Anda di halaman 1dari 4

CUKUP SATU SAJA

Karya Kamal Ridho Al Khudry

Kerang putih ini kugenggam lebih erat. Dingin yang dihasilkan ombak senja kali ini berhasil
dikalahkan oleh kehangatan kerang yang aku genggam. Dengan mesra, pasir kuning khas pantai yang
disapu ombak membisikkan sebuah mantera keajaiban yang mampu membuat hatiku merinding.
Celanaku nyaris basah secara sempurna karena dicium buih pantai yang kian pasang. Untungnya,
bajuku hanya tertetesi percikan muntah laut secara menyebar yang berguna untuk mengurangi aura
kedinginan yang kian mencekam.

Mataku terpejam, seakan menolak cahaya senja yang kian merunduk tunduk kepada titah Sang
Pengawal kehidupan. Kacamataku berembun, rambut basahku yang mulai mengering terlukai lagi oleh
semprotan alami dan kemesraan air laut. Pikiranku melayang tak menentu, mencari sesuatu yang bisa
membuatku tenang dan bahagia tanpa harus memedulikan sekitar. Ingatanku jatuh ke satu titik
pencerahan yang membuat hidupku lebih bermakna.

Celanaku telah berganti kulit dari merah menjadi kecokelatan karena kotor. Kemeja putihku semakin
kumal. Tak pantas disandingkan dengan orang lain yang mengenakan pakaian serba bersih tanpa
campur tangan keringat dan polusi udara sebagai saksi atas perjuangan dalam kehidupan.

Aku tak memakai tas, sebagaimana orang lain yang mengenakan tas mahal dan bermerk hingga
memamerkannya kepada teman sebangkunya atau teman sepermainan lainnya. Tas bututku hanyalah
sekantung plastik merah jumbo yang berjasa telah menampung satu buku dan pinsilku, lengkap dengan
karet gelang sebagai penghapusnya. Sebagai alas untuk menutupi sobekan plastik yang kian membesar,
koran-koran yang hendak aku jual sedikit membantu agar perlengkapan belajar istimewaku tidak jatuh.

Jijik melihat keadaan fisik dan pakaian yang aku kenakan, tak ada satu orang pun teman sekelasku
yang mau berabung dan menyapa diriku. Bahkan, setelah enam tahun aku bertahan untuk sekolah di
sini pun, tak ada seorang guru yang mau bicara dan mengasihaniku. Aku memang tidak ingin
dikasihani. Menurutku, orang yang dikasihani ialah orang yang malas dan tidak ada gunanya lagi di
dunia ini. hanya saja, pikirku, tak ada seorang manusia pun yang mau berempati melihat keadaanku.
Tetapi, walau demikian aku masih patut bersyukur karena berkat nilai yang aku raih nyaris selalu
sempurna, aku tetap bertahan dan bisa belajar layaknya anak-anak sempurna lainnya.

Aku, orang yang tidak terkenal, namun semua orang mengenalku dengan kekumalan dan ketidakrapian
diriku yang selalu merasa tidak betah jika harus berlama-lama berada di sekolah. Bukan hanya karena
lingkungan sekitar yang selalu mengolok-olok diriku dengan cacian dan umpatan pedas, tetapi lebih
karena pikiranku tidak tenang tentang nasib koran-koranku kelak jika tidak segera diedarkan di pasar
demi mendapatkan satu dua orang manusia baik yang mau membeli koran busukku.

Sering aku merenung, namun tetap tidak mengeluarkan keluhanku kepada Tuhan. Kupikir, walau
bagaimana pun Tuhan tetap sayang kepadaku dengan memberikan kehidupan walau hanya sebatas
seorang yatim piatu. Aku sendiri tidak mengenal kedua orang tuaku. Tak ada yang tahu orang tuaku.
Menurut tetangga komplek ku, aku ditemukan dalam keadaan menangis dan tergeletak begitu saja di
tengah-tengah kerumunan perumahan megah tetanggaku. Tak ada yang tahu identitasku. Bahkan, tak
ada yang sudi mengambilku sebagai seorang anak. Mereka hanya membiarkanku tertidur di tempat aku
ditemukan dengan hanya memberikan pelayanan istimewa yang cukup mengganjal perutku, hingga
kini. Mungkin itu sebabnya aku dinamakan Baladungsai.
Dungsai! begitu sapaan mesraku yang pertama kali diikrarkan guru kesenian suatu ketika, Apa cita-
citamu kelak? lanjutnya. Sontak aku berdiri dengan pikiran yang masih dalam keadaan bingung.
Dokter, Bu! jawabku mantap. Seketika seisi ruangan ramai oleh tertawaan kawan-kawan sekelas.
Mereka mengumpat dan meledekku. Entah berapa banyak umpatan dan ledekkan mereka yang aku
dengar. Yang jelas, telingaku hampir robek mendengar semua hinaan yang ditujukan khusus kepadaku,
si Anak Koran.
Hai Dungsai, kamu tidak pantas menjadi seorang dokter. Lebih bijak kau pilih jalan pintas, menjadi
pengusaha koran atau bunuh diri! Ahahaha sahut Gerhana, sang ketua kelas yang langsung disusul
teriakkan dan komentar dari teman-teman lainnya. Guruku hanya tersenyum menutupi bibir tebalnya.
Kala itu, jika aku bisa ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya. Mengapa aku dilahirkan tanpa Bapak
dan Ibu? Mengapa aku dilahirkan di tengah-tengah komplek mewah dengan bangunan rumah dari
Koran mentah? Ribuan pertanyaan lainnya terus aku lontarkan kepada pikiran kalutku. Namun,
seketika teriakkan dan umpatan kawan-kawan sekelasku hilang bak disapu ombak saat seorang siswi
melemparkan bukunya ke papan tulis dan berteriak, Diam!

Mata guruku melotot di balik kacamata bundarnya. Hidung peseknya dimekarkan seakan menahan
marah. Alisnya di angkat dan bibir tebalnya manyun. Wajah hitamnya memerah dan sontak ia berdiri
dan memukul meja sekeras ia mampu.
Nomilae, apa yang kamu lakukan? suaranya menggema memenuhi seisi kelas. Kawan-kawanku
menunduk, tak sanggup melihat wajah guruku yang nyaris sama seperti ibu tiri Bawang Putih.
Seharusnya saya yang bertanya, apa yang kawan-kawan lakukan? Mengapa mereka mentertawakan
cita-cita sahabat kita? Tak ada salahnya, kan, bila Dungsai mempunyai cita-cita tinggi seperti kita?
entah Nomilae mendapat kekuatan dari mana untuk mengatakan hal seperti itu.
Kita memang berhak mempunyai cita-cita tinggi. Tetapi, harus sesuai dengan kondisi sosial kita!
sergah guruku membantah argumen Nomilae.
Tapi
Cukup Nomilae! guruku marah besar. Tak mau urusannya menjadi panjang, ia menyeretku untuk
keluar meninggalkan kelas. Tanpa ampun!
Hey Nomilae, tunggu! Aku masih ingin belajar, aku mencoba menahan langkahku dari seretan
Nomilae.
Untuk apa kamu belajar jika lingkungan sekitar tidak mendukungmu? Bukankah selama ini kau telah
belajar banyak hal tanpa guru? Nomilae terus berjalan tanpa melirik ke arahku.
Tidak. Aku sama sekali tidak belajar selain di sekolah, Sanggahku.
Lalu, mengapa kamu pintar? Mengapa cita-citamu ingin menjadi seorang dokter?
Aku hanya sering membaca koran sebelum akhirnya aku jual
Nah, itulah yang membuatmu bisa belajar tanpa seorang guru
Tidak, guruku mengajarkan aku membaca
Lalu, apakah guru yang mengajarkanmu makan? Apakah guru yang mengajarkanmu untuk terus
hidup? Apa kamu hidup atas bantuan guru?
Tidak, aku dibantu oleh Tuhan
Itu dia, guru itu tidak ada bagimu. Kau orang yang sangat luar biasa yang mampu berinteraksi
langsung dengan Tuhan. Jadi, kau tidak membutuhkan sekolah ini. pergilah, merantaulah, carilah orang
yang mampu membawamu mengenal lebih dekat akan penyelamatmu. Kau akan mendapatkan apa
yang kau cita-citakan jika kau pergi dari sini, kata-kata terakhirnya membingungkanku.
Matahari sudah hampir tenggelam seutuhnya, langit merekah berwarna merah yang tersebar di lautan
angkasa yang luas. Hanya sebentar aku melirik keadaan sekitar. Kacamataku yang berembun sudah
mulai mengering, aku kembali terpejam dan meneruskan perjalanan hidupku demi mengetahui jati
diriku yang sesungguhnya.
Perutku mulai terasa lapar, sudah seharian penuh aku merantau. Masih tetap memakai celana merah
yang kecokelatan. Hanya saja, bajuku kini telah berganti menjadi kaos pemberian calon anggota dewan
yang pasarkan secara gratis ke setiap penduduk desa. Termasuk aku. Mungkin, kaos tipis yang
kebesaran inilah yang merupakan kaos istimewa dan paling berharga bagiku setelah kemeja putih
kebanggaanku. Bukan karena bagusnya baju itu, melainkan karena memang hanya dua baju itulah yang
aku punya.

Perutku sudah tidak bisa diajak untuk negosiasi lagi. Aku sudah sangat nelangsa membawa perut butut
yang terus merintih meminta sumbangan amal kebaikan. Tetapi sungguh, tak ada satupun barang yang
bisa aku makan. Bahkan, di bak-bak tempat sampah pun sudah tidak tersedia lagi makanan enak yang
siap aku santap demi menebus amal kebaikan untuk perut bututku.

Seiring memuncaknya kemarahan perutku yang sudah tidak dapat menahan lapar, pikiran jahat rupanya
mampu merasukiku dan menundukkan akal sehatku. Terbersit dipikiranku untuk menyopet makanan
seorang perempuan tua yang baru saja keluar dari sebuah minimarket. Tanpa berpikir panjang,
kegilaanku menjadi karena memang perutku terus memberontak dan memaksaku untuk melakukan hal
gila itu.
Aku berlari dengan kecepatan tinggi menuju perempuan itu dan sengaja menabraknya. Selagi
perempuan tua itu menggertu, kurampas plastik yang ia pegang dan kembali bangkit lalu berlari pergi
meninggalkannya yang masih berusaha untuk berdiri. Menyadari barangnya ada yang hilang, tahulah ia
bahwa aku yang mengambilnya. Segera saja ia berteriak sambil berlari mencoba mengejarku,
Maliiiiing! teriaknya.

Sontak orang-orang yang dilewatinya kaget mendengar teriakan itu. Seakan dikomando, mereka berlari
mengejar dan mencoba mengepungku. Aku ketakutan dan berusaha berlari sekencang yang aku bisa.
Dalam hati aku berdoa kepada Tuhan supaya Dia menyelamatkanku. Sialnya, aku berlari ke arah
perumahan penduduk. Semakin banyaklah orang yang mengejarku hingga membuatku semakin
ketakutan. Aku terus berlari, namun kejaran orang-orang dewasa itu mampu mengalahkanku hingga
aku tertangkap. Tanpa ampun aku dikeroyok habis-habisan. Bajuku koyak, wajahku memar hingga
diriku tak sadarkan diri.

Kubuka mata dan melihat ke sekeliling, gelap. Dinginnya udara pantai merasuki diriku. Kali ini,
genggamanku kepada kerang putih ini tak dapat menghilangkan keganasan malam dan dinginnya yang
hampir memuncak. Namun, aku tak menyerah dan tetap duduk pada posisi semula. Kini, semua
pakaianku basah secara sempurna. Rambutku seakan enggan kering dan basah oleh percikan ombak
yang kian membanjiri tepi pantai. Kacamataku yang kering kembali dihiasi embun, semakin tebal.
Kupejamkan kembali mataku di bawah langit malam ini dan tersadar saat seorang lelaki dengan suara
lembut membangunkanku.
De, sapanya pelan sembari menggoyangkan tubuhku yang tengah tertidur di pojok ruangan yang
gelap dan kotor. Aku terjaga dari tidurku, namun mataku masih enggan terbuka. Kupaksakan untuk
membuka mata demi mengetahui siapa sosok lelaki yang menyapaku.
Kamu kenapa bisa berada di tempat ini? tanyanya sejurus kemudian setelah aku terbangun dan
mencoba duduk. Sekujur badanku terasa sangat sakit jika digerakkan. Aku keheranan dan mengerutkan
kening mendengar pertanyaan lelaki itu, Dimana? tanyaku kepadanya. Sedikit heran, baju kami
sama. Berwarna biru tua dan kebesaran. Tak lupa, dengan jelas tertulis sebuah kata mengerikan yang
dicetak tebal dan dengan huruf kapital, TAHANAN.
Aku berada di penjara? tanyaku heran. Lelaki itu mengangguk.
Bagaimana kau bisa berada di tempat ini? nampaknya ia merasa lebih heran melihat seorang bocah
masuk penjara.
Aku menyopet! kataku singkat, sedikit murung.
Kau menyopet? Bagaimana bisa? Kau seorang bocah, katanya seakan menghinaku.
Ya, maka dari itu aku tertangkap
Mengapa kau memilih untuk menyopet?
Aku lapar. Aku tak punya uang untuk membeli makanan. Semua bak sampah tidak menyediakan
makanan. Otakku kalah oleh desakkan perutku yang memberontak ingin makan
Kasian sekali kau. Memangnya Bapak dan Ibumu kemana?
Aku tak punya orang tua
Lalu kau terlahir dari siapa?
Kata orang, aku terlahir dari alam. Aku ditemukan begitu saja di antara kerumunan rumah penduduk
Namamu siapa, bocah?
Baladungsai. Panggil saja aku Dungsai
Aku Malik Amrullah
Dialah orang kedua yang mau berinteraksi denganku setelah Nomilae. Orangnya baik, sopan, tampan
pula. Ia adalah seorang dokter, katanya. Tetapi yang aku herankan ialah kenapa ia berada di penjara?
Bukankah tempat dokter itu di Rumah Sakit atau Apotek? Namun dengan keras kepala, ia tak mau
membuka diri kenapa ia bisa dipenjara.

Akhirnya, dari dialah aku belajar banyak hal tentang ilmu kedokteran. Walau hanya bermodalkan
imajinasi, aku merasa cukup mahir melakukan praktik di umurku yang baru saja menginjak 12 tahun
ini. Hingga akhirnya aku bertekad bahwa hanya Malik yang akan menjadi guruku. Benar apa kata
Nomilae, aku tak butuh guru. Cukup satu saja yang aku jadikan guru sebagai pemilik kepribadianku.

Lantas, istana besi ini menjadi saksi bisu bahwa aku tengah berlayar di gurun kedokteran. Hingga kini,
aku berkelana dan membuat jejak pelayaran sampai aku terbangun di malam kelam dengan kerang
yang tak lagi kugenggam. Selamat menyelam, malam!

http://www.lokerseni.web.id/2012/01 /cerpen- cukup-satu-saja.html

Anda mungkin juga menyukai