Anda di halaman 1dari 54

2008/12/10

Kumpulan Jurnal Farmakologi Dasar

UNTUK MENDOWNLOAD KUMPULAN JURNAL INI DALAM PDF dan SATU


EBOOK DIDALAMNYA SILAHKAN KLIK DISINI

coba nih
NB : Nanti setelah di klik akan masuk ke adf.ly == biarkan waktu berjalan== skip ad == hotfile.

CARA-CARA PENANGANAN/ PERLAKUAN, PENANDAAN HEWAN PERCOBAAN


DAN RUTE PEMBERIAN OBAT
I. Pendahuluan
Peranan hewan percobaan dalam kegiatan penelitian ilmiah telah berjalan sejak puluhan tahun
yang lalu. Sebagai pola kebijaksanaan pembangunan nasional bahkan internasional, dalam
rangka keselamatan umat manusia di dunia adalah adanya Deklarasi Helsinki. Deklarasi ini
berisi tentang segi etik percobaan yang menggunakan manusia (1964) antara lain dikatakan
perlunya diakukan percobaan pada hewan, sebelum percobaan di bidang biomedis maupun riset
lainnya dilakukan atau diperlakukan terhadap manusia, sehingga dengan demikian jelas hewan
percobaan mempunyai mission di dalam keikutsertaannya menunjang program keselamatan umat
manusia melalui suatu penelitian biomedis.
Selain itu berdasarkan deklarasi tersebut, cukup beralasan pula bila penelitian lain misalnya
tentang aspek fisiologis, patologis, dan penyakit pada manusia, nutrisi, virus, penelitian perilaku
dan sebagainya, dapat dilakukan pada hewan percobaan sebagai modelnya dengan segala
persyaratan tertentu.
Berdasarkan referensi data yang diperoleh dari National Institute of Health Primate Research
centers, 1978, syarat utama dalam pemilihan hewan percobaan yang sesuai dan dapat dipakai
sebagai model adalah bahwa proses yang terjadi pada hewan percobaan tersebut mirip atau
banyak kesamaannya dengan proses yang terjadi pada manusia. Di samping itu mudah didapat ,
mudah dikembang-biakkan dan relatip murah harganya. Secara terperinci peranan hewan
percobaan berorientasi kepada kegiatan penelitian maupun pemeriksaan laboratorium.
(Edhie sulaksono, 1992)

Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular atau ekstravaskular. Cara intravaskular
yaitu obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh tubuh seperti
pemberian intravena (suntikan atau infus). Berarti pemberian obat tidak perlu menglami fase
pertama untuk memberikan efek, yaitu fase absorpsi. Konsentrasi obat dalam plasma atau darah
selanjutnya ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi atau eliminasi
obat dari tubuh. Sedangkan cara ekstravaskular yaitu obat harus diabsorpsi dahulu sebelum
masuk ke peredaran sistemik seperti pemberian intramuskular, subkutan, intradermal, dan
peritoneal. Syarat untuk absorpsi adalah obat harus terbebaskan terlebih dahulu dari bentuk
sediannya dan bukan hanya tergantung pada faktor fisikokimia obat, tetapi juga pada faktor
lingkungan bagian tubuh tempat obat diserap atau diabsorpsi. Kemudian, faktor-faktor teknik
pembuatan (farmakoteknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk sediaannya
ke dalam cairan tubuh.
(Stefanus Lukas, 2006)

II. Tujuan Percobaan


- Untuk mengetahui bagaimana cara-cara menangani/ memperlakukan hewan percobaan,
- Untuk mengetahui bagaimana cara memberi penandaan pada hewan percobaan,
- Untuk melihat berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efek yang ditimbulkan,
- Untuk menyatakan onset of action obat berdasarkan rute pemberian,
- Untuk mengetahui efek dari Luminal Na terhadap hewan percobaan

III. Prinsip Percobaan


- Cara memegang hewan percoabaan adalah berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh sifat hewan
tersebut, keadaan fisiknya (besar atau kecil), serta tujuannya. Kesalahan dalam prosedurnya akan
menyebabkan kecelakaan atau rasa sakit pada hewan, sehingga menyulitkan dalam penyuntikan.
- Dengan membandingkan berbagai rute pemberian obat (oral dan intraperitoneal ), sehingga
dapat diperoleh onset of action, intensitas, dan duration of action dari suatu obat. Onset of action
pada pemberian intraperitonial akan lebih cepat dicapai dibandingkan dengan melalui oral.

IV. Tinjauan Pustaka


Keanekaragaman jenis hayati (hewan percobaan) yang dimiliki ataupun yang dipakai sebagai
Animal model oleh suatu laboratorium medis baik itu dibidang farmasi, phisiologi, ekologi,
mikrobiologi, virologi, radiobiologi, kanker, biologi dan sebagainya di negara manapun
merupakan suatu "modal dasar" dan "model hidup" yang mutlak dalam berbagai kegiatan
penelitian (riset). Secara definitip hewan percobaan adalah yang digunakan sebagai alat penilai
atau merupakan "model hidup"dalam suatu kegiatan penelitian atau pemeriksaan laboratorium
baik medis maupun non medis secara in vivo.
Di dalam hal keikutsertaan dan pemanfaatannya bagi pengembangan sains dan teknologi,
kebutuhan akan sumber hayati ini (hewan percobaan) makin hari makin meningkat terutama
untuk kepentingan riset biomedis maupun pendidikan baik di dalam maupun di luar negeri.
Bahkan secara nasional negara kita adalah salah satu negara pensuplai kebutuhan tersebut
(misalnya kera). Dipihak lain belum banyak usaha yang terpadu & programatis dalam
penanganan hewan percobaan baik dalam kwalitas maupun kwantitas, kecuali pada pihak yang
benar-benar mengerti dan sadar akan kepentingan ini.
Pengelolaan Hewan Percobaan
Pada dasamya pengelolaan hewan percobaan dititikberatkan pada:
1.Kondisi bangunan
Persyaratan ini sangat menentukan kondisi hewan percobaan, karena bentuk,ukuran serta bahan
yang dipakai merupakan elemen dalam physical environment bagi hewan percobaan. Bangunan
harus dirancang sedemikian rupa sehingga hewan dapat hidup dengan tenang, tidak terlalu
lembab, dapat menghasilkan peredaran udara yang baik, suhu cocok, ventilasi lengkap dengan
insect proof screen (kawat nyamuk).
2.Sanitasi
Dari bangunan tersebut diambil manfaatnya dengan dapat terselenggaranya sistem sanitasi yang
baik, sestim drainase yang baik, tersedianya fasilitas desinfektan, misalnya dengan jalan
menempatkan tempat khusus yang berisi desinfektan (lysol 35%) atau disebut dengan Foot baths.
Sanitasi kandang atau peralatan lainnya dilakukan dengan teratur. Di samping itu bagi tenaga
pengelola perlu mengenakan lab jas (Protective clothing) atau peralatan proteksi lainnya seperti
masker dan sebagainya. Peralatan sanitasi lainnya seperti halnya autoclave pembakar bangkai,
fumigator bahkan fasilitas shower dan toilet bila perlu diusahakan ada.
3. Tersedianya makanan
Tersedianya makanan hewan percobaan yang nitritiv dan dalam jumlah yang cukup.
Penyimpanannya harus baik, terhindar dari lingkungan yang lembab, diusahakan bebas dari
insekta atau hewan penggerek lainnya, karena dengan adanya ini dapat merupakan petunjuk
adanya kerusakan bahan makanan hewan dan sebagai usaha pencegahannya adalah makanan
ditempatkan dalam kantong-kantong plastik yang waterproof, bila perlu dalam kondisi anaerob
(dengan menggunakan vaccum pump) dan tertutup rapat. Bentuk makanan bila perlu diusahakan
berbentuk pellet (cetakan seperti pil atau berbentuk silinder) dengan diameter tertentu tergantung
macam hewannya. Keuntungannya adalah dapat disimpan lama (lebih-lebih bila anaerob),
makanan bisa habis termakan (dibandingkan bila dalam bentuk mess atau powder) serta kontrol
terhadap makanan yang dimakan lebih mudah.
4. Kebutuhan air
Kebutuhan air dapat diperoleh dengan mudah dan lancar dan usahakan tidak terlalu tinggi
kandungan mineralnya serta bersih.
5. Sirkulasi udara
Dengan adanya sistim ventilasi yang baik, sirkulasi udara dapat diatur lebih-lebih bila dipasang
exhaust fan.
6. Penerangan
Penerangan diperlukan sekali terutama dalam pengaturan proses reproduksi hewan Haruster,
karena siklus estrus (siklus reproduksinya) sangat tergantung oleh penerangan dan bila tidak
terdapat penerangan akan menyebabkan terhambatnya proses reproduksi.
7. Kelembaban dan temperatur ruangan
Adapun kelembaban dan temperatur ruangan yang direkomendasikan bagi masing-masing hewan
percobaan adalah sebagai berikut:
8. Keamanan
Maksud dari pada keamanan ini adalah menjaga jangan sampai terjadi infeksi penyakit baik yang
berasal dari hewan maupun manusia. Sehingga sebagai usaha pencegahan tidak diperkenankan
semua orang keluar masuk ruangan hewan (lebih-lebih bila hewannya adalah bebas kuman atau
yang disebut dengan Germ Free Animals tanpa
suatu keperluan apapun.
9. Training/kursus bagi personil
Dalam program pemeliharaan hewan percobaan diperlukan tenaga yang terlatih dan
berpengalaman yang cukup, karena ilmu yang menyangkut hewan percobaan dapat melibatkan
banyak aspek ilmu, sehingga diperlukan sekali adanya kursus baik tenaga administrasi maupun
tenaga teknis.
(http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_Perkemba
ngbiakanHewanPercobaan.html)

Cara Pemberian Obat (Rote of Drug Administration)


Cara pemberian obat adalah satu-satunya pengetahuan asli milik farmakologi. Perbedaan cara
pemberian sangat penting dalam penentuan efek yang diharapkan. Ada obat yang hanya
berkhasiat apabila disuntikkan dan tidak memberikan efek bila diminum. Karena itu cara
pemberian obat ditentukan oleh :
Jenis obat
Kondisi penderita (sadar, tidak sadar, koperatif, dan sebagainya)
kondisi penyakit (perlu efek segera atau tidak).
Aplikasi Lokal
Efek lokal diperoleh dengan membubuhkan obat pada kulit atau mukosa, dan dalam beberapa hal
dengan penyuntikan di daerah atau rongga tertentu. Obat yang larut dalam air tidak diserap oleh
kulit utuh. Obat yang dilarutkan dalam minyak dapat diserap oleh kulit, dan bila penyerapan
cukup besar, akan terjadi efek sistemik bahkan keracunan. Kulit yang tidak utuh memperbesar
penyerapan dan perlu mendapat perhatian.
Pada umumnya, obat mudah diserap dari mukosa mata, hidung, tenggorokan, bawah lidah,
rektum, saluran pernafasan dan saluran kemih kelamin. Karena itu perlu disadari, bahwa
pemberian lokal dapat menimbulkan efek sistemik sampai keracunan.
Pemberian sistemik
Pemberian obat melalui mulut disebut per oral atau per os merupakan cara pemberian yang
paling banyak dilakukan. Keuntungan cara per os adalah murah, mudah, enak dan
menyenangkan serta paling aman karena lebih mudah ditolong. Pertolongan yang diberikan
ketika keracuanan akut timbul adalah dengan merangsang muntah, bilas lambung, pemberian
penawar dan pemberian pencahar untuk mengurangi penyerapan. Pertolongan demikian dapat
dilakuka, karenaa penyerapan obat per os memerlukan waktu yang relative lama. Kerugiannya
adalah tidak mungkin diberikan jika penderita tidak sadar, muntah-muntah, sebagian obat
memberikan rasa mual dan nyeri lambung atau dirusak oleh asam lambung. Selain itu, isi
lambung juga mempengaruhi keteraturan atau kecepatan penyerapan obat. Adakalanya cara per
oral juga digunakan pada obat yang berefek lokal pada saluran cerna seperti laksan (pencahar),
digestan, antacid non-sistemik dan sebagainya.
(Mulkam Y.L., Rizali H.N., 1993)

Cara Pemberian Obat Parenteral


Cara pemberian obat prenteral adalah sebagai berikut :
1. Subkutan atau di bawah kulit (s.c.), yaitu disuntikkan ke dalam tubuh melalui bagian yang
sedikit lemaknya dan masuk ke dalam jaringan di bawah kulit; volume yang diberikan tidak lebih
dari 1 ml. Sediaan harus memenuhi krtiteria tertentu, seperti berikut : Larutan sebaiknya isotonis
dan iso hidris; Larutan yang sangat menyimpang isotonisnya dapat menimbulkan rasa nyeri atau
nekrosis dan absorpsi zat aktif tidak optimal; Onset of action obat berupa larutan dalam air lebih
cepat daripada sediaan suspensi; Determinan kecepatan absorbsi ialah total luas permukaan
tempat terjadinya penyerapan; Absorpsi obat dapat diperlambat dengan menambahkan adrenalin
( cukup 1 :100.000-200.000) yang menyebabkan konstriksi pembuluh darah lokal, sehingga
difusi obat tertahan diperlambat. Contoh injeksi Lidocaine Adrenalin untuk cabut gigi.
Sebaliknya, absorpsi obat dapat dipercepat dengan penambahan hyluronidase, yaitu suatu enzim
yang memecah mukopolisakarida dari matriks jaringan yang menyebabkan penyebaran
dipecepat. Bila ada infeksi, maka bahaya lebih besar daripada penyuntikan ke dalam pembuluh
darah karena pada pemberian subkutan mikroba menetap di jaringan dan membentuk abses.
2. intramuskular (i.m.), yaitu disuntikkan ke dalam jaringan otot, umumnya di otot pantat atau
paha. Syarat-sayrat yang harus dipenuhi sediaan adalah sebagai berikut : Sediaan dalam bentuk
larutan lebih cepat diabsorpsi daripada suspensi pembawa minyak atau air; Larutan sebaiknya
isotonis; Onset bervariasi tergantung besar kecilnya partikel; Sediaan dapat berupa larutan,
emulsi atau suspensi; Zat aktif bekerja lambat (preparat devo) serta mudah terakumulasi,
sehingga dapat menimbulkan keracunan; Volume sediaan umumnya 2 ml sampai 20 ml dapat
disuntikkan ke dalam otot dada, sedangkan volume yang lebih kecil disuntikkan ke dalam otot-
otot lain. Contohnya adalah penicillin G 3.000.000 unit, injeksi antitetanus 10.000 atau 20.000
unit, injeksi vitamin B kompleks.
3. Intravena (i.v.), yaitu disuntikkan ke dalam pembuluh darah. Syaratnya adalah sebagai
berikut : Larutan dalam volume kecil (dibawah 5 ml) sebaiknya isotonis dan isohidris, sedangkan
volume besar (infuse) harus isotonis dan isohidris; Tidak ada fase absorpsi, Obat langsung masuk
ke dalam vena; Onset of action segera; Obat bekerja paling efisien; Bioavaibilitas 100%; Obat
harus dalam larutan air, bila emulsi lemak partikel minyak tidak boleh lebih besar dari ukuran
partikel eritrosit; Sedian suspensi tidak dianjurkan; Larutan hipertonis disuntikkan secara lambat,
sehingga sel-sel darah tidak banyak berpengaruh; Zat aktif tidak boleh merangsang pembuluh
darah, sehingga menyebabkan hemolisa seperti saponin, nitrit, dan nitrobenzol; Sediaan yang
diberikan umumnya sediaan sejati; Adanya partikel dapat menyebabkan emboli; Pada pemberian
dengan volume 10 ml atau lebih, sekali suntik harus bebas pirogen. Contohnya, injeksi ampicilin
500 mg, 1 gram, infuse Sodium chloride 0,9 % 25 ml, 50 ml, 500 ml.

4. Cara pemberian Parenteral lainnya :


a. Intraspinal, yaitu disntukkan ke dalam sumsum tulang belakang. Syaratnya : larutan harus
isotonis dan isohidris, bila digunakan sebagai anestesi larutan harus hipertonis. Contoh
sediaannya yaitu injeksi Xylocain heavy 0,5% 2 ml (Buvicaine HCl).
b. Peritonial, yaitu kateter dimasukkan ke dalm rongga perut dengan operasi untuk tempat
memasukkan cairan steril CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialisis). Syaratnya yaitu :
larutan harus hipertonis; zat aktif harus diabsorpsi dengan cepat; volume diberikan dalam jumlah
besar (1 atau 2 liter); Infeksi mudah terjadi karena pemakaian yang terus menerus dan
penanganan yang tidak steril; Biasa sebagai cuci darah dengan cara CAPD. Contohh sediaannya
infuse dianeal 1,5% atau 2,5% 2 liter.
c. Intraartikular, yaitu disuntikkan ke dalam sendi. Syaratnya yaitu larutan harus isotonis dan
isohidris. Contoh sediaan injeksi Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml.
d. Intradermal, yaitu disuntikkan ke dalam kulit. Syarat-syarat sediaan ini yaitu : Larutan
sebaiknya isotonis dan isohidris; Volume yang disuntikkan kecil, antara 0,1 hingga 0,2 ml; Biasa
sebagai diagnostik Mantoux tes atau tes alergi. Contohnya yaitu tes alergi antibiotik 1 ml, injeksi
Kenacort A 10 mg/ml amp 5 ml.
(Stefanus Lukas, 2006)

Hubungan Struktur, Sifat Kimia Fisika dengan Proses Penyerapan Obat


Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan
parenteral terteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan dan
intraperitonial, melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara
parenteral yang lain, seperti melalui intravena, intraarteri, intraspinal dan intraserebral, tidak
melibatkan proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju
sisi reseptor (receptor cite). Cara pemberian yang lain adalah secara inhalasi melalui hidung dan
secara setempat melalui kulit atau mata.
Proses penyerapan merupakan dasar penting dalam menentukan aktivitas farmakologis obat.
Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan mempengaruhi aktivitas obat
dan menyebabkan kegagalan pengobatan.
1. Penyerapan Obat Melalui Saluran Cerna
Pada pemberian secara oral, sebelum obat masuk ke peredaran darah dan didistribusikan ke
seluruh tubuh, terlebih dahulu mengalami proses penyerapan pada saluran cerna. Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat pada saluran cerna antara lain adalah bentuk
sediaan, sifat kimia fisika, cara pemberian, faktor biologis dan faktor lain-lain.
a. Bentuk sediaan
Bentuk sediaan terutama berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat, yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi intensitas respon biologis obat. Bentuk sediaan pil, tablet, kapsul,
emulsi, serbuk, dan larutan, proses penyerapannya memerlukan waktu yang berbeda-beda dan
jumlah ketersediaan hayatinya mungkin juga belainan. Ukuran partikel bentuk sediaan juga
mempengaruhi penyerapan obat. Makin kecil ukuran partikel, luas permukaan yang
bersinggungan dengan pelarut makin besar, sehingga kecepatan melarut obat makin besar.
Adanya bahan-bahan tambahan atau bahan pembantu, seperti bahan pengisi, pelican,
penghancur, pembasah dan emulgator, dapat mempengaruhi waktu hancur dan melarut obat,
yang akhirnya berpengaruh terhadap kecepatan penyerapan obat.
b. Sifat Kimia Fisika Obat
Bentuk asam, basa, ester, garam, kompleks atau hidrat dari bahan obat dapat mempengaruhi
kelarutan dan proses penyerapan obat. Selain itu bentuk kristal atau polimorf, kelarutan dalam
lemak/ air dan derajad ionisasi juga mempengaruhi proses penyerapan obat. Contoh : Penisilin V
dalam bentuk garam K lebih mudah melarut dibanding penisilin V bentuk basa, Novobiosin
bentuk amorf lebih cepat melarut disbanding bentuk kristal.
c. Faktor Biologis
Faktor-faktor biologis yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah
variasi keasaman (pH) saluran cerna, sekresi cairan lambung, gerakan saluran cerna, luas
permukaan saluran cerna, waktu pengosongan lambung dan waktu transit dalam usus, serta
banyaknya buluh darah pada tempat penyerapan.
d. Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang berpengaruh terhadap proses penyerapan obat antara lain adalah umur, diet
(makanan), adanya interaksi obat dengan senyawa lain dan adanya penyakit tertentu.
(Siswandono, 1995)

Absorosi, Distribusi dan Ekskresi Obat


Kebanyakan obat diberikan secara oral, sehingga obat harus lewat melalui dinding usus untuk
dapat memasuki aliran darah. Proses absorpsi ini dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi biasanya
sebanding dengan kelarutan obat di dalam lemak. Sehingga, absorpsi obat yang tak terionkan
adalah disangga karena obat adalah jauh lebih mudah larut dalam lipid daripada yang terionkan
(BH+) dan dikelilingi oleh kulit molekul air. Obat yang diabsorpsi sebagian besar pada usus
halus karena permukaannya luas. Ini terjadi untuk obat yang bersifat asam lemah (misalnya
aspirin), yang tidak terionkan dalam HCl pada lambung. Obat diabsorpsi dari saluran pencernaan
memasuki gerbang sirkulasi dan secara ekstensif ada yang dimetabolisme karena melewati hati
(melewati metabolisme pertama).
Obat-obat yang cukup larut di dalam lemak siap diabsorpsi secara oral dan dengan cepat
didistribusikan seluruhnya oleh air kompartmen badan. Banyak obat yang bebas berikatan
dengan albumin plasma, dan bentuk kesetimbangan diantara ikatan protein dan obat bebas dalam
plasma. Obat yang berikatan dengan protein plasma yang terkurung dalam system vaskular dan
tidak dapat menimbulkan efek farmakologi.
Distribusi didalam tubuh terjadi ketika jangkauan obat di dalam tubuh. Kemudian menembus
jaringan untuk memberkan aksi.
Waktu paruh (t1/2), adalah waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi separuh dari
konsentrasi awalnya. Ekskresi renal akhirnya bertanggung jawab untuk eliminasi obat paling
banyak. Obat ada yang terdapat dalam filtrate glumerulus, namun obat yang larut dalm lipid akan
dibsorpsi kembali pada tubulus renal secara difusi pasif.
(Michael J. Neal, 2002)

Penggolongan Obat Berdasarkan Khasiat dan Penggunaanya dapat dibagi :


Adstringen, Adsorben, Analeptik, Analgetik-antipiretik, analgetik-narkotik, Anestetik, Hipnotif-
sedatif dan lain-lain.
Sedative hipnotif merupakan Obat yang digunakan agar dapat tidur. Bila diberikan dalam dosis
yang lebih rendah pada siang hari untuk menenangkan, maka dinamakan sedativ (pereda).
a. Tidur tenang (slow-wave, NREM), cirinya denyut jantung, tekanan darah dan pernafasan
teratur, otot kendor tanpa gerakan otot muka atau mata.
b. Tidur REM atau paradoksal (Rapid-eye-movement), disini otak memperlihatkan aktivitas
listrik sama dalam keadaan bangun dan aktif disertai gerakan mata yang cepat. Jantung, tekanan
darah dan pernafasan turun naik, aliran darah keotak bertambah, penis mengeras, terjadi mimpi.
Tidur normal adalah : 6-8 jam dimulai tidur tenang selama 1 jam. Contoh obat-obatnya yaitu
barbitalum, Methaqualonum, pentobarbitalum, phenobarbitalum, dan nitrazepamum.
Turunan barbiturat merupakan sedative yang banyak digunakan secara luas sebelum
ditemukannya turuna Benzodiazepim. Turunan barbiturat bekerja sebagai penekan pada aksis
serebrospinal dan menekan aktifitas saraf, otot rangka, otot polos dan otot jantung. Turunan
barbiturat dapat menghasilkan derajat depresi yang berbeda yaitu sedasi, hipnotik atau anastesi,
tergantung pada struktur senyawa/ dosis dan cara pemberian.
Turunan barbiturat bekerja menekan transmisi sinoptik pada sistem pengaktivan retikula diotak
dengan cara mengubah permeabilitas membrane sel sehingga mengurangi rangsang sel
postsinapsis dan menyebabkan deaktivasi kortex cerebial.
Berdasarkan masa kerjanya turunan barbiturat dibagi dalam 4 kelompok :
a. Turunan barbiturat dengan kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contoh : Barbital, mefobarbital, metabarbital
b. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)
Contoh : Siklobarbital, heptabarbital, heksetal, Phenobarbital dan sekobarbital (sekonal).
c. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (kurang dari 0,5 jam).
Contoh : Tiopental, tiamital.
Fenobarbital Na (Nembutal)
Fenobarbital Na adalah turunan barbiturate dengan masa kerja pendek, digunakan sebgai
hipnotik dan sedative diberikan secara oral atau intravena. Kadar dalam darah tertinggi obat
dicapai dalam satu jam setelah pemberian obat dengan waktu paruh plasma 15-48 jam.
(Widodo, 1993)
Pemberian obat secara oral dapat dilakukan melalui mulut dan langsung ditelan oleh klien, obat
diletakkan dibawah lidah (sublingual) atau diletakkan dipipi bagian dalam (buccal) serta
ditunggu sampai obat tersebut larut. Pemberian obat secara oral juga dapat dilakukan melalui
selang nasogastrik (NGT).
Pemberian obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan paling
sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada klien dan dengan efek samping
yang paling kecil, serta paling murah dibandingkan dengan cara pemberian yang lain.
Bila klien dilakukan gastricsuction atau terpasang NGT dengan tujuan bilas lambung, pemberian
obat per oral dihentikan dan diberikan dengan cara yang lain. Namun, beberapa dokter kadang
tetap menginstruksikan pemberian obat melalui NGT dengan menghentikan sementara proses
bilas lambung, caranya adalah dengan menutup selang NGT minimal selama 30 menit setelah
diberikan obat melalui NGT.
Pemberian obat melalui parenteral berarti pemberian obat melalui injeksi atau infuse. Dapat
diberikan secara intradermal (ID), subkutaneus (SC), intramuscular (IM) / jaringan intralesional,
intravena (IV) / sirkulasi intra-arterial, intraspinal atau melalui ruang intra-artikular.
(www.unsoed.ac.id)

Obat merupakan kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup setiap manusia
yang mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari mulai bagaimana obat itu
diabsorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi dan akhirnya harus ada yang
diekskresikan.

Absorpsi Obat Dalam Tubuh


Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan
dan kecepatan proses. Pada klinik pemberian obat yang terpenting harus mencapai bioavaibilitas
yang menggambarkan kecepatan dan kelengkapan absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum
mencapai sirkulasi sistemik.
Hal ini penting, karena terdapat beberapa jenis obat tidak semua yang diabsorpsi dari tempat
pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, namun akan dimetabolisme oleh enzim didinding
usus pada pemberian oral atau dihati pada lintasan pertamanya melalui organ- organ tersebut.
Adapun faktor- faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitas obat pada pemberian oral, antara
lain :
Faktor Obat
Sifat- sifat fisikokimia seperti stabilitas pH lambung, stabilitas terhadap enzim
pencernaan serta stabilitas terhadap flora usus, dan bagaimana formulasi obat
seperti keadaan fisik obat baik ukuran partikel maupun bentuk kristsl/ bubuk dll.
Faktor Penderita
Bagaimana pH saluran cerna, fungsi empedu, kecepatan pengosongan lambung
dari mulai motilitas usus, adanya sisa makanan, bentuk tubuh, aktivitas fisik
sampai dengan stress yang dialami pasien.
Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna
Adanya makanan, perubahan pH saluran cerna, perubahan motilitas saluran cerna, perubahan
perfusi saluran cerna atau adanya gangguan pada fungsi normal mukosa usus.
(nardinurses.files.wordpress.com)

V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan

5.1.1. Alat
- oral sonde mencit
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- stopwatch
- alat suntik 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml

5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%

5.2. Prosedur Percobaan


Penandaan Hewan
- dipegang ujung ekor mencit dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat
kasa kandang
- ditandai ekor mencit dengan spidol permanent
- diletakkan di atas timbangan elektrik, kemudian catat beratnya
Persiapan Hewan
- dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan terpaut pada kawat kasa
kandang
- dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu
jari tangan kiri
- ditukarkan pegangan ekor dari tangan ke jari kelingking kiri supaya mencit itu dapat dipegang
dengan sempurna
- mencit siap untuk disuntik
Cara Pemberian Obat
Intraperitoneal
Percobaan kontrol (dengan pemberian aquadest)
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di
bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan aquadest pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
- diamati efek yang terjadi
Pemberian Luminal Na 0,7%
- dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di
bawah rahang sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
- disuntikkan Luminal Na 0,7% pada bagian bawah tengah abdomen perlahan-lahan
- diamati efek obat yang terjadi
Peroral
Pemberian Luminal Na 0,7%
- dipegang tengkuk mencit
- diselipkan jarum oral yang telah berisi Luminal Na 0,7% berdekatan dengan langit-langit dan
didorong hingga masuk ke esofagus
- Larutan didesak keluar dari alat suntik
5.3 . Flow Sheet
Mencit 1. Penandaan Hewan

Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa
dari kandang
Ditandai ekornya dengan spidol permanent
Diangkat ke atas timbangan elektrik
Dicatat beratnya
Hasil

2. Persiapan Hewan
Mencit

Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa di
kandang
Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu
jari tangan kiri
Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat dipegang
dengan sempurna
Hasil

3. Cara Pemberian Obat


a. Per Oral

Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga
masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
b. Intra Peritoneal
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di
bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
VI. Perhitungan, Data, Grafik Percobaan dan Pembhasan
6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 22,7 g

Mencit II (intraperitonial)
berat badan = 20,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III (intraperitonial)
berat badan = 19,0 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

Mencit IV
berat badan = 20,6 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V (oral)
berat badan = 20,8 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

6.2. Data Percobaan


No.
PERLAKUAN
WAKTU (MENIT)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1.
Kontrol aquadest 1%, intraperitonial
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
2.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB, Intraperitonial
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
1.3
3.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, Intraperitonial
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.3
1.2
1.2
4.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 80 mg/kgBB, oral
1.2
1.1
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.4
5.
Luminal Na [] 0,7%, dosis 90 mg/kgBB, oral
1.1
1.1
1.1
1.1
1.1
1.2
1.3
1.3
1.3

Keterangan :
- 1.1 : Normal
- 1.2 : Reaktif
- 1.3 : Gerak Lambat
- 1.4 : Tidur

6.3. Grafik Percobaan


6.4. Pembahasan
Pada hasil percobaan, yaitu pada mencit II dengan dosis 80 mg/kgBB dan mencit III dengan
dosis 90 mg/kgBB, didapatkan bahwa efek yang lebih dahulu timbul terdapat pada mencit yang
diberi dosis lebih kecil. Hal ini mungkin terdapatnya variasi biologis pada tiap individu.
Akibat faktor individual itu, efek obat dapat sangat berbeda. Setiap orang dapat memberikan
respons yang berlainan terhadap suatu obat sesuai kepekaannya masing-masing. Perbedaan
respons ini bisa besar sekali, karena untuk setiap obat selalu ada orang yang rentan dan dengan
dosis rendah sekali sudah dapat memberikan efek terapeutis. Sebaliknya, ada pula orang yang
hanya memberikan efek dalam dosis yang amat tinggi. Inilah sebabnya mengapa dosis obat yang
diberikan pada suatu pasien dengan hasil baik, adakalanya tidak ampuh pada pasien lain, yang
mungkin dosisnya harus dinaikkan untuk memberikan efek yang sama. Dalam keadaan penting
hendaknya pasien diukur kadar obat dalam darahnya untuk mendapatkan kepastian mengenai
takaran yang optimal.
( Tjay, 2003)

VII. Kesimpulan dan Saran

7.1. Kesimpulan
- Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan penyuntikan hewan
percobaan tersebut.
- Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai ekor mencit
dengan spidol permanent.
- Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit memberikan efek
yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral.
- Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan dengan
pemberian oral.
- Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada mencit mulai dari normal, reaktif, gerak
lambat dan bahkan tidur.

7.2. Saran
- Hendaknya dilakukan percobaan pada rute pemberian yang lain, misalnya intravena.
- Hendaknya praktikan hati-hati dalam menjaga mencit percobaan karena harganya mahal.

Daftar Pustaka

Lukas, Stefanus, (2006), FORMULASI STERIL, Penerbit Andi: Yogyakarta, Hal :11-14
Neal, Michael J., (2002), MEDICAL PHARMACOLOGY AT A GLANCE, Fourth Edition,
Blackwell Science Ltd: Malden USA, Hal : 12, 13.
Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal :10-11.
Widodo, V. B & Lotterer E., (1993), KUMPULAN DATA KLINIK FARMAKOLOGI. Cetakan
I. UGM Press: Jogjakarta, Hal 10
Yahya L, Mulkan & Rizali H., (1993), PENGANTAR FARMAKOLOGI, Pustaka Widyasarana:
Medan Hal 6
nardinurses.files.wordpress.com
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_
PerkembangbiakanHewanPercobaan.html
www.unsoed.ac.id

PENGARUH VARIASI BIOLOGI TERHADAP DOSIS OBAT DAN PENGARUH JENIS


KELAMIN TERHADAP DOSIS OBAT

I. Pendahuluan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan
berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan
meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan meningkatkan
toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan
memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik atau keturunan,
perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim
metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-faktor lain.
(Siswandono, 1995)

II. Tujuan Percobaan

1. Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan
percobaan .
2. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan.

III. Prinsip Percobaan


Dosis yang diperlukan untuk mencapai kadar terapeutik efektif berbeda-beda pada tiap-tiap
individu disebabkan karena adanya variasi biologi dan variasi jenis kelamin yang mempengaruhi
respons tubuh terhadap obat.

IV. Tinjauan Pustaka


Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metaboloit ditentukan oleh kadar dan
aktivutas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan memeperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini
kemungkinan berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme
akan meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan
meningkatkan toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan
memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik atau keturunan,
perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim
metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-faktor lain.
Faktor Genetik atau Keturunan
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat kadang-kadang terjadi dalam
kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan ikut berperan terhadap
adanya perbedaan kecepatan metabolisme obat.
Contoh : Metabolisme isoniazid, suatu bentuk antituberkulosis, terutama melalui n-asetilasi.
Studi terhadap kecepatan asetilasi isoniazid menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan
asetilasi dari individu-individu. Orang Jepang dan Eskimo merupakan asetilator cepat, sedang
orang Eropa Timur dan Mesir adalah asetilator lambat. Waktu paruh isoniazid pada asetilator
cepat bervariasi antara 45-80 menit, dan pada asetilator lambat antara 140-200 menit.
Reaksi asetilasi melibatkan perpindahan gugus asetil dan dikatalisis oleh enzim N-asetil
transferase. Asetilator cepat mempunyai enzim N-asetil transferase yang jauh lebih besar
dibanding asetilator lambat. Aktifitas antituberkulosis isoniazid sangat tergantung pada
kecepatan asetilasinya. Pada asetilator cepat, isoniazid cepat diekskresikan dalam bentuk
asetilisoniazid yang tidak aktif, sehingga obat mempunyai masa kerja pendek dan memerlukan
dosis pengobatan yang lebih besar. Pada asetilator lambat, kemungkinan terjadinya efek samping
yang tidak dikehendaki lebih besar, misalnya neuritis perifer. Hidralazin, Prokainamid dan
Dapson juga menunjukkan asetilasi yang berbeda secara genetik. Factor genetik juga
berpengaruh ternadap kecepatan oksidasi dari fenitoin, fenilbutazon, dan nortriptilin.

Perbedaan Spesies dan Galur


Pada proses metabolisme obat, perubahan kimia yang terjadi pada spesies dan galur
kemungkinan sama atau sedikit berbeda, tetapi kadang-kadang perbedaan yang cukup besar pada
reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh perbedaan spesies dan galur terhadap
metabolisme obat sudah banyak dilakukan, yaitu pada tipe reaksi metabolik atau pebedaan
kualitatif dan pada kecepatan metabolisme atau perbedaan kuantitatif. Contoh : Fenilasetat, pada
manusia terkonjugasi dengan glisin dan glutamine, sedang pada kelinci dan tikus terkonjugasi
pada glisin saja. Asam benzoate, pada bebek diekskresikan sebagai asam orniturat, sedangkan
pada anjing diekskresikan sebagai asam hipurat. Amfetamin, pada manusia, kelinci dan marmot
mengalami deaminasi oksidatif, sedangkan pada tikus mengalami hidroksilasi aromatik. Fenol,
pada kucing terkonjugasi dengan sulfat, sedangkan pada babi terkonjugasi dengan asam
glukuronat, karena kucing mengandung lebih sedikit enzim glukuronil transferase. Fenitoin, pada
manusia mengalami oksidasi aromatik menghasilkan S(-)-orto-hidroksifenitoin.
Perbedaan Jenis Kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh jenis kelamin terhadap kecepatan
metabolisme obat. Banyak obat dimetabolisis dengan kecepatan yang sama baik pada tikus
betina maupun tikus jantan. Tikus betina dewasa ternyata memetabolisis beberapa obat dengan
kecepatan yang lebih rendah dibanding tikus jantan. Contoh : N-demetilasi aminopirin, oksidasi
heksobarbital, dan glukuronidasi O-aminofenol. Hal ini menunjukkan bahwa selain perbedaan
jenis kelamin, metabolisme juga tergantung pada macam substrat.
Studi efek hormon androgen, seperti testosteron, pada sistem mikrosom hati menunjukkan bahwa
rangsangan enzim oksidasi pada tikus jantan ternyata berhubungan dengan aktivitas anabolik dan
tidak berhubungan dengan efek androgenik. Pada manusia baru sedikit yang diketehui tentang
adanya pengaruh perbedaan jenis kelamin terhadap proses metabolisme obat. Contoh : nikotin
dan asetosal dimetabolisis secara berbeda pada pria dan wanita.
Perbedaan Umur
Bayi dalam kandungan dan bayi baru lahir jumlah enzim-enzim mikrosom hati yang diperlukan
untuk memetabolisis obat relatif masih sedikit sehingga peka terhadap obat. Contoh pengaruh
umur terhadap metabolisme obat : Heksobarbital, bila diberikan pada tikus yang baru lahir
dengan dosis 10 mg/kg berat badan, menyebabkan tikus tertidur selama 6 jam, sedang pada
pemberian dengan dosis yang sama pada tikus dewasa hanya menyebabkan tertidur kurang dari
lima menit. Tolbutamid, pada bayi yang baru lahir mempunyai waktu paruh enam jam, sedang
pada orang dewasa delapan jam. Hal ini disebabkan kemampuan bayi untuk metabolisme
oksidatif masih rendah. Kloramfenikol, pemberian pada bayi yang baru lahir dapat menimbulkan
sindrom bayi kelabu. Hal ini disebabkan bayi mengandung enzim glukuronil transferase dalam
jumlah yang relatif sedikit, sehingga kemampuan memetabolisis kloramfenikol rendah,
akibatnya terjadi penumpukan obat pada jaringan dan menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Bayi yang baru lahir mengandung enzim glukuronil transferase dalam jumlah yang relative
sedikit. Pemberian turunan salisilat, kloramfenikol, dan klorpromazin dapat menimbulkan
neonatal hyperbilirubinemia (kern ichterus). Hal ini disebabkan terjadi kompetisi pada proses
konjugasi antara bilirubin, suatu senyawa endogen hasil pemecahan hemoglobin dengan obat-
obat di atas, sehingga bilirubin yang tak termetabolisis terkumpul pada jaringan dan
menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Penghambatan enzim Metabolisme
Kadang-kadang, pemberian terlebih dahulu atau secara bersam-sama suatu senyawa yang
menghambat kerja enzim-enzim metabolisme dapat meningkatkan intensitas efek obat,
memperpanjang masa kerja obat dan kemungkinan juga meningkatkan efek samping dan
toksisitas. Contoh : Dikumarol, kloramfenikol, sulfonamida,dan fenilbutazon, dapat menghambat
enzim-enzim yang memetabolisis tolbutamid dan klorpropamid, sehingga menyebabkan
kenaikan respon glikemi. Dikumarol, kloramfenikol, dan isonizid, dapat menghambat enzim
metabolisme dari fenitoin, sulfonamida, sikloserin, dan para-amino salisilat, sehingga kadar obat
dalam serum darah meningkat dan meningkat pula toksisitasnya. Fenilbutazon, secara
stereoselektif dapat menghambat metabolisme (S)-warfarin, sehingga meningkatkan aktivitas
antikoagulannya (hipoprotrombonemi). Bila luka, terjadi perdarahan yang hebat.
Induksi enzim metabolisme
Kadang-kadang pemberian terlebih dahulu atau secara bersama-sama suatu senyawa obat dapat
meningkatkan aktivitas atau jumlah enzim metabolisme dan bukan karena perubahan
permeabilitas mikrosom atau oleh adanya reaksi penghambatan. Peningkatan aktivitas enzim
metabolisme obat-obat tertentu atau prases induksi enzim mempercepat proses metabolisme dan
menurunkan kadar obat bebas dalam plasma, sehingga efek farmakologis obat menurun dan
masa kerjanya menjadi lebih singkat. Contoh : Fenobarbital, dapat menginduksi enzim mikrosom
sehingga meningkatkan metabolisme warfarin dan menurunkan efek antikoagulannya. Oleh
karena itu, penderita yang diobati dengan warfarin dan akan diberi fenobarbital, maka dosis
warfarin harus disesuaikan (diperbesar). Rokok mengandung polisiklik aromatik hidrokarbon,
seperti benzo(a)piren, yang dapat menginduksi enzim mikrosom, yaitu sitokrom P-450, sehingga
meningkatkan oksidasi dari beberapa obat seperti teofilin, fenasetin, pentazosin, dan profoksifen.
Contoh : waktu paruh teofilin pada perokok = 4,1 jam, sedang pada orang yang tidak merokok =
7,2 jam. Fenobarbital, dapat meningkatkan metabolisme griseofulvin, kumarin, fenitoin,
hidrokortison, testosteron, bilirubin, asetaminofen, dan obat kontrasepsi oral. Fenitoin, dapat
meningkatkan kecepatan metabolisme kortisol, nortriptilin, dan obat kontrasepsi oral.
Fenilbutazon, dapat meningkatkan metabolisme aminopirin dan kortisol. Induksi enzim juga
mempengaruhi toksisitas beberapa obat karena dapat meningkatkan metabolisme dan
pembentukan metabolit reaktif. Contoh induksi enzim sitokrom P-450 oleh fenobarbital akan
meningkatkan oksidasi asetaminofen, sehingga pembentukan metabolit reaktif imidokuinon
meningkat dan efek hepatotoksisitasnya menjadi lebih besar.

Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan, keadaan
kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh protein
plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati, misal kanker hati.
(Siswandono, 1995)
Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat
Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons suatu obat.
Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat. Sesungguhnya,
respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang sama diberikan pada saat yang
berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang
tidak umum atau respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar
pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam
metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik.
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting secara klinik:
seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif terhadap suatu obat dalam hal
intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan menurun atau meningkat bila dibandingkan
dengan efek yang tampak pada mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya
menurun sebagai akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu
keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat.
Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan terhadap
kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu seorang pasien pada
waktu yang berbeda.
A. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor
Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang relevan, perbedaan-
perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan mengubah respons klinik. Perbedaan-
perbedaan tertentu dapat diprediksi berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan
penyakit, fungsi hati dan ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari
perbedaan-perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri yang
fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.
B. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen
Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap antagonis-
antagonis farmakologik.
C. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor
Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan dalam kemampuan
memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor
atau oleh perubahan-perubahan efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor
distal. Dalam beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu sel atau jaringan
yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan oleh agonis endogen. Ketika
antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang meningkat dapat menimbulkan respon yang
berlebih-lebihan pada konsentrasi-konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah
reseptor yang diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.
D. Perubahan-Perubahn dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor
Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor, respon yang
tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional proses-proses biokimia di
dalam sel yang merespons dan meregulasi secara fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-
sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)
Faktor-faktor lain
Interaksi obat
Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkna
mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi
farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan
metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin.
Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor
terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang
mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin,
amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi pada pemberian
amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya efedrin) akibat deplesi
neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang cukup besar
dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-
batas keamanan yang sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life-saving drugs),
perbedaan bioavalabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi.
Contoh obat yang seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Pengaruh lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap obat antara lain
kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan, pekerjaan, tempat
tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim
metabolisme obat-obat tertentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-
obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respons penderita.
( Tanu, 2007;hal 828-829 )
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah pengobatan
tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang diinginkan (gambaran gejala
suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi
psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien apakah itu terkait
atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu tentang diagnosis dan tentang nilai
terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan seorang dokter yang merawat haruslah seorang
yang ramah, kompeten, dapat dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat
sehingga mengoptimalkan proses penyembuhan.
Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting seperti
pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika berlangsungnya pertempuran,
hanya untuk penglaman sakit parah pada keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok,
yang disebabkan oleh tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).

Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis muatan yang diikuti
dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal oabat yang lebih tinggi dari dosis-dosis
selanjutnya dengan tujuan mencapai kadar oabat terapeutik dalam serum dengan cepat.
Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan dosis obat yang mempertahankan
konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang terapeutik.
Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang mempengaruhi onset of
action dan duration of action kerja obat. Onset of action adalah jumlah waktu yang diperlukan
oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-obatan yang diberikan secara intravena secara umum
mempunyai onset of action yang lebih cepat dibanding obat-obat yang diberikan per oral karena
obat-obatan harus diabsorpsi dan melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah
lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik (James Olson, M.D., 1993)
Pemberian obat untuk mengobati flu dan batuk pada anak-anak di bawah umur 2 tahun sebaiknya
dihindari karena berisiko. INI merupakan peringatan terkini yang dikeluarkan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat.FDA mengingatkan
agar menghindari pemberian obat antibatuk dan flu pada anak-anak yang usianya di bawah dua
tahun. Pasalnya, pemberian obat tersebut terhadap anak-anak di bawah dua tahun dinilai sangat
berisiko. FDA mengindikasikan pemberian obat bisa mengakibatkan risiko fatal,mulai jantung
berdebar-debar, kejang-kejang, hingga pada risiko kematian. ''Kami mengeluarkan peringatan
keras agar menghindari pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak di bawah dua
tahun. Sebab, pemberian obat mengakibatkan risiko serius dan berpotensi mengancam
keselamatan anak-anak serta menimbulkan efek yang tak disangkasangka," jelas Ketua FDA Dr
Charles Ganley kepada Reuters. Ganley menegaskan bahwa obat-obat tersebut ''tidak aman dan
tidak efektif bagi anak-anak di bawah dua tahun". Sebab, obat-obatan tersebut hanya
menghilangkan gejala-gejala batuk dan flu pada anak, tapi tidak menyembuhkan penyakitnya.
Obat antibatuk dan flu selama beberapa dekade ini sudah banyak dijual bebas di
pasar.Namun,FDA tak merekomendasikan perusahaan obat-obatan untuk mencegah pemberian
terhadap anakanak. Sejauh ini, belum diperoleh data konkret soal penggunaan obat-obatan itu
kepada anak-anak. ''Metabolisme dan reaksi tubuh anak-anak terhadap obat-obatan berbeda
dengan orang dewasa. Jadi, sebaiknya kita mengantisipasinya sebelum menimbulkan hal-hal
yang tak diinginkan," demikian keterangan resmi American Academy of Pediatrics, untuk
mendukung peringatan FDA. Sejauh ini, FDA tak pernah menyarankan untuk memberikan
berbagai obat-obatan pada anakanak di bawah dua tahun.Tahun lalu, FDA melarang pemberian
berbagai jenis obat-obatan kepada anak-anak di bawah dua tahun jika tak ada rekomendasi
secara detail dari dokter. Peringatan keras FDA ini menimbulkan kontroversi yang hebat di
masyarakat AS. Perusahaan obat-obatan di negeri Paman Sam pun memprotes larangan tersebut.
Apalagi FDA pada Oktober 2007 sempat menarik 14 jenis obat bagi anak-anak dari pasaran.
Perusahaan obat-obatan menyatakan produk yang dijual ke masyarakat aman bagi anak-anak di
bawah dua tahun. Asalkan penggunaannya sesuai petunjuk yang disarankan, misalnya takaran
dosis yang tepat, dengan menggunakan ukuran sendok makan. Selain itu, orangtua disarankan
memeriksa daftar zat yang terkandung dalam obat tersebut agar tak memberikan lebih dari satu
jenis obat kepada anaknya. Sebab, dalam beberapa kasus sering ditemukan anak-anak mengalami
overdosis atau salah obat karena orangtuanya tak mengetahui jenis zat yang terkandung di dalam
obat tersebut. Meski sudah memberikan peringatan keras terhadap pemberian dua jenis obat
tersebut pada anak di bawah dua tahun,FDA masih mengevaluasi rencana penetapan pelarangan
pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak berusia dua hingga 11 tahun.
Jika sama-sama menimbulkan efek negatif, pelarangan itu akan disahkan pada musim panas
tahun ini. ''Sebab,berdasarkan hasil penelitian lanjutan, obat antibatuk dan flu juga tak efektif
pada anak-anak di bawah enam tahun. Bahkan, berisiko menimbulkan risiko yang serius bagi
kesehatan mereka," tutur American Academy of Pediatrics dalam pernyataan tertulisnya. Namun,
sikap FDA yang masih memberikan toleransi pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-
anak yang berusia di bawah enam tahun ini dikritik Presiden National Research Center for
Women & Families Diana Zuckerman. Padahal, berdasarkan penelitian,para ilmuwan sudah jelas
mengatakan bahwa efek negatif yang ditimbulkan sama berbahaya.
(http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0)
Banyak obat-obatan ternyata tidak direkomendasikan bagi anak-anak. Kini Uni Eropa
menetapkan kewajiban ujicoba susulan terhadap obat-obatan yang juga dapat dikonsumsi anak-
anak. Anak-anak sangat rentan terhadap serangan penyakit.
Di Eropa yang tergolong ketat aturan kesehatan dan pengawasan obat-obatannya, banyak yang
terkejut ketika membaca petunjuk di kemasan obat. Sebagian besar obat-obatan yang dijual
bebas maupun yang harus dengan resep dokter, ternyata mencantumkan peringatan yang dicetak
dengan huruf kecil : "tidak disarankan penggunaannya bagi anak-anak, karena belum dilakukan
penelitian". Banyak obat-obatan yang bahkan tidak diizinkan untuk anak-anak. Karena itulah,
mulai Januari tahun 2007 ini Uni Eropa menetapkan peraturan obat-obatan yang lebih ketat lagi.
Semua perusahaan farmasi diwajibkan mengujicoba obat yang dipasarkannya juga menyangkut
dampaknya untuk anak-anak.
Berdasarkan aturan baru Uni Eropa, semua vaksin untuk imunisasi, harus diujicoba pada anak-
anak, sebelum diizinkan dipasarkan. Tapi, jika berbicara mengenai obat-obatan untuk bayi yang
dilahirkan prematur, atau yang harus dirawat secara intensiv dan anak-anak penderita kanker,
situasinya amat jauh berbeda. Lebih dari 90 persen obat-obatan yang digunakan, sebetulnya tidak
boleh diberikan kepada anak-anak. Masalahnya, mengujicoba obat-obatan pada anak-anak, agar
mendapat izin pemasaran, amatlah sulit dan mahal.
Dr. Siegfried Throm dari perhimpunan peneliti dari produsen obat-obatan menjelaskan, obat-
obatan untuk penyakit anak-anak yang umum, tidak menimbulkan masalah. Untuk itu relatif
gampang membuat ujicobanya. Dalam arti, terdapat cukup banyak anak-anak yang menderita
sakit, dan juga pasarnya terbuka luas. Akan tetapi, untuk obat-obatan yang hanya diperlukan
secara insidental, masalahnya berbeda. Disini terdapat pertimbangan, biaya pengembangan yang
cukup tinggi, biasanya tidak bisa tertutup kembali dengan penjualan obat-obatannya. Karena itu,
dalam bidang ini hanya sedikit dilakukan penelitian.
Dalam ujicoba terapi itu diteliti dengan kombinasi obat-obatan apa, kapan waktu pemberiannya
dan dalam dosis seberapa besar, anak-anak dapat diobati secara lebih efektif. Dewasa ini sudah
terdapat daftar dosis obat-obatan, yang sebetulnya tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Akan
tetapi hasil dari ujicoba terapi semacam itu belum mencukupi, bagi pemberian izin penggunaan
obat bagi anak-anak secara umum. Penyebabnya, anak-anak tumbuh amat cepat, dan perubahan
fungsi organ tubuhnya juga amat luar biasa, misalnya hati. Karena itu, obat-obatan harus
diujicoba pada berbagai kelompok umur.
Dr. Dorothee Kieninger dari pusat ujicoba klinik di Universitas Mainz menjelaskan ; "Pada bayi
yang baru lahir, hati memiliki mekanisme dan fungsi amat berbeda dengan anak usia enam tahun.
Dan sampai umur 13 tahun fungsinya terus berubah. Demikian juga fungsi ginjal terus berubah.
Ginjal memiliki fungsi menyaring racun dan membuang cairan. Fungsi ginjal pada anak-anak,
pada tiap kelompok umur perubahannya amat ekstrim. Demikian juga perubahan pada organ
tubuh lainnya."
Karenanya dosis obat-obatan harus akurat. Dan perubahan dosis tidak bisa gampangan dikaitkan
hanya dengan perbedaan berat badan anak, melainkan tergantung dari bagaimana reaksi organ
tubuh anak-anak terhadap obat, pengolahannya dalam tubuh dan pembuangannya kembali.
Metabolisme pada bayi yang baru lahir, sangat berbeda dengan anak usia sekolah.
Undang-undang baru Uni Eropa mengenai standar obat-obatan, bertujuan agar semakin banyak
obat-obatan yang dapat diizinkan penggunaannya untuk anak-anak. Akan tetapi hal itu ada
gunanya jika obat-obatan itu juga ampuh untuk anak-anak.
Obat-obatan baru harus diuji coba pada berbagai kelompok umur, yang menjadi calon pengguna
obat tsb. Tentu saja ujicoba akan dilakukan, jika obat baru tsb sudah diujicoba pada orang
dewasa dan mendapat izin pemasaran. Demikian juga bagi obat-obatan yang sudah lama
dipasarkan, hendak dilakukan ujicoba susulan menyanmgkut dampaknya bagi anak-anak.
(http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8 )
ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT.
Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilakukan menurut metode-metode
farmakokinetika dan klinik .Metode farmakokinetika mencoba memperkirakan availabilitas
fisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di dalam darah/urin atau metabolit-metabolit
yang terbentuk, sedangkan metode klinik didasarkan atas percobaan-percobaan klinik. Dalam hal
ini diperlukan variabel klinik untuk mengukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek obat,
seperti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrombin, dan sebagainya. Selain kedua
metode tersebut di atas, bioavailabilitas obat dapat juga diperkirakan dari segi farmakologis
seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti2,3.
Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mengoptimasi bioavailabilitas
produk obat adalah pengukuran intensitas respons farmakologis yang berupa signal-signal,
dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam fungsinya terhadap dosis. Respons ini tidak lain
hasil interaksi antara zat aktif dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperoleh availabilitas
biofasik obat. Dalam hal ini, kemungkinan me-
Lakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempat aksi, dari mana dapat dikorelasikan
antara dosis dan respons farmakologisnya.
Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat pada hakekatnya mempunyai arti luas dan
terutama mempelajari efek-efek obat yang berasal dari suatu produk obat. Estimasi dan penilaian
bioavailabilitas obat.Dari segi klinik meminta biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak
waktu, sedangkan secara farmakologis relatif juga mahal. Estimasi availabilitas fisiologis dengan
mengukur plasma level obat atau ekskresi uriner zat aktifunchanged,atau kemungkinan lain yaitu
saliva level obat merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat. Asalkan cara ini dapat
didesain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan hasil-hasilnya akan relatif dekat
dengan potensi obat yang sebenarnya. Penilaian availabilitas fisiologis obat dapat ditarik dari
beberapa variabel farmakokinetika, seperti luas area di bawah kurva, konsentrasi puncak.
(www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm)

V. Metodologi Percobaan
5.1. Alat-alat dan Bahan
5.1.1. Alat - alat
- Timbangan elektrik
- Oral sonde mencit
- Spuit 1 ml
- Stopwatch
- Alat suntik 1 ml
- Beaker glass 25 ml
5.1.2. Bahan bahan
- Mencit 6 ekor
- Phenobarbital-Na (Luminal-Na)
5.2. Prosedur Percobaan
1. Hewan ditimbang, dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian :
- Mencit 1 : berat badan 38,5 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 2 : berat badan 18,4 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3 : puasa berat badan 16,85 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral)
- Mencit 4 : tanpa puasa berat badan 18 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral)
- Mencit 5 : jantan berat badan 21,8 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 6 : betina berat badan 21,3 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit.
4. Dibuat grafik jumlah respon vs waktu.

5.3. Flow Sheet


Untuk mencit III dan IV (per oral)
Mencit
Ditandai dan ditimbang
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga
masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil

Untuk mencit I,II,V dan VI (intra peritoneal)


Mencit
Ditandai dan ditimbang
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di
bawah rahang (bukan tenggorokkan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit

Dibuat grafik respon vs waktu


Hasil
VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan
6.1. Perhitungan Dosis
Dosis mencit I
Berat mencit : 38,5 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg/kg BB (i.p)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit II
Berat mencit : 18,4 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit III
Berat mencit : 16,85 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg/ kg BB (i.p)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg/ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit IV
Berat mencit : 18,0 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml

- Jumlah larutan obat


Dosis mencit V
Berat mencit : 21,8 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Syringe : 80 skala
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat
Dosis mencit VI
Berat mencit : 21,3 gr
Dosis : Luminal Na 50 mg / kg BB (oral)
[ ] obat : 0,7 %
Syringe : 80 skala
Jumlah obat yang diberikan :
=
- Konsentrasi obat 0,7 %
= 0,7 gr/100 ml = 700 mg / ml = 7 mg / ml
- Jumlah larutan obat

6.2. Data
No
Perlakuan
Waktu pengamatan (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
BB =38,5 gr
I.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB
(i.p)

1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
2
BB = 18,4 gr
II. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
3
Puasa
III. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
4
Tidak Puasa
IV. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
5
Jantan
V. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.3
1.3
6
Betina
VI.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB(i.p)
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.2
1.3
1.3
1.4
Keterangan : 1.1 = Keadaan Normal 1.3 = Keadaan Gerak Lambat
1.2 = Keadaan Reaktif 1.4 = Keadaan Tidur
6.3. Grafik Percobaan
-----

6.4. Pembahasan
Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain mempengaruhi dosis yang
harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat tersebut. Mencit yang berat badannya lebih
besar menimbulkan respon yang lebih cepat dibandingkan mencit yang berat badannya lebih
kecil, dimana pada menit ke 20 mencit dengan berat badannya 38,5 g lebih dahulu memberikan
respon garuk-garuk dibandingkan mencit dengan berat badan 18,4 g. Ini bertentangan dengan
teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil memberikan respon terlebih dahulu.
Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti genetis, dan
kondisi mencit saat percobaan.
Dalam percobaan didapatkan bahwa mencit yang tanpa puasa memberikan respon yang lebih
lambat daripada mencit yang dipuasakan, dimana mencit yang dipuasakan lebih dulu
memberikan respon garuk-garuk daripada mencit tanpa puasa yaitu pada menit ke 30 sedangkan
yang tanpa puasa pada menit ke 40.
Dari variasi jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jantan terlebih dahulu yang memberikan
respon yaitu pada menit ke 20 sudah mulai gerak lambat, sedangkan pada betina dalam waktu
yang sama masih reaktif.

VII. Kesimpulan Saran


1.1. Kesimpulan
- Variasi biologi akan mempengaruhi dosis obat yang harus diberikan
Berat badan yang besar membutuhkan dosis yang tinggi, sebaliknya berat badan yang kecil
membutuhkan dosis yang kecil pula.
Selain itu juga berhubungan dengan waktu pengosongan lambung, dimana tanpa puasa
peyerapan obat akan lebih cepat bila dibandingkan dengan yang tidak puasa
- Variasi Jenis Kelamin
Jenis kelamin akan mempengaruhi respon obat yang diberikan, di mana jantan lebih cepat
memberikan respon dari pada betina karena pengaruh hormon androgen.
1.2. Saran
- Dalam menghitung dosis hendaknya dihitung dengan benar karena dapat berpengaruh pada
respon mencit.
- Agar praktikan diberikan bimbingan tentang cara pelaksanaan percobaan, sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam percobaan.

Daftar Pustaka
Katzung, Bertram G.,(2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Edisi ke-8, Penerbit
Salemba Medika: Jakarta, halaman 53-56.
Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second Edition,
Thieme Stuttgart: New York, Hal 76.
Olson, James, M.D., (1993), BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI, EGC: Jakarta, Hal 2 4.
Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal : 156-
159.
Tanu, Ian. (2007), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta. Hal 828-829.
http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0
http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8
www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm

DOSIS OBAT, RESPON DAN PENENTUAN INDEKS TERAPI

I. Pendahuluan
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung
dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya
penyakit dan keadaan daya tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain
hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila
dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang harus mutlak ditaati.
Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah
ditinggalkan oleh Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian
mengenai ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-faktor tersebut di
atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya lazim
memberikan efek yang diinginkan (Tjay & Rahardja, 2002).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di
bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon
tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek
pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat
penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian
pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio
berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di
bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar (Setiawati dkk, 2007)
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai indeks terapi yang diperoleh dari percobaan.
III. Prinsip Percobaan
Pemberian Luminal Natrium 0,7% dengan variasi dosis 40 mg/kgBB, 80 mg/kgBB, 160
mg/kgBB, 320 mg/kgBB dan pemberian Luminal Na 2% dengan dosis 640 mg/kgBB secara
intraperitonial berdasarkan berat badan hewan percobaan untuk mengetahui respon obat dengan
pengamatan setiap interval waktu 10 menit selama 90 menit dan menentukan indeks terapi.

IV. Tinjauan Pustaka


Hubungan antara Dosis Obat dan Respons Klinis
Kita telah mengetahui reseptor sebagai molekul dan telah ditunjukkan bagaimana reseptor dapat
dihitung secara kuantitatif hubungan antara dosis atau konsentrasi obat dan respon farmakologi,
paling tidak pada system yang diidealkan. Ketika berhadapan dengan pasien yang membutuhkan
perawatan, presciber harus membuat suatu pilihan karena adanya variasi kemungkinan obat dan
memikirkan regimen pemberian yang disukai untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal
dan efek toksik yang minimal. Dalam rangka membuat keputusan terapeutik yang rasional, maka
presciber harus memahami bagaimana obat-reseptor berinteraksi yang mendasari hubungan dosis
dengan respons pada pasien, sifat alami dan penyebab variasi dalam kemampuan reaksi
farmakologisnya, dan implikasi klinis pada obat yang bekerja slektif (Katzung, 9th Edition)
Graded Dose-Response Relations
Untuk memilih beberapa diantara obat dan untuk menentukan kesesuaian dosis obat, presciber
harus mengetahui potensi farmakologi relatif dan efikasi maksimal obat-obat yang bersangkutan
untuk medapatkan efek terapi yang diinginkan. Berikut ini ada dua istilah penting yang sering
membingungkan siswa dan ahli medis dan dapat dijelaskan melalui gambar berikut.
Potensi
Obat A dan B dikatakan lebih poten daripada obat C dan D karena posisi yang relatif pada kurva
dosis respon sepanjang sumbu konsentrasi. Potensi berhubungan dengan konsentrasi dosis
(EC50) atau (ED50) obat yang dibutuhkan untuk mendapatkan 50% dari efek maksimal obat.
Disini potensi farmakologi obat A lebih kecil daripada obat B, sebuah agonis parsial, karena
EC50 Obat A adalah lebih besar daripada EC50 obat B. Potensi suatu obat tergantung pada
afinitas (KD) pada reseptor untuk berikatan dengan obat pada bagian yang efisiensi dan yang
membentuk reaksi obat-reseptor yang bergabung untuk memberikan respon. Sebagai catatan
bahwa pada beberapa dosis A dapat menghasilkan efek yang lebih besar daripada obat B,
walaupun pada kenyataannya kita gambarkan obat B secara farmakologi lebih poten. Alasan
mengapa obat A mempunyai efikasi maksimal yang lebih besar, diterangkan sebagai berikut
(Katzung, 9th Edition).
Untuk penggunaan klinis, adalah hal yang penting membedakan antara potensi dan efikasi suatu
obat. Keefektivan klinis suatu obat tidak tergantung pada potensinya(EC50), tetapi tergantung
pada efikasi maksimal dan juga tergantung kemampuan suatu obat untuk mencari reseptor yang
relevan. Kemampuan ini dapat tergantung pada rute pemberian, absorbsi, distribusi dalam tubuh
dan kliren dari arah atau juga reseptor. Untuk memilih dua obat yang akan diberikan pada pasien,
presciber harus lebih mempertimbangkan efektivitas relatif daripada potensi relatifnya. Potensi
farmakologi secara umum dapat ditentukan dengan cara pengaturan dosis dan pemilihan obatnya
(Katzung, 9th Edition).
Efikasi Maksimal
Parameter in mencerminkan batasan hubungan dosis-respon pada sumbu respon. Obat A,C, dan
D pada gambar di atas tadi mempunyai efikasi maksimal yang sama, semuanya mempunyai
efikasi yang lebih besar daripada obat B.
Shape of Dose-Response Curves
Respon yang digambarkan pada kurva A, B, dan C mendekati bentuk persamaan Michaelis-
Menten (ditrnsformasi menjadi bentuk plot logaritma), beberapa respon klinis tidak ada. Kurva
dosis respon yang paling curam (missal kurva D)mungkin mempunyai konsekuensi klinis yang
penting jika bagian atas mendatangkan suatu respon yang tidak diinginkan (koma, disebabkan
oleh suatu sedative-hipnotip). Kurva dosis respon yang curam didapatkan dari kerjasama
interaksi beberapa akasi yang berbeda dari suatu obat (missal, efek pada otak, jantung, perifer
vessels, semua berkontribusi untuk menurunkan tekanan darah) (Katzung, 9th Edition).
Quantal Dose-Effect Curves
Graded dose-response curves pada gambaran kecil di atas tentu mempunyai batasan pada
aplikasi klinisnya bagi yang mebuat keputusan. Sebagai contoh, beberapa kurva menjadi tidak
mungkin untuk digambarkan jika respon farmakologi adalah lain, (quantal) terjadi, seperti pada
pencegahan konvulsi, aritmia, atau kematian. Lagipula relevansi klinis hubungan kuantiatif
dosis-respon pada seorang pasien.
Gambar Quantal dose-effect plots
Bentuk kotak (yang terdapat dalam kurva) menunjukkan frequensi distribusi obat yang
dibutuhkan umtuk mengahasilkan efek spesifik (Katzung, 9th Edition).
Kurva dosis-efek kuantal sering ditandai oleh pernyataan Median Efektif Dosis (ED50), dosis
dimana 50% pada individu menunjukkan efek spesifik kuantal. Dengan cara yang sama, dosis
yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek toksik pada 50% binatang disebut dengan median
toksik dosis (TD50), jika efek toksik mematikan binatang , maka median Letal dosis (LD50),
akan didapatkan secara eksperimental (Katzung, 9th Edition).
Kurva dosis-efek kuantal mungkin juga digunakan untuk memperbaharui keamanan marginal
menjadi seperti yang diharapkan dari suatu bagian obat untuk menhasilkan sebuah efek yang
spesifik. Suatu ukuran, yang menghubungkan dosis obat yang dibutuhkan untuk menghasilkan
efek yang diinginkan untunk yang demikian menghasilkan efek yang tidak diinginkan, itu adalah
indeks terapi (Katzung, 9th Edition).

Hubungan Dosis Respon


Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di
bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon
tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek
pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat
penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Hubungan dosis-efek mungkin berbeda-beda tergantung pada sensitvitas individu yang sedang
menggunakan obat tersebut. Sebagai contoh untuk mendapatkan efek yang sama kemungkinan
dibutuhkan dosis yang berbeda pada individu yang bebeda. Variasi individu dalam sensitivitas
secara khusus mempunyai efek semua atau tak satupun sama (Lullmann, 2000).
Hubungan frekuensi dosis dihasilkan dari perbedaan sensitivitas pada individu sebagai suatu
rumusan yang ditunjukkan pada suatu log distribusi normal. Jika frekuensi kumulatif (total
jumlah binatang yang memberikan respon pada dosis pemberian) diplotkan dalam logaritma
maka akan menjadi bentuk kurva sigmoid. Pembengkokan titik pada kurva berada pada keadaan
dosis satu-separuh kelompok dosis yang sudah memberikan respon. Range dosis meliputi
hubungan dosis-frekuensi mencerminkan variasi sensitivitas pada individu terhadap suatu obat
(Lullmann, 2000).
Evaluasi hubungan dosis efek di dalam sekelompok subjek manusia dapat ditemukan karena
terdapat perbedaan sensitivitas pada individu-individu yang berbeda. Untuk menentukan variasi
biologis, pengukuran telah membawa pada suatu sampel yang representatip dan didapatkan rata-
ratanya. Ini akan memungkinkan dosis terapi akan menjadi seseuai pada kebanyakan pasien
(Lullmann, 2000).
Range Terapi (Therapetic Range)
Dimanapun, pemonitoran terapi obat yang dilakukan, suatau range terapi biasanya digunakan
untuk memandu mendapatkan konsentrasi optimum. Batasan range ini bukanlah suatu nilai yang
mutlak. Beberapa pasien mungkin memberikan respon di atas atau di bawah range ini, sedangkan
pada ynag lain mungkin akan mengalami efek toksik di dalam range terapi ini. Range ini
hanyalah sebagai bantuan dalam penentuan dosis, yang selalu dipandang dari sudut tanggapan
klinis (Roger Walker, 2003).
Perhitungan Dosis Respon
Reseptor Obat
Suatu reseptor adalah suatu makromolekul target khusus, berada pada permukaan sel atau
intraselular, yang mengikat suatu obat dan menimmbulkan kerja farmakologiknya. Obat-bat bisa
berinteraksi dengan enzim-enzim (misalnya hamabatan enzim dihidrofolat reduktase oleh
trimetoprim, hal 296), asam nukleat (misalnya, perubahan permeabilitas membrane asetilkolin).
Dalam tiap kasus, pembaentukan kompleks obat reseptor menghasilkan suatu respon biologik
dan besarnya respon adalah proporsional dengan jumlah kompleks obat reseptor :
Obat + Reseptor Kompleks Obat-reseptor Efek
Konsep ini sangat mirip dengan pembentukan kompleks antara enzim dan substrat atau antigen
antibodi: interaksi ini mempunyai banyak persamaan, mungkin paling penting adalah spesifisitas.
Tetapi, reseptor tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk mengundang suatu ligand (obat)
tetapi juga dapat merangkaikan atau mengubah ikatan ini menjadi suatu respons dengan cara
menyebabkan suatu perubahan konformasional atau suatu efek biokimia (Mary J. Mycek, 2001).
Kurva Respons-Dosis Bertingkat
Suatu agonis didefisikan sebagai suatu obat yang dapat mengikat suatu reseptor dan
menimbulkan respons. Besarnya efek obat tersebut tergantung pada konsentrasinya pada tempat
reseptor yang ditentukan oleh dosis obat yang diberikan dan oleh factor-faktor khusus dari obat
tersebut, seperti kecepatan absorbsi distribusi dan metabolisme. Efek dari suatu obat paling
mudah dianalisis dengan membuat grafik besarnya respons versus log dosis obat tersebut,
sehingga didapatkan suatu kurva respon dosis bertingkat.
1. Efikasi : Efikasi yaitu respon maksimal yang dihasilkan oleh suatu obat. Efikasi tergantung
pada jumlah kompleks obat-reseptor yang terbentuk dan efisiensi reseptor yang diaktifkan dalam
menghasilkan suatu kerja selular.
2. Potensi : Potensi, juga disebut konsentrasi dosis efektif yaitu suatu ukuran banyak obat
dibutuhkan untuk menghasilakan suatu respons tertentu. Makin rendah dosis dibutuhkan untuk
suatu respons yang diberikan, makin poten obat tersebut.
3. Slove kurva dosis-respons : slope daripada bagian tengah suatu kurva dosis-respons bervariasi
dari satu obat dengan obat yang lainnya. Suatu slope yang curang menunjukkan bahwa suatu
peningkatan dosis yang kecil menghasilkan suatu perubahan besar dalam respons (Mary J.
Mycek, 2001).
Antagonis yang Reversibel
1. Kompetitif : obat-obat ini berinteraksi dengan reseptor pada temapt yang sama dengan agonis.
Suatu antgonis kompetitif menggeserkan kurva dosis-respons ke kanan yang menyebabkan obat
tersebut berlaku seakan-akan kurang poten.
2. Non-Kompetitif : obat-obat in bisa mencegah pengikatan agonis mengaktifkan reseptor. Suatu
antagonis non-kompetitif mengurangi respons maksimal dan analog dengan suatu inhibitor non-
kompetitif untuk reaksi yang dikatalisis enzim.
3. Agonis Partial : Agonis-agonis partial memblokir tempat pengikatan agonis, tetapi
menybabkan respons yang lebih kecil daripada suatu agonis penuh (full agonist). Suatu agonis
parsial bisa mempunyai afinitas pada reseptor yang lebih besar, lebih kecil atau sama dengan
afinitas agonis (Mary J. Mycek, 2001).
Indeks Terapeutik
Indeks terpeutik suatu obat adalah rasio dari dosis yang menghasilkan toksisitas dengan dosis
yang menghasilkan suatu respons yang efektif dan diinginkan secara klinik dalam suatu populasi
individu.
Indeks Terapi = dosis toksik/ dosis efektif
Jadi, indeks terapeutik merupakan suatu ukuran keamanan obat karena nilai yang besar
menunjukkan bahwa terdapat suatu batas yang luas/ lebar diantara dosis-dosis yang efektif dan
dosis-dosis yang toksisk (Mary J. Mycek, 2001).
Penentuan Indeks Terapeutik
Indeks terapeutik ditentukan dengan mengukur frkuensi respons yang diinginkan dan respons
toksik pada berbagai dosis obat (Mary J. Mycek, 2001).
Uji ketoksikan akut. Uji ini dirancang untuk menentukan efek toksik sesuatu senyawa (misal zat
tambahan makanan) yang akan terjadi dalam waktu singkat setelah pemejanan atau
pemberiannya dengan takaran tertentu. Satu uji ini dikerjakan dengan cara memberi dosis
tunggal senyawa uji pada hewan uji (sekurang-kurangnya 2 jenis hewan uji roden dan nirroden,
jantan maupun betina). Takaran dosis yang dianjurkan paling tidak empat peringkat dosis,
berkisar dari dosis terendah yang tidak atau hampir tidak mematikan seluruh hewan uji sampai
dengan dosis tertinggi yang dapat mematikan seluruh atau hampir seluruh hewan uji. Senyawa
ini diberikan melalui jalur yang akan digunakan oleh manusia atau jalur yang memungkinkan
manusia terpejani dengan senyawa itu. Biasanya pengamatan dilakukan selama 24jam, kecuali
pada kasus tertentu selama 7-14 hari. Dan pengamatan tersebut meliputi : (1) gejala klinis, (2)
jumlah hewan yang mati, dan (3) histopatologi organ (Imono, 2001).
Data kuantitatif yang diperoleh dari uji ketoksikan akut ini ialah LD50 sedang data kualitatifnya
berupa penampakan klinis dan morfologis efek toksik senyawa uji. Data LD50 yang diperoleh
dapat digunakan untuk potensi ketoksikan akut senyawa relatif terhadap senyawa lain. Selain itu,
juga dapat digunakan untuk memperkirakan takaran dosis uji toksikologi lainnya (Imono, 2001)
Analisa tentang kaitan dosis dan efek antihipertensi dari 4 jenis ARB diperoleh dari evaluasi
FDA terhadap losartan, valsartan, irbesartan, dan candesartan. Semuanya merupakan studi RCT.
Semua studi memiliki populasi pasien yang mirip (pria maupun wanita dewasa dengan hipertensi
diastolik primer skala ringansedang, dan DBP tipikal 95-114 mmHg) (http://www.majalah-
farmacia.com).
Semua studi memiliki desain awal single- blind placebo diikuti sedikitnya 4 minggu terapi
double-blind. Studi yang terseleksi dimasukkan dalam metaanalisis untuk melihat kaitan antara
respon dan dosis masing-masing obat. Hubungan antara respon-dosis dinilai dengan
mencocokkan pengaturan plasebo, rata-rata penurunan DBP masing-masing obat hingga nilai
Emax (http://www.majalah-farmacia.com).
Masuk akal kenapa digunakan kurva Emax untuk menilai kaitan antara dosis dan respon obat
yang sebenarnya. Model ini menganggap presisi lebih rendah daripada optimal dalam
menentukan efek masing-masing obat. Selain itu menerapkan berat untuk jumlah pasien yang
diberi masing-masing dosis. Ada alternatif model selain Emax namun lebih kompleks dan
memasukkan lebih banyak parameter. Model Emax yang digunakan dalam analisis ini adalah :
Effect = E0 + Emax x Dosis/(ED50 + dosis). Di mana Emax secara teori adalah efek maksimal
yang bisa didapat dengan dosis besar tak terbatas. ED50 adalah dosis yang dibutuhkan untuk
mencapai setengah efek maksimal, E0 adalah kondisi yang merepresentaskan efek placebo
(http://www.majalah-farmacia.com).
Setelah dianalisis, Emax (efek maksimal pada dosis tertinggi) dalam penurunan DBP adalah 5,5
mmHg untuk losartan, 5,8 mmHg untuk valsartan, 6,9 mmHg untuk irbesartan, dan 7,5 mmHg
untuk candesartan. Kesimpulannya, peneliti menunjukkan bahwa candesartan mengurangi
tekanan darah sistolik lebih besar secara signifikan dibandingkan valsartan. Hasil ini sama
dengan studi head-to-head sebelumnya yang membuktikan bahwa candesartan memiliki efek
antihipertensi paling tinggi dibandingkan losartan pada dosis yang direkomendasikan. Perbedaan
efikasi di antara ARB pada pasien hipertensi menunjukkan pentingnya tekanan darah terkontrol
(http://www.majalah-farmacia.com).
Analisa studi ini menunjukkan ada perbedaan penting pada efikasi antihipertensi pada dosis
tertinggi yang direkomendasikan. Rata-rata perbedaan di antara obat antihipertensi paling efektif
(candesartan) dan paling lemah (losartan) dari ARB yang diteliti adalah 2 mmHg untuk dosis 16
mg dan 100 mg. Selain itu, nilai Emax yang sangat signifikan dari candesartan dibandingkan
valsartan mendukung kesimpulan bahwa ada perbedaan nyata dalam hal efek antihipertensi di
antara semua jenis ARB(http://www.majalah-farmacia.com).
Penurunan DBP sektar 5 mmHg dengan terapi antihipertensi menujukkan penurunan penanda
mortalitas dan morbiditas kardiovaskular. Penurunan terkecil (misalnya 2 mmHg) juga akan
memiliki dampak penting secara klinis dalam terapi jangka panjang. Jadi perbedaan tekanan
darah yang tidak terlalu besar tetap berkaitan dengan perbedaan kejadian kardiovakular yang
signifikan pada pasien risiko tinggi, seperti pasien diabetes dengan hipertensi
(http://www.majalah-farmacia.com).
Hasil analisis Emfelt berada dalam satu jalur dengan beberapa studi head-tohead yang
membandingkan efek candesartan dan losartan terhadap tekanan darah, yang secara superioritas
candesartan terlihat amat signifikan. Dibandingkan dengan studi silang yang lebih kecil, hasilnya
juga sejalan, di mana candesartan mengurangi tekanan darah lebih efektif dibandingkan losartan
maupun valsartan (http://www.majalah-farmacia.com).
Hanya ada satu studi yang langsung membandingkan losartan dan candesartan yang tidak bisa
menunjukkan perbedaan efek candesartan lebih signifikan dalam menekan tekanan darah.
Bahkan, penelitian Colin dkk tidak menemukan perbedaan efek antara beberapa ARB. Ini juga
harus diberi catatan bahwa metaanalisis mereka hanya berdasarkan studi-studi yang
dipublikasikan sebelum waktu yang seharusnya. Dan memang hanya sedikit studi head-to-head
yang membandingkan beberapa jenis ARB. Termasuk belum pernah dilakukan studi head-to-
head antara candesartan dan irbesartan. (http://www.majalah-farmacia.com).
Berdasarkan hasil berbandingan headto- head antara candesartan dan losartan, maka dapat
disimpulkan bahwa efek antihipertensi candesartan lebih superior daripada losartan, pada dosis
yang direkomendasikan. Penjelasan yang paling sering dikemukakan terhadap perbedaan Emax
dalam studi ini adalah secara statistk tidak signifikan serta jumlah studi dan pasien yang terbatas,
termasuk dalam studi yang menilai kaitan antara dosis dan respon untuk losartan. Faktanya,
perbedaan rata-rata Emax antara candesartan dan losartan adalah 2 mmHg, lebih baik pada
candesartan. Artinya candesartan memiliki efek antihipertensi yang superior
(http://www.majalah-farmacia.com).
Analisis ini akhirnya bisa menunjukkan kaitan antara dosis dan respon di antara beberapa jenis
antihipertensi ARB. Sangat mungkin bahwa kaitan antara dosis dan efek lain juga berbeda.
Misalnya, dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis optimal dilihat dari sudut pandang
penurunan tekanan darah , mungkin akan lebib bermanfaat daripada sekadar menurunkan
tekanan darah. Milsanya terhadap proteksi ginjal untuk menurunkan proteinuria
(http://www.majalah-farmacia.com).
Sebagai kesimpulan, penelitian Emfelt yang memsukkan nilai Emax menunjukkan candesartan
bisa mengurangi tekanan darah diastolik secara signifikan dibandingkan valsartan. Beberapa
perbandingan head-to-head membuktikan candesartan memiliki efek antihipertensi lebih superior
dibandingkan losartan pada dosis yang direkomendasikan. Jadi benar bahwa perbedaan efikasi di
antara semua jenis ARB memang ada. Observasi ini hendaknya diterapkan dalam pemilihan
ARB ketika menangani pasien hipertensi, dengan menekankan pentingnya control tekanan darah
dengan baik (http://www.majalah-farmacia.com).
INDIVIDUALISASI DOSIS DALAM FARMAKOTERAPI
Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang
diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Bila dosis rata-rata itu
tidak menimbulkan efek sama sekali atau sudah menimbulkan efek yang berlebihan, biasanya
dokter dengan segera menghentikan pengobatan karena dianggap 'tidak cocok' bagi penderita,
tanpa perlu mempertimbangkan apakah dosis yang diberikan itu memang sudah sesuai dengan
kebutuhan penderita (http://www.kalbe.co.id).
Pentingnya individualisasi dosis menjadi semakin beralasan ketika Brodie dkk. memperlihatkan
bahwa ada perbedaan spesies, strain dan individual dalam kecepatan metabolisme obat..
Kemudian, Hammer dan Sjoqvist menemukan ada perbedaan individual sebesar 30 x lipat dari
kadar "steady state" desmetil imipramin yang diresepkan pada suatu dosis tertentu. Perbedaan
individuil kadar obat dalam keadaan "steady state" ini barangkali tidak menimbulkan masalah
dalam penentuan besar dosis bila Therapeutic window dari obat yang bersangkutan cukup
besar. Tetapi bila "therapeutic window" suatu obat sempit, individualisasi dosis menjadi penting,
karena perbedaan dosis yang kecil saja (dalam mg/kgBB) sudah dapat menimbulkan perbedaan
nyata dalam respons. Individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah
diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati.
Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat
profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi
dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah
(http://www.kalbe.co.id).
Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat bermanfaat
dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang kecepatan metabolismenya berbeda nyata
secara individual, mempunyai "therapeutic window" yang sempit, efek terapeutiknya sukar atau
tidak segera dapat diukur gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat dan
kecepatan metabolisme mudah jenuh (http://www.kalbe.co.id).
Takaran obat resep harus cukup tinggi untuk menyerang penyakit yang bersangkutan, tetapi
cukup rendah agar menghindari munculnya efek samping yang berat. Obat lain, baik non-resep
atau narkoba, jamu, atau bahkan makanan kadang kala mengakibatkan perubahan besar pada
jumlah suatu obat dalam aliran darah kita. Hal ini diketahui sebagai interaksi obat. Interaksi
obat adalah masalah yang penting karena tingkat obat yang terlalu tinggi dalam aliran darah
dapat mengakibatkan efek samping yang berat. Sebaliknya tingkat obat yang terlalu rendah dapat
berarti obat tersebut tidak berhasil (http://www.spiritia.or.id).
Tubuh kita mengenal obat sebagai zat asing. Jadi obat diuraikan oleh tubuh, biasanya sebagai
air seni atau kotoran (tinja). Banyak obat dikeluarkan tanpa perubahan oleh ginjal dalam air seni.
Obat lain harus diuraikan oleh hati kita. Enzim di hati mengubah molekul obat, yang kemudian
dikeluarkan dalam air seni atau tinja.Waktu kita meminum pil, obat jalan dari perut ke usus dan
kemudian masuk hati sebelum mengalir ke bagian tubuh yang lain. Jika obat mudah diuraikan
oleh hati, hanya sedikit obat sampai ke tubuh (http://www.spiritia.or.id).
Interaksi obat yang paling umum melibatkan hati. Beberapa obat dapat memperlambat atau
mempercepat proses enzim hati. Ini dapat mengakibatkan perubahan besar pada tingkat obat lain
dalam aliran darah, jika obat tersebut diuraikan oleh enzim yang sama.Beberapa obat
memperlambat proses ginjal. Ini meningkatkan tingkat bahan kimia yang biasanya dikeluarkan
oleh ginjal (http://www.spiritia.or.id).
Pil apa pun yang kita minum melalui perut kita, lalu diserap dan masuk ke aliran darah.
Kebanyakan obat diserap lebih cepat jika perutnya kosong. Penyerapan lebih cepat adalah baik
untuk beberapa obat, tetapi juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat. Beberapa
obat harus dipakai dengan makanan agar diuraikan lebih lambat atau untuk mengurangi efek
samping. Beberapa obat lain melarutkan dalam lemak, sehingga diserap lebih cepat. Oleh karena
ini, ada obat yang harus dipakai dengan makanan berlemak agar cukup diserap. Namun hal ini
juga dapat mengakibatkan efek samping yang lebih berat, misalnya untuk efavirenz
(http://www.spiritia.or.id).
Asam perut menguraikan beberapa obat, termasuk ddI. Tablet ddI asli termasuk dapar atau
buffer bahan antiasam yang melindungi obat tersebut dari asam perut. Namun dapar tersebut
mengganggu penyerapan indinavir, jadi ddI tidak boleh dipakai sekaligus dengan indinavir. Versi
ddI baru (EC) lebih mudah dipakai (http://www.spiritia.or.id).
Perempuan yang memakai pil KB sebaiknya bicara dengan dokter tentang interaksi obat.
Beberapa ARV dapat menurunkan tingkat obat KB ini, dan menyebabkan kehamilan yang tidak
diinginkan (http://www.spiritia.or.id).
V. Metodologi Percobaan
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- syringe 1 ml
- spidol permanent
- tinabangan elektrik
- stopwatch
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%
- luminal Na 2%
5.2. Prosedur Percobaan
1. Ditimbang hewan dan ditandai
2. Dihitung dosis dan diberikan :
1. pada mencit I, Luminal Na 0,7%, dosis 40 mg/kgBB secara intraperitonial,
2. pada mencit II, Luminal Na 0,7%, dosis 80 mg/kgBB secara intraperitonial,
3. pada mencit III, Luminal Na 0,7%, dosis 160 mg/kgBB secara intraperitonial,
4. pada mencit IV, Luminal Na 0,7%, dosis 320 mg/kgBB secara intraperitonial,
5. pada mencit V, Luminal Na 2%, dosis 640 mg/kgBB secara intraperitonial
3. Diamati (menit ke berapa memberikan respon)
4. Dihitung LD50 dan Indeks terapi.

5.3. Flowsheet
Mencit I pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 40 mg/Kg BB
Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit II pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 80 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit III pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 160 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit IV pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 320 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

Mencit V pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 2 %, dosis 640 mg/Kg BB


Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi

VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan


6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 20,1 g
dosis Luminal Na = 40 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

Mencit II
berat badan = 18,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III
berat badan = 36,7 g
dosis Luminal Na = 160 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%

Mencit IV
berat badan = 18,5 g
dosis Luminal Na = 320 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V
berat badan = 19,6 g
dosis Luminal Na = 640 mg/kgBB
konsentrasi = 2%

Perhitungan ED 50
Log ED 50 = a-b ( pi 0,5)
Dimana : a adalah log dosis terendah yang masih dapat memberikan respon 100% tiap
kelompok.
b adalah logaritma dosis yang berurutan.
a = log 40 = 1,602
b = log80 log40 = 0,301
Pi = 1
Log ED50 = 1,602 0,301(1-0,5)
= 1,4515
Maka ED 50 = 28,28 mg/kgBB

6.3. Grafik Percobaan


------------
6.4. Pembahasan

Pada percobaan ini konsentrasi Luminal Na yang diberikan pada mencit yaitu 0,7% diberikan
pada mencit I sampai mencit yang ke IV dan konsentrasi 2% diberikan pada mencit V, dengan
variasi dosis dari mencit I-V secara berurutan 40, 80, 160, 320, dan 640 (mg/kgBB). Pada mencit
V diberikan konsentrasi 2% karena jika diberikan pada konsentrasi yang sama dengan yang
lainnya akan didapatkan volume sediaan yang cukup besar, sehingga tidak mungkin untuk
menginjeksikannya pada mencit yang ukuran badannya relatif kecil. Disini memang kita melihat
faktor konsentrasi tidak begitu menentukan respon obat. Dalam diktat kuliah farmakokinetika
(Azizah Nasution), disana terdapat bahwa besarnya respon obat yang dihasilkan tergantung pada
jumlah obat yang berikatan dengan reseptor, dimana jumlah obat yang berikatan dengan reseptor
ini sebanding dengan jumlah obat bebas dalam plasma.
Penentuan respon dan penentuan indeks terapi Luminal Natrium 0,7% dan 2% yang diujikan
pada hewan mencit diperoleh dosis terendah yang memberikan efek tidur ataupun gerak lambat
yaitu 80 mg/kg BB, dosis ini digunakan untuk menentukan ED 50. Pada peningkatan dosis 160
mg/kg BB dan 320 mg/kg BB menunjukkan efek toksik yang dapat dilihat dengan depresi
pernafasan dan pingsannya beberapa ekor mencit. Dan peningkatan dosis yang dilakukan sampai
640 mg/kg BB memberikan efek letal pada 3 ekor mencit, dan pada 2 ekor yang lain hanya
smpai batas pingsan dalam rentang waktu 90 menit tersebut. Efek suatu senyawa obat tergantung
pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal
dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat
diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu,
efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa
luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur (Lullmann, 2000).
Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja (2002) dalam buku Obat-Obat Penting, senyawa
turunan barbiturat seperti Luminal bila digunakan sebagai sedativ-hipnotika memiliki range
terapi yang relatif agak lebar (15-30) mg memberi efek sedativ dan 100 mg atau lebih memberi
efek hipnotik) walaupun tidak seluas range terapi obat-obat bebas.
Ketidaksesuaian ini kemungkinan dapat disebabkan oleh variasi biologis pada mencit yang
digunakan sebagai hewan percobaan seperti kondisi stress, dan prosedur pemberian Luminal
yang menggunakan jarak dosis dengan logaritma lebar (dosis 320 mg/kgBB telah menunjukkan
efek toksik yang hebat, dimana mencit mengalami depresi pernafasan berat (bernafas satu-satu)
dan tidak bereaksi sama sekali atas gangguan apapun). Kemungkinan, pada dosis 320 mg/kgBB
mencit telah mengalami keadaan koma/vegetatif (entering a comatose state), sehingga pemberian
kelipatan log dosis berikutnya (640 mg/kgBB) adalah terlalu lebar jaraknya dari dosis toksik.
Selain itu, menurut Bertram Katzung (2001) dalam buku Farmakologi Dasar dan Klinis,
penentuan indeks terapeutik tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan 100% dalam menentukan
tingkat keamanan suatu obat yang digunakan, baik dalam laboratorium ataupun secara klinis.
Percobaan-percobaan obat sering menunjukkan suatu rentang dosis obat yang biasanya efektif
dengan suatu (tetapi kadang-kadang tumpang tindih) dengan rentang lain dari dosis-dosis yang
mungkin toksik. Walaupun pernyataan ini lebih relevan pada manusia daripada hewan, Katzung
menekankan bahwa perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya variabilitas biologis,
maka tidak tertutup kemungkinan kekurangtepatan ini terjadi juga pada hewan, dalam hal ini
mencit.
Daftar Pustaka

Imono, A.D., (2001), TOKSIKOLOGI DASAR, Universitas Gajah Mada: Yogyakarta


Halaman : 200-201.

Katzung,R-Bertram G., BASIC & CLINICAL PHARMACOLOGY, 9th Edition, Halaman 42-45
(Dalam bentuk Digital Text Book).

Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second Edition,


Thieme Stuttgart: New York, Hal 52.

Mycek, Mary J., (2001), FARMAKOLOGI ULASAN BERGAMBAR, Edisi 2, Widya Medika:
Jakarta, Halaman 21-23.

Walker, Roger & Clive Edwards, (2003), CLINICAL PHARMACY AND THREPEUTICS,
Third Edition, Churchill Livingstone: Edinburgh, Halaman 8.

http://www.kalbe.co.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.spiritia.or.id

ANTAGONIS OBAT

I. Pendahuluan
Reseptor muskarin berada di neuron postganglion dan dapat dalam minimal 3 subtipe, yakni
resptor M1, M2 dan M3. Ketiga jenis reseptor ini bila dirangsang memberikan efek yang
berlainan. Dimana M1 pada neuron mengalami aktivasi dan pada ganglion simpatis bila
dirangsang akan terjadi pelepasan noradrenalin lebih banyak. M2 pada miokard terjadi kontraksi
yang makin besar dan pada jaringan nodus bila distimulasi akan menyebabkan bradikardia. Pada
M3 yang terdapat pada kelenjar eksokrin terjadi penyaluran AV menjadi lebih kecil, pada ileum
terjadi sekresi dan pada pembuluh terjadi relaksasi langsung karena kontraksi menyebabkan via
endotel mengalami relaksasi (Tan Hoan Tjay, 2002).
Agonis reseptor muskarinik umumnya berbentuk suatau senyawa amonium kuartener. Contohnya
antara lain adalah pilokarpin, arekolin, dan karbakol; mereka bersifat tidak selektif terhadap
subtipe reseptor muskarinik. Senyawa-senyawa tersebut tidak digunakan secara klinis, efeknya
adalah salivasi berlebihan dan berkeringat. Agonis lain, oksotremorin bahkan menyebabkan
tremor, sehingga digunakan dalam penelitian untuk membuat suatu model penyakit parkinson.
Agonis lain yang sedang dikembangkan adalah xanomelin dan talsaklidin untuk pengobatan
penyakit Alzheimer. Diketahui, penyakit Alzheimer ditandai dengan kemunduran kognisi dan
memori yang disebabkan karena defisiensi asetilkolin di otak. Karena itu, salah satu terapinya
adalah dengan mengaktifkan reseptor asetilkolin yang terkait (M1) dengan suatu agonis (Z.
Ikawati, 2006).
Obat atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor muskarinik yang menyebabkan
hambatan semua fungsi muskarinik. Atropine, alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat
terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah
asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropine menyekat reseptor
muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlansung sekitar 4
jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari
Atropine menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis
(dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan siklopegia (ketidakmampuan
memfokus untuk untuk penghilatan dekat). Pada pasien dengan glaukoma, tekanan intaokular
akan meninggi secara membahayakan. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropine dapat
menimbulkan midriasis dan siklopegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat menyebabkan
serangan glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang ( Mary J.Mycek, 2001).

II. Tujuan Percobaan


- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan karena pemberian pilokarpin pada kedua mata
kelinci,
- Untuk mengetahui efek yang ditimbulkan karena pemberian atropin kedua mata kelinci setelah
pemberian pilokarpin,
- Untuk mengetahui mekanisme kerja obat antagonis, dalam hal ini atropin-pilokarpin,

III. Prinsip Percobaan


- Pilokarpin adalah obat kolinomimetik, yaitu mempunyai efek agonis pada reseptor muskarinik.
Didasarkan atas sifat antagonisme kompetitif yang bersifat reversibel, dimana efek pilokarpin
sebagai agonis dihambat oleh atropin sebagai antagonis kompetitif sehingga menghambat efek
obat yang terdapat pada reseptor muskarinik.
- Pengamatan efek antagonisme dilakukan dengan mengukur diameter dari pupil mata kelinci
sebelum dan setelah pemberian pilokarpin dan dilanjutkan dengan pemberian atropin. Sebelum
pemberian pemberian obat diameter pupil kelinci adalah normal dan akan memberikan respon
terhadap cahaya. Setelah pemberian pilokarpin akan menyebabkan pengecilan pupil (miosis)
mata kelinci, mengurangi respon terhadap cahaya, sedangkan pemberian atropin akan
menyebabkan pembesaran pupil mata (midriasis) mata kelinci dan mengurangi respon terhadap
cahaya.
IV. Tinjauan Pustaka
Antagonisme pada reseptor terjadi melalui system reseptor yang sama. Artinya antagonis
mengikat reseptor di tempat ikatan agonis ( receptor site atau active site ) sehingga terjadi
antagonisme antara agonis dan antagonisnya. Misalnya efek histamine yang dilepaskan dalam
reaksi alergi dapat dicegah dengan pemberian antihistamin yang menduduki reseptor yang sama
(Zunilda SB, 1995).
Antagonisme pada reseptor dapat diukur berdasarkan interaksi obat dan reseptor. Agonis adalah
obat yang bila menduduki reseptor menimbulkan efek farmakologi secara instrinsik, sedangkan
antagonis adalah obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi secara instrinsik tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi. Jadi, antagonis menghalangi ikatan reseptor dengan agonis nya
sehingga kerja agonis terhambat. Antagonis demikian juga disebut receptor bocker tau blocker
saja. Jadi bloker tidak berefek instrinsik karena efek yang terlihat bukan efek langsung
melainkan penghambatan efek agonis (Zunilda SB, 1995).
Pada antagonisme kompetitif, antagonis berikata dengan receptor sita secara reversibel sehingga
dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan demikian penghambatan efek agonis dapat diatasi
dengan meningkatkan kadar agonis sampai akhirnya dapat dicapai efek maksimal. Jadi,
diperlukan kadar agonis yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas
agonis terhadap reseptornya menurun (Zunilda SB, 1995).
Pada antagonisme nonkompetitif, penghambatan efek agonis tidak dapat diatasi dengan
meningkatkan kadar agonis. Akibatnya, efek maksimal yang dicapai akan berkurang tetapi
afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah (Zunilda SB, 1995).
Antagonisme nonkompetitif terjadi bila antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di
receptor site atau ditempat-tempat lain, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya.
Dengan demikian antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan
agonisnya sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis terhadap reseptor yang
bebas tidak berubah. Contohnya, fenoksibenzamin mengingikat reseptor adrenergik alfa di
reseptor site secara ireversibel (Zunilda SB, 1995).
Glaukoma
Glaukoma yaitu salah satu kelainan yang berhubungan dengan penglihatan yang menyebabkan
neuropathy optic yang ditandai oleh perubahan saraf optik (Optic disk) yang dihubungkan
dengan berkurangnya bidang sensitivitas penglihatan. Peningkatan tekanan intraokuler
merupakan kriteria diagnostik glaukoma. Dua tipe utama glaukoma yang sudah diidentifikasi
yaitu sudut terbuka (open angle) dan sudut terbuka (open angle). Glaukoma sudut terbuka
merupakan kasus yang sering terjadi. Tipe yang lain dapat disebabkan oleh kelainan primer yang
diwariskan, bawaan sejak lahir, atau juga dapat disebabkan kelainan sekunder seperti trauma atau
obat-obatan, dan dapat memicu komplikasi (kesulitan) yang serius. Keduanya glaukoma primer
maupun sekunder mungkin disebabkan oleh gabungan mekanisme dari glaukoma sudut terbuka.
Dinamika Cairan Mata dan tekanan intraokuler (Michael Brown, 2005).
Pemahaman mengenai dinamika cairan mata dan tekanan intraokuler akan membantu pembaca
untuk mempelajari terapi obat untuk glaukoma (Michael Brown, 2005).
Cairan mata (aqueous humor) dibentuk di badan siliar dan menembus epiteliumnya untuk filtrasi
dan sekresi. Karena ultrainfiltrasi tergantung pada gradient tekanan, tekanan darah, dan
perubahan tekanan intraokuler akan mempengaruhi formasi cairan mata. Gradient osmotik
dihasilkan oleh sekresi aktif sodium dan bikarbonat, dan mungkin juga disebabkan zat terlarut
lain seperti askorbat yang dihasilkan epitel sel badan siliar ke dalam cairan mata, yang
menebabkan bergeraknya air dari tempatnya pada stromal siliar ultrainfiltrasi ke dalam camber
(kamar) belakang, sehingga terjadi pembentukan cairan mata (Michael Brown, 2005).
Gambar atas sebelah kiri adalah gambar mata normal. Catat bahwa permukaan selaput pelangi
adalah yang sangat textured dan kali lipatan. Bagian atas, Arus cairan mata yang normal. Cairan
mata,yang diproduksi camber belakang, mengalir ke dalam kamar yang di depan. Jalan kecil
yang utama untuk jalan ke luar cairan mata jemu akan trabecular meshwork, ke dalam Saluran
Schlemm's. Jalan kecil Outflow kecil ( Uveoscleral Dan Selaput pelangi, yang yang tidak
dilukiskan) berperan untuk suatu luas terbatas ke outflow mengandung air. Gamabar bawah
kanan, glaukoma Sudut utama ditinggalkan. Di dalam mata yang dipengaruhi, keterangan
tambahan yang temporer selaput pelangi di pupillary garis tepi kepada lensa menghalangi jalan
lintasan cairan mata dari camber depan kepada yang di depan camber. Tekanan bertamabah
dalam camber belakang, menekan selaput pelangi dan occluding trabecular meshwork. Gambar
bawah kiri lebih, Suatu neovascular selaput telah tumbuh di atas permukaan selaput pelangi,
menambah lipatan selaput pelangi. Myofibroblasts di dalam neovascular selaput menyebabkan
selaput untuk mengontrak dan untuk menjadi apposed kepada trabecular meshwork ( synechiae
di depan sekeliling). Outflow cairan mata dihalangi, dan intraocular tekanan menjadi meningkat
(Vinay Kumar, 2005).
Obat agonis berikatan dengan reseptor dan mengaktifkannya dalam berbagai kondisi, yang
secara langsung atau tidak langsung memberikan efek. Beberapa reseptor menyertakan efektor
mekanik pada molekul yang sama, sehingga ikatan obat akan meberikan efek yang langsung.
Misalnya, pembukaan kanal ion atau pengaktifan aktivitas enzim. Reseptor yang lain yang terikat
melalui satu atau lebih campur tangan penggabungan molekul pada sebuah molekul efektor yang
terpisah. Beberapa tipe sistem penggabungan obat-reseptor-efektor dibicarakan pada bagian dua
dalam buku ini (Bertram G. Katzung, 2004).
Sebagai contoh adalah penghambat reseptor asetilkolin seperti atropin. Atropine adalah antagonis
karena atropine mencegah akses asetilkolin dan mirip obat agonis dengan reseptor asetilkolin dan
atropine menstabilkan reseptor dan membuatnya inaktif.
Agen ini akan mengurangi efek asetilkolin dan obat yang mirip di dalam tubuh. Agonis yang
menghambat ikatan molekul dan agonis parsial beberapa obat adalah obat agonis yang mirip
karena penghambatan ini bertanggung jawab untuk terminasi (pengakhiran) aksi pada agonis
endogen (Bertram G. Katzung, 2004).
Sebagai contoh, penghambat asetilkolin esterase, karena perlambatan penghancuran asetilkolin
endogen, menyebabkanefek kolinomimetik yang akan menyerupai aksi molekul agonis
kolinoseptor selama penghambat kolinesterase tidak atau hanya kebetulan berikatan dengan
kolinoseptor (lihat bagian 7, dalam buku ini). Obat lain berikatan dengan reseptor dan
mengaktifkannya tetapi tidak menimbulkan respon yang besar seperti agonis penuh. Contoh,
pindolol, adalah sebuah adrenoseptor (agonis parsial) atau sebagai antagonis (jika agonis penuh
seperti isopreterenol ada) (Bertram G. Katzung, 2004)
Atropin menyebabkan blockade reversible pada aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik.
Missal penghambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat dipengruhi oleh konsentrasi
asetilkolin yang lebih besar atau agonis muskarinik yang ekuivalen. Eksperimen mutasi
menyatakan bahwa sebuah asam amino yang spesifik diperlukan dalam reseptor untuk
membentuk karakteristik ikatan atom nitrogen pada asetilkolin, karena asam amino ini juga
dibutuhkan untuk berikatan dengan obat antimuskarinik. Ketika atropin berikatan dengan
reseptor muskarinik, maka akan mencegahnya (Bertram G. Katzung, 2004).
Keefektivan obat antimuskarinik bervariasi dengan jaringan dan pencarian agonis. Jaringan yang
paling sensitive dengan atropine adalah saliva, bronchial, dan sweat gland. Sekresi asam oleh sel
gastric parietal adalah kurang sensitive. Pada kebanyakan jaringan agen penghambat
antimuskarinik eksogen diatur agonis kolinoseptor lebih efektif dari pada pelepasan asetilkolin
endogen (Bertram G. Katzung, 2004).
Atropine mempunyai selektif yang tinggi terhadap reseptor muskarinik. Potensinya pada reseptor
nikotinik lebih rendah, dan aksinya pada reseptor nonmuskarinik umumnya tiadak dapat
dideteksi secara klinik (Bertram G. Katzung, 2004).
Pilokarpin, alkaloida ini terdapat pada daun tanaman Amerika,
Pilocarpus jaborandi. Khasiatnya terutama berkhasiat muskarin, efek nikotinnya ringan sekali.
SSP permulaan distimulasi, kemudian ditekan aktivitasnya. Penggunaan utamanya adalah
sebagai miotikum pada glaucoma. Efek miotisnya ( dalam tetes mata ) dimulai sesudah 10-30
menit dan bertahan 4-8 jam ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Toleransi dapat terjadi setelah digunakan untuk waktu lama yang dapat ditanggulangi dengan
jalan menggunakan kolinergika lainnya untuk beberapa waktu, misalnya karbachol atau
neostigmin ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Dosis pilokarpin pada glaukoma 2 sampai 4 kali sehari 1 sampai 2 tetes larutan 1-2 % ( klorida,
nitrat ) ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Pilokarpin bekerja langsung terhadap organ-organ ujung dengan kerja utama yang mirip
muskarin dari asetilkolin ( ACh ). Semuanya adalah zat-zat ammonium kwartener yang bersifat
hidrofil dan sukar memasuki system saraf pusat ( Tan Hoan Tjay, 2002).
Menurut Dr. Ikke Sumantri, spesialis mata dari Jakarta Eye Center (JEC), glaukoma adalah
penyakit yang merusak saraf mata yang terjadi akibat tekanan bola mata atau tekanan intra okulat
yang tinggi (Sinar Harapan, 2003) Pada mata normal, saraf berfungsi meneruskan bayangan yang
kita lihat ke otak. Di otak, bayangan tersebut akan bergabung di pusat penglihatan dan
membentuk suatu sensasi penglihatan. Bila tekanan bola mata seseorang sudah di atas 21
mmHg, maka orang tersebut pantas dicurigai menderita glaukoma, papar Ikke dalam sebuah
seminar mengenai glaukoma di Jakarta, pekan silam. Tekanan pada bola mata ini dipicu oleh
tersumbatnya akous humor, yakni cairan jernih yang terdapat di dalam bola mata bagian depan.
Cairan ini dengan teratur mengalir dari tempat pembentukannya ke saluran keluarnya, seperti air
keran (Sinar Harapan, 2003)
Apabila dapat diatasi dengan baik sebelum terjadi kerusakan retina dan saraf mata, biasanya ada
harapan untuk pulih kembali. Namun yang terjadi, seringkali orang tidak menyadari kalau salah
satu dari matanya kena glaukoma. Dari berbagai kasus yang ada, banyak pasien yang datang ke
ahli medis setelah kedua bola matanya terkena glaucoma (Sinar Harapan, 2003)
Ikke menjelaskan, untuk melanjutkan prosedur pengobatan, seorang pasien terlebih dulu harus
diperiksa apakah glaukomanya tergolong akut atau kronis. Pada kondisi akut, biasanya dalam
tempo dua atau tiga jam bisa menyebabkan kebutaan, maka tindakan pengobatan harus dilakukan
sesegera mungkin, ungkapnya.Glaukoma akut menyerang kedua mata sekaligus. Penderita akan
mengalami gejala mata merah, pandangan kabur, nyeri pada mata disertai sakit kepala, juga rasa
mual dan muntah-muntah. Secara fisik kemampuan penglihatan mata akan menurun. Beberapa
kasus akan mengalami kondisi yang mirip dengan katarak. Setelah diketahui bahwa pasien
menderita glaukoma akut maka dokter bisa memeriksanya dengan gonioskopi, yakni semacam
alat untuk mengetahui apakah sudut mata yang tertutup masih bisa terbuka atau tidak (Sinar
Harapan ,2003) Sedangkan pada glaukoma kronis peningkatan tekanan di dalam mata terjadi
dalam masa beberapa bulan atau tahun tanpa terjadi gejala apa-apa. Namun kalau tidak diobati,
glaukoma kronis akhirnya mengakibatkan kebutaan total. Pada penderita glaukoma kronis
tindakan serupa bisa juga dilakukan, tapi dengan waktu yang tidak terlalu mendesak sebab
ancaman kebutaan tidak sebesar pada penderita glaukoma akut (Sinar Harapan, 2003)
Ahmed Valve Untuk mengatasi glaukoma yang memang kondisinya sudah mendesak, dokter
akan memasang keran buatan yang populer disebut ahmed valve. Nama ini berasal dari nama
penemunya, yakni Ahmed, warga Amerika Serikat (AS) asal Timur Tengah yang pertama kali
menciptakan klep tersebut sekitar 10 tahun silam. Alat serupa keran ini terbuat dari bahan
polymethyl methacrylate (PMMA), yakni bahan dasar lensa tanam. Ahmed valve ditanamkan
pada bola mata dengan cara operasi. Bila tekanan bola mata berada pada 18 mmHg maka klep
tersebut akan terbuka sehingga cairan yang tersumbat bisa mengalir ke bagian konjungtiva mata.
Dengan mengalirnya cairan, tekanan bola mata otomatis akan turun. Sebaliknya, klep akan
tertutup kembali bila tekanan sudah berada di bawah 18 mmHg (Sinar Harapan, 2003) Pada
glaukoma kronis yang belum terlalu parah ahli medis bisa mengambil tindakan memberikan tetes
mata untuk mengurangi produksi cairan atau untuk memperlancar pengeluaran cairan mata.
Selanjutnya bisa juga dilakukan pemeriksaan bola mata dengan tonometer, memeriksa saraf
mata, mengukur lapang pandangan. Sedangkan pada kondisi yang mendesak perlu dilakukan
operasi laser (Sinar Harapan, 2003)
Pemeriksaan Jika seseorang dicurigai hipertensi, maka dilakukan beberapa pemeriksaan, yakni
wawancara (anamnesa) adakah dalam keluarga yang menderita hipertensi. Dilakukan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan ECG, kalau perlu pemeriksaan
khusus seperti USG, Echocardiography (USG jantung), CT Scan, dan sebagainya (Dr. Nico A.
Lumenta, K.Nefro, 2002) Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi yang
ditimbulkan. Karena itu, tensi senantiasa dikendalikan menjadi normal. Secara umum dianjurkan
tensi di bawah 140/90, tetapi pada penderita penyakit ginjal karena diabetes, misalnya, sasaran
adalah 125-130/75-80 (Dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, 2002). Pengobatan dimulai dengan hal-
hal yang bersifat non-obat (non farmakologik), antara lain dengan mengurangi berat badan jika
gemuk, menghentikan merokok, menghentikan konsumsi kopi dan alkohol yang berlebihan,
lakukan olahraga teratur, ubah gaya hidup yang penuh stres, dan tentu saja menghentikan
konsumsi obat-obatan yang menaikkan tensi. Untuk diet, kurangi garam dapur menjadi 5-6
gr/hari dan perbanyak unsur kalium (buah-buahan) (Dr. Nico2002) Obat-obat yang digunakan
disesuaikan dengan kondisi pasien. Obat-obat utama yang digunakan adalah Diuretika, Beta
Blocker, ACE (Angiotensin Converting Enzyme) Inhibitor, Angiotensin II Receptor Blocker,
Calcium Antagonis. Obat-obat diberikan bertahap dari satu macam, mulai dengan dosis rendah
sampai kombinasi juga dimulai dengan dosis rendah (Dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, 2002).
Hipertensi mendapat julukan pembunuh siluman karena pasien yang tidak sadar dirinya
menderita hipertensi tahu-tahu memperoleh komplikasi berupa gangguan serius pada pembuluh
darah koroner yang dapat mengakibatkan serangan jantung dengan akibat komplikasi itu terjadi
karena hipertensi dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pembuluh darah arteri antara
lain pengerasan dan penebalan arteri, deposit lemak pada dinding pembuluh darah atau
pembesaran pembuluh darah. Kerusakan-kerusakan arteri ini dapat terjadi di mana-mana. Jika di
otak terjadi stroke dan jika di jantung terjadi serangan jantung. Selain itu dapat terjadi penebalan
otot jantung dan ini dapat berakhir sebagai payah jantung. Kalau kerusakan arteri pada mata
dapat timbul gangguan penglihatan (Dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, 2002). Karena itu, Anda
sebaiknya memeriksakan diri secara teratur, mengikuti petunjuk dokter tentang perubahan-
perubahan gaya hidup dan hal-hal yang non-obat. Dan jika mendapat resep dianjurkan untuk
minum obat secara teratur. Sebagian besar penderita hipertensi perlu minum obat seterusnya. Ada
baiknya melakukan sendiri monitoring tensi dengan cara mengukur secara periodik. Untuk itu
sebaiknya mempunyai alat sendiri seperti yang dipunyai teman Anda (Dr.Nico
A.Lumenta,K.Nefro, 2002).
Obat Midriatikum
Obat midriatikum adalah obat yang digunakan untuk membesarkan pupil mata. Juga digunakan
untuk siklopegia dengan melemahkan otot siliari sehingga memungkinkan mata untuk fokus
pada obyek yang dekat. Obat midriatikum menggunakan tekanan pada efeknya dengan
memblokade inervasi dari pupil spingter dan otot siliari (www.medicastore, 2006).
Obat untuk midriatikum bisa dari golongan obat simpatomimetik dan antimuskarinik, sedangkan
obat untuk Siklopegia hanya obat dari golongan antimuskarinik. Obat midriatikum-siklopegia
yang tersedia di pasaran adalah Atropine, Homatropine dan Tropicamide dengan potensi dan
waktu kerja yang berbeda begitu juga kegunaan secara klinisnya (www.medicastore, 2006).
Atropin
Atropine, adalah alkaloid derivat solanasid dari Atropa belladonna yaitu suatu ester organik asam
tropik dan tropin. Atropin merupakan antimuskarinik pertama yang digunakan sebagai obat,
Atropin sangat potensial sebagai obat midriatikum-siklopegia dengan panjang waktu kerja lebih
dari dua minggu (www.medicastore, 2006).
Homatropin
Homatropine adalah alkaloid semisintetik yang dibuat dari kombinasi asam mandelat dengan
tropine. Durasi kerja Homatropin lebih pendek dibanding dengan Atropin (www.medicastore,
2006).
Tropikamid
Tropicamide, adalah derivat sintetik dari asam tropik, tersedia sebagai obat mata pada akhir
tahun 1950-an. Tropikamid mempunyai waktu kerja dan lama kerja lebih pendek dibandingkan
dengan antimuskarinik lainnya, sehingga mempunyai daya serapnya (difusi) terbesar dan
proporsi obat yang tersedia untuk penetrasi ke kornea lebih tinggi (www.medicastore, 2006).
Obat Miotikum
Obat miotikum adalah obat yang menyebabkan miosis (konstriksi dari pupil mata). Pengobatan
glaukoma bertujuan untuk mengurangi tekanan di dalam mata dan mencegah kerusakan lebih
lanjut pada penglihatan. Obat Miotikum bekerja dengan cara membuka sistem saluran di dalam
mata, dimana sistem saluran tidak efektif karena kontraksi atau kejang pada otot di dalam mata
yang dikenal dengan otot siliari.Betaxolol dan Pilokarpin adalah contoh obat Miotikum yang
sering digunakan. Betaxolol adalah senyawa penghambat beta adregenik (www.medicastore,
2006).
Pilocarpine adalah alkaloid muskarinik yang diperoleh dari daun belukar tropis Amerika dari
genus Pilocarpus. Pilokarpin bekerja sebagai reseptor agonis muskarinik pada sistem saraf
parasimpatik. Pilocarpine digunakan untuk glaukoma untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
akibat tekanan yang dapat berisiko kebutaan, Pilokarpin mengatasi gejalanya dengan
menurunkan tekanan pada mata penderita glaucoma (www.medicastore, 2006).
Pilokarpin bekerja pada reseptor muskarinik (M3) yang terdapat pada otot spingter iris, yang
menyebabkan otot berkontraksi dan menyebabkan pupil mata mengalami miosis. Pembukaan
terhadap jala mata trabekular secara langsung meningkatkan tekanan pada cabang skleral. Aksi
ini memfasilitasi pengeluaran cairan pada kelopak mata sehingga menurunkan tekanan
intraokular (dalam mata) (www.medicastore, 2006).
Untuk pemilihan obat midriatikum dan miotikum yang tepat sesuai kebutuhan dan keluhan anda
ada baiknya anda harus periksakan diri dan konsultasi ke dokter. Di apotik online medicastore
anda dapat mencari informasi obat midriatikum dan miotikum yang telah diresepkan dokter
secara mudah dengan mengetikkan di search engine medicastore. Sehingga anda dapat memilih
dan beli obat midriatikum dan miotikum yang telah diresepkan dokter (www.medicastore, 2006).

V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan :
5.1.1. Alat :
- Timbangan elektrik
- Botol tetes
- Jangka sorong
- Stopwatch
- Lup (kaca pembesar)
- Flashlight (senter)
5.1.2. Bahan :
- Kelinci
- Pilokarpin 1%
- Atropin 1%

5.2 Prosedur Percobaan


- Diukur diameter mata normal kelinci kanan dan kiri serta refleknya terhadap cahaya dengan
melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci sebanyak tiga kali dengan
selang waktu lima menit,
- Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak dua tetes pada mata kanan dan kiri,
- Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleknya terhadap cahaya dengan cara
melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci setiap lima menit selama
tiga puluh menit,
- Setelah tiga puluh menit diberi tetes mata mata atropin sebanyak dua tetes pada kedua mata
- Diamati diameter pupil kedua mata kelinci serta refleknya terhadap cahaya dengan cara
melewatkan cahaya dari flashlight pada masing-masing mata kelinci setiap lima menit selama
tiga puluh menit,
- Dibuat grafik diameter pupil versus waktu

5.3 Flow Sheet


1. Kelinci Kontrol

Kelinci

Diukur diameter mata normal kanan dan kiri


Diberi cahaya pada mata kanan dan kiri dan
diamati refleksnya
Diulangi perlakuan di atas sebanyak 3 kali
dengan selang waktu 5 menit
Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes
pada kedua mata
Diukur diameter pupil kedua mata kelinci
serta refleks terhadap cahaya selama 60 menit selang waktu 5 menit
Hasil Dibuat grafik diameter pupil vs waktu
2. Kelinci dengan Pemberian Obat

Kelinci

Diukur diameter mata normal kanan dan kiri


Diberi cahaya pada mata kanan dan kiri dan
diamati refleksnya
Diulangi perlakuan di atas sebanyak 3 kali
dengan selang waktu 5 menit
Diberi tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes
pada kedua mata
Diukur diameter pupil kedua mata kelinci
serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang waktu 5 menit
Diberi tetes mata atropin sebanyak 2 tetes
pada kedua mata
Diukur diameter pupil kedua mata kelinci
serta refleks terhadap cahaya selama 30 menit selang waktu 5 menit
Hasil Dibuat grafik diameter pupil vs waktu

VI. Perhitungan, Data, Grafik dan Pembahasan


6.1. Perhitungan Dosis

6.2 Data Percobaan

6.2. Grafik Percobaan

6.3. Pembahasan
Pada percobaan, untuk dapat melihat antagonis obat, obat yang pertama diberikan pada mata
kelinci adalah pilokarpin. Dalam suatu konsentrasi agonis tertentu, peningkatan konsentrasi
antagonis kompetitif secara progresif menghambat respon dari agonis, sedangkan konsentrasi-
konsentrasi antagonis yang tinggi akan mencegah respons secara keseluruhan. Sebaliknya
konsentrasi agonis yang lebih tinggi, yang cukup, dapat mengatasi efek dari pemberian
konsentrasi antagonis secara keseluruhan, yaitu Emax untuk agonis tetap sama pada setiap
konsentrasi antagonis tertentu. Karena antagonisme bersifat kompetitif, keberadaan antagonis
meningkatkan konsentrasi agonis yang dibutuhkan untuk pemberian suatu tingkatan respon
tertentu, dan kemudian kurva konsentrasi-efek agonis bergeser ke kanan. Menurut Katzung
beberapa antagonis reseptor mengikat reseptor dengan cara yang bersifat ireversibel, atau hampir
ireversibel. Afinitas antagonis reseptor dapat demikian tinggi sehingga untuk tujuan praktis,
resptor tersebut tidak dapat lagi berikatan dengan agonis. Antagonis lain dalam kelompok ini
menghasilkan efek yang ireversibel karena setelah berikatan pada reseptor, antagonis tersebut
membentuk ikatan-ikatan kovalen dengannya. Setelah kedudukan reseptor-reseptor pada proporsi
yang besar oleh antagonis jenis ini, jumlah reseptor yang tidak diduduki bisa sedemikian rendah
sehingga agonis dengan konsentrasi tinggi tidak dapat mengatai antagonisme yang ada, dan
respons agonis yang maksimal tidak dapat dicapai.
Berdasarkan percobaan didapat hasil bahwa pemberian tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes
menghasilkan efek miosis, yaitu mengecilnya diameter pupil mata hewan percobaan (kelinci).
Hal ini adalah sesuai dengan teori, karena kerja pilokarpin sebagai obat golongan agonis
muskarinik (agonis kolinergik yang sifatnya menyerupai asetilkolin), yang dapat menurunkan
kontraksi otot siliaris dan tekanan intraokuler bola mata. Sesuai dengan pendapat Tan Hoan Tjay
(2002), obat golongan kolinergik seperti pilokarpin dapat menimbulkan penurunan kontraksi otot
siliaris mata sehingga menimbulkan efek miosis dengan cepat, serta merangsang sekresi kelenjar
yang terikat pada kelenjar keringat, mata dan saliva. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan
pengaruh rute pemberian (tetes mata) dan dosis obat yang diberikan.
Selain itu, pada pemberian tetes mata atropin dengan jumlah yang sama pada kelinci, segera
terjadi efek yang berlawanan dengan pilokarpin, yaitu terjadi efek midriasis (dilatasi pupil mata)
sehingga diameter pupil mata kelinci yang mengecil kembali membesar. Sementara kelinci
kontrol yang hanya diberi pilokarpin tanpa pemberian atropin, pupil matanya tetap mengalami
miosis. Ini sesuai dengan pendapat Mary J. Mycek, dkk (1997) bahwa kerja atropin adalah
menyekat semua aktivitas kolinergik mata.
Pada pengujian refleks cahaya mata kelinci, diperoleh hasil bahwa setelah pemberian pilokarpin,
refleks mata kelinci terhadap cahaya menjadi lebih cepat daripada respon normal (kelinci
berkedip dengan cepat), hal ini sesuai dengan teori bahwa pilokarpin menimbulkan miosis dan
menyebabkan peningkatan kepekaan mata terhadap cahaya. (Kemungkinan peningkatan
kepekaan disebabkan efek miosis, pengecilan diameter pupil menyebabkan pengurangan cahaya
yang dapat melewati pupil untuk sampai ke retina, sehingga untuk mengkompensasi hal ini, mata
meningkatkan kepekaannya terhadap cahaya).
Namun pada pengujian refleks cahaya setelah pemberian atropin, hasil yang diperoleh agak
kurang sesuai dengan teori, dimana menurut Mycek, kerja atropin adalah menyekat semua
aktivitas kolinergik mata dan seharusnya mata menjadi tidak bereaksi sama sekali terhadap
cahaya (tidak ada kedipan mata). Namun dari percobaan diperoleh bahwa kelinci masih
menunjukkan refleks terhadap cahaya, walaupun refleks menjadi lambat. Selama percobaan
terlihat bahwa refleks mata kelinci makin melambat seiring waktu, dan kemudian sekitar menit
ke-30, refleks mata kelinci sedikit menjadi lebih cepat, walaupun hal ini kurang terlihat dengan
pengamatan visual saja, dan mungkin saja dipengaruhi oleh subjektivitas si pengamat.
Kemungkinan ketidaksesuaian ini dipengaruhi oleh dosis atropin yang diberikan, dimana dosis
yang diberikan sedikit kurang sehingga tidak semua reseptor pilokarpin terokupasi oleh atropin.
Hal ini juga dapat disebabkan oleh cara pemberian yang kurang baik, sehingga mengakibatkan
tidak semua obat mengenai bola mata.
VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Pemberian pilokarpin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek miosis (mengecilnya
diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka
sorong, serta peningkatan refleks mata terhadap cahaya yang ditandai dengan kecepatan mata
berkedip.
- Pemberian atropin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek midriasis (membesarnya
diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka
sorong, serta penurunan refleks mata terhadap cahaya, yang ditandai dengan perlambatan
kedipan mata (walaupun secara teori harusnya tidak ada refleks cahaya).
- Atropin dan pilokarpin merupakan obat-obat yang memiliki efek antagonisme, dalam hal ini
antagonis kompetitif. Mekanisme kerjanya ialah atropin merupakan antagonis yang bekerja pada
organ yang sama (reseptor yang sama) dengan pilokarpin, yaitu reseptor muskarinik, dimana
atropin bekerja dengan cara menginhibisi pilokarpin dari menduduki reseptor, yang dibantu oleh
afinitas atropin-reseptor yang lebih kuat. Atropin menduduki reseptor tetapi tidak menimbulkan
aktivitas intrinsik. Antagonis kompetitif memiliki sifat reversibel sehingga apabila dosis dari
agonis dapat ditingkatkan, agonis tersebut dapat kembali menduduki reseptor.

7.1. Saran
- Sebaiknya pengukuran diameter pupil mata kelinci dan pengamatan refleks cahaya dilakukan
oleh satu praktikan saja, untuk menghindari variasi pengamatan.
- Sebaiknya pemberian obat lebih memperhitungkan dosis dan faktor kesalahan pemberian
- Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan
mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap pengukuran, sehingga respon
farmakologis lebih mudah diamati.
Daftar Pustaka

Brown, Michael, dkk, (2005), (Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach), Sixth Edition,


McGraw-Hill Companies: United States of America, hal : 1.713 (e- book version of the text).
Katzung, Bertram G, (2004), Basic & clinical pharmacology, 9th Edition, Lange Medical
Books/Mcgraw-Hill: New York, Hal : 6, 152 (e-book version of the text

Kumar, Vinay, dkk, (2005), (Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease), Seventh
Edition, Elsevier Inc: USA, hal 1486 (e-book version of the text).
S.B, Zunilda, (1995), Pengantar Farmakologi dalam buku Farmakologi Dan Terapi, Edisi
Keempat, Editor: S.G Ganiswara,Jakarta: Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman
18-19.
Tan, Hoan, Tjay., & Kirana R., (2002), Obat-Obat Penting, Edisi Kelima, Cetakan Kedua,
Jakarta: Gramedia, halaman 47.
Anonim,www.medicastore, 2006
www.sinarharapan.co.id.htm
(Dr.NicoA.Lumenta,K.Nefro, www.sinarharapan.co.id.2002htm

Anda mungkin juga menyukai