islam, PP Nomor 9 Tahun 1975,
tentang Aturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan
sebagainya.Dikatakan sebagai hukum tidak tertulis sebab sebagian
materiKompilasi Hukum Islam merupakan rumusan yang diambil dari
materi fiqh atau ijtihadpara ulama dan kesepakatan para peserta
lokakarya.Kondisi Kompilasi Hukum Islam yang bukan peraturan
perundangundanganitu yang menjadikan Kompilasi Hukum Islam disikapi

15Mohammad Daud Ali,Hukum Islam,pengantar ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia.
Jakarta: Rajawali Pers,2014, hal 297

13
beragamoleh Pengadilan Agama (PA) maupun Pengadilan Tinggi Agama
(PTA).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Kompilasi Hukum
Islamitu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun
secarasistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk
sedapatmungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalahdi bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh
parahakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan
sebagaipedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara
yangdiajukan kepadanya.

D. Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam


Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum
nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam,
tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan
Yuridis dan Landasan Fungsional.
1. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan
perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi,
pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari
situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana
kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan
perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan
diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha
pengembangan Pengadilan Agama.
Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di
tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam
tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama
abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum
Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang

14
cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik
dengan Syariah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan,
sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam
pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.
Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum
Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh dengan
Syariah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan
dalam penerapan hukum Islam yang sangat keterlaluan. Dalam
menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan
agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan
utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum,
melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah
terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh.
Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk
putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut
satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan
adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi
pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan
Agama.
Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas
tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern,
karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat.
Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada
pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-
kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam
yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum
Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
2. Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan
kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004
Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah: Hukum

15
Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan.
Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya pelaksanaan
hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan
masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan,
istishab, dan urf.
3. Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun
dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia.
Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin
dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal
semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat
mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia
mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu,
di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat
dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum
nasional di Indonesia.16

E. Kedudukan Dan Penerapan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia


Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam
itu jelas merupakan produk keputusna politik. Instrument hukum politik
yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum
Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi
dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh
penguasa politik pada zaman orde baru.
Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam
tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari
proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, KHI dengan
segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan
kehendak social para pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan
dengan motif-motif social, budaya dan politik tertentu dari pemberi
legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru.

16Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya,
1997, hlm. 20-22.

16
Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi
perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa
melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi
politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang
berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter
senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter
konservatif/ortodoks.17
Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-
karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan
membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus
hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila.
Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan
hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi
terhadap materi hukum Islam oleh Negara.
Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah
antara paradigm agama dan paradigma Negara. Dalam paradigm agama,
hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak
mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social
menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam
berada dalam penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan
pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua
paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara
terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satu-
satunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan
yuridis dari Negara.
Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting
untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama
Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunaka sebagai pedoman dalam
menyelesaikan maslaah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,
baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya.
KHI bisa dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Badan
Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-
17Mahfud, Moh, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, hal, 675, 676.

17
perkara yang diajukan kepadanya. Maka tampak sebetulnya fungsi
pedoman itu ditujukan bagi para hakim dilingkungan Badan Peradilan
Agama. Sedangkan masyarakat yang disebutkan hanya bersifat tawaran
alternative.
Implementasi Kompilasi Hukum islam bersifat fakultatif, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum islam yang boleh dikatakan sebagai hasil
ijtihad kolektif ala Indonesia yang tertuang dalam Inpres no. 1 Tahun 1991,
itu tidak secara priority mengikat dan memaksa warga Negara Indenesia,
khususnya ummat Islam. KHI bersifat anjuran dan alternative hukum.18

F. Kompilasi Hukum Islam dalam Tinjauan Madzhab


Jika madzhab adalah produk berupa pendapat-pendapat hukum,
tentu madzhab juga memiliki ushul (pijakan) atau dalil serta metodologi.
Dimana dengan keduanya, maka terciptalah produk berupa pendapat-
pendapat fiqih. Dan seluruh madzhab sepakat bahwa ushul adalah Al
Qur`an, As Sunnah, ijma dan qiyas dan ada perbedaan pendapat
mengenai penggunaan perkataan shahabat, amal ahli madinah, istihsan,
mashalih mursalah dan istishab. Demikian pula dalam hal metodologi
pengolahan dalil, masing-masing madzhab memiliki ciri khas satu sama
lain. Jika diandaikan bahwa madzhab adalah menu yang siap dikonsumsi
yang berupa pandangan fiqih yang sudah matang, maka perlu adanya
bahan untuk menu itu yang disebut ushul atau dalil, juga metodologi
memasaknya19

Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter


politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa
konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama
dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum
islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang
dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi
18Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hal. 74.

19 https://www.hidayatullah.com/kajian di unduh pada 11 Mei 2017 pukul 16.29


Wib

18
hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis KHI berada
pada titik tengah antara paradigm agama dan paradigma Negara. Dalam
paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara
kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan
social menjadi misi agama yang suci.. Dengan kata lain bahwa hukum
Islam berada dalam penguasaan hukum Negara dengan
mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil
interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata
politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI
merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang memperoleh
legitimasi politik dan yuridis dari Negara.

Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting


untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama
Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunaka sebagai pedoman dalam
menyelesaikan maslaah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,
baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya.
KHI bisa dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Badan Peradilan
Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan kepadanya. Maka tampak sebetulnya fungsi pedoman itu
ditujukan bagi para hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama.
Sedangkan masyarakat yang disebutkan hanya bersifat tawaran
alternative. Implementasi Kompilasi Hukum islam bersifat fakultatif, yaitu
ketentuan-ketentuan hukum islam yang boleh dikatakan sebagai hasil
ijtihad kolektif ala Indonesia yang tertuang dalam Inpres no. 1 Tahun 1991,
itu tidak secara priority mengikat dan memaksa warga Negara Indenesia,
khususnya ummat Islam. KHI bersifat anjuran dan alternative hukum.20

20 Busroh, Abu Daud.1990. Ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara hal. 24

19
B A B III
PE N UTU P

Kesimpulan

1. Studi Kritis Keberadaan dan Kompetensi Peradilan Agama


Pengadilan Agama adalah suatu badan Peradilan Agama pada
tingkat pertama.
Sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua
macam Peradilan yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu.
Peradilan Perdata mengurus perkara-perkara yang menjadi
urusan raja, sedang Peradilan Padu mengurus perkara-perkara
yang bukan menjadi urusan raja. Dilihat dari segi materi
hukumnya, Peradilan Perdata bersumber pada hukum Hindu.
Sedangakan Peradilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia
asli. Selain berbeda sumbernya, dua macam Pengadilan tersebut
juga berbeda lingkungan kekuasaanya. Aturan-aturan hukum
Perdata dilukiskan dalam papakem atau kitab hukum, sehingga
menjadi hukum tertulis sedangkan hukum Padu bersumber pada
hukum kebiasaan dalam praktik sehari-hari, sehingga
merupakan hukum tidak tertulis.
Kompetensi Peradilan ada dua yang pertama kompetensi relatif
dan yang kedua kompetensi Absolut

2. Kompilasi Hukum Islam dalam Tinjauan Madzhab

20
Kemunculan gagasan KHI di latarbelakangi dan didorong oleh kebutuhan teknis
yudisial peradilan agama. Kompilasi Hukum Islamitu adalah ketentuan hukum Islam
yang ditulis dan disusun secarasistematis menyerupai peraturan perundang-undangan
untuk sedapatmungkin diterapkan seluruh umat Islam dalam menyelesaikan masalah-
masalahdi bidangPerkawinan,Kewarisan dan Perwakafan. KHI mempunyai kedudukan
yang penting dalam tata hukum Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981

Ahmad Warson Munawir, al-Munawir ,Kamus Arab-Indonesia, cet

1(Jakarta :1996)

Abdul Mujib Mabruri Thalhah sapiah AM.kamus isyilah fiqih,

Jakarta : PT.Pustaka Firdaus

Hasbi Ash-Shiddqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,

Yogyakarta :PT.Maarif

A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia jakarta : kencana ,

2006

Soepomo, Sistem hukum di Indonesia Perang Dunia Kedua,

Bandung : Pradnya Paramita, 1983

Thesna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta :

vernus NV,1978

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Malang : setara

press 2014

21
Roihan A.Rasyid, hukum Acara Peradilan Agama Jakarta

:CV.Rajawali,1992

M.Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

dan Mahkamah Syariyah di Indonesia,Jakarta :

kencana,2007

M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama : Menakar Nilai-Nilai

Keadilan Kompilasi

Hukum Islam, Yogyakarta : Total Media, 2006

Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar

Sejarah Hambatan dan

Prospeknya, Jakarta : Gema Insani Press, 1996

Mohammad Daud Ali,Hukum Islam,pengantar ilmu Hukum dan

Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali

Pers,2014

Saekan dan Erniati Effendi, Sejarah Penyusunan Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia, Arkola, Surabaya, 1997

Mahfud, Moh, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta,

1993

Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap

Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar

Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003

https://www.hidayatullah.com/kajian di unduh pada 11 Mei 2017

pukul 16.29 Wib

Busroh, Abu Daud.1990. Ilmu Negara. Jakarta : Bumi Aksara

22
BIODATA

23
Nama Lengkap : Najibil Haromain S.Sy

Tempat Tanggal Lahir : Serang, 06 Maret 1989

NIK :3604030603890011

Alamat Rumah : Jln.Sawah Luhur Kp.Kilasah III

RT/RW 003/001 Kec.Kasemen

Serang,Banten

No HP : 081217775352

Pendidikan : 1. SDN Kilasah III

2. MTSN 1 Kota Serang

3. SMAN 5 Kota Serang

24
4. S1,Fakulats Hukum Keluarga Universitas

Hasyim

Asyari(UNHASY) Jombang.

25

Anda mungkin juga menyukai