Anda di halaman 1dari 4

D.

Patogenesis dan Patofisiologi Leukemia


Populasi sel leukemik ALL dan banyak AML mungkin diakibatkan proliferasi
klonal dengan pembelahan berturut-turut dari sel blas tunggal yang
abnormal. Sel-sel ini gagal berdiferensiasi normal tetapi sanggup membelah
lebih lanjut. Penimbunannya mengakibatkan pertukaran sel prekursor
hemopoietik normal pada sumsum tulang, dan akhirnya mengakibatkan
kegagalan sumsum tulang. Keadaan klinis pasien dapat berkaitan dengan
jumlah total sel leukemik abnormal di dalam tubuh. Gambaran klinis dan
mortalitas pada leukemia akut berasal terutama dari neutropenia,
trombositopenia, dan anemia karena kegagalan sumsum tulang (Hoffbrand
and Petit, 1996).
Blokade maturitas pada AML menyebabkan terhentinya diferensiasi sel-sel
mieloid pada sel muda (blast) dengan akibat terjadi akumulasi blast di
sumsum tulang. Akumulasi blast di dalam sumsum tulang akan
mengakibatkan gangguan hematopoiesis normal dan pada gilirannya akan
mengakibatkan sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure
syndrome) yang ditandai dengan adanya sitopenia (anemia, leukopenia, dan
trombositopenia). Selain itu, infiltrasi sel-sel blast akan menyebabkan
tanda/gejala yang bervariasi tergantung organ yang diinfiltrasi, misalnya
kulit, tulang, gusi, dan menings (Kurnianda, 2007).
Pada umumnya gejala klinis ALL menggambarkan kegagalan sumsum
tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel
limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di
darah perifer dan gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi,
dan perdarahan. Demam atau infeksi yang jelas dapat ditemukan pada
separuh pasien ALL, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga pasien
yang baru didiagnosis ALL (Fianza, 2007).
CGL/CML adalah penyakit gangguan mieloproliferatif, yang ditandai oleh
seri grabulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi
kita dapat dengan mudah melihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai
dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai
granulosit. Pada awalnya, pasien sering mengeluh pembesaran limpa, atau
keluhan lain yang tidak spesifik, seperti rasa cepat lelah, lemah badan,
demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam, dan penurunan berat
badan yang berlangsung lama. Semua keluhan tersebut merupakan
gambaran hipermetabolisme akibat proliferasi sel-sel leukemia. Anemia dan
trombositopenia terjadi pada tahap akhir penyakit (Fadjari, 2007).
CLL pada awal diagnosis, kebanyakan pasien CLL tidak menunjukkan
gejala (asimptomatik). Gejala yang paling sering ditemukan pada pasien
adalah limfadenopati generalisata, penurunan berat badan, dan kelelahan.
Gejala lain meliputi hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan
latihan/olahraga. Demam, keringat malam, dan infeksi jarang terjadi pada
awalnya, tetapi semakin menyolok sejalan dengan penyakitnya. Akibat
penuumpukan sel B neoplastik, pasien mengalami limfadenopati,
splenomegali, dan hepatomegali. Kegagalan sumsum tulang yang progresif
pada CLL ditandai dengan memburuknya anemia dan atau trombositopenia
(Rotty, 2007).
E. Penatalaksanaan Leukemia
Pengobatan utama untuk keganasan hematologi selama beberapa dekade
adalah pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi (Baldy, 2006). Saat ini,
pengobatan yang lain tersedia terbatas tetapi penggunaannya meningkat,
dengan kemajuan dalam uji klinis, yang dikenal sebagai Biological. Kelompok
obat ini adalah zat alami yang diambil dari sumber alami atau disintesis
dalam laboratorium untuk menyerang target biologi tertentu (Finley, 2000).
Biological dianggap menjaga sel induk hematopoietik dan oleh karena itu
kurang toksik dan bersifat kuratif (Baldy, 2006).
Kemoterapi atau Terapi Obat Sitotoksik. Obat sitotoksik merusak
kapasitas sel untuk reproduksi. Tujuan terapi sitotoksik mula-mula
menginduksi remisi dan selanjutnya mengurangi populasi sel leukemik yang
tersembunyi, dan memulihkan sumsum tulang dengan kombinasi siklik dua,
tiga atau empat obat. Pemulihan ini tergantung pada pola pertumbuhan
kembali (differential regrowth pattern) sel hemopoietik normal dan sel
leukemik.
Transplantasi Sumsum Tulang. Transplantasi sumsum tulang dilakukan
untuk memulihkan sistem hemopoietik pasien setelah penyinaran seluruh
tubuh dan kemoterapi intensif diberikan dalam usaha membunuh semua
leukemmik yang tinggal (Hoffbrand and Petit, 1996).
Terapi ALL dibagi menjadi:
Induksi remisi
Terapi ini biasanya terdiri dari prednisone, vinkristin, antrasiklin dan L-
asparaginase.
Intensifikasi atau konsolidasi
Berbagai dosis mielosupresi dari obat yang berbeda diberikan tergantung
protocol yang dipakai.
Profilaksis SSP
Terdiri dari kombinasi kemoterapi intratekal, radiasi cranial, dan pemberian
sistemik obat yang mempunyai bioavailabilitas yang tinggi seperti
metotreksat dosis tinggi dan sitarabin dosis tinggi.
Pemeliharaan jangka panjang
Terapi ini terdiri dari 6-merkaptopurin tiap hari dan metotreksat seminggu
sekali selama 2 tahun (Fianza, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Apakah penyakit yang diderita oleh pasien?
Berdasarkan gejala-gejala klinis dan hasil pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan laboratorium yang ada, pasien menderita leukemia. Namun jenis
leukemia yang diderita belum dapat dipastikan lebih lanjut, karena masih
membutuhkan beberapa pemeriksaan lain seperti morfologi sel darah melalui
pemeriksaan apusan darah, aspirasi dan biopsi sumsum tulang, analisis
sitogenetik, serta immunophenotyping.
Untuk diagnosis sementara sebelum dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti diatas, manifestasi klinis yang ada lebih merujuk ke arah leukemia
limfoblastik. Perkembangan penyakit, yaitu dalam 6 bulan telah menimbulkan
gejala hepatomegali dan splenomegali merujuk ke arah leukemia akut. Selain itu
anemia dan trombositopenia pada leukemia kronis timbul pada stadium akhir
penyakit. Padahal, stadium akhir leukemia kronik dicapai setelah penyakit
berjalan selama bertahun-tahun. Sementara, dalam kasus, anemia dan
trombositopenia terjadi dalam rentang waktu yang relatif singkat, hanya 6
bulan. Kemudian tidak adanya pembengkakan gusi mungkin dapat menjadi salah
satu petunjuk bahwa pasien tidak mengalami leukemia limfoblastik akut
(AML). Jadi, kesimpulan yang didapatkan dari kasus, pasien mengalami leukemia
limfoblastik akut (ALL).
Mengapa pasien mengalami gejala-gejala klinis seperti terdapat dalam kasus?
Lemas, mudah lelah, demam yang tidak terlalu tinggi (aksiler
38,5C), dan gizi kesan kurang. Disebabkan oleh hipermetabolisme yang
terjadi karena aktivitas proliferasi sel-sel leukemia. Semua cadangan energi
tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik yang ganas, sehingga
semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin berkurang,
akibatnya gizi pasien terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah. Kemungkinan
lain penyebab penurunan status gizi pasien adalah anemia dan gangguan
oksigenasi jaringan. Peningkatan aktivitas seluler yang terjadi mengakibatkan
peningkatan suhu inti, akibatnya tubuh menjalankan mekanisme pengaturan
suhu sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain akibat terjadinya demam
adalah adanya infeksi. Walaupun sel-sel leukosit yang berperan dalam sistem
imunitas meningkat, tetapi sel yang terbentuk tidak berdiferensiasi dengan sel
imun jenis apapun, sehingga tidak fungsional dalam menjaga kekebalan tubuh.
Fenomena ini disebut dengan leukopenia fungsional.
Perdarahan lewat hidung dan trombositopenia (trombosit 67 x
103/mm3 [normal 1,5-3 x 105/mm3]). Akibat dari terjadinya penekanan
hematopoiesis lainnya di sumsum tulang, maka produksi trombosit menurun.
Padahal, trombosit berperan penting dalam sistem hemostasis primer. Jika
trombosit berkurang, maka akan terjadi perdarahan yang waktunya lebih
panjang daripada jika kondisi dan jumlah trombositnya normal. Kapiler pada
keadaan normal memang sering mengalami ruptur, tetapi hal ini dapat cepat
diatasi oleh sistem hemostasis primer, yaitu trombosit. Jika
terjadi trombositopenia maka salah satu gejala yang timbul adalah perdarahan
hidung akibat pecahnya dinding kapiler.
Takikardi (108x/menit [normal 60-100/menit]), konjungtiva
anemis, papil lidah atrofi, dan anemia (Hb 7,5 g/dl [normal 12-16
g/dl]). Serupa dengan trombositopenia, anemia yang timbul terjadi akibat
penekanan hematopoietik oleh sel-sel leukemik pada sumsum tulang. Akibatnya
timbul manifestasi klinis khas anemia seperti di atas. Takikardi timbul akibat
kerja keras jantung dalam memenuhi kebutuhan oksigen jaringan karena
kuantitas hemoglobin (Hb) yang rendah dengan mekanisme mempercepat
jalannya aliran darah. Kuantitas Hb yang rendah mengakibatkan central
pallor eritrosit berwarna pucat. Hal inilah yang kemudian direpresentasikan oleh
berbagai jaringan tubuh, misalnya konjungtiva, bantalan kuku, telapak tangan,
serta membran mukosa mulut. Atrofi papil lidah mungkin saja terjadi akibat
cedera sel papila akibat kekurangan oksigen yang terjadi akibat anemia yang
diderita oleh pasien.
Limfadenopati leher. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang
berlebihan dalam memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang
berlebihan menyebabkan timbulnya rasa sakit (pathy).
Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1)
infeksi; 2) akibat anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus
ini, kaitan yang paling mungkin adalah hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-
sel leukemik ke dalam jaringan hepar.
Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga
hal terkait: 1) infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah.
Namun, dalam kasus ini, kemungkinan yang paling besar splenomegali terjadi
akibat infiltrasi sel-sel leukemia ke dalam limpa/splen.
Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dalam kasus?
Berdasarkan kesimpulan, pasien dalam kasus menderita leukemia
limfositik akut (ALL). Sehingga penatalaksanaan pasien dalam kasus lebih
difokuskan pada terapi untuk ALL. Terapi ALL itu sendiri meliputi induksi remisi,
intensifikasi atau konsolidasi, profilaksis SSP, dan pemeliharaan jangka panjang.

Baldy, Catherine M. Gangguan Sel Darah Putih dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M.
2006. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.
Fadjari, Heri. Leukemia Granulositik Kronis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Fianza, Panji Irani. Leukemia Limfoblastik Akut. ---------------------------------------
Greer JP et.al, Acute myelogenous leukemia. In Lee RG et. al, editors: Wintrobes clinical
hematology, ed 10, Baltimore, 1999, Williams & Wilkins.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Hoffbrand, A.V. Petit, J.E. 1996. Kapita Selekta Haematologi. Jakarta: EGC.
Kurnianda, Johan. Leukemia Mieloblastik Akut dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.et.al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Rotty, Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronis

Anda mungkin juga menyukai