Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

BIOLOGI TANAH

DISUSUN OLEH:
1. HUSNA RAFI J (13536)
2. PRADYSTA MAYA H (13666)
3. TAWANG HADI (13691)
4. EVA ARFATILAH A (13768)
5. M. MIKAIL AN-NUBLI (13909)
6. PRIMA SARI (13917)

KELOMPOK : 1
ASISTEN : RIO DWI R.

DEPARTEMEN TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seluruh daerah di muka bumi baik di atas maupun di bawah permukaan tanah dikenal
sebagai pusat keanekaragaman hayati dimana tersusun atas berbagai macam ekosistem,
spesies, maupun keanekaragaman genetik. Seluruh aktivitas makhluk hidup ini bertumpu dan
berlangsung dalam satu tempat yang sama yaitu tanah. Pada kondisi di alam, khususnya pada
permukaan bawah tanah tersimpan beragam fauna tanah dimana berkaitan dengan hal
tersebut cabang ilmu khusus yang mengkaji keberadaan fauna dalam tanah yaitu Biologi
Tanah. Biologi Tanah merupakan suatu ilmu yang mempelajari makhluk-makhluk hidup di
dalam tanah. Suatu tanah dapat dikatakan memiliki nilai produktivitas yang tinggi apabila
tidak hanya terdiri dari bagian padat, cair dan udara akan tetapi harus memiliki jasad hidup
yang merupakan organisme hidup.
Organisme tanah memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang biak seperti
organisme lain, oleh karena itu berkaitan dengan aktivitasnya organisme tanah dipengaruhi
oleh tiga faktor yaitu 1.) Iklim dimana berkaitan dengan iklim keberadaan organisme tanah
lebih banyak ditemui dalam jumlah populasi dan keragamannya pada tanah di daerah yang
mempunyai curah hujan dan temperatur yang tinggi dibandingkan di daerah yang mempunyai
curah hujan dan temperatur rendah; 2.) Faktor kedua Tanah dimana pada tingkat kemasaman
tertentu, kandungan hara dan umur tanah dapat memengaruhi organisme dalam tanah dan 3.)
Faktor ketiga yaitu vegetasi dimana berkaitan dengan lokasi tanah tanah misal pada
kawasan hutan ditemui organisme yang lebih banyak dan lebih beragam dibandingkan pada
lokasi padang rumput.
Tanah dihuni oleh berbagai macam mikroorganisme dimana jumlah pada setiap grup
mikroorganisme sangat bervariasi ada yang terdiri dari beberapa individu, akan tetapi ada
pula yang jumlahnya mencapai jutaan per gram tanah. Mikroorganisme tanah ini merupakan
salah satu faktor yang bertanggungjawab atas proses pelapukan bahan organik dan pendauran
unsur hara. Dengan demikian, mikroorganisme mempunyai pengaruh terhadap sifat fisik dan
kimia tanah (Anas, 1989). Selanjutnya Anas (1989), menyatakan bahwa jumlah total
mikroorganisme yang terdapat di dalam tanah digunakan sebagai indeks kesuburan tanah
(fertility indeks) tanpa mempertimbangkan hal-hal lain. Tanah yang subur mengandung
sejumlah mikroorganise dimana pada populasi yang tinggi ini menggambarkan adanya suplai
makanan atau energi yang cukup ditambah dengan temperatur yang sesuai, ketersediaan air
yang cukup, kondisi ekologi lain yang mendukung perkembangan mikroorganisme pada
tanah tersebut.
Aktifitas organisme tanah dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain iklim (curah
hujan, suhu udara, kelembaban, dan lain-lain) dan sifat tanah (kemasaman, kelembaban
tanah, suhu tanah, unsur hara dalam tanah, dan lain-lain). Keragaman organisme dan bobot
biomassa dari organisme tanah sangat besar, sedangkan aktivitas organisme tanah dicirikan
oleh jumlahnya dalam tanah, bobot tiap unit isi atau luas tanah (biomassa) dan aktivitas
metabolik. Klasifikasi menurut cara hidup fauna tanah didasarkan pada morfologi dan
fisiologi tergantung pada kedalaman tanah dimana pada fauna fitotropik memakan tanaman
hidup, fauna zootropik memakan materi binatang, fauna mikrotropik hidup dalam
mikroorganisme dan fauna saprofitik menggunakan materi organik yang telah mati. Melalui
proses mineralisasi materi yang telah mati akan menghasilkan garam-garam mineral yang
akan digunakan oleh tumbuh-tumbuhan (Thomas and Mitchell, 1951).
Keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah berkaitan erat dengan bahan
organik tanaman yang ditambahkan pada tanah. Dari hasil penelitian Wulandari (2005),
mengemukakan bahwa perubahan tata guna lahan, seperti perubahan dari lahan hutan
menjadi lahan pertanian dapat mempengaruhi keanekaragaman makrofauna tanah. Hal ini
diduga karena bahan organik yang dihasilkan oleh hutan lebih beragam daripada lahan
pertanian tanaman semusim. Tanah pertanian yang keberadaannya terbatas, sering kali
digunakan secara terus-menerus tanpa memperhatikan pemeliharaanya dan tidak memberi
kesempatan pada tanah untuk memperbaharui diri secara alami, atau dipulihkan kembali
kesuburannya, sehingga dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah. Pengolahan tanah yang
salah dan pengelolaan tanaman yang kurang baik dapat menyebabkan menurunnya kesuburan
dan produktivitas tanah. Untuk mengurangi dan mengantisipasi terjadinya kerusakan tanah,
diperlukan langkah yang tepat, aman sekaligus tidak mengeluarkan banyak biaya, misalnya
dengan pemberian bahan organik tanaman pada tanah. Pemberian bahan organik tanaman
pada tanah dapat memperbaiki sifat fisika, kimia, dan biologi tanah (Wulandari, 2005).
Salah satu dekomposer yaitu fauna tanah. Fauna tanah adalah fauna yang hidup di
tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Beberapa
fauna tanah, seperti herbivora, sebenarnya memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas
akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami
kematian, fauna-fauna tersebut memberikan masukan bagi tumbuhan yang masih hidup,
meskipun adapula sebagai kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu
kelompok heterotrof yaitu makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria, yang
hidupnya tergantung dari tersedianya makhluk hidup produsen utama di dalam tanah. Oleh
karena itu, pada praktikum kali ini ingin melihat kelimpahan fauna dan keragaman fauna
tanah yang ada di dalam tanah pada berbagai tipe penggunaan lahan baik sawah, tegalan,
maupun hutan sekunder.

B. Tujuan

1. Mengetahui kelimpahan fauna tanah di berbagai tipe penggunaan lahan.


2. Mengetahui keragaman fauna tanah di berbagai tipe penggunaan lahan.
II. METODOLOGI

Praktikum Lapangan Biologi Tanah dilakukan secara mandiri dalam satu kelompok.
Setiap kelompok mewawancarai dan mengambil sampel tanah pada lahan dengan tipe
penggunaan lahan yang berbeda-beda. Pengambilan sampel kelompok satu dilakukan di
lahan yang digunakan sebagai sawah konvensional. Pada tanggal 10 Oktober 2016 kelompok
satu melakukan praktikum lapangan di lahan sawah konvensional yang berada lahan sawah
di daerah Sangggrahan, Jetis, Bantul, Yogyakarta.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah cetok, penggaris, plastik,
saringan, botol, dan alkohol. Praktikum dilaksanakan dengan mengoleksi fauna yang ada di
dalam tanah dengan cara mengambil sampel tanah dengan volume 20 cm (panjang), 20 cm
(lebar), 10 cm (dalam) menggunakan cetok kemudian dimasukkan ke dalam kantung plastik
untuk menyimpan fauna sebelum dipisahkan. Pada pengambilan sampel tanah diambil dalam
5 titik yang berbeda, namun masih dalam satu lahan. Pemisahan tanah dengan fauna
dilakukan dengan saringan di bawah air mengalir, untuk mempercepat pemisahan dapat
dilakukan dengan penyemprot air kemudian fauna yang didapatkan dimasukkan ke dalam
botol yang sudah diberi alkohol. Fauna yang telah dimasukkan ke dalam botol
dikelompokkan secara sederhana kemudian dapat dikelompokkan menggunakan sumber dari
internet.
III. HASIL PENGAMATAN

Tabel 1. Kelimpahan Fauna di Beberapa Landuse


Kelimpahan
Landuse
Fauna
Sawah
10.4
Konvensional
Sawah Organik 9.8
Tegalan 9
Hutan 6.6

Tabel 2. Keragaman Fauna dibeberapa Landuse


Keragaman
Landuse
Fauna
Sawah
3.2
Konvensional
Sawah Organik 1.6
Tegalan 4.4
Hutan 3.4

Tabel 3. Anova Kelimpahan Fauna vs Landuse


Sum Mean Fvalu
SR Df Pr(>)
Sq Sq e
landuse 3 41.75 13.92 0.989 0.423
Residuals 16 225.2 14.07

Tabel 4. Anova Keragaman Fauna vs Landuse


Sum Mea F
SR Df Pr(>F)
Sq n Sq value
0.000503
Landuse 3 20.15 6.717 10.33
***
Residuals 16 10.4 0.65

IV. PEMBAHASAN

Fauna tanah merupakan fauna yang hidup dan menghabiskan seluruh atau
sebagian siklus hidup di dalam tanah, baik yang hidup di permukaan tanah maupun yang
terdapat di dalam tanah (Suin, 2012). Beberapa fauna tanah, seperti herbivora sebenarnya
hewan pemakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari
tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, fauna tersebut
memberikan masukan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun adapula sebagai
kehidupan fauna yang lain. Fauna tanah merupakan salah satu kelompok heterotrof
(makhluk hidup di luar tumbuh-tumbuhan dan bakteria yang hidupnya tergantung dari
tersedianya makhluk hidup produsen) utama di dalam tanah. Proses dekomposisi dalam
tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila tidak ditunjang oleh kegiatan makrofauna
tanah. Keberadaan mesofauna tanah dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan
energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan
biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah.
Berdasarkan ukuran tubuhnya menurut Wallwork (1970) menyatakan fauna tanah
dibedakan menjadi tiga kelompok antara lain mikrofauna (20 m - 200 m), mesofauna
(200 m - 1 cm) dan makrofauna (lebih dari 1 cm). Sedangkan, menurut Suhardjono dan
Adisoemarto (1997) menyatakan bahwa berdasarkan ukuran tubuh fauna tanah
dikelompokkan menjadi (1) Mikrofauna adalah kelompok binatang yang berukuran
tubuh < 0.15 mm, seperti protozoa dan stadium pradewasa beberapa kelompok lain
misalnya Nematoda, (2) Mesofauna kelompok yang berukuran tubuh 0.16 10.4 mm
dan merupakan kelompok terbesar dibanding kedua kelompok lainnya, seperti insekta,
Arachnida, Diplopoda, Chilopoda, Nematoda, Mollusca, dan bentuk pradewasa dari
beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan kalajengking, (3) Makrofauna adalah
kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh > 10.5 mm, sperti insekta, Crustaceae,
Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan termasuk juga vertebrata kecil.
Penggunaan lahan hutan, tegal, sawah organik dan sawah konvensional
mempunyai vegetasi tanaman yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan adanya
keanekaragaman meso-makro fauna yang berbeda. Selain itu, jenis tanah pada saat
pengambilan sampel pengamatan juga berbeda yaitu diantaranya Inceptisol, Molisols,
Vertisol, dan Alfisol sehingga akan ada perbedaan sifat biologi tanahnya. Tanah
Inceptisol (inceptum atau permulaan) dapat disebut tanah muda karena pembetukannya
agak cepat sebagai hasil pelapukan bahan induk, kandungan bahan organiknya berkisar
antara 3-9 % tapi biasanya sekitar 5% (Saridevi et al., 2013). Tanah Vertisol, termasuk
tanah yang unik diantara tanah mineral yang berkembang dari batuan kapur. Kandungan
lempung yang tinggi menyebabkan tanah ini mampu mengembang dan mengkerut.
Kandungan bahan organik pada tanah Vertisol umumnya antara 1,5 - 4 % dengan pH
berkisar 6,0 - 8,2, dan N-total 0,24 % (Saridevi et al., 2013). Pada tanah Alfisol terdapat
penimbunan lempung di horizon bawah (horizon Argilik) dan mempunyai kejenuhan
basa lebih dari 35% dan umumnya merupakan tanah subur. Tanah tersebut umumnya
terbentuk dibawah berbagai hutan atau tertutup semak (Miller dan Donahue, 1990).
Menurut Soil Survey Staff (2014) tanah Mollisol memiliki kandungan bahan organik
yang cukup tinggi, diperkaya dengan unsur hara yang berada di permukaan tanah yang
biasanya terdapat di jeluk tanah dengan kedalaman antara 60-80 cm. Permukaan horison
ini subur, dikenal sebagai epipedon mollik. Menurut Mega et al. (2010), epipedon mollic
adalah horison permukaan yang tebal dan berwarna gelap, mempunyai kejenuhan basa
tinggi dengan tingkat perkembangan struktur sedang sampai kuat. Horison ini serupa
dengan epipedon umbric, kecuali kejenuhan basa yang lebih dari 50%. Horison ini
terbentuk karena terjadinya dekomposisi bahan organik di dalam tanah yang banyak
mengandung kation-kation bervalensi dua. Bahan organik berasal dari sisa-sisa akar
tanaman, atau bahan organik dari permukaan tanah yang tercampur ke dalam tanah oleh
binatang-binatang yang terdapat organisme-organisme yang masih hidup.
Pada penggunaan lahan hutan sekunder vegetasi tanaman yang seragam yaitu
pohon akasia ataupun jati. Untuk penggunaan lahan tegal vegetasi tanaman tidak
seragam, yaitu tanaman ketela pohon, jagung, dan pohon sengon. Pada penggunaan lahan
sawah konvensional dan sawah organik vegetasi tanamannya seragam, yaitu tanaman
padi. Menurut Saridevi et al. (2013), pada lahan hutan campuran, kandungan C-organik
lebih tinggi (2,17 %) apabila dibandingkan dengan lahan sawah (2,10 %) dan tegalan
(1,92 %) disebabkan juga oleh keragaman vegetasi pada kebun campuran lebih banyak,
sedangkan untuk lahan tegalan yang ditanami tanaman semusim yakni jagung, kedelai,
dan ubi kayu hampir semua bagian tanaman terbawa panen, sehingga bahan organik yang
dikembalikan ke tanah sangat sedikit serta ditambah dari efek pengolahan tanah yang
intensif. Setiap tanah memiliki kandungan bahan organik yang berbeda-beda sesuai
dengan karakteristik tanahnya dan penggunaan lahannya. Perubahan vegetasi atau
penggunaan lahan dan pola pengelolaan tanah menyebabkan perubahan kandungan
bahan organik tanah (Yasin, 2007).
Dalam praktikum ini untuk mengetahui keragaman dan kelimpahan suatu spesies
atau fauna tanah menggunakan satu metode, yaiu metode Saringan/Tanah. Metode
Saringan merupakan metode penangkapan fauna dengan sistem memilah, khususnya untuk
fauna yang berada di dalam tanah. Metode saringan/tanah dengan pengambilan sampel
tanah dengan volume 20 cm (panjang) x 20 cm (lebar) x 10 cm (dalam) menggunakan
cetok dan dimasukkan ke dalam plastik. Selanjutnya digunakan saringan untuk
memisahkan tanah dengan fauna tanah.
Gambar 1. Diagram Batang Kelimpahan Fauna di Beberapa Landuse

Berdasarkan hasil analisis di lapangan mengenai kelimpahan fauna di dalam tanah


di berbagai tipe penggunaan lahan diperoleh hasil tertinggi pada sawah konvensional.
Adapun keragaman fauna yang diperoleh pada lahan sawah konvesional yaitu ditemukan
makrofauna dikarenakan memiliki ukuran tubuh lebih dari 10,4 mm yaitu anakan keong
mas yang tergolong kelas Mollusca dan mikrofauna kelas Nematoda berupa cacing pita
dengan ukuran antara 0,16 - 10,4 mm. Kelimpahan fauna yang diperoleh pada lahan
sawah konvensional ini didominasi oleh anakan keong mas yang memiliki jumlah
populasi yang sangat banyak di dalam tanah tersebut dan dilanjutkan keragaman populasi
yaitu cacing pita yang berwarna merah dan berukuran sangat kecil. Tingginya kelimpahan
fauna pada lahan sawah ini disebabkan lahan sawah konvensional dapat menyediakan
sumber makanan dan kondisi yang baik untuk fauna tanah karena menurut Suin (2012),
keberadaan atau kehidupan hewan tanah dalam tanah juga tergantung pada
ketersediaan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, sehingga
banyaknya individu yang diperoleh disebabkan melimpahnya sumber makanan, sehingga
mampu mendukung pertumbuhan fauna tanah tersebut. Selain itu, kebanyakan hewan
berkelompok yang mana mereka memilih hidup pada habitat yang paling sesuai
untuk melangsungkan hidupnya di tanah.
Pada hasil analisis anova pada tabel 2. kelimpahan fauna pada berbagai tipe
penggunaan lahan seperti sawah konvensional, sawah organik, tegalan, maupun hutan
sekunder menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh perbedaan yang nyata mengenai
kelimpahan fauna dengan tipe penggunaan lahan pada semua lokasi lahan yang dipilih
untuk dianalisis. Hal ini disebabkan karena faktor kelimpahan fauna tanah pada suatu
lahan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor vegetasi diatasnya atau tipe penggunaan
lahannya akan tetapi memiliki banyak faktor seperti yang dinyatakan oleh Suhardjono
(1997), bahwa keberadaan fauna tanah sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti
suhu udara, suhu tanah dan pH tanah. Sedangkan, menurut Hakim et al., (1986) dan
Makalew (2001), menjelaskan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktivitas
organisme tanah yaitu, iklim (curah hujan, suhu), tanah (kemasaman, kelembaban, suhu
tanah, hara).
Gambar 2. Diagram Batang Keragaman Fauna di Beberapa Landuse
Berdasarkan hasil analisis di lapangan mengenai keragaman fauna di dalam tanah
pada lahan sawah konvensional, sawah organik, tegalan, dan hutan diperoleh hasil peggunaan
lahan yang dijadikan tegalan memiliki hasil yang paling tinggi yaitu bernilai 4,4. Hal ini tidak

sesuai jika dibandingkan dengan penelitian Sholehudin et al. (2014), yang menyatakan bahwa
pada penggunaan lahan hutan memiliki hasil keragaman fauna tanah paling tinggi
dibandingkan dengan lahan yang digunakan sebagai tegalan dan sawah. Lahan hutan
memiliki kandungan C-organik lebih tinggi dibandingkan pada lahan tegalan maupun lahan
sawah. Bahan organik tanah merupakan sumber energi utama bagi kehidupan biota tanah,
khususnya makrofauna tanah (Suin, 2012), sehingga jenis dan komposisi bahan organik
tanaman menentukan kepadatannya (Hakim et al., 1986). Selain itu, pada lahan hutan biasa
akan terbentuk tanah Mollisol yang memiliki kandungan bahan organik yang cukup tinggi
dibandingkan tanah mineral lainnya, dicirikan dengan adanya epipedon molik. Ekosistem
hutan juga lebih beragam dari pada tipe penggunaan lahan lainnya sehingga membuat
keragaman fauna tanah yang ada didalammnya juga beragam Pada sawah organik hasil
analisis keragaman faunanya menunjukan nilai yang terendah dari pada tipe penggunaan
lahan lainnya. Hal ini disebabkan karena tingkat pengelolaan lahan sawah organik sangat
intensif sehingga mengganggu aktivitas fauna tanah dilahan tersebut. Mengenai pengolahan
lahan pada sawah organik menyebabkan terjadi kondisi anaerobik, terutama akibat
penggenangan. Sehingga, hanya beberapa fauna tanah saja yang dapat hidup pada kondisi
tergenang ini. Selain itu tanah yang digunakan untuk sawah organik ini adalah tanah berordo
Vertisol. Vertisol adalah tanah mineral yang memiliki sifat fisik kembang kerut dan dapat
mengalami proses pedoturbasi yang menyebabkan tanah ini perlu pengolahan intensif
(Sholihah et al., 2016). Pengolahan tanah yang intensif pada tanah vertisol inilah yang dapat
mempengaruhi aktivitas dan keragaman fauna tanah. Pada tanah sawah juga, tanaman yang
ditanam adalah monokultur sehingga ekosistem yang ada hanya satu, hal ini membuat
keragaman fauna tanah yang ada didalammya juga sedikit.
Pada hasil analisis annova tabel 4. keragaman fauna pada berbagai tipe
penggunaan lahan, menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (***) yaitu antara
lahan yang dijadikan sawah konvensional, hutan sekunder, tegalan, maupun sawah
organik. Hasil tersebut menunjukkan hasil yang berkorelasi positif antara landuse dengan
keragaman fauna yang ditemukan. Keragaman fauna disuatu wilayah dengan berbagai
tipe penggunaan lahan menunjukkan hasil yang bervariasi seperti menurut Najima dan
Yamane (1991) yang menyatakan bahwa keanekaragaman hewan tanah lebih rendah
pada daerah yang terganggu dari pada daerah yang tidak terganggu serta menurut
Adisoemarto (1998) menyatakan bahwa perubahan komunitas dan komposisi vegetasi
tertentu pada suatu ekosistem secara tidak langsung menunjukkan pula adanya perubahan
komunitas hewan dan sebaliknya.
V. KESIMPULAN

Dari praktikum lapangan yang telah dilakukan didapatkan hasil bahwa :


1. Kelimpahan fauna tanah tertinggi pada tipe penggunaan lahan sawah konvensional.
2. Keragaman fauna tanah tertinggi pada tipe penggunaan lahan Hutan sekunder.
DAFTAR PUSTAKA

Adisoemarto, S. 1998. Kemungkinan penggunaan serangga sebagai indikator pengelolaan


keanekaragaman hayati. Biota III (1) : 25 33.

Anas, I. 1989. Biologi Tanah dalam Praktek. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut
Pertanian Bogor.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Dika, Go BanHong, dan H. H.


Bailley. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Makalew, A. D. N. 2001. Keanekaragaman Biota Tanah pada Agroekosistem Tanpa Olah


Tanah (TOT). Makalah Falsafah Sains Program Pasca Sarjana /S3. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Mega, I. M., I. N. Dibia, I. G. P. R. Adi, dan T. B. Kusmiyati. 2010. Buku Ajar Klasifikasi
Tanah dan Kesesuaian Lahan. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Udayana, Bali.

Miller, R.W. and R.L. Donahue. 1990. Soils: An Introduction To Soils and Plantgrowth.
Prantice Hall. Englewood Cliffs, New Jersey.

Najima, K. and Yamane, A. 1991. The effect of reforestation on soil fauna in the Philippines.
Philippines Journal of Science 120 (1) : 1-9.

Saridevi, G. A. A. R., I W. D. Atmaja, dan I. M. Mega. 2013. Perbedaan sifat biologi tanah
pada beberapa tipe penggunaan lahan di tanah Andisol, Inceptisol, dan Vertisol. E-
Jurnal Agroekoteknologi Tropika 2(4): 214-223.

Sholehudin, T. C. Setiawati, M. Mandala. 2014. Keanekaragaman meso-makrofauna tanah


dan sifatsifat fisika kimia tanah pada beberapa penggunaan lahan di Desa
Sumbermalang Kecamatan Wringin Bondowoso. Berkala Ilmiah Pertanian.
Sholihah, N. A, D. H. Utomo, dan Juarti. 2016. Sifat fisika kimia tanah ordo vertisol pada
penggunaan lahan pertanian. Jurnal Pendidikan Geografi: 15-36.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Soil Survey Staff. 2014. Key to Soil Taxonomy. United States Department of Agriculture,
USA.

Suhardjono, Y. R. dan Adisoemarto. 1997. Arthopoda Tanah : Artinya Bagi Tanah Makalah
pada Kongres dan Simposium Entomologi V, Bandung 24 26 Juni 1997.

Suin N. M. 2012. Perbandingan Komunitas Hewan Permukaan Tanah antara Ladang dan
Hutan di Bukit Pinang, Pinang, Padang. Universitas Andalas, Padang.

Thomas, C.A. and G.H. Mitchell. 1951. Eelworms: Nemathodes as pest of mushrooms.
M.G.A Bull 22: 61-71.

Wallwork, J. A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc Graw Hill, London.

Wulandari, S. 2005. Dekomposisi Bahan organik tanaman serta pengaruhnya terhadap


keanekaragaman mesofauna dan makrofauna tanah di bawah tegakan sengon
(Paraserianthes falcataria). Jurnal Biosmart 7(2): 104-109.

Yasin, S. 2007. Degradasi Lahan pada Kebun Campuran dan Tegalan. Jurusan Tanah Fakultas
Pertanian Universitas Andalas, Padang.

Anda mungkin juga menyukai