Anda di halaman 1dari 26

HUBUNGAN AIR, TANAH, TANAMAN, DAN ATMOSFER

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Terhadap Perubahan


Lingkungan

Disusun oleh:

1. Husna Rafi Julias (13536)


2. Mursalin Mukdiem (13710)
3. Aji Syahruroji (13866)

Kelompok: 1

Dosen Pengampu: Ir. Suci Handayani, M. P.

DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut Terhadap Perubahan
Lingkungan

Abstrak
Kebakaran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pengelolaan
kawasan hutan. Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dinilai sangat
merugikan, baik dilihat dari segi ekonomi, ekologis maupun politik. Kebakaran
hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sering sekali
terjadi dan dianggap penting sehingga menjadi perhatian lokal maupun global.
Kebakaran lahan gambut dapat terjadi dengan mudah ketika lahan gambut
berada dalam kondisi kering. Lahan gambut dapat kering secara alami ataupun
karena dikeringkan dengan cara pembuatan kanal-kanal yang mengalirkan air
dari rawa gambut ke sungai. Proses kebakaran lahan gambut diawali adanya
penyulutan api yang menyebabkan api bergerak ke segala arah. Dampak
pertama kebakaran hutan dan lahan gambut ialah berpengaruh terhadap
hidrologi. Dampak kedua kebakaran terhadap penurunan kualitas tanah yaitu
berpengaruh terhadap terganggunya sifat fisik tanah, terhadap sifat kimia
tanah, menurun dan/atau hilangnya bahan organik tanah, dan menurun
dan/atau hilangnya biota tanah. Dampak ketiga kebakaran hutan yaitu
terhadap pencemaran udara.

Key words : Kebakaran, gambut, hidrologi, tanah


I. TINJAUAN PUSTAKA
Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang sering
sekali terjadi dan dianggap penting sehingga menjadi perhatian lokal maupun global.
(Cahyono, et al., 2015). Kebakaran hutan menurut Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.195/ Kpts-II/1996 didefinisikan sebagai keadaan di mana hutan
dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang
menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya (Rasyid, 2014). Berdasarkan
sumber penyebabnya, kebakaran hutan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu
kebakaran hutan yang terjadi secara alami dan kebakaran hutan yang terjadi akibat
ulah manusia.
Lahan (land) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua
komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifaat siklis yang berada di atas
dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief,
hidrologi, tumbuhan, dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas
manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya berpengaruh terhadap
penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (FAO,
1976).
Countryman (1975) cit. Widyasari 2008, menyatakan terdapat tiga komponen
penting yang diperlukan untuk setiap api agar dapat menyala dan mengalami proses
pembakaran, yaitu (1) tersedianya bahan bakar yang dapat terbakar; (2) panas yang
cukup untuk digunakan dalam menaikkan temperatur bahan bakar hingga ke titik
penyalaan; (3) diperlukan adanya suplai O2 yang cukup, dalam menjaga proses
pembakaran agar tetap berlangsung dan untuk mempertahankan suplai panas yang
cukup dan memungkinkan terjadinya pembakaran bahan bakar yang sulit terbakar.
Ketiga komponen ini adalah bahan bakar, panas dan O 2 membentuk segitiga api atau
The Fire Triangle (Brown dan Davis 1973 cit. Widyasari 2008) yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Segitiga Api
Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa proses pembakaran merupakan
kebalikan dari proses fotosintesis, yang dapat dijelaskan dengan rumus kimia sebagai
berikut :
Proses Fotosintesis :
6CO2 + 6H2O + Energi Matahari (C6H12O6)n + 6O2
Proses Pembakaran :
(C6H12O6)n + 6O2 + kindling temperature 6CO2 + 6H2O + Energi Panas
Lima fase pembakaran menurut De Bano et al. (1998) dalam Priandi (2006)
meliputi :
1. Fase Pre-ignition
Pada fase ini bahan bakar mulai mengalami pelepasan uap air, CO2 dan gas-gas
yang mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hidrogen (proses
pyrolisis). Dalam proses ini terjadi perubahan reaksi yaitu dari proses exothermic
(memerlukan panas) menjadi endothermic (melepaskan panas).
2. Fase Flaming combustion
Pada tahap ini reaksi eksotermis dapat menaikkan temperatur melebihi 300 -
500C. Pyrolisis melaju dan mempercepat proses oksidasi dari gas-gas yang
mudah terbakar. Gas-gas yang mudah terbakar dan uap yang dihasilkan dari
pyrolisis naik ke atas permukaan bahan bakar, bercampur dengan O2 dan terbakar
selama fase flaming. Api menjadi lebih mudah membesar dan bergerak sesuai
dengan gerakan angin. Seperti massa dari gas yang terbakar dalam fase ini.
Oksidasi gas-gas organik yang tinggi dan gas-gas dalam zona penyalaan
menghasilkan massa terbesar dari produk pembakaran seperti H2O, CO2, SO2, N2
dan NO(x). Fase flaming tidak terjadi pada semua bahan bakar.
3. Fase Smoldering
Fase ini biasanya mengikuti fase flaming combustion di dalam suatu
pembakaran. Pada fase ini, pembakaran yang kurang menyala menjadi proses
yang dominan. Smoldering adalah fase awal di dalam pembakaran untuk tipe
bahan bakar duff dan tanah organik. Laju penjalaran api menurun karena bahan
bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang mudah terbakar. Panas yang dilepaskan
menurun dan suhunya pun menurun, gas-gas lebih terkondensasi ke dalam asap.
4. Fase Glowing
Fase ini merupakan fase akhir dari proses smoldering. Pada fase ini sebagian
besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan
kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengurang. Produk
utama dari fase glowing adalah CO, CO 2 dan abu sisa pembakaran. Pada fase
ini temperatur puncak dari pembakaran bahan bakar berkisar antara 300C -
600C.
5. Fase Extinction
Pada fase ini, api akhirnya padam saat semua bahan bakar yang tersedia telah
dikonsumsi atau pada saat panas yang dihasilkan dalam proses smoldering atau
glowing tidak cukup lagi untuk menguapkan sejumlah air yang diperlukan dari
bahan bakar yang lembab atau basah.
Dari kelima fase tersebut, dapat diringkas menjadi tiga proses pembakaran pada
pohon (Chandler et al. 1983) antara lain :
a. Penyerapan (endoderm) dimana bahan bakar menyerap panas sampai mencapai
titik bakar.
b. Peningkatan suhu disertai penguapan air dan hancurnya molekul jaringan
pohon dan melepaskan kandungannya yang mudah menguap.
c. Pelepasan panas (eksoterm) dimana bahan bakar (selulosa) terbakar melepaskan
panas dan uap air dari pembakaran.

1. Bahan Bakar Hutan


Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991), klasifikasi bahan bakar
berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari :
a. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels) Merupakan bahan bakar serasah (di bawah
permukaan tanah), diff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan
organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat
berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan.
b. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels) Merupakan bahan bakar yang berada
di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa
tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang
berada di lantai hutan.
c. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels) Disebut juga crown fuels atau bahan bakar
tajuk, yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai
tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Contohnya antaralain cabang-cabang pohon,
daun pohon dan semak, pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak
belukar lebih tinggi dari 1 2 meter di atas tanah
2. Klasifikasi Kebakaran Hutan
Menurut Brown dan Davis (1973), ada tiga tipe kebakaran hutan berdasarkan
atas tipe bahan bakarnya, yaitu:
a. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Tipe kebakaran bawah ini biasanya
mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah
permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan
gambut. Kebakaran hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu
terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah.
Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang lalu terjadi di
lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena
berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya
hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran
permukaan.
b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Kebakaran yang biasanya membakar
serasah, tumbuhan bawah, limbah pembalakan dan bahan bakar lainnya yang
terdapat di lantai hutan. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang
paling sering terjadi dalam tegakan hutan. Api membakar serasah, tanaman
bawah, semak-semak dan anakan. Kebakaran permukaan ini biasanya
merupakan tahap awal dari kebakaran tajuk, dengan terbakarnya tanaman
pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat
yang mencapai tajuk pohon.
c. Kebakaran Tajuk (Crown Fire) Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu
tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang
terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian
atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya
api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar atau
karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar,
kulit pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan.
Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai
hutan, sehingga menimbulkan kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit
untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat.
3. Gambut
Lahan gambut adalah bentanglahan tersusun oleh tanah hasil dekomposisi
tidak sempurna dari vegetasi pepohonan tergenang air sehingga kondisinya
anaerobik (tanpa oksigen). Gambut terbentuk dari timbunan sisa tanaman yang
telah mati. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh
kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lain yang menyebabkan
perkembangan biota pengurai rendah. Pembentukan tanah gambut merupakan
proses geogenik yaitu pembentukan tanah oleh proses deposisi dan tranportasi,
berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral umumnya merupakan proses
pedogenik (Hardjowigeno, 1987).
Lahan gambut di Indonesia terdapat di dataran rendah dan dataran tinggi.
Pada umumnya, lahan rawa gambut di dataran rendah terdapat di kawasan rawa
pasang surut dan rawa pelembahan, terletak di antara dua sungai besar pada
fisiografi backswamp, swalle, closed basin, dan coastal plain. Lahan rawa
gambut di dataran tinggi umumnya terdapat di cekungan seperti di Rawa Pening
(Jawa Tengah), Padang Sidempuan (Sumatera Utara), dan Danau Sentanu,
Kapuas Hulu (Kalimantan Barat). Sebagian besar lahan rawa gambut terdapat di
dataran rendah dan hanya sebagian kecil yang terdapat di dataran tinggi
(Subagyo, 1988).
Kebakaran lahan gambut dapat terjadi dengan mudah ketika lahan gambut
berada dalam kondisi kering. Lahan gambut dapat kering secara alami ataupun
karena dikeringkan dengan cara pembuatan kanal-kanal yang mengalirkan air
dari rawa gambut ke sungai. Kebakaran lahan gambut yang terjadi secara alami
tidak berbahaya dan terjadi pada musim kemarau dengan dampak kebakaran
yang sangat kecil. Kebakaran hutan yang terjadi secara alami bahkan dapat
memberikan dampak yang positif karena dapat mengurangi spesies
keanekaragaman hayati yang terlalu dominan sehingga terjadi keseimbangan
ekosistem di hutan atau lahan gambut.
Proses kebakaran lahan gambut diawali adanya penyulutan api yang
menyebabkan api bergerak ke segala arah. Kebakaran yang terjadi di bagian
permukaan sangat dipengaruhi oleh arah dan kecepatan angin. Jika kecepatan
angin tinggi maka kebakaran yang terjadi juga akan semakin besar dan dapat
memicu kebakaran tajuk. Bagian dari pohon yang terbakar dapat diterbangkan
angin dan jatuh ke tempat baru sehingga memicu kebakaran di lokasi lain.
Semakin rendah kadar air pada gambut maka akan semakin cepat laju
pembakarannya. Kebakaran gambut masih bisa terjadi pada kadar air 119% yang
merupakan kadar air kritis kebakaran gambut. Tingkat dekomposisi gambut juga
mempengaruhi keterbakaran gambut, semakin matang gambut (jenis saprik)
semakin sulit terbakar dibandingkan dengan jenis gambut yang belum matang
(jenis fibrik dan hemik). Tinggi muka air akan mempengaruhi kadar air gambut,
sementara curah hujan mempengaruhi tinggi muka air lahan gambut (Saharjo dan
Syaufina, 2004).
Dampak kebakaran hutan dan lahan yang menonjol adalah terjadinya
kabut asap yang menganggu kesehatan dan sistem transpotasi darat, laut dan
udara. Dampak kebakaran hutan terhadap produksi pertanian diduga tidak terlalu
besar karena pembakaran dilakukan untuk penyiapan lahan, kecuali jika
kebakaran mencapai lahan pertanian yang berproduksi. Kebakaran hutan
menghasilkan emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer. Page et al. (2002)
mengestimasi kebakaran hutan pada tahun 1997 telah melepaskan emisi karbon
sebesar 0,81-2,57 Gt yang sebagian besar (60%) berasal dari lahan gambut.

II. DATA

Tabel 1. Luas lahan terbakar menurut provinsi, 2015


Provinsi Ribuan hektar Persen
Sumatra Selatan 608 23
Kalimantan Tengah 429 16
Kalimantan Timur 388 15
Kalimantan Selatan 292 11
Papua 268 10
Kalimantan Barat 178 7
Riau 139 5
Jambi 123 5
Lainnya 186 7
Total 2611 100
Sumber: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, (BPPT); Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Perhitungan staf Bank Dunia

Gambar 2. Luas area terbakar menurut tipe lahan 2015 (ribu ha)
Sumber: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, (BPPT); Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Perhitungan staf Bank Dunia
Tabel 2. Perkiraan kerugian dan kerusakan akibat kebakaran hutan dan kabut asap, Juni-Oktober 2015 (juta dolar AS)
Sumatra Kalimanta Kalimanta Kalimanta Kalimanta Papu
Jambi Riau Total
Selatan n Barat n Selatan n Tengah n Timur a
Pertanian 210 181 1.033 349 523 1.242 1.128 173 4.839
Tan Perkebunan 134 134 260 238 169 1.075 1.006 95 3.112
Tan Pangan 77 47 773 111 355 166 122 77 1.727
Lingkungan Hidup 226 229 1.205 376 387 776 530 523 4.253
Hilangnya keanekaragaman 17 24 72 23 27 33 33 58 287
hayati
Emisi karbon 209 204 1.133 353 360 743 498 465 3.966
Kehutanan 136 304 972 168 698 92 815 746 3.931
Manufaktur & Pertambangan 29 183 133 61 122 14 69 0 610
Perdagangan 184 292 290 120 139 131 108 68 1.333
Transportasi 20 31 81 17 66 111 32 13 372
Pariwisata 10 116 118 54 38 42 16 4 399
Kesehatan 36 22 28 12 24 17 12 1 151
Pendidikan 4 4 9 4 6 5 4 3 39
Biaya pemadaman kebakaran 10 11 49 14 24 35 31 22 197
Total in USD million 866 1.373 3.919 1.176 2.028 2.464 2.766 1.552 16.124
Data diperoleh dari Institut Pertanian Bogor; BPPT; BPS; CIFOR; laporan media;Kementerian Kesehatan; pemerintah daerah;
dan perhitungan staf Bank Dunia dalam laporan the world bank 2016.
III. PEMBAHASAN
Kebakaran merupakan masalah serius yang dihadapi dalam pengelolaan
kawasan hutan. Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dinilai sangat
merugikan, baik dilihat dari segi ekonomi, ekologis maupun politik, misalnya
gagalnya tujuan pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management) atau
tidak terpenuhinya persyaratan ekolabel. Secara ekonomis kebakaran hutan telah
menimbulkan kerugian berupa rusak dan hilangnya sumberdaya hutan, penurunan
potensi hasil hutan kayu dan non kayu, yang merupakan salah satu modal dasar
pembangunan nasional. Selain itu, kebakaran hutan juga dapat menurunkan kuantitas
maupun kualitas sumberdaya alam hayati beserta ekosistem yang berfungsi sebagai
penyangga kehidupan, antaralain dengan berkurangnya keanekaragaman jenis flora
dan fauna sebagai sumber plasma nutfah, kualitas tanah yang semakin menurun,
berubahnya fungsi hidrologis hutan serta pemanasan global. Kerugian lain yang
sangat penting secara politis adalah berupa polusi asap yang mengganggu lingkungan,
tidak hanya di Indonesia tetapi juga dirasakan di negara-negara tetangga (Ginson,
2007).

Dampak Ekologi Kebakaran Hutan dan Lahan


1. Dampak Kebakaran Terhadap Pola Hidrologi
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada hutan
yang menyebabkan terganggunya berbagai fungsi dan manfaat hutan
didalamnya fungsi hidrologi. Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan
didefinisikan sebagai suatu kejadian di mana api membakar bahan bakar
bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas
dan tidak terkendali. Di Indonesia, kebakaran hutan merupakan bencana
tahunan yang hampir terjadi tiap tahun, baik yang terjadi secara disengaja
ataupun tidak sengaja tetapi hampir 99% penyebab kebakaran hutan di
Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, entah itu sengaja dibakar atau
karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian pada saat penyiapan lahan
(Saharjo, 1999). Kejadian kebakaran hutan merupakan salah satu faktor
penyebab deforestasi 900.000 hektare per tahun pada kurun waktu 1982-1990
dan meningkat menjadi 1.8 juta hektar per tahun pada kurun waktu 1990-1997
dan meningkat lagi menjadi 2. 83 juta hektar per tahun pada kurun waktu 2000-
2005 menjadi 1.09 juta hektar per tahun (KNHL, 2008).
Kejadian kebakaran hutan telah menimbulkan dampak dalam berbagai
baik ekologi, ekonomi, sosial, dan politik. Salah satu poin yang terkait dengan
aspek ekologi sebagai dampak terganggunya hutan akibat kebakaran adalah
terganggunya fungsi hidrologi hutan, dimana hutan mempunyai peranan
penting terkait dengan fungsi hidrologi seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya. Dampak kebakaran terhadap fugsi hidrologi ini terkait dengan
hilangnya vegetasi, serasah, mikroorganisme dan rusaknya struktur tanah yang
akan mempengaruhi proses yang terjadi dalam siklus hidrologi seperti
intersepsi, evapotranspirasi, infiltrasi, aliran permukaan (run off) dan simpanan
air dalam tanah, meski demikian pengaruh kebakaran terhadap proses-proses
tersebut tentu saja dipengaruhi oleh intensitas dan tingkat kebakaran yang
terjadi. Adapun dampak-dampak terjadi kebakaran terhadap fungsi hidrologi
tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Akibat rusak dan/atau hilangnya vegetasi
Vegetasi merupakan penyuplai bahan bakar terhadap suatu kejadian
kebakaran lahan dan hutan sehingga dampak kebakaran terhadap vegetasi ini
jelas terlihat yaitu hilangnya vegetasi karena habis terbakar ataupun
mengalami kerusakan akibat sebagian dari pohon atau vegetasi tersebut
hangus terbakar. Dalam siklus hidrologi, vegetasi khususnya vegetasi hutan
(pohon) sangat memegang peranan penting dalam menjaga kestabilan siklus
hidrologi. Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya tentang
ungsi hutan terhadap hidrologi, dengan adanya vegetasi pada suatu areal,
menyebabkan air hujan yang tercurah semuanya tidak langsung jatuh
kepermukaan bumi atau tanah namun sebagian terhambat oleh vegetasi
sebalum mencapai tanah. Peristiwa ini disebut intersepsi. Intersepsi memiliki
3 macam, yaitu interception loss, through all, dan stem flow. Interception loss
adalah air yang jatuh ke vegetasi tetapi belum sampai mencapi tanah sudah
menguap. Through fall adalah air hujan yang tidak langsung jatuh ke bumi,
tetapi terhambat oleh dedaunan terlebih dahulu. Stem flow adalah air hujan
yang jatuh ke vegetasi dan mengalir melalui batang vegetasi tersebut. Air
hujan yang terhambat vegetasi ada juga yang kemudian jatuh ke permukaan
tanah (through fall).
Air yang jatuh di permukaan sebagian ada yang mengalami infiltrasi atau
diserap oleh tanah. Kapasitas infiltrasi tergantung dari tekstur tanah, vegetasi,
lengas tanah, kemiringan lereng, dan waktu. Air tersebut memasuki celah-
celah batuan yang renggang di dalam bumi atau mengalami perkolasi untuk
mengisi persediaan air tanah. Air tanah dapat muncul ke permukaan tanah
karena air memiliki kapilaritas yang tinggi. Dalam air tanah ada zona aquifer
(zona penahan air) yaitu menyediakan simpanan air yang besar yang mengatur
siklus hidrologi dan berpengaruh pada aliran air. Air tanah juga dapat
menyuplai debit air sungai apabila jalur air tanah terputus oleh jalur sungai.
Air tanah dapat berkurang apabila digunakan manusia untuk keperluan sehari-
hari. Air hasil through fall mengalir di permukaan dan berkumpul di suatu
tempat menjadi suatu run off seperti sungai, danau, dan bendungan apabila
kapasitas lengas tanah sudah maksimal yaitu tidak dapat menyerap air lagi.
Dalam lengas tanah, ada zona aerasi yaitu zona transisi dimana air
didistribusikan ke bawah (infiltrasi) atau keatas (air kapiler). Semakin besar
infiltrasi, tanah akan semakin lembab dan setiap tanah memiliki perbedaan
kapasitas penyimpanan dan pori-pori tanah yang berbeda-beda.
Dari uraian di atas jelaslah terlihat peranan hutan (vegetasi) terhadap
siklus hidrologi. Pengaruh kebakaran dimulai dari matinya atau rusaknya
pohon ataupun vegetasi penutup lainnya, akibatnya akan mengurangi
intersepsi kanopi. Hilangnya pohon dan serasah akibat musnah terbakar
menyebabkan permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga meningkatkan
rata-rata evaporasi tanah, dan lebih banyaknya air hujan jatuh langsung ke
tanah terbuka (Omi, 2005). Hal ini mengurangi infiltrasi (DeBano et al, 1998)
membuat tanah lebih mudah tererosi dan meningkatkan overlands flows. Pada
hutan konifer dan chaparral, kebakaran dengan intensitas yang tinggi
menyebabkan lapisan yang hidrophobik (atau kedap air) meningkat dibawah
permukaan tanah, sehingga mengurangi infiltrasi dan menyebabkan
perpindahan lapisan tanah atau erosi (DeBano, 1981 dalam Omi, 2005).
Kebakaran yang diikuti hujan badai dapat menyebabkan kerusakan yang
parah, menyebabkan banjir dan overland flows sediment, dan menyebabkan
penimbunan tanah pada sungai. Tingkat kebakaran yang tinggi lebih
mengancam kualitas air dibandingkan tingkat kebakaran yang rendah (Omi,
2005). Adanya aliran sedimen mengurangi kualitas air minum. Area yang
terbakar secara luas mempengaruhi (memfasilitasi) terjadinya badai yang
kuat, sehingga menyebabkan peningkatan runoff dan erosi. Omi (2005),
menyatakan bahwa kebakaran dapat meningkatkan jumlah air aliran
permukaan dan erosi. Efek dari kebakaran terhadap aliran permukaan dan
erosi tanah sangat besar tergantung pada tingkat kekerasan kebakaran dan juga
kanopi vegetasi dan sifat fisik tanah, protective duff dan lapisan serasah pada
lapisan atas tanah (Omi, 2005). Rata-rata erosi dari hutan yang tidak
terganggu umumnya tetap rendah. Kebakaran meningkatkan jumlah run off
dan erosi karena terganggunya dan hilangnya vegetasi penutup. Sebagai
tanaman mati, sistem akar dan batangnya tidak lama tersedia untuk menjaga
kestabilan perpindahan tanah (erosi). Jenis dan macam vegetasi dan kondisi
pertumbuhannya berpengaruh pada banyaknya air intersepsi dan banyaknya
air yang sampai ke permukaan tanah. Selain itu vegetasi juga berpengaruh
pada porositas tanah dan hambatan terhadap kecepatan aliran air permukaan,
baik oleh serasah dan akar- akar tanaman yang muncul di permukaan tanah.
Vegetasi juga berperan pada pengurangan kandungan air tanah
melalui proses transpirasi sehingga memperbesar kapasitas tanah menyerap air
sebelum terjadinya hujan. Vegetasi mengalami transpirasi yaitu penguapan air
dari tubuh tanaman. Hilangnya vegetasi mengurangi jumlah transpirasi.
b. Hilang dan/atau berkurangnya serasah penutup lantai hutan
Serasah adalah tumpukan dedaunan kering, rerantingan, dan berbagai
sisa vegetasi lainnya di atas lantai hutan. Serasah yang telah membusuk
(mengalami dekomposisi) berubah menjadi humus, dan akhirnya menjadi
tanah. Saat terjadi kebakaran hutan dengan tipe kebakaran permukaan
akan menyebabkan terbakarnya serasah. Dengan terbakarnya seresah akan
mengakibatkan hilang/berkurangnya penutupan permukaan hutan sehingga
areal tersebut kehilangan daya intersepsi. Selain itu hilangnya serasah dapat
meningkatnya pukulan air hujan ke permukaan tanah sehingga tanah menjadi
kompak dan akibatnya terjadi peningkatan aliran permukaan (run off) dan
erosi tanah Pudjiharta dan Fauzi (1981) menyatakan bahwa ketika tumbuhan
bawah dan serasah dari tegakan P.merkusii, Altingia excelsa, Maesopsis
eminii dihilangkan, maka akan meningkatkan aliran permukaan menjadi 6.7
m3ha-1bn-1 yang sebelumnya hanya sekitar 0-0.04 m3ha-1bln-1 .
2. Dampak Kebakaran Terhadap Penurunan Kualitas Tanah
Tanah berperan sebagai penyimpanan air. Simpanan air tanah biasanya
terdapat pada celah-celah kerak bumi, atau pada zone pecahan batuan. Udara
dan air terdapat pada rongga-rongga segmen bagian atas, zone aerasi yang
mencakup tanah lapisan batuan dibawah yang mengandung air tersuspensi
(vadose). Air tanah terdapat pada zona kejenuhan, yang bagian atasnya
disebut muka air tanah. Dengan terganggunya sifat-sifat tanah (fisik,
kimia dan biologi) akibat kebakaran maka secara tidak langsung akan
mempengaruhi fungsi hidrologi, terkait dengan proses infiltrasi dan
penyimpanan air tanah. Terganggunya sifat-sifat tanah yang akan berdampak
terhadap teganggunya fungsi hidrologi, diantaranya:
a. Terganggunya sifat fisik tanah
Kebakaran akan mengakibatkan struktur tanah menjadi kolaps dan
menyebabkan densitas tanah meningkat serta terjadi penurunan porositas
tanah sehingga tanah menjadi lebih kompak, dimana porositas tanah normal
umumnya berada pada kisaran 30-60%. Dengan terbakarnya lapisan
permukaan tanah terutama pada kejadian kebakaran dengan tingkat
kebakaran yang besar maka suhu tanah akan meningkat dan dapat
mencapai 200oC, selain itu kelembaban menjadi menurun sehingga kandungan
air dalam tanah menjadi menurun dan kerapatan tanah menjadi meningkat.
Dengan menurunnya kadar air bahkan sampai hilangnya rongga air dalam
tubuh tanah menjadi kosong sehingga berat jenis tanah (bulk density) menjadi
meningkat.

Gambar 3. Nilai Porositas pada Berbagi Kedalaman Tanah pada Areal


Terbakar dan Tidak Terbakar
Hasil Penelitian Prakoso (2004) menunjukkan bahwa terjadinya
kebakaran pada tegakan Acacia menyebabkan terjadinya penurunan prositas
tanah dimana prosoitas di areal tegakan Akasia tidak terbakar pada
kedalaman 0 15 cm adalah 68.09 % sedangkan nilai porositas pada areal
tegakan Akasia terbakar pada kedalaman 15 30 cm adalah 60.93 %. Nilai
porositas pada areal terbakar lebih kecil daripada areal tidak terbakar pada
kedalaman tanah 0 15 cm dan 15 30 cm, hal ini karena pemanasan yang
tinggi membuat tanah menjadi padat sehingga pori mikro tanah berkurang
yang tentunya mengurangi jumlah pori total. Semakin rendah porositas tanah
maka akan mengakibatkan semakin rendahnya kemampuan tanah dalam
infiltrasi, meningkatkan dan menyimpan (simpanan air tanah) serta
mengeluarkan air yang dibutuhkan tanaman.
Kebakaran yang berdampak pada terbentuknya konsistensi tanah keras
yang takterbalikkan mengakibatkan penurunan kapasitas infiltrasi air dengan
rata-rata berkisar 38%. Hasilnya, aliran permukaan akan meningkat sehingga
tanah menjadi peka terhadap faktor-faktor yang meningkatkan erosi dan
banjir. Kebakaran mengakibatkan repelensi tanah (daya tolak tanah) terhadap
air meningkat. Hal ini disebabkan kebakaran menghasilkan uap serta gas yang
mengandung zat hidrofob (penolak air). Gas ini akan terkondensasi pada
lapisan tanah yang lebih dingin, sehingga terbentuk lapisan tanah yang
repelan. Dengan adanya lapisan repelan, maka permeabilitas kekeringan.
tanah menjadi terbatas sehingga timbul pengaruh kebakaran terhadap
besarnya masalah erosi dan erosi juga melalui melonggarkan ikatan-ikatan
pada permukaan tanah dan batu-batuan, sehingga mengakibatkan tanah mudah
longsor. Selain itu juga menyebabkan lapisan-lapisan di permukaan untuk
sementara sukar dibasahi Salah satu hasil dari kebakaran adalah abu. Abu
mempunyai sifat sulit mengikat air (water repellent). Abu sisa kebakaran ini
diperkirakan juga dapat menyebabkan tersumbatnya pori-pori tanah yang akan
berdampak terhadap terganggunya proses infiltrasi dan penyimpanan air
tanah. Hal ini akan dapat menimbulkan banjir dan sedimentasi di daerah hilir.
b. Dampak Kebakaran terhadap Sifat Kimia Tanah
Sianturi (2006), pengaruh dari kebakaran dapat meningkatkan kadar
mineral yang tersedia untuk sementara, menurunkan kemasaman,
meningkatkan kejenuhan, basa, menurunkan suplai N total dan mengubah
kondisi kelengasan dan suhu dari tapak. Selain itu, kebakaran akan
meningkatkan ketersediaan mineral tanah, tetapi apabila tidak segera
digunakan oleh tanaman maka mineral tersebut akan hilang tercuci oleh air
hujan.
Pengaruh secara langsung dari kebakaran terhadap karakteristik tanah
adalah penurunan keasaman tanah, NH4+ dan daya tukar kation dalam proses
mineralisasi dan persen abu. Reaksi seluruh partikel dengan panas mengalami
dehidrasi pada suhu 25C - 170C. Pada suhu 170C - 220C terjadi dehidrasi
dalam bentuk gel, suhu 220C 460C terjadi pembakaran bahan organik,
suhu 550C - 700C terjadi pelepasan partikel OH dan lempung pada suhu
700C - 900C terjadi dekomposisi karbon pada tanah (Sianturi 2006).
Sianturi (2006) mengemukakan bahwa pemanasan pada tanah akan
menyebabkan penurunan pH. Pemanasan pada suhu 220C akan
menyebabkan penurunan pH dan suhu 700C - 900C terjadi peningkatan pH
antara 4 5 unit. Penyebab penurunan adalah adanya oksidasi pada elemen,
adanya pembukaan permukaan, terjadinya dehidrasi pada koloid dan
penurunan pada lapisan tanah. Pengaruh kimia lain adalah total nitrogen yang
menurun pada suhu di bawah 220C dan penurunan yang sangat berat terjadi
pada saat proses pembakaran.
Kebakaran hutan di Riau, menyebabkan dampak pada fisik kimia tanah,
yaitu terjadi peningkatan keasaman tanah dan air sungai. Tangketasik (1987)
dalam Syumanada (2007) menunjukkan terjadinya penurunan sifat-sifat
retensi kelembaban serta kapasitas kation pada tanah yang mengalami
kebakaran. Untuk sifat fisik biologi tanah, kebakaran hutan membunuh
organisme tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Makroorganisme, seperti cacing tanah, yang dapat meningkatkan aerasi dan
drainase tanah juga menghilang di samping hilangnya mikroorganisme tanah,
seperti mikoriza, untuk meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu,
magnesium (Mg), dan besi (Fe). Di daerah-daerah yang terbakar, biasanya
kualitas tanah menurun, disebabkan adanya kematian organisme tanah dan
peningkatan pencucian hara.
c. Menurun dan/atau hilangnya bahan organik tanah
Dengan terbakarnya tumbuhan bawah dan serasah pada lantai hutan serta
humus pada lapisan top soil maka akan mengakibatkan berkurangnya atau
hilangnya bahan organik tanah, yaitu kehilangan bahan organik mulai akan
terjadi pada suhu 1000 C, pada suhu 200-3000 C, sekitar 85% bahan organik
tanah hilang, dan di atas suhu 3000 C, bahan organik sisa yang berkarbon
lenyap.
Pemanasan sampai 4500 C selama 2 jam atau 500 0 C selama jam
melenyapkan 99 % bahan organik. Penelitian Yudasworo (2001) menunjukkan
bahwa kandungan C-organik cenderung menurun sesaat setelah pembakaran
dan meningkat setelah 8 bulan pembakaran. Sementara itu, tiga tahun setelah
terjadinya kebakara di HPGW, kandungan C-organik cenderung meningkat
dengan adanya proses pemulihan dari areal yang terbakar, baik pada
kedalaman 0-10 cm maupun 10-15 cm. Keberadaan bahan organik berperan
dalam proses pengikatan air dalam tanah berkurangnya yang akan
mempengaruhi simpanan air tanah, sehingga bahan organik tanah akan
menyebabkan terjadinya penurunan pengikatan air tanah dimana penurunan
kandungan bahan organik tanah sebesar 2 % akan menurunkan kapasitas tanah
megikat air sebesar 20%. Menghilangkan lapisan serasah dan humus yang
melindungi tanah terhadap pukulan air hujan. Kebakaran yang berulang-ulang
akan mencegah pembentukan serasah tahunan yang berfungsi sebagai mulsa
terhadap permukaan tanah, sehingga menyebabkan lapisan tanah mineral
tererosi oleh air hujan. Lapisan tanah yang tererosi dapat mengakibakan banjir
serta pendangkalan sungai dan waduk.
d. Menurun dan/atau hilangnya biota tanah
Biota tanah terkonsentrasi pada permukaan lapisan serasah dan lapisan
duff karena lapisan ini mengandung sebagian besar bahan organik dan bagian
yang aktif dalam dekomposisi dan proses mikrobial lainnya. Biota tanah
terdapat di bawah permukaan tanah dalam seluruh atau sebagian daur
hidupnya. Aktivitas biota tanah dalam pembentukan struktur tanah
menghasilkan bahan organik agregat, menjerat partikel hifa dalam agregat,
memungkinkan untuk mempengaruhi struktur agregat. Tanah-tanah yang
mempunyai struktur granuler atau remah mempunyai porositas lebih tinggi
daripada tanah-tanah dengan struktur massive (pejal). Kebakaran yang cukup
besar dapat mematikan seluruh biota tanah pada lapisan serasah dan lapisan
duff, sementara biota tanah yang terdapat pada lapisan yang lebih dalam dan
terisolasi dari panas ada kemungkinan untuk dapat bertahan (DeBano et al.,
1998). Tingkat kebakaran yang rendah pun dapat merusak biota tanah yang
berada di permukaan atau dekat permukaan tanah ini karena temperatur
letalnya rendah, karena biota tanah ini terdapat permukaan atau bagian yang
dekat dengan permukaan tanah maka akan sangat mudah terkena
pemanasan saat terjadi kebakaran di permukaan.
Kebakaran hutan menyebabkan berkurangnya dan/atau matinya biota
tanah yang turut berperan mempengaruhi struktur agregat dan porositas tanah
sehingga menurunkan laju gerakan air melalui tanah. Menurut Siregar dan
Munns (1996) dalam Syaufina (2008), ruang pori dalam tanah mengontrol
laju gerakan air Tanah. Tanah yang berstruktur baik mempunyai
keseimbangan makropores (>0.6 mm) dan mikropores (<0.6 mm).
Keseimbangan ini yang menyebabkan tanah dapat menyalurkan air secara
cepat melalui makropores dan menahan air melalui kapilaritas dalam
miropores. Makropores pada permukaan tanah merupakan jalan untuk
infiltrasi air ke dalam tanah.
3. Dampak kebakaran hutan terhadap pencemaran udara
Dampak dari kebakaran lahan gambut lebih berbahaya bila
dibandingkan dengan kebakaran pada lahan kering (tanah mineral), hal ini
disebabkan karena selain terbakarnya vegetasi di permukaan, lapisan serasah
dan gambut juga ikut terbakar menghasilkan emisi karbon terutama dalam
bentuk gas CO2 yang besar ke atmosfir, bahkan api dapat bertahan lama,
disamping itu juga menghasilkan asap tebal. Emisi CO2 yang besar pada
kejadian kebakaran lahan gambut dapat terjadi karena karbon yang tersimpan
pada biomas sapohon, semak serta serasah pada lahan gambut sangat besar
diprediksi sebagian besar akan hilang dalam bentuk mengemisikan gas CO2
kalau lahan gambut tersebut terbakar.
Kebakaran hutan gambut yang parah pernah terjadi di Indonesia adalah
pada tahun 1997, 1998 dan 2002, yang mana pada setiap tahun kejadian
kebakaran tersebut sekitar 1,5 2,2 juta hektar lahan gambut terbakar di
Sumatera dan Kalimantan dengan emisi karbon sebannyak 3000 9400 Mega
ton CO2, jumlah ini mencapai 40% dari emisi CO2 secara global (Hooijer et
al. 2006). Menurut Ballhorn et al. (2009) kebakaran seluas 13% (2,79 juta
hektar) lahan gambut Indonesia pada tahun 2006 mengemisikan 98,38
180,38 Mega ton CO2, sedangkan pada saat kejadian El Nino 1997 sebanyak
2,57 Giga ton karbon diemisikan dari lahan gambut Indonesia, ini semua
adalah akibat dari alih fungsi lahan gambut (Page et al. 2002).
Besar emisi karbon yang dihasilkan mencapai 1 milyar ton, di mana
setiap harinya memancarkan emisi sebsar 15-20 juta ton. Emisi ini lebih besar
dibandingkan dengan emisi karbon yang dikeluarkan oleh Jerman dan
Amerika Serikat dalam setahun yaitu 14 juta ton per hari (Hasil penelitian
Guido van Der Werf, peneliti dari Universitas Amsterdam). Berikut
merupakan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU).

Sumber: Pantauan PPKK Kemenkes terhadap Pusat Data Karhutla, Pusdatin


Kemenkes RI.

Rekomendasi untuk menyelesaikan masalah kebakaran hutan lahan gambut (Suyanto


et al., 2008):

Pengkajian ulang dan audit bagi alokasi pemanfaatan bagi pembangunan lahan
gambut versus konservasi dan mencakup seluruh pemangku kepentingan.
Pengkajian ulang secara ilmiah bagi pengelolaan kebakaran sebagai dasar bagi
pengembangan peraturan. Jangan membangun daerah transmigrasi baru di wilayah
rawa.
Belajar dari pengalaman dan dorongan bagi praktek pengelolaan terbaik
pembangunan lahan gambut. Pengkajian pembangunan kanal dan masalah
pengelolaan air. Pengembangan prosedur penebangan yang lestari untuk
mengurangi bahaya kebakaran.
Penutupan kanal dan rehabilitasi hutan.
Peningkatan tekanan internasional dan penguatan kapasitas lembaga pemerintah
untuk menegakan hukum zero burning yang ada bagi perusahaan. Pernyediaan
insentif untuk tidak melakukan pembakaran.
Dukungan pemerintah dan perusahaan bagi masyarakat dalam kegiatan
pengelolaan kebakaran lahan pertanian untuk mencegah penyebarannya.
Identifikasi dan promosikan metode pembukaan lahan alternatif yang layak.
Pengembangan mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan bagi masyarakat
sehingga mengurangi penggunaan api. Pengembangan kemitraan yang setara
antara pemerintah/perusahaan dan masyarakat dalam pembangunan lahan basah.
Pengalihan pertanian tanaman setahun menjadi perkebunan/agroforestry (dalam
kemitraan dengan perusahaan) untuk meningkatkan taraf hidup dan menghindari
pembakaran tahunan. Pemilihan tanaman keras yang cocok.
Klarifikasi kepemilikan lahan masyarakat, negara, dan industri - untuk
mendorong pengelolaan lahan basah yang lestari.
Pelibatan masyarakat dalam sumberdaya dan pengelolaan kebakaran dan
peningkatan kesadaran lingkungannya. Penyediaan insentif sosial-ekonomi kepada
masyarakat bagi pengelolaan lahan basah yang lestari. Penciptaan dan penguatan
kelembagaan dan peraturan lokal bagi pengelolaan kebakaran.
Penguatan lembaga yang ada dan klarifikasi prosedur pemecahan masalah
kebakaran di berbagai tingkat pemerintahan. Penyediaan peralatan, sumberdaya,
informasi, dan dana untuk memerangi kebakaran pada saat yang tepat
(dibutuhkan).
Pengkajian kebijakan desentralisasi dan peran dalam kebakaran. Penguatan
kapasitas dan komitmen lembaga pemerintah daerah ke arah pemanfaatan lahan
basah yang lestari dan konservasi. Penyediaan insentif dan dana dari pemerintah
Pusat ke Daerah untuk memelihara dan memperbaiki daerah transmigrasi.
IV. KESIMPULAN

Kebakaran hutan dan lahan gambut berpengaruh terhadap fungsi hidrologi,


penurunan kualitas tanah yaitu berpengaruh terhadap terganggunya sifat fisik tanah,
terhadap sifat kimia tanah, menurun dan/atau hilangnya bahan organik tanah,
menurun dan/atau hilangnya biota tanah, serta dapat menyebabkan pencemaran udara.
Daftar Pustaka

Ballhorn, U., Siegert, F., Mason, M., Limin, S. 2009. Derivation of burn scar depths
and estimation of carbon emissions with LIDAR in Indonesian peatlands.
Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of
America (online).
Brown AA, KP Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Me Graw Hill Book
Company, Inc. USA.
Cahyono Andy, S., S.P. Warsito, W. Andayani, dan D.H. Darwanto. 2015. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan di Indonesia dan implikasi
Kebijakannya. Jurnal Syulva Lestari, 3: 103-112.
Chandler C, P Cheney, L Trabaud, D Williams. 1983. Fire in Forest Vol I Forest Fire
Behaviour and Effects. Jhon Wiley and Sons, Inc. Canada. USA.
FAO. 1976. A Framework for Land Evaluation. Soil Bulletin No. 52. FAO Rome.
Fuller M. 1991. Forest Fire An introduction to Wildland Fire Behavior,
Management, Firefighting and Prevention. Hohn Wiley& Sons, Inc. Canada.
Ginson A. 2007. Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Taman
Nasional Berbak Jambi. [http://www.google.co.id/search?hl=id&q =pengelo
laan+lahan+bekas+terbakar+di+gambut&btnG=Telusuri&meta] di akses
tanggal 9 April 2017.
Hardjowigeno, S., and Abdullah. 1987. Suitability of peat soils of Sumatera for
agricultural development. International Peat Society.Symposium on Tropical
Peat and Peatland for Development.Yogyakarta.
Hooijer, A., Silvius, M., Wsten, H., Page, S. 2006. PEAT CO2, Assessment of CO2
Emission from drained peatlands in SE Asia.
KNLH. 2008. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2007.
Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal Lingkar
Widiaswara, 1: 47-59.
Omi, P.N. 2005. Forest Fires : Contemporary world issues. ABC CLIO, England.
Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H.D.V., Jaya, A dan Limin, H. 2002. The
amount of carbon release from peat and forest fire in Indonesia during 1997.
Nature, 420: 61-65.
Pudjiharta, Ag. dan A.Fauzi. 1981. Beberapa indicator fisik untuk menentukan
kebijaksanaan pendahuluan dalam pengelolaan DAS. Proceeding Lokakarya
Pengelolaan Terpadu Daerah Aliran Sungai, Jakarta.
Prakoso, Y. 2004. Dampak kebakaran hutan terhadap sifat fisik tanah di hutan
tanaman sekunder Acacia mangium di desa Langensari, Kecamatan
Parungkuda, Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Saharjo, B. H. 1999. Study on Forest Fire Prevention for Fast Growing Tree Species
Acacia mangium Plantation in South Sumatera,Indonesia. Kyoto University,
Graduede School of agriculture.
Sianturi F. 2006. Perubahan Sifat Fisik dan Kimia Tanah Pada Areal Bekas
Terbakar di Tegakan Puspa (Schima wallichii Korth). Skripsi Jurusan
Budidaya Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Tidak
diterbitkan.
Stole, F., Chomitz, K.M., Lambin, E.F., dan Tomich, T.P. 2003. Land use and
vegetation fires in Jambi Province, Sumatera, Indonesia. Forest Ecology and
Management 179 (2003): 277-292.
Subagyo, H. 1998. Karakteristik bio-fisik lokasi pengembangan sistemusaha
pertanian pasang surut, Sumatera Selatan. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor (Tidak dipublikasikan).
Suyanto, U. Chokkalingam, dan P. Wibowo. 2003. Kebakaran di Lahan Rawa/
Gambut di Sumatera : Masalah dan Solusi. Center For International Forestry
Research, Palembang
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Bayumedia. Malang.
Syumanda R. 2007. Asap - Ritual Bencana Tahunan Riau. http://www.walhi.or.id
/kampanye/bencana/040915_asapriau.html. Di Akses 9 April 2017.
Yudasworo DI. 2001. Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Sifat Fisik dan Kimia
Tanah. Skripsi Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Widyasari, N. A. Eka. I. H. 2008. Pengaruh Sifat Fisik dan Kimia Tanah Gambut Dua
Tahun Setelah Terbakar Dalam Mempengaruhi Pertumbuhan Acacia
crassicarpa A. Cunn. Ex Benth Di Areal IUPHHK-HT PT. Sebangun Bumi
Andalas Wood Industries. Skripsi Departemen Silvikultur, Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai