Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI HIDUNG
1. HIDUNG LUAR
Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung
luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang,Nyang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan
yairg paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah
aperfura piriforrnis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan
hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus
maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh
prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang
etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus maksilaris medial
embrio yang rneliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari
hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan,
dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis tengah serta
berfusi pula dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah
hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis
inferior. Lobulus menufup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh
kolurnela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung.

Gambar 1. Bagian Luar Hidung


2. HIDUNG DALAM
Struktur ini membentang dari os internun di sebelah anterior hingga koana di
posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan
struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung.
Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka dengan rongga udara
yang tak teratur di antaranya-meatus superior, media dan inferior.

Gambar 2. Struktur Anatomi Dinding lateral Hidung


Duktus nasolakrimalis berrnuara pada meatus inferior di bagian anterior.
Hiatus semilunaris dari meatus lnedia merupakan muara sinus frontalis,
etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus etrnoidalis posterior
bermuara pada meafus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada
resesus sfenoetmoidalis,

Gambar 3. Dinding lateral diperlihatkan tanpa konka. Muara sinus paranasalis, demikian pula duktus lakrimalis
dapat terlihat membuka pada meatus yang bersesuaian.
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di
sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etrnoidalis di sebelah atas, vorner
dan rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari
krista maksial dan krista palatine.

Gambar 4. Septum nasi dan Struktur didekatnya

3. NASOFARING
Nasofaring merupakan suatu ruang atau rongga yang berbentuk kubus yang
terletak di belakang hidung. Rongga ini sangat sulit untuk dilihat, sehingga dahulu
disebut rongga buntu atau rongga tersembunyi. Batas-batas rongga nasofaring, di
sebelah depan adalah koana (nares posterior). Sebelah atas, yang juga merupakan atap
adalah basis cranii. Sebelah belakang adalah jaringan mukosa di depan vertebra
servikal. Sebelah bawah adalah ismus faring dan palatum mole, dan batas lainnya
adalah dua sisi lateral.
Gambar 5. Anatomi Hidung dan Nasofaring Tampak Samping

Gambar 6. Anatomi Nasofaring Tampak Belakang


Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah:
Adenoid atau Tonsila Lushka : Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang
dari 13 tahun. Pada orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring : Struktur ini berupa lekukan kecil yang
merupakan tempat predileksi fibroma nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
Torus Tubarius : Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii
(ostium tuba)
Fosa Rosenmulleri : Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus
tubarius. Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut
sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau pergantian
epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat pergantian ini dianggap
merupakan predileksi terjadinya keganasan nasofaring.
Fossa pterigopalatina adalah lekukan medial fissura pterigomaksilaris
yang terletak tepat di bawah puncak orbita antara prosesus pterigoideus dan
posterior maksila. Batas medialnya adalah pelat tegak lurus dari tulang palatina.
Hal ini penting karena menghubungkan beberapa ruangan dan dapat memfasilitasi
penyebaran patologi dari angiofibroma nasofaring.
Fossa pterigopalatina berhubungan ke superior dengan orbita melalui
bagian posterior dari fissura orbitalis inferior. Foramen rotundum terbuka ke
dalamnya, disisi superior, menghubungkannya dengan fossa kranialis media.
Disisi lateral, fossa pterigopalatina berhubungan secara bebas dengan fossa
infratemporalis. Disisi medial fossa pterigopalatina berhubungan dengan rongga
hidung melalui foramen sphenopalatina pada pelat tegak lurus dari tulang
palatina, dan dengan rongga mulut melalui kanalis palatina mayor, yang brejalan
disisi inferior antara tulang palatina dan maksila.
Fossa pterigopalatina berisi cabang maksilaris dari saraf kranialis kelima,
yang berjalan melalui foramen rotundum dan ke dalam orbita melalui fisura
orbilatis inferior. Fossa pterigopalatina juga berisi segmen pterigopalatina dari
arteri maksilaris, yang membuat loop karakteristik dan memberikan dari cabang
ke fossa kranialis media dan infratemporalis, ke rongga hidung, palatum dan
faring.
4. SUPLAI DARAH
Cabang sfenopalatina dari arteri maksilaris interna menyuplai konka, meatus,
dan septum. cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai
sinus fronlalis dan etmoidalis serta atap hidung. Sedangkan sinus maksilaris
diperdarahi oleh suatu cabang arteri labialis superior dan cabang infraorbitalis serta
alveolaris dari arteri maksilaris interna, dan cabang faringealis dari arteri maksilaris
interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suatu pleksus
kavernosus yang rapat di bawah membrana rnukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas
konka media dan inferior, serta bagian bawah septum di mana ia membentuk jaringan
erektil. Drainase vena terutama melalu vena oftalmika, fasialis anterior dan
sfenopalatina.

Gambar 7. Suplai darah dinding lateral hidung' Arteri etmoidalis merupakan cabang-cabang arteri oftalmika yang
berasal dari arteri karotis interna. Sedangkan arteri sfenopalatina dan palatina mayor merupakan cabang terminal
dari arteri karotis eksterna.

Gambar 8. Suplai darah septum nasi. Di samping pembuluh yang menyuplai dinding lateral hidung, cabang-cabang
arteri labialis superior dan arteri palatina juga mencapai septum. Pleksus Kiesselbach merupakan daerah yang sangat
umum mengalami epistaksis.

5. Sistem Limfatik
Suplai limfatik hidung amat kaya di mana terdapat jaringan pembuluh anterior
dan posterior. Jaringan limfatik anterior adalah kecil dan bermuara di sepanjang
pembuluh fasialis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hampir seluruh bagian
anterior hidung-vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik posterior
mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga saluran utama di daerah
hidung belakang superior, media dan inferior. Kelompok superior berasal dari konka
media dan superior dan bagian dinding hidung yang berkaitan, berjalan di atas tuba
eustakius dan bermuara pada kcle njar limfe retrofaringea. Kelompok media, berjalan
di bawah tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian
dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Kelompok inferior berasal
dari septum dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang
penbuluh jugularis interna.

Gambar 9. Drainase limfatik hidung dan sinus. Jaringan limfatik anterior mengurus
bagian luar hidung dan daerah prekonka lewat kelenjar- kelenjar pada daerah Preaurikularis
dan submandibularis. Jaringan Posterior mengurus mayoritas bagian dalam hidung lewat kelenjar retrofaringea.

6. Suplai Saraf
Yang terlibat langsung adalah saraf kranial pertama untuk penghiduan, divisi
oftalmikus dan maksilaris dari saraf trigeminus untuk impuls aferen sensorik lainnya,
saraf fasialis untuk gerakan otot-otot pernapasan pada hidung luar, dan sistem saraf
otonom. Yang terakhir ini terutama rnelalui ganglion sfenopalatina, guna mengontrol
diameter vena dan artcri hidung, dan juga produksi mukus]dengan demikian dapat
mengubah pengaturan hantaran, suhu dan kelen.rbaban atiran udara.
Gambar 10. Suplai saraf hidung.

B. ANGIOFIBROMA NASOFARING
1) DEFINISI
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring
yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas. Karena mempunya
kemampuan untuk mendestruksikan tulang dan meluas ke jaringan sekitar, seperti
sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah dan sangat
sulit dihentikan.
2) EPIDEMIOLOGI
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) menyumbang 0,05% dari semua
tumor kepala dan leher. Sebuah frekuensi 1: 5,000-1: 60.000 pada pasien THT telah
dilaporkan. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) terjadi secara eksklusif
pada laki-laki. Wanita dengan tumor nasofaring juvenile (JNA) harus menjalani tes
genetik. Serangan yang paling umum pada dekade kedua; kisaran adalah 7-19 tahun.
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) jarang terjadi pada pasien yang lebih
tua dari 25 tahun
3) ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Etiologi dari JNA masih sulit dipahami. Penelitian membuktikan bahwa tidak
ada hubungan antara virus Epstein-Barr dan Human Herpes-8 dengan kejadian JNA.
Selektivitas jenis kelamin dari JNA dan usia insidensi yang relatif muda memberi
kesan keterlibatan hormon. Kelainan hormon telah dilaporkan pada pasien dengan
JNA, reseptor androgen dan estrogen ditemukan pada jaringan tumor, namun
keterlibatan hormone tersebut masih kontroversial. Penelitianpenelitian terbaru kini
ditujukan untuk menganalisis perubahan genetik dan molekuler, tetapi etiologi dan
patogenesisnya masih belum diketahui hingga kini.
Penelitian imunohistokimia baru-baru ini menunjukkan bahwa V asular
Endothelial Growth Factor (VEGF), dengan Hypoxia Inducible Factor (HIF-1)
sebagai komponen regulator transkripsi dan faktor proangiogenik terdapat di sel
stroma JNA, mendukung teori bahwa pertumbuhan pembuluh darah dikendalikan
oleh faktor pertumbuhan yang berasal dari unsur stromal.
Adanya mutasi b-catenin pada JNA dan ekspresi b-catenin nuklear pada
nukleus dari sel stromal menimbulkan hipotesis bahwa komponen stromal adalah
kunci dari elemen neoplastik pada JNA.
Analisis genetik JNA mengklarifikasi beberapa teori tentang abnormalitas
genetik dan membuktikan adanya peran hormon androgen pada JNA. Kehilangan
sebagian atau seluruh kromosom Y serta didapatkannya gen A ndrogen Receptor (AR)
sehubungan dengan penambahan jumlah kromosom X, sangat mendukung proses
patofisiologis JNA yang berhubungan dengan androgen sementara b-catenin
berfungsi sebagai protein koaktivator dari reseptor androgen. Teori tersebut ditambah
dengan efek mutasi gen b-catenin yang meningkatkan ekspresi AR telah menjadi
bagian penting dari penjelasan kejadian JNA pada laki-laki muda. Meskipun
demikian, bagaimana JNA berawal, mekanisme sifat yang bifasik (komponen stromal
dan vaskuler) apakah hanya satu komponen saja yang berperan terhadap
pertumbuhan sementara yang lain hanya bystander ataukah keduanya berproliferasi
dan tumbuh bersama, serta insidensi pada laki-laki; hingga saat ini belum ada teori
yang pasti.
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,
pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak sel
yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel akibat
gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen dan gen
penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel.
Gambar 11. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan

Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi sel diatur oleh
gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi.
Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara
patologis.

4) PERLUASAN TUMOR
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi posterior dan lateral
koana pada atap nasofaring. Tumor akan meluas di bawah mukosa sepanjang atap
nasofaring mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah bawah, membentuk
tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan ke arah anterior akan
mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontra lateral dan memipihkan
konka
Pada perluasan ke arah lateral, tumor melebar ke samping ke arah foramen
sfenopalatina. Melalui foramen tersebut tumor masuk ke fossa pterigomaksila,
kemudian lesi akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Tumor akan meluas
terus melalui fisura pterigomaksila masuk ke dalam fossa infratemporal yang akan
menimbulkan benjolan di pipi dan rasa penuh di wajah.
Bila tumor cukup besar akan menonjol ke bagian bawah fossa temporal dan
menimbulkan pembengkakan di daerah zigoma. Biasanya tumor berkembang terus
masuk fisura orbitalis inferior, membuka bagian antero-posterior fossa pterigomaksila
dan masuk ke ujung bawah fissure orbitalis superior. Bila tumor meluas ke daerah ini,
akan menghancurkan ala magna tulang sfenoid dan membentuk pelebaran yang khas
sepanjang tepi bawah lateral fissura orbitalis superior sehingga terjadi proptosis.
Perluasan intrakranial dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan :
Pembesaran tumor di fossa infratemporal dan pterigomaksila akan menghancurkan tulang
yang membentuk pangkal tulang pterigoideus. Daerah ini merupakan tempat bertemunya
korpus dan ala magna tulang sfenoid, sehingga tumor akan terletak di sebelah dura di
fossa serebri media, lateral dari sinus kavernosus dan anterior dari foramen laserum.
Tumor berkembang dari sinus sfenoid melalui destruksi dinding superiornya masuk ke
sinus kavernosus dan atau fossa hipofise. Tumor akan mendorong kelenjar hipofisis ke
satu sisi dan timbul di sela tursika. Hal ini akan menyebabkan kebutaan karena
penekanan kiasma optikus.
Tumor berkembang dari sinus etmoid melalui erosi dinding superiornya masuk ke fossa
serebri anterior.

5) DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan radiologik. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan
histopatologis jaringan tumor pasca operasi. Sebaiknya tindakan biopsi dihindari atau
dilakukan dalam kamar operasi dengan peralatan siap operasi, mengingat bahaya
perdarahan yang biasanya sukar di control.
Diagnosis biasanya dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala - gejala
klinis yang sering ditemukan :
o obstruksi hidung (80-90%) Kebanyakan terutama di tahap awal dan bersifat
progresif
o Epistaksis (45-60%) - Sebagian unilateral, berulang perdarahan yang masif;
epistaksis biasanya parah yang memerlukan perhatian medis
o Sakit kepala (25%) - Terutama jika sinus paranasal yang diblokir dan tumor
mungkin tumor telah mencapai intrakranial.
o pembengkakan wajah (10-18%)
o Gejala lain - unilateral rhinorrhea yang kronis, anosmia, Hiposmia, rhinolalia
(akibat adanya obstruksi hidung yang memudahkan terjadinya penimbunan
secret), tuli, otalgia, pembengkakan langit-langit, deformitas pipi
Pada pemeriksaan fisis, Ditemukan Tanda-tanda
o Nasal massa (80%), atau massa tumor yang konsistensinya kenyal, berbentuk
lobuler, warnanya bervariasi dari abu abu sampai merah muda. Bagian yang
terlihat pada nasofaring biasnya diliputi oleh selaput lendir berwarna keunguan
dan bagian yang meluas ke luar nasofaring berwarna putih atau abu abu.
Mukosa permukaanya licin dan mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan adanya ulserasi.

Gambar 12. Nasoendoskopik dari angiofibroma nasofaring belia.


Massa Orbital (15%)
Proptosis (10-15%)
Tanda-tanda lainnya termasuk otitis serosa karena penyumbatan eustachius
tabung, pembengkakan zygomatic, dan trismus yang menunjukkan penyebaran
tumor ke fossa infratemporal, penurunan penglihatan karena tenting saraf optik
(jarang)
6) DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
Penyebab lain dari obstruksi nasal, (misalnya, polip hidung, antrochoanal polip, teratoma,
encephalocele, dermoid, pembalik papiloma, rhabdomyosarcoma, karsinoma sel
skuamosa)
Penyebab lain epistaksis, sistemik atau lokal
Penyebab lain proptosis atau pembengkakan orbital

7) STUDI PENCITRAAN
Dikarenakan tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional, CT scan, MRI (Magnetik
Resonansi Imaging), serta pemeriksaan arteriografi.
1. Pemeriksaan Radiologik konvensional
Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi foto kepala potongan antero-posterior, lateral
dan posisi waters (foto polos sinus) yang akan terlihat gambaran klasik yang disebut
sebagai tanda Holman Miller yaitu pendorongan prosessus pterigoideus ke belakang,
sehingga fisura pterigo palatina melebar. Akan terlihat juga massa jaringan lunak pada
nasofaring yang dapat mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar
nasofaring.
2. CT scan
CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta
destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. Gambar di bawah ini menunjukkan sejauh mana
tumor. Perluasan ke sinus sphenoid, erosi ke sekitar yang lebih besar, atau invasi ke
fossae pterygomaxillary dan infratemporal. divisualisasikan, seperti pada gambar di
bawah ini.
Gambar 13. Koronal CT scan : lesi mengisi rongga hidung dan sinus ethmoid kiri,
menghalangi sinus maksilaris dan menyimpang septum hidung ke sisi kanan.

Gambar 14. Aksial CT scan lesi yang melibatkan rongga hidung kanan dan sinus paranasal.

3. Magnetik resonansi imaging (MRI)


MRI diindikasikan untuk menggambarkan dan menentukan sejauh mana tumor, terutama
dalam kasus keterlibatan intrakranial. Koronal MRI menunjukkan perpanjangan lesi pada
sinus kavernosus terlihat pada gambar di bawah.
Gambar 15. Koronal MRI scan menunjukkan perpanjangan lesi ke sinus kavernosus.
4. Angiography/Arteriografi
Menunjukkan cabang dari sistem arteri karotis eksternal memperlihatkan
vaskularisasi tumor (94%). Pasokan utama berasal dari arteri maksilaris internal, dan
kadang terdorong ke depan sebagai akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke
anterior. Selain itu massa tumor akan terisi kontras pada fase kapiler dan akan mencapai
maksimum setelah 3 6 detik zat kontras disuntikkan.
Penyelidikan radiografi menyeluruh melalui angiografi sistem karotis bilateral harus rutin
dilakukan sebelum operasi. Kadang - kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar
terjadi thrombosis intravaskuler, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan
mempermudah pengangkatan tumor. Sebuah angiofibroma sebelum dan setelah
embolisasi dapat dilihat pada gambar di bawah.
Pemeriksaan angiografi bertujuan untuk melihat pembuluh darah pemasok utama,
mengevaluasi besar dan perluasan serta residu tumor. Suplai darah dapat dari kedua sisi
leher.

Gambar 16. Angiogram menggambarkan angiofibroma sebelum embolisasi.


Gambar 17. Angiogram menggambarkan angiofibroma setelah embolisasi

8) TEMUAN HISTOLOGIS
Pada pemeriksaan kotor, tumor biasanya sessile, lobulated, karet, dan merah-merah
muda untuk tan-abu dalam penampilan. Dalam kasus yang jarang terjadi, tumor
polipoid atau bertangkai.
tumor nasofaring biasanya dikemas dan terdiri dari jaringan pembuluh darah dan
stroma berserat dengan serat kolagen kasar atau halus Secara makroskopis
merupakan tumor yang
konsistensinya kenyal keras, warnanya bervariasi dari
abu-abu sampai merah muda. Terdapat banyak
pembuluh darah pada mukosa dan tak jarang dijumpai
adanya ulserasi. Pada potongan melintang, tampak
tumor tidak berkapsul, berlobus-lobus, tepinya
berbatas tegas, dan mudah dibedakan dengan jaringan
sekitarnya

Gambar 18. Massa tumor yang telah diangkat

Ketika diperiksa di bawah mikroskop elektron, sediaan tampak campuran jaringan vaskuler
dan stroma jaringan ikat. Komponen vaskuler terdiri atas rongga kecil-kecil berbentuk bintang
(stellate) dan staghorn diantara stroma, endotel selapis. Stroma jaringan ikat sangat selular, inti
ada yang vesicular, kromatin kasar dan mitosis dapat dijumpai.
Gambar 19. Gambaran histopatologis tampak komponen vaskuler diantara stroma jaringan ikat.

9) KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan Chandler

Klasifikasi berdasarkan Session


Klasifikasi berdasarkan Fisch

10) TERAPI MEDIS


terapi hormonal
Reseptor testosteron blocker flutamide dilaporkan mengurangi tahap I dan tumor II
menjadi 44%. Meskipun pengurangan tumor dengan hormon, pendekatan ini tidak
digunakan secara rutin. Schuon et al melaporkan pada analisis imunohistokimia
mekanisme pertumbuhan tumor nasofaring juvenile. [3] Mereka menyimpulkan
bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi remaja angiofibroma (JNA) didorong oleh
faktor-faktor dilepaskan dari fibroblas stroma. Oleh karena itu, penghambatan
faktor-faktor ini mungkin akan bermanfaat untuk terapi dioperasi tumor nasofaring
juvenile (JNA).
Radioterapi
Beberapa pusat telah melaporkan 80 % penyembuhan dengan terapi radiasi.
Namun, kekhawatiran mengenai potensi dampak radiasi membuat terapi radiasi
modalitas nonuseful dalam banyak kasus.
radioterapi stereotactic (yaitu, Gamma Knife) memberikan dosis rendah radiasi ke
jaringan sekitarnya. Namun, pihak yang paling cadangan radioterapi untuk penyakit
intrakranial atau kasus berulang.
Konformal radioterapi di luas angiofibroma juvenile nasofaring (JNA) atau ekstensi
intrakranial memberikan alternatif yang baik untuk radioterapi konvensional
mengenai pengendalian penyakit dan morbiditas radiasi, bahkan dengan penyakit
lanjut. [4, 5]

Terapi bedah
Sebuah rhinotomy lateral, transpalatal, transmaxillary, atau sphenoethmoidal rute
digunakan untuk tumor kecil (Fisch stadium I atau II).
Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor memiliki ekstensi lateral
yang besar.
Pendekatan degloving midfasial, dengan atau tanpa Le Fort osteotomy,
meningkatkan akses posterior ke tumor. (Sebuah studi oleh de Mello-Filho et al dari
40 pasien menunjukkan bahwa JNA dapat berhasil diobati dengan reseksi oleh Le
Fort I osteotomy, dengan operasi yang efektif bahkan ketika tumor telah menyerang
sistem saraf pusat. [6])
Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan Weber-Ferguson sayatan dan
ekstensi coronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan osteotomi midface untuk
akses.
Diperpanjang anterior pendekatan subcranial memfasilitasi en pengangkatan tumor
blok, dekompresi saraf optik, dan paparan dari sinus kavernosa.
Beberapa penulis menganjurkan penggunaan operasi endoskopi intranasal untuk
lesi dengan ekstensi terbatas pada fossa infratemporal. Gambar-dipandu,
endoskopi, laser-assisted juga baru saja digunakan. Hackman et al (2009) 31 kasus
JNA di University of Pittsburgh Medical Center dari tahun 1995 ke tahun 2006. [7]
Sebagian besar tumor benar-benar dipotong menggunakan pendekatan diperluas
endonasal (EEA) sendiri atau dalam kombinasi dengan sayatan sublabial kecil,
menghindari morbiditas terkait dengan pendekatan terbuka lebih besar atau terapi
radiasi pasca operasi.
penghapusan radikal dari JNA besar mungkin sulit karena vaskularisasi ekstrim dan
perluasan ke sinus kavernosus, orbit, fossa tengah, dan anterior fossa. Namun
demikian, sebagian besar JNAs dengan ekstensi intrakranial dapat direseksi dalam
operasi pertama dengan morbiditas minimal melalui degloving wajah dan kombinasi
lebih dari pendekatan endonasal endoskopik diperluas. [8]
Dalam review retrospektif, Battaglia et al (2014) mengevaluasi penggunaan operasi
endonasal endoskopi di reseksi radikal jinak atau nonmetastatic tumor ganas yang
sudah mengembangkan di atau diperpanjang ke fossa infratemporal atau ruang
parapharyngeal atas. [9] Menurut peneliti, hasil, yang berasal dari 37 pasien,
termasuk 20 dengan JNA, menyarankan bahwa murni endoskopi reseksi radikal
endonasal dapat digunakan secara aman untuk mengobati tumor yang dipilih
melibatkan ruang ini.
Dalam sebuah artikel, Cloutier et al (2012) melaporkan pada 72 pasien dioperasi
selama periode 10-tahun. [10] Mereka menyimpulkan bahwa kemajuan dalam
operasi tengkorak-dasar diperbolehkan untuk perluasan indikasi untuk
menghilangkan endoskopi JNA. Pendekatan ini memiliki hasil yang lebih baik dalam
hal kehilangan darah, tinggal di rumah sakit, dan komplikasi. Tentu saja,
pendekatan eksternal harus dipertimbangkan hanya untuk kasus-kasus yang dipilih
karena ekstensi intrakranial besar atau saraf optik atau arteri karotid internal
Entrapment oleh tumor.
Dalam meta-analisis dari hasil bedah endoskopi JNA, meliputi 92 studi dan total 821
pasien, Khoueir et al (2014) menghitung bahwa rata-rata kehilangan darah operasi
dari operasi JNA endoskopi adalah 564,21 mL. Perkiraan efek acak untuk
kekambuhan, komplikasi, dan tumor sisa yang 10%, 9,3%, dan 7,7%, masing-
masing. Para penulis menyatakan bahwa pengobatan endoskopik saat ini dianggap
sebagai terapi pilihan untuk JNA tetapi juga berkomentar bahwa mereka tidak dapat
menemukan secara acak, studi terkontrol untuk analisis mereka. Mereka
menyarankan bahwa penelitian masa depan mengusulkan baru, pendekatan
endoskopi -. Berdasarkan sistem klasifikasi [11]
Yi et al (2013) menggambarkan sebuah sistem klasifikasi yang disederhanakan dan
pilihan manajemen untuk tumor nasofaring remaja, sebagai berikut [12]:
Tipe I meliputi tumor lokal pada rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, atau
pterygopalatine fossa. The transnasal pendekatan rongga dengan bimbingan
endoskopi cocok untuk jenis ini.
Tipe II adalah jika lesi meluas ke fossa infratemporal, wilayah pipi, atau rongga
orbital, dengan anterior dan / atau minimal ekstensi fossa media tapi utuh dura
mater. rongga pendekatan fossa-hidung transantral-infratemporal gabungan handal
untuk jenis II.
Tipe III adalah calabashlike, lobus tumor besar di fossa media. Untuk jenis tumor
III, penghapusan lengkap menantang. Sebuah gabungan pendekatan ekstrakranial
dan intrakranial sering dibutuhkan. Radioterapi berguna untuk mengobati bagian
intrakranial residual.

Detail pra operasi


embolisasi pra operasi biasanya telah dilakukan melalui rute transarterial
menggunakan berbagai bahan emboli. Hal ini dicapai dengan menggunakan zat
microparticulate reabsorbable (misalnya, gelfoam, polivinil alkohol, mikrosfer
dekstran) atau microparticulates nonabsorbable (misalnya, Ivalon, Terbal).
Membatasi kehilangan darah selama operasi sangat penting. Bantuan Endoskopi
telah digunakan untuk tusuk tumor transnasal langsung dan embolisasi
intratumoral menggunakan agen emboli cairan Onyx. [13]
11) KOMPLIKASI
angiography pra operasi dan embolisasi meminimalkan kehilangan darah
intraoperatif, dan pergeseran saat dalam perawatan untuk eksisi endoskopik pada
kasus tertentu mengurangi morbiditas perioperatif. [14] Low-grade koagulopati
konsumsi dapat mempersulit kecil tumor nasofaring juvenile (JNA) dan menyiratkan
bahwa skrining koagulasi pra operasi mungkin memiliki peran dalam hemostasis
perioperatif.
transformasi maligna telah dilaporkan pada 6 kasus; 5 pasien ini diobati dengan
radioterapi, menurut sebuah studi oleh Makek et al. [15]
kebutaan sementara telah dilaporkan sebagai hasil dari embolisasi, tetapi
merupakan kejadian langka. Osteoradionekrosis dan / atau kebutaan karena
kerusakan saraf optik dapat terjadi dengan radioterapi.
Fistula dari langit-langit di persimpangan langit-langit lunak dan keras dapat terjadi
dengan pendekatan transpalatal tapi dicegah oleh pelestarian pembuluh palatine
yang lebih besar selama elevasi penutup.
Anestesi pipi adalah sering terjadi dengan sayatan Weber-Ferguson.
Sebuah kasus yang jarang terjadi epistaksis besar-besaran dari pecahnya spontan
saluran intracavernous dari internal carotid arteri 20 hari setelah reseksi dari JNA
raksasa dengan midface degloving baru-baru ini dilaporkan. [16] Coils secara
selektif digunakan untuk menutup jalan kapal dan untuk menghentikan
pendarahan.
12) HASIL DAN PROGNOSIS
Kehadiran tumor di fossa pterygoideus dan basisphenoid, erosi clivus itu, ekstensi
intrakranial, pengumpan dari arteri karotis internal, usia muda, dan tumor residu
yang faktor risiko yang terkait dengan kambuhnya tumor nasofaring remaja.

Anda mungkin juga menyukai