Anda di halaman 1dari 162

DAN KEMATIAN MAKIN AKRAB

Sanksi Pelanggaran Pasal 44:


Undang-Undang Nemer 7 Tahun 1987 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nemer 6 Tahun 1982
Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-
edarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/alau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
AFRIKA SELATAN

Kristos pengasih putih wajah.


- kulihat dalam buku Injil bergambar
dan area-area gereja dari marmar -
Orang putih bersorak: "Hossannah!"
dan ramai berarak ke sorga

Tapi kulitku hitam


Dan sorga bukan tempatku berdiam
bumi hitam
iblis hit am
dosa hitam
Karena itu:
aku bumi lata
aku iblis laknat
aku dosa melekat
aku sampah di tengah jalan

Mereka membuat rel dan sepur


hotel dan kapalterbang
Mereka membuat sekolah dan kantorpos
gereja dan restoran

Tapi tidak buatku


Tidak buatku

Diamku di batu-batu pinggir kota


di gubug-gubug penuh nyamuk
di rawa-rawa berasap
Mereka boleh memburu
Mereka boleh membakar
Mereka boleh menembak

Tetapi istriku terus berbiak


seperti rumput di pekarangan mereka
seperti lumut di tembok mereka
seperti eendawan di roti mereka

9
Dari bumi kita berasal
ke bumi kita kembali! -
Dan dicabut nyawa perempuan dosa satu
per satu seperti mencabut rumput kering dari ladang gersang.
Tidak ada yang tinggal.
Lalu kembali ia merangkak ke bukit karang
dan menyerah lagi ke dalam
tidur seribu malam
seribu dan seribu dan
seribu. - Bumi adalah ibuku

21
GAMBAR NABI TERGANTUNG DI KAMAR
'throUlfh a Iflass darllly'

Gambar nabi tergantung di kamar


- berapa lama? -
pudar kehilangan warna
Lumut dan angin di jendela menganiaya
bentuk rupa
Sejak badai di hutan purba merusak pondokku
mata yang memandang dari pigura
sayu tak berdaya
Amboi, baik datang seperti sediakala
- sebagai laba-laba-
menembus dinding kaca
dan mengisap darah dari dadaku
Aku akan gementar duduk kenikmatan

31
AMBARAWA 1989

Sebelum tidur istriku menyulam


di bawah lampu temaram. Sebuah bunga
biro dengan la"tar kelabu yang akan diberi
pigura dan digantungkan di dinding.
Aku menyempatkan diri mengikuti
berita terakhir di koran yang belum
dapat kubaca pagi hari.
Kami sudah lupa bahwa di kota ini
pernah teIjadi revolusi dengan kekejaman
dan kematian. Keluarga lari mengungsi
ke gunung dan aku turut bergerilya
mengejar Belanda. Berapa peluru sudah
kutembakkan di malam buta menyerang
musuh yang menghadang dengan senjata.
Pikiran tegang selalu oleh cemas
dan curiga.
Kini peperangan hanya teIjadi di roman
petualangan yang kubaca dan yang kulihat
di layar TV, jauh entah di negeri mana.
Nampak tak nyata dan hampir tak bisa
dipercaya.
Ah, biarlah kedamaian berlanjut
begini. Semua - bunga, dinding, lampu,
kursi, istri - terliput dalam kabut
puisi. Suling mengalun menembus
malam. Aku tak tahan lagi melihat darah.

101
MATA PENYAIR

Ketika terbuka jendela, terdengar hiruk-pikuk kohl.. "Ap::!


saja yang sudah kuberikan kepadamu," kata penyair, "kecuali
nyawaku ini yang teraniaya."
Rakyat yang miskin merangsak kemuk::l.. "Kami ingin
matamu!" teriak mereka. "Kami ingin matamu, yang bisa
merobah butir pasir yang tercecer dari karung menjadi emas
di jalan. Beri matamu, matamu!"
Ada yang masih mau membela penyair itu. "Ingat, tanpa
mata penyair menjadi buta!"
Tetapi rakyat yang putusasa tidak peduli. Mereka renggut
mata penyair dari lubang matanya, dan lewat kedua bola
matanya mereka melihat dunia sekelilingnya. Tptapi pasir
yang tercecer tidak menjadi emas. Mereka menjacli kecewa
dan merebus dan melahap kedua bola m::!t::! itu. Dan tidak
teIjadi apa-apa.
Penyair yang buta itu duduk di jendela dim tertawa
menghadap ke kota. Tanpa mata dilihatnya semua beg"itu
indahnya. Begitu indahnya!
KATA PENUTUP
Oleh: Bakdi Soemanto

Walaupun dilahirkan pada tahun 1924, Sub agio Sastro-


wardoyo baru mulai dikenal sebagai penyair pada tahun 1957,
tatkala kumpulan sajaknya terbit pertama kali, yang oleh
Ajip Rosidi (1971) dikatakan bahwa "hanya dalam jumlah
yang sangat terbatas". Linus Suryadi AG (1987) meneatat,
pada masa revolusi Sub agio aktif dalam bidang seni musik
dan melukis. Dari data ini bisa dibayangkan, kepenyairannya
baru muneul belakangan, sesudah kegiatan menyanyi dan
berseni-rupa. Akan tetapi kemudian, puisi tampaknya menjadi
wahana ungkap kehadirannya, yang baginya, paling pas.
Seperti tertulis dalam data biografinya, Subagio juga menulis
sejuinlah buku tentang sastra, kebudayaan umum, dan
bahkan sejumlah eerita pendek. Oleh karena itu, ia juga
dikenal luas sebagai pemikir kritik dan sastra. N amun,
mungkin, pada dasarnya, Sub agio adalah seorang penyair.
Kesejatiannya sangat teras a dalam sajak-sajaknya.
Dalam sebuah risalahnya yang disampaikan di Padang,
"Meneari Jejak Teori Sastra Sendiri", Sub agio (1988) me-
nunjukkan dirinya sebagai seorang yang sangat menguasai
berbagai baeaan tentang teori sastra yang rupanya dibaeanya
lewat berbagai bahasa asing. Namun, seperti tampak dalam
buku Sosok Pribadi dalam Sajak, Subagio (1980), yang dalam
hal ini tampil sebagai ahli sastra, tidak membawakan dirinya
sebagai seorang text book thinker. Dalam telaah puisi-puisi
penyair Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Toto Sudarto
Baehtiar, dan Rendra, ia sarna sekali tidak menyebut teori-
teori yang sangat dikuasainya, tetapi berkonfrontasi langsung
dengan fenomena literer, dan juga melakukan penjelajahan
latar belakang situasi sosialnya serta biografi pengarangnya
(seperti tatkala mengulas puisi Chairil Anwar). Sajak yang
dihadapinya, dengan eara itu, tak berdiri berjarak dan dingin,
tetapi berada hangat dalam dialog lewat suatu perjumpaan-
nya yang pribadi. Dengan demikian, hasilnya adalah ungkap-

137

Anda mungkin juga menyukai