pasien dengan luka bakar memiliki peningkatan yang paling besar (hingga 120,
pada dasarnya peningkatan sesuai dengan luas luka bakar). Setelah perdarahan
subaraknoid, energi saat istirahat yang dikeluarkan 18% lebih tinggi dari perkiraan
untuk sekurang-kurangnya lima hari pertama. Pasien dengan trauma mekanis
ventilasi memiliki peningkatan pengeluaran energi yang lebih rendah (17%)
dibandingkan pasien dengan nafas spontan, kemungkinan karena pengaruh sedasi
dan tidak adanya atau minimalnya kerja pernafasan. Peningkatan pengeluaran
energi muncul dimediasi oleh perubahan lingkungan metabolik. Infus ketokolamin
pada subjek normal meningkatkan laju metabolik, dan peningkatan ini lebih tinggi
ketika kortisol, glucagon dan ketokolamin diinfus bersamaan. Some have ascribed
the increased energy expenditure to increased protein oxidation and synthesis.
Namun, hal ini tidak selalu menjadi soal. Lowry dan kawan-kawan mencatat
bahwa setelah operasi terencana, hanya terdapat perubahan sederhana pada
pengeluaran energi, disamping peningkatan dari perputaran protein. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat hubungan kecil antara kedua hal ini. Proses
metabolik lainnya mungkin berkontribusi terhadap peningkatan pengeluaran
energi adalah peningkatan substansi karbohidrat dan siklus fat futile, suatu proses
yang menyebabkan peningkatan utama pada pengeluaran energi. Alasan teotologi
untuk peningkatan dalam siklus futile adalah terdapat fleksibilitas pada pasien
untuk beradaptasi secara cepat untuk perubahan kebutuhan subtract energi.
Demam juga memiliki peran dalam hipermetabolisme.
Berbagai faktor lingkungan juga memiliki efek terhadap pengeluaran
energi. Peningkatan temperatur ambien (dan kelembapan) mampu mengurangi
pengeluaran energi pada pasien luka bakar dengan menurunkan hilangnya energi
akibat evaporasi dan, sebagai gantinya, menurunkan kebutuhan untuk
menciptakan peningkatan energi untuk menjaga temperatur tubuh.