Anda di halaman 1dari 19

Makalah Perpajakan Lanjutan

Akuntansi Mata Uang Asing

Disusun Oleh :

Nama : Julia Safira

NIM : 25012 62401 15 013

Dosen Pembimbing : Ryan Al Rachmat., S.E

Program Studi Akuntansi

Politeknik Sekayu

2016
Pendahuluan

Perkembangan teknologi informasi di era globalisasi ini mendorong


hubungan ekonomi antarnegara menjadi tanpa batas. Globalisasi juga membawa
dampak dalam penyajian informasi aktivitas bisnis di dalam sebuah laporan
keuangan sehingga bagi perusahaan asing atau hal yang berhubungan dengan
mata uang asing harus dinyatakan dalam mata uang yang digunakan dalam
penyajian laporan keuangan dalam perusahaan.

Sering kali terjadinya perubahan kurs yang tidak hanya disebabkan oleh
perubahan ekonomi tapi juga bisa disebabkan oleh peristiwa politik dan keamanan
serta non-ekonomi. Hal ini adalah konsekuensi dari berlakunya system nilai tukar
free floating exchange rate oleh Bank Indonesia.

Di awal kemerdekaan terjadi juga perubahan system nilai tukar yang


dikenal dengan Dividen Ordonantie 1940 dan UU No. 32 Tahun 1964 dan PP no.
16 Tahun 1978. Kemudian pada 15 November 1978 dilakukan jua perubahan
suatu devisa mengambang terkendali (manage floating exchange rate). Dalam
perkembangan pada tahun 1997 sistem lama diubah menjadi floating exchange
rate system sampai sekarang.

Beberapa kebijakan pemerintah pada system nilai tukar tetap ini


diantaranya kebijakan penurunan nilai (devaluasi) atau kenaikan (revaluasi) mata
uang rupiah terhadap mata uang asing. Saat ini berlaku system nilai tukar bebas,
sehingga kekuatan pasar yang akan menentukan perubahan kurs tukar. Bentuk
peristiwa tersebut harus diungkapkan secara memadai dalam laporan keuangan.
Penggunaan nilai tukar bebas itulah yang terlihat yaitu adanya perubahan nilai
tukar setiap saat sehingga yang berakibat dengan perilaku akuntansi pajak dalam
hal mata uang asing.
Penyajian Laporan Keuangan

Pengaruh dari fluktuasi valuta asing di bursa umum disajikan pada dua
aspek penyajian yaitu:

1. Translation of Foreign Exchange Financial Statement


Pada aspek dimaksud sebagai penjabaran laporan keuangan yang disusun
dalam mata uang atau valuta asing seperti diatur dalam PSAK No.11
Reformat 2007. Penjabaran ini digunakan untuk perubahan multinasional
yang cabang atau anak perusahaannya berada di Negara lain. Awalnya
digunakan untuk kepentingan laporan konsolidasi di dalam negeri yang
memiliki anak atau cabang-cabang di luar negeri.
2. Foreign Exchange Transaction
Pada aspek tersebut sebagai penjabaran yang disebabkan adanya transaksi
perusahaan yang berhubungan dengan valuta asing. Pengaturan ini berada
pada PSAK No. 10 Reformat Tahun 2007.

Di Indonesia lebih banyak didominasi oleh aspek kedua, karena


perusahaan dalam negeri (domestik) yang mempunyai cabang atau anak
perusahaan masih terbatas. Beberapa jenis transaksi mata uag asing dengan
memperhatikan sumber terjadinya yang meliputi:

1. Utang Dagang
Timbul sebagai akibat kredit impor, baik untuk barang dagangan maupun
pembelian barang modal
2. Utang Jasa
Timbul sebagai akibat struktur permodalan perusahaan yang sebagian
dibiayai dengan pinjaman luar negeri dalam valuta asing baik pinjama
jangka pendek maupun jangka pendek maupun jangka panjang.
3. Utang Bunga Pinjaman
Timbul sebagai akibat pinjaman valuta asing.
4. Piutang
Timbul sebagai akibat adanya ekspor ataupun piutang permodalan.
5. Dividen dalam bentuk valuta asing dan adanya kas, tabungan, deposito,
atau secara kas dalam valuta asing.
6. Kontrak Berjangka dalam Valas
Untuk kontrak berjangka ini antara lain dalam bentuk SWAP, future, dan
lindung nilai (hedge) atas utang piutang valas.

Dalam teori akuntansi ataupun praktik akuntansi terdapat pengelompokan


pos-pos yang harus dijabarkan dalam mata uang asing yaitu:

1. Pendekatan moneter/nonmoneter
Pos pos moneter telah dinyatakan dalam mata uang pada akhir periode
berjalan dan terjadi perubahan nilai valuta asing. Seperti pada PSAK
No.10 paragraf 5 memberikan batasan pos moneter adalah kas dan setara
kas, asset, dan kewajiban yang akan diterima atau dibayar di muka di
mana jumlahnya pasti atau ditentukan pada pendekatan moneter ini
terdapat asset moneter dan kewajiban moneter.
2. Pendekatan lancer atau tidak lancar
Pada pendekatan pos-pos lancar dijabarkan dengan kurs berjalan. Untuk
pos-pos tidak lancar dilaporkan sesuai kurs historisnya.
3. Pendekatan temporal
4. Pada pendekatan temporal ini kas dan bank (cash equivalent), piutang dan
utang lancar, dan utang jangka panjang disajikannya dengan menggunakan
kurs berjalan, sedangkan lainnya disajikan sesuai kurs historis. Metode
yang dianut seperti diatur dalam FASB Statement No.8 Tahun 1975.
5. Pendekatan mata uang fungsional (functional currency)
Pendekatan ini merupakan penjabaran mata uang asing dengan mata uang
yang berlaku pada suatu Negara sebagai contoh rupiah, dollar Amerika
Serikat, dan sebagainya (perhatikan FASB Statement No.52).

Akuntansi Kerugian Selisih Kurs Mata Uang Asing

Perlakuan akibat kerugian selisih kurs ini terdapat beberapa teori yang umum
digunakan yaitu:

1. Pembebanan langsung dalam perhitungan laba atau rugi pada periode


terjadinya perubahan.
Pembebanan langsung ini menganut teori perspektif dua transaksi (two
transactions perpective). Teori ini melekat bahwa transaksi yang
menimbulkan utang-piutang dipandang terpisah peristiwa moneter yang
menimbulkan selisih kurs.
Kelemahan dari perlakuan akuntansi dengan perspektif dua
transaksi antara lain adalah:
a. Pendekatan ini mengabaikan segi keuntungan/kenaikan harga dari
asset nonmoneter yang pembeliannya menimbulkan utang dan
dibayar berdasarkan nilai kurs saat pembayaran.
b. Pembebanan kerugian yang besar akan mengakibatkan
terdistorsinya laporan laba rugi.
2. Penangguhan dan amortisasi selama periode berikut sesuai saat realisasi.
Pada pendekatan ini kerugian akibat selisih kurs yang dimasukkan dalam
akun selisih kurs yang ditangguhkan (deferred charges). Sebagai dasar
pemikirannya yaitu keuntungan atau kerugian selisih kurs berkaitan erat
dengan kebijakan pembelanjaan.
Keadaan kurs valuta asing menunjukkan tren yang menarik dan
dihadapkan risiko devauasi, manajemen dihadapkan alternatif memperoleh
pinjaman dari mata uang local (rupiah) dengan tingkat bunga yang tinggi
atau dalam mata uang asing (dolar AS misalnya). Apabila di kemudian hari
terjadi devaluasi atau selisih kurs, maka selisih tersebut harus dibebankan
secara sebanding dengan sisa kemanfaatan pinjaman tersebut.
Kelemahan perlakuan akuntansi dengan penangguhan yaitu:
a. Apabila terjadinya penurunan niali kurs terus-menerus dan lebih
cepat dari yang diramalkan, ini berarti kerugian telah terealisasi
dan kurang bermanfaat dalam penentuan laba rugi.
b. Selisih kurs yang ditangguhkan sebenarnya tidak mempunyai nilai
realisasi, sehingga asset laporan terlalu tinggi dari nilai realisasi
sesungguhnya.
3. Dikapitalisasi ke dalam harga asset yang bersangkutan
Teori ini mendasarkan pada perspektif satu transaksi (one transaction
perpective) yaitu dengan menganggap bahwa kerugian yaitu bagian dari
asset yang menimbulkan kerugian dari pembelian atau penjualan, selisih
kurs tersebut yaitu bagian dari harga perolehan asset yang bersangkutan.
Oleh karena itu, terjadinya selisih kurs tersebut harus dikapitalisasi dalam
asset yang bersangkutan.
Kelemahan dari perlakuan akuntansi ini adalah:
a. Adanya kesulitan untuk menelusuri kembali kerugian dari valuta
asing ke asset yang bersangkutan.
b. Asset dinilai terlalu tinggi (overvalued) karena kerugian yang
dikapitalisasi belum tentu mencerminkan harga dari asset tersebut.

Akuntansi selisih kurs menurut PSAK hanya digunakan untuk


transaksi pos-pos moneter dan transaksi lindung nilai (hedge). Sedangkan
untuk transaksi nonmoneter tidak boleh digunakan dan harus dijabarkan
dengan kurs historisnya. Dalam kondisi normal pengakuan selisih kurs
dibebankan saat tanggal neraca mengacu pada spot rate tanggal neraca
atau kurs tengah Bank Indonesia dan selisihnya diakui sebagai kerugian
atau laba pada tahun yang bersangkutan.

Dalam keadaan yang luar biasa, yaitu terjadi devaluasi atau depresi
rupiah diperbolehkan menggunakan alternative pelaporan yang tercantum
dari PSAK No.10 Reformat 2007, yaitu:

Selisih kurs dapat disebabkan karena suatu devaluasi atau depresi luar
biasa mata uang dalam keadaan tidak tersedia fasilitas lindung nilai dan
menimbulkan kewajiban yang tak terselesaikan akibat perolehan asset
yang baru saja dilakukan dan harus dilunasi dalam mata uang asing.
Selisih kurs tersebut dapat dimasukkan sebagai nilai tercatat (carrying
amount) asset tersebut sepanjang nilai tercatat asset yang telah disesuaikan
tidak melebihi jumlah terendah antara biaya pengganti (replacement cost)
dan jumlah yang dapat diperoleh kembali (amount recoverable) dari
penjualan atau penggunaan asset tersebut.

Dalam hal terjadi devaluasi atau depresi luar biasa kerugian selisih
kurs tersebut dikapitalisasi sepanjang tidak melebihi jumlah terendah nilai
ganti dan jumlah yang bisa diperoleh kembali. Risiko pembiayaan dalam
mata uang asing biasanya dilindungi nilai. Oleh karenya, jika terjadi
devaluasi atau depresi luar biasa fasilitas lindung nilai masih ada dan
perhitungan selisih hanya ada lindung nilai. Penggunaan alternative ini
telah dijelaskan lebih lanjut dengan diterbitkan ISAK No.4 bahwa
depresiasi rupiah terhadap suatu mata uang asing dianggap melampaui
batas-batas wajar dan merupakan depresiasi rupiah yang disetahunkan
mencapai 133% dari rata-rata depresiasi rupiah tiga tahun takwim terakhir.

Seperti penjelasan diatas yang didasarkan pada akuntansi


konvensial sedangkan sesuai akuntansi pajak dengan mengacu pada
Undang Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa kerugian selisih
kurs mata uang asing diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto
usaha.

Pajak Penghasilan Atas Selisih Kurs

Wajib Pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang Rupiah


tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi
tersebut dapat timbul keuntungan atau kerugian selisih kurs karena
terdapat perbedaan kurs antara tanggal pengakuan penghasilan/biaya
dengan tanggal diterima/dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut.

Keuntungan atau kerugian selisih kurs juga dapat timbul dari


transaksi utang-piutang. Selisih kurs ini timbul akibat perbedaan kurs
antara tanggal pencatatan hutang atau piutang dengan kurs tanggal neraca
atau tanggal akhir periode akuntansi. Perbedaan juga timbul akibat selisih
kurs mata uang asing pada tanggal neraca dengan tanggal pelunasan.

Selisih Kurs Dalam Undang-Undang PPh

Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan, keuntungan selisih kurs


merupakan salah satu bentuk penghasilan yang menjadi objek pajak
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l UU PPh. Dalam
memori penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh
karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Di sisi lain, kerugian selisih kurs yang dialami oleh Wajib Pajak
dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan BUT. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf e Undang-undang PPh.

Pada memori penjelasannya ditegaskan bahwa Kerugian karena


fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang
dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Dari Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang PPh
dapat disimpulkan bahwa sebenarnya keuntungan atau kerugian selisih
kurs pada dasarnya merupakan objek pajak dan dapat dikurangkan dengan
pengakuannya berdasarkan pembukuan yang dianut oleh Wajib Pajak dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan.

Selisih Kurs Dalam PP Nomor 94 Tahun 2010

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 memperjelas


perlakuan PPh atas keuntungan atau kerugian selisih kurs ini, terutama
dalam hal selisih kurs yang terkait dengan penghasilan yang dikenakan
PPh Final dan penghasilan yang bukan objek pajak.

Pasal 9 ayat (1) menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana


sudah dinyatakan dalam Undang-undang PPh, yaitu bahwa keuntungan
atau kerugian selisih kurs mata uang asing diakui sebagai penghasilan atau
biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara
taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di
Indonesia.

Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau kerugian


selisih kurs yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang
dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, tidak diakui sebagai
penghasilan atau biaya.

Sistem pembukuan yang diperkenankan digunakan Wajib Pajak


untuk mencatat peristiwa tersebut yaitu:

a) Kurs tetap, pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya


realisasi perkiraan mata uang asing tersebut.
b) Kurs tengah Bank Indonesia atau kurs yang sebenarnya berlaku
pada akhir tahun, pembebanan dilakukan pada setiap akhir tahun.
Penghasilan tersebut sebagai penghasilan rutin diselenggarakan
secara taat asas, sehingga dipandang selisih kurs berhubungan
dengan usaha Wajib Pajak.

Dalam hal pelaporan terdapat perbedaan antara PSAK dengan


aturan perpajakan, karena pelaporan PSAK dengan menggunakan kurs
tengah Bank Indonesia atau kurs tanggal neraca.

Sedangkan untuk kepentingan pajak diperkenankan menggunakan


dasar kurs tetap dan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs tanggal neraca.
Kurs tetap dalam aturan pajak yaitu kusr historis/kurs pada saat transaksi
awal, sehingga pada akhir tahun laporan pos yang mengakibatkan selisih
kurs dijabarkan dengan historis, tidak dengan kurs berjalan. Untuk
kepentingan rekonsiliasi fiscal yaitu:

1. Menggunakan kurs tetap


Apabila Wajib Pajak menggunakan kurs tetap dalam pelaporan pajaknya,
maka selisih pos-pos moneter yang telah dijabarkan dalam kurs berjalan
harus dikoreksi.
2. Menggunakan kurs tengah Bank Indonesia
Apabila Wajib Pajak menggunakan kurs tengah Bank Indonesia atau kurs
sebenarnya dalam pelaporan pajak. Untuk kepentingan laporan kepada
para pemangku kepentingan, maka pos-pos moneter akan disesuaikan
dengan kurs berjalan sedangkan untuk kepentingan pajak memang
peraturan pelaksanaan perpajakan tidak mengatur pos-pos manakah yang
harus dijabarkan dalam kurs berjalan dengan kurs tengah bank Indonesia
atau kurs tanggal neraca.

Artikel

Perlakuan Pajak Atas Kewajiban Penggunaan Rupiah di Indonesia

Oleh: Andreas Adoe (Praktisi pajak dan pengajar pada Program Administrasi
Fiskal Fakultas Ilmu Adminstrasi UI)

Pemerintah telah mewajibkan penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia


sesuai dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang namun
perlu dikaji tentang penerapan aturan ini yang dapat berpengaruh pada peraturan
pajak, baik Pajak Penghasilan (PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
khususnya pada Wajib Pajak Badan yang tentunya memerlukan perencanaan pajak
agar ketentuan penggunaan Rupiah tidak menimbulkan masalah pajak atau agar
dapat meminimalkan masalah pajak dalam kewajiban penerapan Rupiah.

Berdasarkan UU tentang Mata Uang tersebut, dijelaskan bahwa


ada sanksi jika mata uang selain Rupiah digunakan dalam transaksi di Indonesia
secara tunai maupun non tunai, maka bagi yang melanggar dapat dipidana
kurungan maksimal 1 tahun dan denda hingga dua ratus juta Rupiah. Kewajiban
penggunaan Rupiah, berdasarkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
mempunyai beberapa perkecualian diantaranya:

1. transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan


belanja negara;
2. penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri;
3. transaksi perdagangan internasional;
4. simpanan di Bank dalam bentuk valuta asing; atau
5. transaksi pembiayaan internasional.

Karena kewajiban diatas, maka Wajib Pajak dapat dipastikan akan


menggunakan mata uang Rupiah dalam transaksi di Indonesia sehingga hal ini
dapat menimbulkan pertanyaan atas perlakuan pajak seperti, sebagai contoh:

Pembukuan dalam mata uang asing,


Perlakuan pajak atas selisih kurs,
Hedging dan pembukuan dalam Rupiah, dan
Pelaporan PPN dan transaksi dalam Rupiah

Pembukuan dalam Mata Uang Asing

Wajib Pajak Badan diperkenankan untuk menggunakan mata uang asing


dalam pembukuan dan pelaporan pajak sesuai Pasal 3 UU KUP dimana
pembukuan dalam mata uang asing harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari
Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 28 ayat (8) UU KUP.

Wajib Pajak yang dapat menyelenggarakan pembukuan dengan


menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat yakni

Wajib Pajak Penanaman Modal Asing


Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya pertambangan
Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama minyak dan gas bumi;
Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) UU
PPh;
Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun
seluruhnya di bursa efek luar negeri;
Kontrak Investasi Kolektif (KIK);
Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar
negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company), atau
Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang
fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat
sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Penerapan kewajiban penggunaan mata uang Rupiah dalam transaksi


dalam negeri tidak hanya berpengaruh pada pembukuan, dimana pembukuan
untuk kepentingan komersil dapat menggunakan mata uang asing, seperti Dollar
Amerika Serikat, namun transaksi dalam negeri termasuk pelaporan pajak
menggunakan mata uang Rupiah dan hal ini akan dapat mempengaruhi harga jual,
harga pembelian, biaya gaji, beserta PPh Potongan Pungutan (withholding tax)
yang akan juga mempengaruhi pelaporan PPN.

Untuk pembukuan bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi dalam mata
uang asing , tentunya harus mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia khususnya pada Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
tentang Transaksi Dalam Mata Uang Asing (PSAK No. 10). PSAK tersebut
menjadi acuan, diantaranya, untuk pengakuan dan penghitungan selisih kurs,
penentuan kurs yang digunakan hingga pengakuan atas pengaruh keuangan dari
perubahan kurs valuta asing dalam laporan keuangan.

Perlakuan Pajak atas Selisih Kurs

Selisih kurs, menurut PPh, dapat menimbulkan permasalahan kerugian dan


keuntungan karena selisih kurs. Keuntungan selisih kurs merupakan objek pajak
penghasilan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh begitu juga dengan kerugian karena
selisih kurs dapat menjadi biaya pengurang PPh sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.

Permasalahan nilai tukar dapat terjadi karena beberapa hal, misalkan Wajib
Pajak yang mengimpor barang dengan mata uang asing namun harus menjualnya
di Indonesia dengan mata uang Rupiah. Oleh karenanya, perlu diperhatikan cara
menghitung keuntungan dan kerugian karena cara perhitungan selisih kurs yang
tidak diatur rinci dalam UU PPh dan dapat didasarkan atas PSAK No. 10,
contohnya :

Pengakuan selisih kurs, baik sebagai laba atau kerugian dalam laporan rugi
laba Wajib Pajak, atas transaksi dalam mata uang asing akibat devaluasi
atau depresiasi luar biasa suatu mata uang yang tidak memungkinkan
dilakukannya hedging.
Pengakuan selisih kurs, yang akan diakui sebagai keuntungan atau
kerugian kurs periode berjalan, karena selisih kurs tunai (spot rate) dan
kurs masa depan (forward rate) misalnya karena adanya swap valuta asing
untuk hedging.

Pembukuan untuk selisih kurs harus taat asas berdasarkan sistem


pembukuan yang dianut, sesuai Standar Akuntansi Keuangan, agar tidak dianggap
melanggar UU PPh.

Apabila Wajib Pajak diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan


dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika
Serikat, berlaku ketentuan konversi ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dari PMK No. 196/PMK.03/2007 yang
menjelaskan diantaranya mengenai kurs yang harus digunakan oleh Wajib Pajak
pada awal tahun buku dan pada tahun berjalan untuk beragam transaksi.

Hedging dan Kewajiban Penggunaan Rupiah

Wajib Pajak dapat melakukan hedging atau lindung nilai untuk mengatasi
masalah resiko nilai tukar karena kewajiban penggunaan Rupiah. Permasalahan
dari hedging adalah apakah keuntungan atau kerugian karena hedging dapat
diakui dalam perhitungan PPh. Untuk itu pembukuan menurut Standar Akuntansi
Keuangan diperlukan untuk menentukan apakah pembukuan hedging, yang
menjadi dasar perhitungan laba atau rugi karena hedging, telah dilakukan dengan
benar.
PSAK No. 55 tentang Instrumen Derivatif dan Aktivitas Lindung Nilai
mengatur tentang pembukuan atas laba dan rugi instrumen lindung nilai terhadap
risiko :

Nilai wajar aktiva atau kewajiban yang sudah diakui.


Nilai arus kas, atau
Risiko valuta asing.

Contoh dari hedging yang dilakukan atas risiko diatas :

ikatan pasti (komitmen) yang belum diakui (lindung nilai atas nilai wajar
valuta asing), atau
transaksi yang diperkirakan akan terjadi (lindung nilai arus kas valuta
asing).

Bagi DJP, yang menjadi pertimbangan atas transaksi hedging adalah objek
PPh yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun, contohnya atas bunga dan keuntungan
selisih kurs sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Demikian juga dengan biaya yang
dapat dikurangkan atas transaksi hedging seperti biaya bunga dan kerugian selisih
kurs, sesuai Pasal 6 ayat (1) UU PPh.

Jika transaksi hedging meliputi pembayaran, contohnya adalah bunga


termasuk premium, diskonto atau premi swap kepada pihak asing di luar negeri,
pembayaran akan terutang PPh Pasal 26 dengan tarif yang dapat berubah sesuai
dengan tax treaty.

Pelaporan PPN dan transaksi dalam Rupiah

Untuk penjualan dan pembelian dalam negeri, maka transaksi harus


menggunakan mata uang Rupiah sehingga pelaporan PPN juga harus
menggunakan dasar pengenaan pajak dalam Rupiah.
Dalam prakteknya, pembeli dan penjual di Indonesia dapat saja membuat
perjanjian penjualan atau pembelian yang memungkinkan perubahan harga bila
terjadi perubahan nilai tukar dengan menggunakan proforma invoice, yang dapat
dikatakan sebagai komitmen penjualan atau faktur sementara sehingga faktur
komersial akan diterbitkan di kemudian hari.

Proforma invoice juga terkadang dilakukan untuk menghindari


pembayaran PPN yang harus dilakukan sedangkan pembayaran dari konsumen
baru akan dibayar dalam jangka waktu lama setelahnya. Penggunaan proforma
invoice dapat menjadi masalah bila ada perbedaan antara informasi antara
proforma invoice seperti jumlah pembayaran hingga tanggal transaksi dengan
informasi yang ada di faktur pajak.

Untuk pelaporan faktur pajak, penggunaan faktur pajak elektronik (e-


faktur) akan lebih memudahkan pengawasan oleh DJP untuk menemukan
ketidaksesuaian informasi faktur pajak dengan keadaan yang sebenarnya. Dalam
pelaporan faktur pajak elektronik, mata uang yang bisa digunakan hanya Rupiah
dan untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang menggunakan mata uang selain Rupiah maka harus terlebih dahulu
dikonversikan ke dalam mata uang Rupiah dengan menggunakan kurs yang
berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan e-faktur.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012, untuk kepentingan


perhitungan PPN, penggunaan mata uang asing dimungkinkan asalkan
menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah tersebut juga dijelaskan bahwa dalam transaksi atas:

Impor Barang Kena Pajak;


Penyerahan Barang Kena Pajak;
Penyerahan Jasa Kena Pajak;
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean;
atau
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean,
yang dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing maka penghitungan
besarnya PPN atau PPn BM, harus dikonversi ke dalam mata uang Rupiah
dengan mempergunakan kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku
pada saat pembuatan Faktur Pajak.

Berdasarkan aturan diatas, dapat dilihat bahwa meskipun Faktur Pajak


elektronik hanya mengatur pelaporan PPN dalam Rupiah namun peraturan pajak
untuk PPN belum mengatur kewajiban penggunaan Rupiah dalam transaksi di
dalam negeri.

Kesimpulan

Kewajiban penggunaan mata uang Rupiah di Indonesia berdasarkan UU


No. 7 Tahun 2011 dapat membuat Wajib Pajak bertransaksi hanya menggunakan
mata uang Rupiah yang akan mempunyai pengaruh dalam perhitungan PPh serta
pelaporan PPN. Wajib Pajak memerlukan perencanaan pajak atas kewajiban ini
seperti dalam hal pembukuan, selisih kurs, transaksi hedging hingga pelaporan
PPN.
CONTOH:

1. PT A bergerak di bidang penyewaan apartemen. Sesuai dengan kontrak,


sewa apartemen tiap bulan adalah sebesar US$1,000 dan diterbitkan
invoice setiap tanggal 1.

Pada tanggal 1 September 2010 PT A menerbitkan invoice sebesar US$


1,000 kepada penyewa. Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah
Rp9.000,00 per 1 US$. Pada tanggal 1 September 2010 tersebut PT A
mengakui penghasilan atas sewa apartemen sebesar Rp9.000.000,00 (US$
1,000 x Rp9.000,00).

Pada tanggal 15 September 2010 penyewa membayar sewa apartemen.


Pada tanggal tersebut, kurs yang berlaku adalah Rp8.700,00 per 1 US$,
sehingga nilai sewa yang dibayar adalah sebesar Rp8.700.000,00 (US$
1,000 x Rp8.700,00).

Atas perbedaan waktu antara tanggal penerbitan invoice dan tanggal


pembayaran timbul kerugian selisih kurs bagi PT A sebesar Rp300.000,00
((Rp9.000,00 Rp8.700,00) x US$ 1,000)).

Atas kerugian selisih kurs tersebut tidak diakui sebagai biaya bagi PT A
karena berasal dari penyewaan apartemen yang telah dikenai Pajak
Penghasilan bersifat final.
Sementara itu, keuntungan atau kerugian selisih kurs yang tidak berkaitan
langsung dengan usaha Wajib Pajak yang dikenakan PPh final atau yang
bukan objek pajak, diakui sebagai penghasilan atau biaya sepanjang biaya
tersebut dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan.

2. PT A yang bergerak di bidang penyewaan apartemen, pada bulan


September 2010 mendapatkan pinjaman sebesar US$ 10,000,000 yang
digunakan masing-masing sebesar US$ 9,000,000 untuk membangun
apartemen, dan sebesar US$ 1,000,000 untuk membeli alat transportasi
yang akan dipergunakan untuk usaha jasa angkutan.

Atas keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing yang berasal
dari pinjaman sebesar US$ 1,000,000 tersebut dapat diakui sebagai
penghasilan atau biaya karena:

tidak berkaitan langsung dengan usaha PT A di bidang penyewaan


apartemen yang atas penghasilannya dikenai PPh final; dan
merupakan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya berupa usaha jasa angkutan yang dikenai tarif umum
Pasal 17 UU PPh.

3. PT Rosyida Baru yang bergerak di bidang ekspor mebel, pada Januari


2009 menjual produknya ke Amerika dengan nilai 100,000 USD dengan
nilai kurs Rp. 9.000,- per dollarnya. Pada bulan Maret 2009 atas piutang
dari penjualan produk tersebut dilunasi, dan pada saat pelunasantersebut
nilai kursnya sebesar Rp. 10.000,- per 1 USD. Atas transaksi tersebut PT
Rosyida Baru mengakui adanya laba selisih kurs sebesar Rp
100.000.000,-, dengan jurnal yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah
sebagai berikut:
Saat penjualan:
Piutang dagang Rp 900.000.000,00
Penjualan Rp 900.000.000,00
Saat pelunasan:
Kas/Bank Rp 1.000.000.000,00
Piutang dagang Rp 900.000.000,00
Laba selisih kurs Rp 100.000.000,00

Daftar Pustaka
Adoe, Andreas. 2016. Perlakuan Pajak Atas Kewajiban Penggunaan Rupiah di
Indonesia. Diambil dari: http://www.ortax.org/ortax/?
mod=issue&page=show&id=83 (24 September 2016)

Muljono, Djoko., dan Baruni Wicaksono. 2009. Akuntansi Pajak Lanjutan.


Yogyakarta: ANDI.

Resmi, Siti. 2009. Perpajakan: Teori dan Kasus. Edisi 5. Jakarta: Salemba Empat.

Wahyudi, Dudi. 2011. Pajak Penghasilan Atas Selisih Kurs. Diambil dari:
http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/pajak-penghasilan-atas-
selisih-kurs.html (24 September 2016)

Waluyo. 2012. Akuntansi Pajak. Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai