Anda di halaman 1dari 4

Pasien dengan sepsis mengalami peningkatan sebesar 20-40%, padahal

pasien dengan luka bakar memiliki peningkatan yang paling besar (hingga 120,
pada dasarnya peningkatan sesuai dengan luas luka bakar). Setelah perdarahan
subaraknoid, energi saat istirahat yang dikeluarkan 18% lebih tinggi dari perkiraan
untuk sekurang-kurangnya lima hari pertama. Pasien dengan trauma mekanis
ventilasi memiliki peningkatan pengeluaran energi yang lebih rendah (17%)
dibandingkan pasien dengan nafas spontan, kemungkinan karena pengaruh sedasi
dan tidak adanya atau minimalnya kerja pernafasan. Peningkatan pengeluaran
energi muncul dimediasi oleh perubahan lingkungan metabolik. Infus ketokolamin
pada subjek normal meningkatkan laju metabolik, dan peningkatan ini lebih tinggi
ketika kortisol, glucagon dan ketokolamin diinfus bersamaan. Some have ascribed
the increased energy expenditure to increased protein oxidation and synthesis.
Namun, hal ini tidak selalu menjadi soal. Lowry dan kawan-kawan mencatat
bahwa setelah operasi terencana, hanya terdapat perubahan sederhana pada
pengeluaran energi, disamping peningkatan dari perputaran protein. Hal ini
menunjukan bahwa terdapat hubungan kecil antara kedua hal ini. Proses
metabolik lainnya mungkin berkontribusi terhadap peningkatan pengeluaran
energi adalah peningkatan substansi karbohidrat dan siklus fat futile, suatu proses
yang menyebabkan peningkatan utama pada pengeluaran energi. Alasan teotologi
untuk peningkatan dalam siklus futile adalah terdapat fleksibilitas pada pasien
untuk beradaptasi secara cepat untuk perubahan kebutuhan subtract energi.
Demam juga memiliki peran dalam hipermetabolisme.
Berbagai faktor lingkungan juga memiliki efek terhadap pengeluaran
energi. Peningkatan temperatur ambien (dan kelembapan) mampu mengurangi
pengeluaran energi pada pasien luka bakar dengan menurunkan hilangnya energi
akibat evaporasi dan, sebagai gantinya, menurunkan kebutuhan untuk
menciptakan peningkatan energi untuk menjaga temperatur tubuh.

Understanding the changes wrought on the metabolic milieu by the response to


stress is important when planning the nutritional support of an injured or septic
patient. Because injured and septic patients do not respond to the intake of
exogenous nutrients in the same manner as do postabsorptive os starved subjects,
the effectiveness of nutritional supports is often limited by an underlying hostile
metabolic environment that reduces the use of administered nutrients. This has
vastly complicated the design of nutritional regimens and has led to multiple
strategies aimde at overcoming these limiting factors. The administration of
exogenous of glucose and carbohydrates to injured or septic patients either does
not or only minimally diminishes the rate of gluconeogenesis. This is
contradistinction to refeeding starved patients in whom carbohydrate
administration reduces gluconeogenesis and lipolysis. Despite the reduced use of
glucose, it is still important to administer carbohydrate because some body tissues
are unable to readily use other substrates. Furthermore, glucose and carbohydrate
intakes stimulate the secretion of additional insulin, which promotes protein
synthesis and has an antilipolytic affect. Yet, the appearance of hyperglycemia
limits the amount of glucose and carbohydrate that can be administered. the
degree of hyprglicemia induced by total parenteral nutrion is directly proportional
to the rate of glucose infusion and the degree of injury. Elderly patients are more
presdisposed to develop hyperglycemia. Excessive glucose is metabolized to
carbon dioxide and converted to glycogen, but it is not as readily converted to fat,
owing to a block in net lipogenesis. The administration of large glucose to such
patients results in further increases in energy expenditure because of sympathetic
nervous system stimulation. This increase in metabolic rate (oxygen
consumption), alogn with increased carbon dioxide production , requires
increased minute ventilation. It is this recommended tha glucose intake for such
patients be limites to less than 4mg/kg per minute.
Pasien kritis, stress (trauma atau sepsis) sering kali memperoleh 80%
kebutuhan energi mereka dari lemak. Emulsi lemak yang mengandung rantai
panjang polyunsaturated trigliserida diberikan secara intravena. Kebanyakan
pasien dengan mudah membersihkan dan mengoksidasi triliserida ini, tetapi porsi
kecil dengan sepsis berat tidak mampu secara adekuat membersihkan dan
mengoksidasi lemak. Pasien stresss menggunakan lemak untuk menyediakan 50%
kalori non protein. Jeejeebhoy dan kawan kawan membandingkan formulasi
nutrisi yang mengandung karbohidrat (glukosa) sebagai satu-satunya sumber non
protein terhadap formula nutrisi yang mengandung rata-rata dengan jumlah
glukosa dan lemak yang sama. Mereka menemukan bahwa kedua formula ini
sama-sama menghemat nitrogen.
The provision of protein to stressed patients is an important aspect of nutritional
support. Adequate non-protenin calories (from lipid and carbohydrates) must be
provide, so that the infused amino acids can be used as substrate to alleviate
nitrogen losses. Exogenous protein or amino acids are often administered to
inured patients in an attempt to attenuate the breakdown of endoneous proteins by
providing an alternate source of amino acids for gluconeogenesis and protein
synthesis. Unfortunately, in such states proteolysis is relatively unresponsive to
the usual negative feedback mechanisms, including the administration of
exogenous glucose, protein, or amino acids. Therefore, exogenous amino acids
and protein are not well used, and nitrogen balance remains negative well into the
convalescent stage. This has piqued interest in using anabolic substances,
especially insulin, to improve nitrogen use. Among the major consequences of
glucose and carbohydrate administration is the stimulation of insulin secretion. At
lower doses insulin decreases protein breakdown by inhibiting the ATP-ubiquitin
proteasome proteolytic pathway and may also stimulate protein synthesis when
there is adequate availability of intracellular amino acids. At higher doses is
thought to also stimulate protein synthesis. Alternately, suppression of insulin
secretion, such as occurres during stress hormone infusion (cortisol, glucagon,
epinephrine) in healthy subjects, increased whole body nitrogen losses and the
forearm efflux of amino acids. The administration of small doses of insulin to
burn patients increased skeletal muscle protein synthesis and improved wound
matrix formation. The provision of hypocaloric parenteral nutrition with high-
doses insulin improved nitrogen balance in postoperative cancer patients.
However, the anabolic effects or insulin on protein metabolism were not evident
in enterally fed trauma patients. Therefore, the route of nutrient intake may play a
role in insulins anabolic effects.
Other anabolic substances tha have or are being studied include GH, IGF-1, and
anabolic steroids. GH administration in critically ill patients receiving nutritional
support has been observed to reduce nitrogen loss and improve phosphate
retention. However, outcome studies of GH administration in the critically ill
demonstrated no improvement in patient outcome. Moreover, one study reported
excess mortalility in critical ill patients, which may be attributable to the
diabetogenic and lipolytic properties of GH. Therefore, GH may not be a viable
anabolic substance for the acute critically ill and may be more useful in the
convalescent period. IGF-1 and its binding protein, IGFBP-3, are both reduced
during stress. Like GH, IGF-1 stimulates protein synthesis at lower doses, and at
higher doses also reduces proteolysis. It has advantages when compared with GH
because it is not diabetogenic (it enhances insulin sensitivity) and is effective
when GH resistance is present. The administration of IGF-1 for 3 days descreased
protein oxidation and when administered along with its binding protein, IGFBP-3,
attenuated catabolism in burn patients. More study of these subatancse is under
way. Another effort was to administer anabolic steroids, which have positive
effects on muscle size and strength, but may have detrimental psychological,
cardiovascular, and thrombotic effects. These hormones increased amino acid and
water uptake and increased fat use in catabolic patients, but failed to promote
significant increases in visceral protein synthesis. Anabolic steroids may be more
useful in restoring muscle mass in noncritically ill patients.
Glutamin telah menjadi focus penelitian karena glutamin penting dalam
menjaga usus dan integritas imunologi selama masa kritis. Glutamin merupakan
asam amino yang paling melimpah dalam darah dan dengan sendirinya menjadi
stimulator insulin-independent untuk gluconeogenesis. Glutamin merupakan
bahan bakar utama untuk pembelahan sel secara cepat seperti enterosit dan
immunosit. Glutamin juga termasuk kedalam transport nitrogen interorgan. Bukti
dari penelitian dengan hewan telah mengindikasikan glutamin dapat menjadi asam
amino essensial selama masa kritis dari suatu penyakit dan pemberian nutrisi
berupa suplemen glutamin baik parenteral maupun enteral dapat mencegah
translokasi bakteri. Data dari penelitian pada manusia kurang menarik. Glutamin
lebih insoluble dan oleh karena itu sulit untuk di berikan. Beberapa telah sukses
memberikan asupan glutamin melalui infus sebagai asam amino L, glutamine-
dipeptides atau alanyl glutamate. Laporan asli mengindikasikan bahwa pasa
beberapa pasien katabolik, nutrisi yang mengandung glutamin dapat
meningkatkan struktur dan fungsi usus, mengerahkan efek anabolik, dan
menurunkan angka morbiditas, biaya rumah sakit, angka infeksi, dan lama
perawatan di rumah sakit. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memastikan
pemberian glutamin dapat meningkatkan outcome.

GENDER DAN RESPON STRESS


Aspek tertentu terhadap respon stress berbeda antara pria dan wanita.
Dibandingkan pria, aktivasi system simpatik pada wanita dilemahkan atau secara
bergantian, hambatan simpatoadrenal ditingkatkan. Similiar pada pria, pria
memiliki peningkatan vasopressin arginine dan ACTH lebih besar dalam respon
physostigmin dibandingkan wanita, mengindikasikan perbedaan sensitivitas aksis
HPA. Wanita dengan trauma mengalami peningkatan serum IGF-1 dan perubahan
minimal pada konsentrasi transthyretin (prealbumin), padahal pada pria dengan
trauma, kedua hal tersebut mengalami penurunan. Konsentrasi serum IGF-binding
protein-3 meningkat seriring dengan tingkat keparahan cidera pada wanita yang
mengalami trauma. Hubungan terbalik ditemukan diantara pria dengan trauma.
Yang paling menarik adalah observasi terhadap prognosis yang secara signfikan
lebih baik diantara wanita dengan sepsis dibandingkan lelaki dengan sepsis. Hal
ini berhubungan dengan konsentrasi TNF proinflamasi pada pria dan tingginya
anti inflamasi IL-10 pada wanita. Perbedaan ekspresi sitokin juga ditemukan.
Monosit pada pria menghasilkan reseptor IL-1 tipe dua yang lebih soluble
dibandingkan monosit pada wanita.
Dapat disimpulkan, respon cidera dan sepsis menunjukan hasil pada
permasalahan mendalam mengenai fisiologi homeostasis. Perubahan utama
terdapat hampir di semua sistem tubuh yang dimediasi oleh substansi-substansi
bioatktif oleh SSP (system saraf pusat) dan endokrin, imun, dan sistem
hematopoietik. Hal yang mendasari lingkungan metabolik rusak, kemampuan
metabolism substrat endogen dan nutrisi eksogen berubah. Namun, disamping
penemuan yang berkelanjutan mengenai mediator dari respon kompleks ini
selama dua dekade terakhir, banyak aspek respon yang belum dimengerti.
Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengungkap misteri yang tersisa
sehingga jalan untuk efek yang merugikan terhadap respon stress ditekan dan
aspek keuntungan yang bisa dikembangkan diperkuat.

Anda mungkin juga menyukai