coba nih
NB : Nanti setelah di klik akan masuk ke adf.ly == biarkan waktu berjalan== skip ad == hotfile.
Obat masuk ke dalam tubuh dengan cara intravaskular atau ekstravaskular. Cara intravaskular
yaitu obat langsung masuk ke sirkulasi sistemik dan didistribusikan ke seluruh tubuh seperti
pemberian intravena (suntikan atau infus). Berarti pemberian obat tidak perlu menglami fase
pertama untuk memberikan efek, yaitu fase absorpsi. Konsentrasi obat dalam plasma atau darah
selanjutnya ditentukan oleh kecepatan biotransformasi dan kecepatan ekskresi atau eliminasi
obat dari tubuh. Sedangkan cara ekstravaskular yaitu obat harus diabsorpsi dahulu sebelum
masuk ke peredaran sistemik seperti pemberian intramuskular, subkutan, intradermal, dan
peritoneal. Syarat untuk absorpsi adalah obat harus terbebaskan terlebih dahulu dari bentuk
sediannya dan bukan hanya tergantung pada faktor fisikokimia obat, tetapi juga pada faktor
lingkungan bagian tubuh tempat obat diserap atau diabsorpsi. Kemudian, faktor-faktor teknik
pembuatan (farmakoteknik) merupakan penentu untuk pembebasan obat dari bentuk sediaannya
ke dalam cairan tubuh.
(Stefanus Lukas, 2006)
Obat merupakan kumpulan zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup setiap manusia
yang mengkonsumsinya dan akan melewati mekanisme kerja dari mulai bagaimana obat itu
diabsorpsi, didistribusikan, mengalami biotransformasi dan akhirnya harus ada yang
diekskresikan.
V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan
5.1.1. Alat
- oral sonde mencit
- spidol permanent
- spuit 1 ml
- stopwatch
- alat suntik 1 ml
- beaker glass 25 ml
- erlenmeyer 10 ml
5.1.2. Bahan
- mencit 5 ekor
- aquadest
- luminal Na 0,7%
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa
dari kandang
Ditandai ekornya dengan spidol permanent
Diangkat ke atas timbangan elektrik
Dicatat beratnya
Hasil
2. Persiapan Hewan
Mencit
Dipegang ujung ekor dengan tangan kanan dan dibiarkan kaki depan berpaut pada kawat kasa di
kandang
Dipegang kulit kepala sejajar dengan telinga mencit dengan menggunakan jari telunjuk dan ibu
jari tangan kiri
Ditukarkan pegangan ekor dari tangan kanan ke jari kelingkng kiri supaya mencit dapat dipegang
dengan sempurna
Hasil
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke oral sonde
Dipegang tengkuk mencit
Diselipkan jarum oral yang telah berisi obat berdekatan dengan langit-langit dan dorong hingga
masuk ke esofagus
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
b. Intra Peritoneal
Mencit
Ditandai dan ditimbang mencit
Dihitung dosis, dimasukkan obat ke spuit
Dipegang tengkuk mencit sedemikian rupa dengan tangan kiri sehingga ibu jari melingkar di
bawah rahang (bukan tenggorokan) sehingga posisi abdomen lebih tinggi dari kepala
Disuntikkan larutan obat pada bagian bawah tengah abdomen dengan cepat
Diamati respon selama 90 menit dengan selang waktu 10 menit
Dibuat grafik respon vs waktu
Hasil
VI. Perhitungan, Data, Grafik Percobaan dan Pembhasan
6.1. Perhitungan Dosis
Mencit I
berat badan = 22,7 g
Mencit II (intraperitonial)
berat badan = 20,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III (intraperitonial)
berat badan = 19,0 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit IV
berat badan = 20,6 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V (oral)
berat badan = 20,8 g
dosis Luminal Na = 90 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Keterangan :
- 1.1 : Normal
- 1.2 : Reaktif
- 1.3 : Gerak Lambat
- 1.4 : Tidur
7.1. Kesimpulan
- Cara-cara penanganan hewan percobaan meliputi penandaan, persiapan dan penyuntikan hewan
percobaan tersebut.
- Dalam praktikum ini penandaan hewan percobaan dilakukan dengan menandai ekor mencit
dengan spidol permanent.
- Pada umumnya pemberian Phenobarbital secara intraperitonial pada mencit memberikan efek
yang lebih cepat dibandingkan dengan pemberaian oral.
- Onset of action lebih cepat dicapai pada pemberian intraperitonial dibandingkan dengan
pemberian oral.
- Phenobarbital memberikan efek yang bervariasi pada mencit mulai dari normal, reaktif, gerak
lambat dan bahkan tidur.
7.2. Saran
- Hendaknya dilakukan percobaan pada rute pemberian yang lain, misalnya intravena.
- Hendaknya praktikan hati-hati dalam menjaga mencit percobaan karena harganya mahal.
Daftar Pustaka
Lukas, Stefanus, (2006), FORMULASI STERIL, Penerbit Andi: Yogyakarta, Hal :11-14
Neal, Michael J., (2002), MEDICAL PHARMACOLOGY AT A GLANCE, Fourth Edition,
Blackwell Science Ltd: Malden USA, Hal : 12, 13.
Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal :10-11.
Widodo, V. B & Lotterer E., (1993), KUMPULAN DATA KLINIK FARMAKOLOGI. Cetakan
I. UGM Press: Jogjakarta, Hal 10
Yahya L, Mulkan & Rizali H., (1993), PENGANTAR FARMAKOLOGI, Pustaka Widyasarana:
Medan Hal 6
nardinurses.files.wordpress.com
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PerkembangbiakanHewanPercobaan.pdf/16_
PerkembangbiakanHewanPercobaan.html
www.unsoed.ac.id
I. Pendahuluan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Metabolisme Obat
Metabolisme obat secara normal melibatkan lebih dari satu proses kimiawi dan enzimatik
sehingga menghasilkan lebih dari satu metabolit. Jumlah metabolit ditentukan oleh kadar dan
aktivitas enzim yang berperan pada proses metabolisme. Kecepatan metabolisme dapat
menentukan intensitas dan memperpanjang kerja obat. Kecepatan metabolisme ini kemungkinan
berbeda-beda pada masing-masing individu. Penurunan kecepatan metabolisme akan
meningkatkan intensitas dan memperpanjang masa kerja obat, dan kemungkinan meningkatkan
toksisitas obat. Kenaikan kecepatan metabolisme akan menurunkan intensitas dan
memperpendek masa kerja obat sehingga obat menjadi tidak efektif pada dosis normal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme obat antara lain faktor genetik atau keturunan,
perbedaan spesies dan galur, pebedaan jenis kelamin, perbedaan umur, penghambatan enzim
metabolisme, induksi enzim metabolisme dan faktor-faktor lain.
(Siswandono, 1995)
1. Untuk mengetahui pengaruh variasi biologi terhadap dosis obat yang diberikan kepada hewan
percobaan .
2. Untuk mengetahui pengaruh variasi jenis kelamin terhadap dosis obat yang diberikan kepada
hewan percobaan.
Faktor Lain-Lain
Faktor lain-lain yang dapat mempengaruhi metabolisme obat adalah diet makanan, keadaan
kekurangan gizi, gangguan keseimbangan hormon, kehamilan, pengikatan obat oleh protein
plasma, distribusi obat dalam jaringan, dan keadaan patologis hati, misal kanker hati.
(Siswandono, 1995)
Variasi dalam Kemampuan Merespons Obat
Individu-individu mungkin sangat berbeda dalam kemampuan mereka merespons suatu obat.
Sesungguhnya, respons seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat. Sesungguhnya,
respon seorang individu mungkin bebeda untuk suatu obat yang sama diberikan pada saat yang
berbeda selama masa pengobatan. Kadang-kadang, individu menunjukkan respons obat yang
tidak umum atau respons idiosinkratik obat, suatu hal yang jarang tampak dari sebagian besar
pasien. Respon-respon idiosinkratik biasanya disebabkan oleh perbedaan genetik dalam
metabolisme obat atau oleh mekanisme imunologik, termasuk reaksi-reaksi alergik.
Variasi kuantitatif dalam respons obat biasanya lebih umum dan lebih penting secara klinik:
seorang pasien secara individual adalah hiporeaktif atau hiperaktif terhadap suatu obat dalam hal
intensitas efek dari dosis obat yang diberikan akan menurun atau meningkat bila dibandingkan
dengan efek yang tampak pada mayoritas individu-individu. Kemampuan merespons biasanya
menurun sebagai akibat dari pemberian obat yang terus menerus, sehingga menmbulkan suatu
keadaan toleran yang relative pada efek-efek obat.
Ada empat mekanisme umum yang mungkin menyokong terjadinya perbedaan terhadap
kemampuan merespons obat diantara pasien-pasien atau dalam ondividu seorang pasien pada
waktu yang berbeda.
A. Perubahan dalam Konsentrasi Obat yang Mencapai Reseptor
Dengan mengubah konsentrasi obat yang mencapai reseptor-reseptor yang relevan, perbedaan-
perbedaan farmakokinetika yang demikian kemungkinan mengubah respons klinik. Perbedaan-
perbedaan tertentu dapat diprediksi berdasrkan umur, berat badan, jenis kelamin, keadaan
penyakit, fungsi hati dan ginjal, dan dengan melakukan pemeriksaan khusus untuk mencari
perbedaan-perbedaan genetik yang mungkin berasal dari perwarisan komplemen tersendiri yang
fungsional dari enzim yang memetabolisme obat.
B. Variasi dalam Konsentrasi suatu Ligan Reseptor Endogen
Mekanisme ini sangat menyokong variabilitas terhadap respons-respons terhadap antagonis-
antagonis farmakologik.
C. Perubahan dalam Jumlah Atau Fungsi Reseptor-Reseptor
Kajian-kajian eksperimental telah mendokumentasikan perubahan-perubahan dalam kemampuan
memberi respons obat yang disebabkan oleh peningkatan atau penurunan jumlah situs reseptor
atau oleh perubahan-perubahan efisiensi mekanisme hubungan reseptor-reseptor dengan efektor
distal. Dalam beberapa hal, perubahan jumlah reseptor disebabkan oleh hormon-hormon lain.
Suatu antagonis mungkin meningkatkan jumlah reseptor-reseptor di dalam suatu sel atau jaringan
yang kritis dengan mencegah down regulation yang disebabkan oleh agonis endogen. Ketika
antagonis tersebut ditarik, jumlah reseptor yang meningkat dapat menimbulkan respon yang
berlebih-lebihan pada konsentrasi-konsentrasi agonis yang fisiologis. Dalam situasi ini jumlah
reseptor yang diturunkan oleh drug-induced down regulation, adalah terlalu rendah bagi agonis
endogen untuk menimbulkan stimulasi efek.
D. Perubahan-Perubahn dalam Komponen-Komponen Respons Distal dari Reseptor
Meskipun suatu obat memulai kerjanya dengan terikat pada reseptor-reseptor, respon yang
tampak pada seorang pasien bergantung pada integritas fungsional proses-proses biokimia di
dalam sel yang merespons dan meregulasi secara fisiologis dengan berinteraksi dengan sistem-
sistem organ.
(Bertram G. Katzung,2001)
Faktor-faktor lain
Interaksi obat
Perubahan respons penderita akibat interaksi obat.
Toleransi
Toleransi adalah penurunan efek farmakologik akibat pemberian berulang. Berdasarkna
mekanismenya ada 2 jenis toleransi, yakni toleransi farmakokinetik dan toleransi
farmakodinamik. Toleransi farmakokinetik biasanya terjadi karena obat meningkatkan
metabolismenya sendiri (obat merupakan self inducer), misalnya barbiturat dan ripamfisin.
Toleransi farmakodinamik atau toleransi selular terjadi karena proses adaptasi sel atau reseptor
terhadap obat yang terus menerus berada di lingkungannya. Dalam hal ini jumlah obat yang
mencapai reseptor tidak berkurang tetapi karena sensitivitas reseptornya berkurang maka
responsnya berkurang. Toleransi ini dapat terjadi terhadap barbiturat, opiat, benzodiazepin,
amfetamin dan nitrat organik.
Takifilaksis adalah toleransi farmakodinamik yang terjadi secara akut. Ini terjadi pada pemberian
amin simpatomimetik yang kerjanya tidak langsung (misalnya efedrin) akibat deplesi
neurotransmitor dari gelembung sinaps.
Bioavailabilitas
Perbedaan bioavailabilitas antar preparat dari obat yang sama (bioinekivalensi) yang cukup besar
dapat menimbulkan respons terapi yang berbeda (inekivalensi terapi). Untuk obat dengan batas-
batas keamanan yang sempit, dan obat untuk penyakit yang berbahaya (life-saving drugs),
perbedaan bioavalabilitas antara 10-20% sudah cukup untuk menimbulkan inekivalensi terapi.
Contoh obat yang seringkali menimbulkan masalah dalam bioavailabilitasnya adalah : digoksin,
fenitoin, dikumarol, tolbutamid, eritromisin, amfoterisin B, dan nitrofurantoin.
Pengaruh lingkungan
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respons penderita terhadap obat antara lain
kebiasaan (merokok, minum alkohol) dan keadaan sosial budaya (makanan, pekerjaan, tempat
tinggal). Hidrokarbon polisiklik yang terdapat dalam asap rokok meninduksi sintesis enzim
metabolisme obat-obat tertentu (misalnya teofilin) sehingga mempercepat biotransformasi obat-
obat tersebut dan dengan demikian mengurangi respons penderita.
( Tanu, 2007;hal 828-829 )
Plasebo
Plasebo adalah sebuah bentuk dosis tanpa sesuatu tanpa bahan aktif, yaitu sebuah pengobatan
tiruan. Administrasi dari plasebo mungkin menimbulkan efek yang diinginkan (gambaran gejala
suatu penyakit) atau efek yang tidak diinginkan yang mencerminkan perubahan pada situasi
psikologis pasien karena pengaturan terapi.
Dokter harus secara sadar maupun tidak sadar berkomunikasi kepada pasien apakah itu terkait
atau tidak dengan masalah pasien tersebut, atau hal tertentu tentang diagnosis dan tentang nilai
terapi yang ditentukan. Dalam penyembuhan seorang dokter yang merawat haruslah seorang
yang ramah, kompeten, dapat dan dipercaya sehingga pasien merasa nyaman dan lebih semangat
sehingga mengoptimalkan proses penyembuhan.
Kondisi fisik menentukan disposisi fisik dan demikian sebaliknya. Kondisi genting seperti
pejuang perang yang terluka, terlupa pada luka-luka mereka ketika berlangsungnya pertempuran,
hanya untuk penglaman sakit parah pada keselamatan di rumah sakit, atau pasien dengan borok,
yang disebabkan oleh tekanan emosi (stress) (Hinz Lullmann, 2000).
Kadar terapeutik obat dapat dicapai lebih cepat dengan memberikan dosis muatan yang diikuti
dengan dosis rumatan. Dosis muatan adalah dosis awal oabat yang lebih tinggi dari dosis-dosis
selanjutnya dengan tujuan mencapai kadar oabat terapeutik dalam serum dengan cepat.
Dosis muatan diikuti dengan dosis rumatan, yang merupakan dosis obat yang mempertahankan
konsentrasi plasma dalam keadaan stabil pada rentang terapeutik.
Regimen dosis adalah cara, jumlah, dan frekuensi pemberian obat yang mempengaruhi onset of
action dan duration of action kerja obat. Onset of action adalah jumlah waktu yang diperlukan
oleh suatu obat untuk mulai bekerja. Obat-obatan yang diberikan secara intravena secara umum
mempunyai onset of action yang lebih cepat dibanding obat-obat yang diberikan per oral karena
obat-obatan harus diabsorpsi dan melalui usus sebelum masuk ke aliran darah. Durasi adalah
lamanya waktu suatu obat bersifat terapeutik (James Olson, M.D., 1993)
Pemberian obat untuk mengobati flu dan batuk pada anak-anak di bawah umur 2 tahun sebaiknya
dihindari karena berisiko. INI merupakan peringatan terkini yang dikeluarkan Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Food and Drug Administration/FDA) Amerika Serikat.FDA mengingatkan
agar menghindari pemberian obat antibatuk dan flu pada anak-anak yang usianya di bawah dua
tahun. Pasalnya, pemberian obat tersebut terhadap anak-anak di bawah dua tahun dinilai sangat
berisiko. FDA mengindikasikan pemberian obat bisa mengakibatkan risiko fatal,mulai jantung
berdebar-debar, kejang-kejang, hingga pada risiko kematian. ''Kami mengeluarkan peringatan
keras agar menghindari pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak di bawah dua
tahun. Sebab, pemberian obat mengakibatkan risiko serius dan berpotensi mengancam
keselamatan anak-anak serta menimbulkan efek yang tak disangkasangka," jelas Ketua FDA Dr
Charles Ganley kepada Reuters. Ganley menegaskan bahwa obat-obat tersebut ''tidak aman dan
tidak efektif bagi anak-anak di bawah dua tahun". Sebab, obat-obatan tersebut hanya
menghilangkan gejala-gejala batuk dan flu pada anak, tapi tidak menyembuhkan penyakitnya.
Obat antibatuk dan flu selama beberapa dekade ini sudah banyak dijual bebas di
pasar.Namun,FDA tak merekomendasikan perusahaan obat-obatan untuk mencegah pemberian
terhadap anakanak. Sejauh ini, belum diperoleh data konkret soal penggunaan obat-obatan itu
kepada anak-anak. ''Metabolisme dan reaksi tubuh anak-anak terhadap obat-obatan berbeda
dengan orang dewasa. Jadi, sebaiknya kita mengantisipasinya sebelum menimbulkan hal-hal
yang tak diinginkan," demikian keterangan resmi American Academy of Pediatrics, untuk
mendukung peringatan FDA. Sejauh ini, FDA tak pernah menyarankan untuk memberikan
berbagai obat-obatan pada anakanak di bawah dua tahun.Tahun lalu, FDA melarang pemberian
berbagai jenis obat-obatan kepada anak-anak di bawah dua tahun jika tak ada rekomendasi
secara detail dari dokter. Peringatan keras FDA ini menimbulkan kontroversi yang hebat di
masyarakat AS. Perusahaan obat-obatan di negeri Paman Sam pun memprotes larangan tersebut.
Apalagi FDA pada Oktober 2007 sempat menarik 14 jenis obat bagi anak-anak dari pasaran.
Perusahaan obat-obatan menyatakan produk yang dijual ke masyarakat aman bagi anak-anak di
bawah dua tahun. Asalkan penggunaannya sesuai petunjuk yang disarankan, misalnya takaran
dosis yang tepat, dengan menggunakan ukuran sendok makan. Selain itu, orangtua disarankan
memeriksa daftar zat yang terkandung dalam obat tersebut agar tak memberikan lebih dari satu
jenis obat kepada anaknya. Sebab, dalam beberapa kasus sering ditemukan anak-anak mengalami
overdosis atau salah obat karena orangtuanya tak mengetahui jenis zat yang terkandung di dalam
obat tersebut. Meski sudah memberikan peringatan keras terhadap pemberian dua jenis obat
tersebut pada anak di bawah dua tahun,FDA masih mengevaluasi rencana penetapan pelarangan
pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-anak berusia dua hingga 11 tahun.
Jika sama-sama menimbulkan efek negatif, pelarangan itu akan disahkan pada musim panas
tahun ini. ''Sebab,berdasarkan hasil penelitian lanjutan, obat antibatuk dan flu juga tak efektif
pada anak-anak di bawah enam tahun. Bahkan, berisiko menimbulkan risiko yang serius bagi
kesehatan mereka," tutur American Academy of Pediatrics dalam pernyataan tertulisnya. Namun,
sikap FDA yang masih memberikan toleransi pemberian obat antibatuk dan flu terhadap anak-
anak yang berusia di bawah enam tahun ini dikritik Presiden National Research Center for
Women & Families Diana Zuckerman. Padahal, berdasarkan penelitian,para ilmuwan sudah jelas
mengatakan bahwa efek negatif yang ditimbulkan sama berbahaya.
(http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0)
Banyak obat-obatan ternyata tidak direkomendasikan bagi anak-anak. Kini Uni Eropa
menetapkan kewajiban ujicoba susulan terhadap obat-obatan yang juga dapat dikonsumsi anak-
anak. Anak-anak sangat rentan terhadap serangan penyakit.
Di Eropa yang tergolong ketat aturan kesehatan dan pengawasan obat-obatannya, banyak yang
terkejut ketika membaca petunjuk di kemasan obat. Sebagian besar obat-obatan yang dijual
bebas maupun yang harus dengan resep dokter, ternyata mencantumkan peringatan yang dicetak
dengan huruf kecil : "tidak disarankan penggunaannya bagi anak-anak, karena belum dilakukan
penelitian". Banyak obat-obatan yang bahkan tidak diizinkan untuk anak-anak. Karena itulah,
mulai Januari tahun 2007 ini Uni Eropa menetapkan peraturan obat-obatan yang lebih ketat lagi.
Semua perusahaan farmasi diwajibkan mengujicoba obat yang dipasarkannya juga menyangkut
dampaknya untuk anak-anak.
Berdasarkan aturan baru Uni Eropa, semua vaksin untuk imunisasi, harus diujicoba pada anak-
anak, sebelum diizinkan dipasarkan. Tapi, jika berbicara mengenai obat-obatan untuk bayi yang
dilahirkan prematur, atau yang harus dirawat secara intensiv dan anak-anak penderita kanker,
situasinya amat jauh berbeda. Lebih dari 90 persen obat-obatan yang digunakan, sebetulnya tidak
boleh diberikan kepada anak-anak. Masalahnya, mengujicoba obat-obatan pada anak-anak, agar
mendapat izin pemasaran, amatlah sulit dan mahal.
Dr. Siegfried Throm dari perhimpunan peneliti dari produsen obat-obatan menjelaskan, obat-
obatan untuk penyakit anak-anak yang umum, tidak menimbulkan masalah. Untuk itu relatif
gampang membuat ujicobanya. Dalam arti, terdapat cukup banyak anak-anak yang menderita
sakit, dan juga pasarnya terbuka luas. Akan tetapi, untuk obat-obatan yang hanya diperlukan
secara insidental, masalahnya berbeda. Disini terdapat pertimbangan, biaya pengembangan yang
cukup tinggi, biasanya tidak bisa tertutup kembali dengan penjualan obat-obatannya. Karena itu,
dalam bidang ini hanya sedikit dilakukan penelitian.
Dalam ujicoba terapi itu diteliti dengan kombinasi obat-obatan apa, kapan waktu pemberiannya
dan dalam dosis seberapa besar, anak-anak dapat diobati secara lebih efektif. Dewasa ini sudah
terdapat daftar dosis obat-obatan, yang sebetulnya tidak diperuntukkan bagi anak-anak. Akan
tetapi hasil dari ujicoba terapi semacam itu belum mencukupi, bagi pemberian izin penggunaan
obat bagi anak-anak secara umum. Penyebabnya, anak-anak tumbuh amat cepat, dan perubahan
fungsi organ tubuhnya juga amat luar biasa, misalnya hati. Karena itu, obat-obatan harus
diujicoba pada berbagai kelompok umur.
Dr. Dorothee Kieninger dari pusat ujicoba klinik di Universitas Mainz menjelaskan ; "Pada bayi
yang baru lahir, hati memiliki mekanisme dan fungsi amat berbeda dengan anak usia enam tahun.
Dan sampai umur 13 tahun fungsinya terus berubah. Demikian juga fungsi ginjal terus berubah.
Ginjal memiliki fungsi menyaring racun dan membuang cairan. Fungsi ginjal pada anak-anak,
pada tiap kelompok umur perubahannya amat ekstrim. Demikian juga perubahan pada organ
tubuh lainnya."
Karenanya dosis obat-obatan harus akurat. Dan perubahan dosis tidak bisa gampangan dikaitkan
hanya dengan perbedaan berat badan anak, melainkan tergantung dari bagaimana reaksi organ
tubuh anak-anak terhadap obat, pengolahannya dalam tubuh dan pembuangannya kembali.
Metabolisme pada bayi yang baru lahir, sangat berbeda dengan anak usia sekolah.
Undang-undang baru Uni Eropa mengenai standar obat-obatan, bertujuan agar semakin banyak
obat-obatan yang dapat diizinkan penggunaannya untuk anak-anak. Akan tetapi hal itu ada
gunanya jika obat-obatan itu juga ampuh untuk anak-anak.
Obat-obatan baru harus diuji coba pada berbagai kelompok umur, yang menjadi calon pengguna
obat tsb. Tentu saja ujicoba akan dilakukan, jika obat baru tsb sudah diujicoba pada orang
dewasa dan mendapat izin pemasaran. Demikian juga bagi obat-obatan yang sudah lama
dipasarkan, hendak dilakukan ujicoba susulan menyanmgkut dampaknya bagi anak-anak.
(http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8 )
ESTIMASI KETERSEDIAAN HAYATI OBAT.
Pada dasarnya, estimasi bioavailabilitas obat dapat dilakukan menurut metode-metode
farmakokinetika dan klinik .Metode farmakokinetika mencoba memperkirakan availabilitas
fisiologis obat melalui pengukuran obat unchanged di dalam darah/urin atau metabolit-metabolit
yang terbentuk, sedangkan metode klinik didasarkan atas percobaan-percobaan klinik. Dalam hal
ini diperlukan variabel klinik untuk mengukur efikasitas obat atau mengukur besarnya efek obat,
seperti penurunan kadar gula darah, aktifitas komplek protrombin, dan sebagainya. Selain kedua
metode tersebut di atas, bioavailabilitas obat dapat juga diperkirakan dari segi farmakologis
seperti yang dilakukan oleh beberapa peneliti2,3.
Data farmakologis yang diperlukan untuk mengevaluasi dan mengoptimasi bioavailabilitas
produk obat adalah pengukuran intensitas respons farmakologis yang berupa signal-signal,
dipersyaratkan suatu respons bertingkat dalam fungsinya terhadap dosis. Respons ini tidak lain
hasil interaksi antara zat aktif dan reseptor di tempat aksi, sehingga akan diperoleh availabilitas
biofasik obat. Dalam hal ini, kemungkinan me-
Lakukan sampling untuk menentukan kadar obat di tempat aksi, dari mana dapat dikorelasikan
antara dosis dan respons farmakologisnya.
Dengan uraian sederhana di atas, bioavailabilitas obat pada hakekatnya mempunyai arti luas dan
terutama mempelajari efek-efek obat yang berasal dari suatu produk obat. Estimasi dan penilaian
bioavailabilitas obat.Dari segi klinik meminta biaya yang tinggi dan membutuhkan banyak
waktu, sedangkan secara farmakologis relatif juga mahal. Estimasi availabilitas fisiologis dengan
mengukur plasma level obat atau ekskresi uriner zat aktifunchanged,atau kemungkinan lain yaitu
saliva level obat merupakan cara yang cukup ekonomis dan relatif singkat. Asalkan cara ini dapat
didesain, dikelola dan dievaluasi dengan baik, diharapkan hasil-hasilnya akan relatif dekat
dengan potensi obat yang sebenarnya. Penilaian availabilitas fisiologis obat dapat ditarik dari
beberapa variabel farmakokinetika, seperti luas area di bawah kurva, konsentrasi puncak.
(www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm)
V. Metodologi Percobaan
5.1. Alat-alat dan Bahan
5.1.1. Alat - alat
- Timbangan elektrik
- Oral sonde mencit
- Spuit 1 ml
- Stopwatch
- Alat suntik 1 ml
- Beaker glass 25 ml
5.1.2. Bahan bahan
- Mencit 6 ekor
- Phenobarbital-Na (Luminal-Na)
5.2. Prosedur Percobaan
1. Hewan ditimbang, dan ditandai
2. Dihitung dosis dengan pemberian :
- Mencit 1 : berat badan 38,5 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 2 : berat badan 18,4 g luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 3 : puasa berat badan 16,85 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral)
- Mencit 4 : tanpa puasa berat badan 18 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (oral)
- Mencit 5 : jantan berat badan 21,8 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
- Mencit 6 : betina berat badan 21,3 g, luminal 0,7 % dosis 50 mg/kg BB (i.p)
3. Diamati dan dicatat respon yang terjadi selang waktu 10 menit selama 90 menit.
4. Dibuat grafik jumlah respon vs waktu.
6.2. Data
No
Perlakuan
Waktu pengamatan (menit)
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1
BB =38,5 gr
I.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB
(i.p)
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
2
BB = 18,4 gr
II. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.2
1.2
1.2
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
3
Puasa
III. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
1.4
1.4
4
Tidak Puasa
IV. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (oral)
1.1
1.1
1.1
1.2
1.2
1.2
1.3
1.4
1.4
5
Jantan
V. Luminal Na 0,7%; Dosis 50mg/kg BB (i.p)
1.2
1.3
1.3
1.3
1.3
1.4
1.4
1.3
1.3
6
Betina
VI.Luminal Na 0,7%;Dosis 50mg/Kg BB(i.p)
1.2
1.2
1.1
1.1
1.1
1.2
1.3
1.3
1.4
Keterangan : 1.1 = Keadaan Normal 1.3 = Keadaan Gerak Lambat
1.2 = Keadaan Reaktif 1.4 = Keadaan Tidur
6.3. Grafik Percobaan
-----
6.4. Pembahasan
Dalam percobaan didapatkan bahwa berat badan yang berbeda selain mempengaruhi dosis yang
harus diberikan juga mempengaruhi respon dari obat tersebut. Mencit yang berat badannya lebih
besar menimbulkan respon yang lebih cepat dibandingkan mencit yang berat badannya lebih
kecil, dimana pada menit ke 20 mencit dengan berat badannya 38,5 g lebih dahulu memberikan
respon garuk-garuk dibandingkan mencit dengan berat badan 18,4 g. Ini bertentangan dengan
teori, yang mengatakan bahwa berat badan yang lebih kecil memberikan respon terlebih dahulu.
Hal ini terjadi mungkin karena ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti genetis, dan
kondisi mencit saat percobaan.
Dalam percobaan didapatkan bahwa mencit yang tanpa puasa memberikan respon yang lebih
lambat daripada mencit yang dipuasakan, dimana mencit yang dipuasakan lebih dulu
memberikan respon garuk-garuk daripada mencit tanpa puasa yaitu pada menit ke 30 sedangkan
yang tanpa puasa pada menit ke 40.
Dari variasi jenis kelamin didapatkan hasil bahwa jantan terlebih dahulu yang memberikan
respon yaitu pada menit ke 20 sudah mulai gerak lambat, sedangkan pada betina dalam waktu
yang sama masih reaktif.
Daftar Pustaka
Katzung, Bertram G.,(2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Edisi ke-8, Penerbit
Salemba Medika: Jakarta, halaman 53-56.
Lullmann, Heinz, dkk., (2000), COLOR ATLAS OF PHARMACOLOGY , Second Edition,
Thieme Stuttgart: New York, Hal 76.
Olson, James, M.D., (1993), BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI, EGC: Jakarta, Hal 2 4.
Siswandono, (1995), KIMIA MEDISINAL, Air Langga University Press: Surabaya, Hal : 156-
159.
Tanu, Ian. (2007), FARMAKOLOGI DAN TERAPI, Edisi 5.Gaya Baru; Jakarta. Hal 828-829.
http://www.lautanindonesia.com/forum/index.php?topic=4915.0
http://groups.google.co.id/group/lowongan-kerja-
cpns/browse_thread/thread/a58903663e6f60d8?hl=id&ie=UTF-8
www-portalkalbe-files-cdk-files-05_KetersediaanHayatiObat_pdf-
05_KetersediaanHayatiObat.htm
I. Pendahuluan
Dosis obat harus diberikan pada pasien untuk menghasilkan efek yang diharapkan tergantung
dari banyak faktor, antara lain usia, bobot badan, kelamin, besarnya permukaan badan, beratnya
penyakit dan keadaan daya tangkis penderita.
Takaran pemakaian yang dibuat dalam Farmakope Indonesia dan farmakope negara-negara lain
hanya dimaksudkan sebagai pedoman saja. Begitu pula dosis maksimal (MD), yang bila
dilampaui dapat mengakibatkan efek toksis, bukan merupakan batas yang harus mutlak ditaati.
Dosis maksimal dari banyak obat dimuat di semua farmakope, tetapi kebiasaan ini sudah
ditinggalkan oleh Farmakope Eropa dan negara-negara Barat, karena kurang adanya kepastian
mengenai ketepatannya, antar lain berhubung dengan variasi biologi dan faktor-faktor tersebut di
atas. Sebagai gantinya, kini digunakan dosis lazim, yaitu dosis rata-rata yang biasanya lazim
memberikan efek yang diinginkan (Tjay & Rahardja, 2002).
Efek suatu senyawa obat tergantung pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di
bawah titik amabang (subliminsal dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon
tergantung pada efek alami yang dapat diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek
pada intensitas tersebut. Seperti itu, efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat
penggunaannya, dalam arti bahwa luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur
(Lullmann, 2000).
Dosis yang menimbulkan efek terapi pada 50 % individu disebut dosis terapi median atau dosis
efektif median ( ED50 ). Dosis letal median ( LD50 ) ialah dosis yang menimbulkan kematian
pada 50 % individu, sedangkan TD50 ialah dosis toksik 50 %.
Dalam studi farmakodinamik di laboratorium, indeks terapi suatu obat dinyatakan dalam rasio
berikut :
Indek terapi = TD50/ED50 atau LD50/ED50
Akan tetapi, nilai-nilai ekstrim tersebut tidak dapat ditentukan dengan teliti karena letaknya di
bagian kurva yang melengkung dan bahkan hampir mendatar (Setiawati dkk, 2007)
II. Tujuan Percobaan
- Untuk mengetahui nilai LD50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai ED50 yang diperoleh dari percobaan,
- Untuk mengetahui nilai indeks terapi yang diperoleh dari percobaan.
III. Prinsip Percobaan
Pemberian Luminal Natrium 0,7% dengan variasi dosis 40 mg/kgBB, 80 mg/kgBB, 160
mg/kgBB, 320 mg/kgBB dan pemberian Luminal Na 2% dengan dosis 640 mg/kgBB secara
intraperitonial berdasarkan berat badan hewan percobaan untuk mengetahui respon obat dengan
pengamatan setiap interval waktu 10 menit selama 90 menit dan menentukan indeks terapi.
5.3. Flowsheet
Mencit I pemberian Intraperitoneal, Luminal Na 0,7 %, dosis 40 mg/Kg BB
Mencit
Ditimbang dan ditandai
Dihitung dosis pemberiannya
Diinjeksikan spuit yang telah berisi obat ke rongga peritonial
Didesak larutan obat keluar dari alat suntik
Diamati respon yang terjadi pada mencit selang waktu 10 menit selama 90 menit
HasilDihitung LD50, ED50 dan indeks terapi
Mencit II
berat badan = 18,7 g
dosis Luminal Na = 80 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit III
berat badan = 36,7 g
dosis Luminal Na = 160 mg/kgBB
konsentrasi = 0,7%
Mencit IV
berat badan = 18,5 g
dosis Luminal Na = 320 mg/kgBB (Intraperitoneal)
konsentrasi = 0,7%
Mencit V
berat badan = 19,6 g
dosis Luminal Na = 640 mg/kgBB
konsentrasi = 2%
Perhitungan ED 50
Log ED 50 = a-b ( pi 0,5)
Dimana : a adalah log dosis terendah yang masih dapat memberikan respon 100% tiap
kelompok.
b adalah logaritma dosis yang berurutan.
a = log 40 = 1,602
b = log80 log40 = 0,301
Pi = 1
Log ED50 = 1,602 0,301(1-0,5)
= 1,4515
Maka ED 50 = 28,28 mg/kgBB
Pada percobaan ini konsentrasi Luminal Na yang diberikan pada mencit yaitu 0,7% diberikan
pada mencit I sampai mencit yang ke IV dan konsentrasi 2% diberikan pada mencit V, dengan
variasi dosis dari mencit I-V secara berurutan 40, 80, 160, 320, dan 640 (mg/kgBB). Pada mencit
V diberikan konsentrasi 2% karena jika diberikan pada konsentrasi yang sama dengan yang
lainnya akan didapatkan volume sediaan yang cukup besar, sehingga tidak mungkin untuk
menginjeksikannya pada mencit yang ukuran badannya relatif kecil. Disini memang kita melihat
faktor konsentrasi tidak begitu menentukan respon obat. Dalam diktat kuliah farmakokinetika
(Azizah Nasution), disana terdapat bahwa besarnya respon obat yang dihasilkan tergantung pada
jumlah obat yang berikatan dengan reseptor, dimana jumlah obat yang berikatan dengan reseptor
ini sebanding dengan jumlah obat bebas dalam plasma.
Penentuan respon dan penentuan indeks terapi Luminal Natrium 0,7% dan 2% yang diujikan
pada hewan mencit diperoleh dosis terendah yang memberikan efek tidur ataupun gerak lambat
yaitu 80 mg/kg BB, dosis ini digunakan untuk menentukan ED 50. Pada peningkatan dosis 160
mg/kg BB dan 320 mg/kg BB menunjukkan efek toksik yang dapat dilihat dengan depresi
pernafasan dan pingsannya beberapa ekor mencit. Dan peningkatan dosis yang dilakukan sampai
640 mg/kg BB memberikan efek letal pada 3 ekor mencit, dan pada 2 ekor yang lain hanya
smpai batas pingsan dalam rentang waktu 90 menit tersebut. Efek suatu senyawa obat tergantung
pada jumlah pemberian dosisnya. Jika dosis yang diberi di bawah titik amabang (subliminsal
dosis), maka tidak akan ada didapatkan efek. Respon tergantung pada efek alami yang dapat
diukur. Kenaikan dosis mungkin akan meningkatkan efek pada intensitas tersebut. Seperti itu,
efek obat antipiretik atau hipotensi dapat ditentukan tingkat penggunaannya, dalam arti bahwa
luas (range) temperatur badan dan tekanan darah dapat diukur (Lullmann, 2000).
Menurut Tan Hoan Tjay dan Kirana Rahardja (2002) dalam buku Obat-Obat Penting, senyawa
turunan barbiturat seperti Luminal bila digunakan sebagai sedativ-hipnotika memiliki range
terapi yang relatif agak lebar (15-30) mg memberi efek sedativ dan 100 mg atau lebih memberi
efek hipnotik) walaupun tidak seluas range terapi obat-obat bebas.
Ketidaksesuaian ini kemungkinan dapat disebabkan oleh variasi biologis pada mencit yang
digunakan sebagai hewan percobaan seperti kondisi stress, dan prosedur pemberian Luminal
yang menggunakan jarak dosis dengan logaritma lebar (dosis 320 mg/kgBB telah menunjukkan
efek toksik yang hebat, dimana mencit mengalami depresi pernafasan berat (bernafas satu-satu)
dan tidak bereaksi sama sekali atas gangguan apapun). Kemungkinan, pada dosis 320 mg/kgBB
mencit telah mengalami keadaan koma/vegetatif (entering a comatose state), sehingga pemberian
kelipatan log dosis berikutnya (640 mg/kgBB) adalah terlalu lebar jaraknya dari dosis toksik.
Selain itu, menurut Bertram Katzung (2001) dalam buku Farmakologi Dasar dan Klinis,
penentuan indeks terapeutik tidak selalu memiliki tingkat kepercayaan 100% dalam menentukan
tingkat keamanan suatu obat yang digunakan, baik dalam laboratorium ataupun secara klinis.
Percobaan-percobaan obat sering menunjukkan suatu rentang dosis obat yang biasanya efektif
dengan suatu (tetapi kadang-kadang tumpang tindih) dengan rentang lain dari dosis-dosis yang
mungkin toksik. Walaupun pernyataan ini lebih relevan pada manusia daripada hewan, Katzung
menekankan bahwa perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh adanya variabilitas biologis,
maka tidak tertutup kemungkinan kekurangtepatan ini terjadi juga pada hewan, dalam hal ini
mencit.
Daftar Pustaka
Katzung,R-Bertram G., BASIC & CLINICAL PHARMACOLOGY, 9th Edition, Halaman 42-45
(Dalam bentuk Digital Text Book).
Mycek, Mary J., (2001), FARMAKOLOGI ULASAN BERGAMBAR, Edisi 2, Widya Medika:
Jakarta, Halaman 21-23.
Walker, Roger & Clive Edwards, (2003), CLINICAL PHARMACY AND THREPEUTICS,
Third Edition, Churchill Livingstone: Edinburgh, Halaman 8.
http://www.kalbe.co.id
http://www.majalah-farmacia.com
http://www.spiritia.or.id
ANTAGONIS OBAT
I. Pendahuluan
Reseptor muskarin berada di neuron postganglion dan dapat dalam minimal 3 subtipe, yakni
resptor M1, M2 dan M3. Ketiga jenis reseptor ini bila dirangsang memberikan efek yang
berlainan. Dimana M1 pada neuron mengalami aktivasi dan pada ganglion simpatis bila
dirangsang akan terjadi pelepasan noradrenalin lebih banyak. M2 pada miokard terjadi kontraksi
yang makin besar dan pada jaringan nodus bila distimulasi akan menyebabkan bradikardia. Pada
M3 yang terdapat pada kelenjar eksokrin terjadi penyaluran AV menjadi lebih kecil, pada ileum
terjadi sekresi dan pada pembuluh terjadi relaksasi langsung karena kontraksi menyebabkan via
endotel mengalami relaksasi (Tan Hoan Tjay, 2002).
Agonis reseptor muskarinik umumnya berbentuk suatau senyawa amonium kuartener. Contohnya
antara lain adalah pilokarpin, arekolin, dan karbakol; mereka bersifat tidak selektif terhadap
subtipe reseptor muskarinik. Senyawa-senyawa tersebut tidak digunakan secara klinis, efeknya
adalah salivasi berlebihan dan berkeringat. Agonis lain, oksotremorin bahkan menyebabkan
tremor, sehingga digunakan dalam penelitian untuk membuat suatu model penyakit parkinson.
Agonis lain yang sedang dikembangkan adalah xanomelin dan talsaklidin untuk pengobatan
penyakit Alzheimer. Diketahui, penyakit Alzheimer ditandai dengan kemunduran kognisi dan
memori yang disebabkan karena defisiensi asetilkolin di otak. Karena itu, salah satu terapinya
adalah dengan mengaktifkan reseptor asetilkolin yang terkait (M1) dengan suatu agonis (Z.
Ikawati, 2006).
Obat atropin dan skopolamin bekerja menyekat reseptor muskarinik yang menyebabkan
hambatan semua fungsi muskarinik. Atropine, alkaloid belladonna, memiliki afinitas kuat
terhadap reseptor muskarinik, dimana obat ini terikat secara kompetitif, sehingga mencegah
asetilkolin terikat pada tempatnya di reseptor muskarinik. Atropine menyekat reseptor
muskarinik baik di sentral maupun di saraf tepi. Kerja obat ini secara umum berlansung sekitar 4
jam kecuali bila diteteskan ke dalam mata, maka kerjanya bahkan sampai berhari-hari
Atropine menyekat semua aktivitas kolinergik pada mata, sehingga menimbulkan midriasis
(dilatasi pupil), mata menjadi tidak bereaksi terhadap cahaya dan siklopegia (ketidakmampuan
memfokus untuk untuk penghilatan dekat). Pada pasien dengan glaukoma, tekanan intaokular
akan meninggi secara membahayakan. Pada individu yang lebih tua, pemakaian atropine dapat
menimbulkan midriasis dan siklopegi dan keadaan ini cukup gawat karena dapat menyebabkan
serangan glaukoma berulang setelah menjalani kondisi tenang ( Mary J.Mycek, 2001).
V. Metode Percobaan
5.1. Alat dan Bahan :
5.1.1. Alat :
- Timbangan elektrik
- Botol tetes
- Jangka sorong
- Stopwatch
- Lup (kaca pembesar)
- Flashlight (senter)
5.1.2. Bahan :
- Kelinci
- Pilokarpin 1%
- Atropin 1%
Kelinci
Kelinci
6.3. Pembahasan
Pada percobaan, untuk dapat melihat antagonis obat, obat yang pertama diberikan pada mata
kelinci adalah pilokarpin. Dalam suatu konsentrasi agonis tertentu, peningkatan konsentrasi
antagonis kompetitif secara progresif menghambat respon dari agonis, sedangkan konsentrasi-
konsentrasi antagonis yang tinggi akan mencegah respons secara keseluruhan. Sebaliknya
konsentrasi agonis yang lebih tinggi, yang cukup, dapat mengatasi efek dari pemberian
konsentrasi antagonis secara keseluruhan, yaitu Emax untuk agonis tetap sama pada setiap
konsentrasi antagonis tertentu. Karena antagonisme bersifat kompetitif, keberadaan antagonis
meningkatkan konsentrasi agonis yang dibutuhkan untuk pemberian suatu tingkatan respon
tertentu, dan kemudian kurva konsentrasi-efek agonis bergeser ke kanan. Menurut Katzung
beberapa antagonis reseptor mengikat reseptor dengan cara yang bersifat ireversibel, atau hampir
ireversibel. Afinitas antagonis reseptor dapat demikian tinggi sehingga untuk tujuan praktis,
resptor tersebut tidak dapat lagi berikatan dengan agonis. Antagonis lain dalam kelompok ini
menghasilkan efek yang ireversibel karena setelah berikatan pada reseptor, antagonis tersebut
membentuk ikatan-ikatan kovalen dengannya. Setelah kedudukan reseptor-reseptor pada proporsi
yang besar oleh antagonis jenis ini, jumlah reseptor yang tidak diduduki bisa sedemikian rendah
sehingga agonis dengan konsentrasi tinggi tidak dapat mengatai antagonisme yang ada, dan
respons agonis yang maksimal tidak dapat dicapai.
Berdasarkan percobaan didapat hasil bahwa pemberian tetes mata pilokarpin sebanyak 2 tetes
menghasilkan efek miosis, yaitu mengecilnya diameter pupil mata hewan percobaan (kelinci).
Hal ini adalah sesuai dengan teori, karena kerja pilokarpin sebagai obat golongan agonis
muskarinik (agonis kolinergik yang sifatnya menyerupai asetilkolin), yang dapat menurunkan
kontraksi otot siliaris dan tekanan intraokuler bola mata. Sesuai dengan pendapat Tan Hoan Tjay
(2002), obat golongan kolinergik seperti pilokarpin dapat menimbulkan penurunan kontraksi otot
siliaris mata sehingga menimbulkan efek miosis dengan cepat, serta merangsang sekresi kelenjar
yang terikat pada kelenjar keringat, mata dan saliva. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan
pengaruh rute pemberian (tetes mata) dan dosis obat yang diberikan.
Selain itu, pada pemberian tetes mata atropin dengan jumlah yang sama pada kelinci, segera
terjadi efek yang berlawanan dengan pilokarpin, yaitu terjadi efek midriasis (dilatasi pupil mata)
sehingga diameter pupil mata kelinci yang mengecil kembali membesar. Sementara kelinci
kontrol yang hanya diberi pilokarpin tanpa pemberian atropin, pupil matanya tetap mengalami
miosis. Ini sesuai dengan pendapat Mary J. Mycek, dkk (1997) bahwa kerja atropin adalah
menyekat semua aktivitas kolinergik mata.
Pada pengujian refleks cahaya mata kelinci, diperoleh hasil bahwa setelah pemberian pilokarpin,
refleks mata kelinci terhadap cahaya menjadi lebih cepat daripada respon normal (kelinci
berkedip dengan cepat), hal ini sesuai dengan teori bahwa pilokarpin menimbulkan miosis dan
menyebabkan peningkatan kepekaan mata terhadap cahaya. (Kemungkinan peningkatan
kepekaan disebabkan efek miosis, pengecilan diameter pupil menyebabkan pengurangan cahaya
yang dapat melewati pupil untuk sampai ke retina, sehingga untuk mengkompensasi hal ini, mata
meningkatkan kepekaannya terhadap cahaya).
Namun pada pengujian refleks cahaya setelah pemberian atropin, hasil yang diperoleh agak
kurang sesuai dengan teori, dimana menurut Mycek, kerja atropin adalah menyekat semua
aktivitas kolinergik mata dan seharusnya mata menjadi tidak bereaksi sama sekali terhadap
cahaya (tidak ada kedipan mata). Namun dari percobaan diperoleh bahwa kelinci masih
menunjukkan refleks terhadap cahaya, walaupun refleks menjadi lambat. Selama percobaan
terlihat bahwa refleks mata kelinci makin melambat seiring waktu, dan kemudian sekitar menit
ke-30, refleks mata kelinci sedikit menjadi lebih cepat, walaupun hal ini kurang terlihat dengan
pengamatan visual saja, dan mungkin saja dipengaruhi oleh subjektivitas si pengamat.
Kemungkinan ketidaksesuaian ini dipengaruhi oleh dosis atropin yang diberikan, dimana dosis
yang diberikan sedikit kurang sehingga tidak semua reseptor pilokarpin terokupasi oleh atropin.
Hal ini juga dapat disebabkan oleh cara pemberian yang kurang baik, sehingga mengakibatkan
tidak semua obat mengenai bola mata.
VII. Kesimpulan dan Saran
7.1. Kesimpulan
- Pemberian pilokarpin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek miosis (mengecilnya
diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka
sorong, serta peningkatan refleks mata terhadap cahaya yang ditandai dengan kecepatan mata
berkedip.
- Pemberian atropin secara tetes mata pada kelinci menghasilkan efek midriasis (membesarnya
diameter pupil mata) yang dapat dilihat secara visual dan diukur dengan alat bantu jangka
sorong, serta penurunan refleks mata terhadap cahaya, yang ditandai dengan perlambatan
kedipan mata (walaupun secara teori harusnya tidak ada refleks cahaya).
- Atropin dan pilokarpin merupakan obat-obat yang memiliki efek antagonisme, dalam hal ini
antagonis kompetitif. Mekanisme kerjanya ialah atropin merupakan antagonis yang bekerja pada
organ yang sama (reseptor yang sama) dengan pilokarpin, yaitu reseptor muskarinik, dimana
atropin bekerja dengan cara menginhibisi pilokarpin dari menduduki reseptor, yang dibantu oleh
afinitas atropin-reseptor yang lebih kuat. Atropin menduduki reseptor tetapi tidak menimbulkan
aktivitas intrinsik. Antagonis kompetitif memiliki sifat reversibel sehingga apabila dosis dari
agonis dapat ditingkatkan, agonis tersebut dapat kembali menduduki reseptor.
7.1. Saran
- Sebaiknya pengukuran diameter pupil mata kelinci dan pengamatan refleks cahaya dilakukan
oleh satu praktikan saja, untuk menghindari variasi pengamatan.
- Sebaiknya pemberian obat lebih memperhitungkan dosis dan faktor kesalahan pemberian
- Sebaiknya pengukuran dilakukan dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi, dengan
mengusahakan jarak pengukuran yang hampir sama untuk setiap pengukuran, sehingga respon
farmakologis lebih mudah diamati.
Daftar Pustaka
Kumar, Vinay, dkk, (2005), (Robbins and Cotran Pathologic Basis Of Disease), Seventh
Edition, Elsevier Inc: USA, hal 1486 (e-book version of the text).
S.B, Zunilda, (1995), Pengantar Farmakologi dalam buku Farmakologi Dan Terapi, Edisi
Keempat, Editor: S.G Ganiswara,Jakarta: Fakutas Kedokteran Universitas Indonesia, halaman
18-19.
Tan, Hoan, Tjay., & Kirana R., (2002), Obat-Obat Penting, Edisi Kelima, Cetakan Kedua,
Jakarta: Gramedia, halaman 47.
Anonim,www.medicastore, 2006
www.sinarharapan.co.id.htm
(Dr.NicoA.Lumenta,K.Nefro, www.sinarharapan.co.id.2002htm