TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Amfibi
Amfibi merupakan salah satu fauna penyusun ekosistem dan merupakan bagian
keanekaragaman hayati yang menghuni habitat perairan, daratan hingga arboreal.
Sebagai salah satu komponen ekosistem, amfibi memegang peranan penting pada
rantai makanan dan dalam lingkungan hidupnya, juga bagi keseimbangan alam
serta bagi manusia, selain itu juga jenis-jenis tertentu dapat dijadikan bio-indikator
kerusakan lingkungan (Primack et al. 1998).
Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti
hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam,
yakni dunia darat dan air. Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang
suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar
serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari
(Liswanto, 1998).
Brotowidjoyo (1989) menyatakan bahwa amfibi adalah hewan yang secara
tipikal dapat hidup dengan baik di air tawar maupun di darat. Sebagian besar
amfibi mengalami metamorfosis dari berudu (akuatis dan bernapas dengan insang)
ke dewasa (amfibius dan bernapas dengan paru-paru), namun beberapa spesies
amfibi tetap mempunyai insang selama hidupnya. Spesies-spesies yang sekarang
ada tidak mempunyai sisik luar, kulit biasanya tipis dan basah. Tengkorak lebar
dengan rongga otak yang kecil. Kaki depan umumnya memiliki 4 jari sedangkan
kaki belakang 5 jari.
5
a. Teresterial: hidup di atas permukaan tanah dan agak jauh dari air kecuali pada
saat musim kawin. Kodok buduk Duttaphrynus melanostictus merupakan salah
satu contoh.
b. Arboreal: kelompok yang hidup di atas pohon. Jenis-jenis katak pohon
umumnya arboreal misalkan Rhacophorus reinwardtii, R. margaritifer,
Nyxticalus margaritifer dan Polypedates leucomystax.
c. Akuatik: kelompok yang sepanjang hidupnya selalu terdapat di sekitar badan
air. Phrynoidis aspera, Limnonectes kuhlii dan Limnonectes macrodon
merupakan jenis yang umum dijumpai di sekitar perairan.
d. Fossorial: kelompok yang hidup di dalam lubang-lubang tanah. Jenis-jenis
seperti Kalaula baleata atau K. Pulchra biasanya berada di dalam lubang-
lubang tanah dan hanya keluar pada saat hujan. Sesilia juga umumnya bersifat
fossorial.
Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi
tiga grup besar yaitu: jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan
tergantung pada manusia, jenis yang dapat berasosiasi dengan manusia tapi tidak
tergantung pada manusia, dan jenis yang tidak berasosiasi dengan manusia.
Amfibi teresterial mempunyai daya adaptasi tersendiri dan perlahan-lahan
dalam mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh ketika mempertahankan
kelembaban kulit pada saat pertukaran udara. Amfibi teresterial umumnya
nokturnal, dengan mempertahankan temperatur harian yang tinggi dan
kelembaban yang rendah. Pada siang hari biasanya amfibi mempunyai kandungan
kelembaban yang lebih tinggi daripada lingkungan sekitarnya yang terbuka dari
sinar matahari dan udara yang hangat. Tempat berlindung pada siang hari yaitu di
bawah batu, batang pohon daun jerami, celah-celah yang terlindung dan daun-
daun (Duellman & Trueb, 1986).
yang menjadi hama bagi pertanian. Katak juga dapat menekan keberadaan
serangga yang merugikan kesehatan manusia. Amfibi terutama pada tahap telur
dan berudu sangat sensitif terhadap kerusakan lingkungan. Seringkali terjadi
perubahan yang terukur baik secara morfologis maupun pada populasi satu jenis
amfibi sebelum hewan lain terkena dampak kerusakan lingkungan. Oleh karena
itu, amfibi menjadi indikator biologi yang penting dimana adanya perubahan
populasi katak menjadi ukuran kesehatan lingkungan di sekitarnya.
Manfaat amfibi sangat beragam baik itu untuk konsumsi, sibernetik
maupun bahan percobaan penelitian. Di samping sebagai sibernetik, amfibi
berperan besar dalam dunia kedokteran di mana amfibi telah lama digunakan
sebagai alat tes kehamilan. Beberapa ahli pada saat sekarang telah banyak
melakukan penelitian untuk mencari bahan anti bakteri dari berbagai spesies
amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terdapat di bawah kulitnya
(Siregar, 2010). Iskandar (1998) menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan
khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi
adalah Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang
cukup bertubuh besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi.
tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa ordo
Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di mana sekitar 21 jenis
di antaranya adalah endemik.
Ancaman kelestarian amfibi dapat berupa satu atau kombinasi dari
berbagai penyebab seperti pengurangan habitat, pencemaran, introduksi spesies
eksotik, penyakit dan parasit, serta penangkapan lebih. Amfibi sangat tergantung
pada air. Lahan basah dan tempat memijah amfibi lainnya seringkali menjadi
tempat pembuangan dan penampungan bahan pencemar. Lahan basah dan hutan
tempat tinggal katak kini banyak yang hilang umumnya untuk pembangunan
(Kusrini, 2013).
Mistar (2003) menyatakan bahwa upaya konservasi amfibi yang mutlak
dilakukan adalah usaha perlindungan dan pengelolaan habitat yang lebih baik dan
efesien. Untuk itu pengetahuan dan pemahaman tentang mikrohabitat sangatlah
penting. Pada skala makro amfibi dapat ditemukan di hutan primer, sekunder,
hutan rawa, aliran sungai dengan air jernih serta tutupan tajuk hutan yang masih
baik. Perubahan iklim global juga menyebabkan banyak spesies amfibi yanng
mengalami penurunan populasi akibat meningkatnya radiasi Ultra Violet B
terutama pada spesies-spesies yang hidup di dataran tinggi dan daerah subtropik.
Pemakaian pestisida dan pupuk kimia yang terus meningkat di negara-negara
berkembang juga menjadi ancaman yang besar bagi kelestarian berbagai spesies
amfibi yang hidup di kawasan pertanian dan pemukiman.
Kusrini (2007) menyatakan bahwa salah satu upaya konservasi amfibi
adalah dengan memberikan pendidikan konservasi amfibi melalui berbagai cara
antara lain penyuluhan bagi anak-anak sekolah dan masyarakat umum baik secara
langsung (di kelas) maupun melalui media lainnya (misalkan penyebaran poster
dan leaflet), pelatihan bagi guru sekolah, maupun pelatihan khusus bagi peneliti
muda mengenai metode penelitian amfibi. Diharapkan dengan adanya pendidikan
ini dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat akan kekayaan hayati Indonesia,
meningkatkan simpati dan dukungan publik bagi konservasi amfibi, dan
meningkatkan efektivitas dari aksi konservasi dan kampanye konservasi amfibi.
Pendidikan herpetologi diharapkan juga dapat menginspirasi beberapa orang agar
dapat menjadi peneliti amfibi di masa depan.