Studi Kasus 2
PERTANAMAN LORONG (ALLEY CROPPING) LEGUMINOSA DENGAN
RUMPUT PAKAN TERNAK: PENGARUH JENIS RUMPUT DAN JARAK
LARIKAN GLIRISIDIA TERHADAP PERTUMBUHAN DANPRODUKSI
HIJAUAN PAKAN
Tanaman lorong yang dipangkas secara teratur, kemudian diberikan ke
tanah sebagai mulsa dapat bermanfaat melindungi tanah terhadap erosi, sebagai
sumber bahan hijauan dan bahan organik, sehingga dapat meningkatkan
kesuburan tanah yang akhimya dapat meningkatkan produksi.
Sistem pertanaman lorong dengan leguminosa semak atau pohon
bermanfaat sebagai sumber hijauan pakan ternak dalam sistem potong angkut
(cut and carry). Sistem ini juga dapat mengurangi erosi tanah dan aliran air
permukaan. Tanaman yang di gunakan merupakan : Leguminosa glirisidia,
rumput raja, dan rumput gajah
Studi Kasus 3
PENGEMBANGAN PERTANIAN BUDIDAYA LORONG (ALLEY
CROPPING) UNTUK KONSERVASI LAHAN KRITIS DI HULU DAERAH
ALIRAN SUNGAI (DAS) CIMANUK, JAWA BARAT
Permasalah besar yang dialami DAS Cimanuk pada saat ini adalah
gundulnya hutan di wilayah hulu. Gundulnya hutan di wilayah hulu Sungai
Cimanuk mengakibatkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim
kemarau. Pada saat musim hujan debit air sungai Cimanuk sangat besar, yakni
sebesar 1.004 m3 per detik dan pada saat musim kemarau hanya 4 m3 per detik,
berarti rasio debit di sungai Cimanuk mencapai 251. Tingginya rasio ini
menunjukkan tingkat kerusakan DAS yang sudah sangat parah.
Di wilayah hulu DAS Cimanuk pun telah terjadi penggundulan hutan yang
sudah termasuk dalam kategori parah yang mengakibatkan lahan menjadi kritis.
Tercatat lahan kritis di DAS Cimanuk saat ini telah mencapai 131.384 ha atau
sekitar 36,6 % dari total luas DAS. Lebih lanjut, sebagai akibat semakin rusaknya
DAS ini adalah semakin besarnya tingkat erosi tanah yang mengancam rusaknya
saluran irigasi maupun cepatnya pendangkalan waduk.
Dengan demikian diper lukan penanganan yang tepat dan memadai agar
peran dan fungsi DAS Cimanuk dapat dikembalikan secara optimal. Untuk itu
guna menunjang berhasilnya Gerakan Konservasi DAS Cimanuk diusulkan untuk
dikembangkan sistem Budidaya Lorong. Sistem Budidaya Lorong biasanya
dilakukan di lahan kering dengan kemiringan antara 10 sampai dengan 20 %,
dimana tanaman pangan ditanam diantara tanaman pagar yang berupa pohon,
seperti Flemengia congesta.
Budidaya lorong (alley cropping) pada dasarnya adalah menanam tanaman
pagar yang ditanam rapat mengikuti garis kontur dan tanaman pokok yang berupa
tanaman semusim (pangan atau hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi) yang
ditanam pada lorong lorong diantara tanaman pagar. jenis tanaman pagar ini
dipilih dari jenis yang memiliki sifatsifat: (a). Cepat tumbuh dan bertunas
kembali sehingga menghasilkan banyak hijauan, (b). Tingkat persaingan terhadap
unsur hara dan air dengan tanaman pokok relatif rendah. (c). Memiliki perakaran
vertikal yang dalam sehingga mampu menahan erosi tanah. Tanaman pagar yang
mempunyai penyebaran akar lateral (menyebar pada lapisan dan (d). Tidak
bersifat alelopatik (mengeluarkan zat racun) terhadap tanaman pokok. Dengan
demikian teknik budidaya lorong ini dilakukan atas dasar prinsip-prinsip
konservasi tanah, dengan unsur pokok adalah tanaman pagar yang berperan
sebagai pengontrol erosi yang efektif.
Tanaman pagar dalam budidaya lorong ini biasanya ditanam dalam barisan
tanaman perdu yang ditanam secara rapat dengan jarak tanam biasanya antara 10-
25 cm tergantung pada jenis tanaman pagarnya. Dibandingkan dengan pembuatan
teras bangku untuk konservasi lahan, biaya budidaya lorong ini jauh lebih murah
dan cukup efektif dalam menahan erosi bahkan mendukung lahan yang semakin
subur. Dalam waktu yang relatif tidak lama sekitar tiga sampai empat tahun sejak
tanaman pagar ditanam biasanya telah terbentuk teras secara alami sehingga teras
jenis ini sering disebut sebagai teras kredit yang berguna dalam menahan erosi
tanah.
Dalam pertanian sistem budidaya lorong akan terjadi interaksi yang saling
menguntungkan antara tanaman pagar dengan tanaman pokok, antara lain adalah:
(a). Serasah dari tanaman pagar berperan menurunkan kehilangan air melalui
evaporasi dari permukaan tanah sehingga akan memperbaiki kelembaban tanah,
(b). Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma (misalnya
Imperata cylindrica) sehingga akan mengurangi resiko kebakaran pada musim
kemarau, dan (c). Tanaman pagar (khususnya dari jenis leguminosa) dapat
mengikat unsur nitrogen (N2) secara biologis dari udara sehingga akan
menurunkan kebutuhan pupuk nitrogen. Pertanian budidaya lorong ini sangat
cocok dilakukan di daerah yang berlereng seperti di wilayah hulu DAS Cimanuk
yang memiliki tingkat kelerengan antara 10-30 %. Setelah terjadi penebangan
hutan di wilayah hulu DAS Cimanuk yang memiliki kemiringan tanah dan curah
hujan yang tinggi mengakibatkan tanah menjadi gundul dan kesuburan tanah
menurun karena adanya erosi yang membawa lapisan tanah bagian atas (top soil)
yang subur.
Studi Kasus 4
KARAKTERISASI PRODUKSI DAN KUALITAS MINYAK NILAM HASIL
KULTUR IN VITRO PADA BUDIDAYA TANAMAN SELA KAKAO DAN
KELAPA
Pemanfaatan tanaman nilam hasil perbanyakan kultur jaringan yang
toleran terhadap naungan merupakan salah satu alternatif dalam upaya
memanfaatkan areal pertanaman di bawah tegakan, khususnya pada areal
perkebunan tanaman kakao dan kelapa. Jenis tanaman sela mempunyai pengaruh
yang berbeda terhadap tingkat produksi maupun kualitas minyak yang dihasilkan.
Tanaman yang dibudidyakan di bawah tegakan tanaman yang terlalu padat
kanopinya akan berpengaruh buruk terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman
nilam. Misalnya di Purwokerto, Jawa Tengah para petani menanam nilam sebagai
tanaman sela pada tanaman pisang, rambutan dan mangga dengan rendemen
minyak yang rendah. Dengan demikian pemilihan jenis tanaman sela perlu
diperhatikan agar produksi dan kualitas minyak tetap tinggi.
Tanaman kakao dan kelapa merupakan komoditas tanaman yang banyak
dikembangkan oleh rakyat, sehingga pemilihan tanaman sela kakao dan kelapa
sangat bermanfaat dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan lahan sehingga
dapat memberi nilai tambah bagi petani. Tanaman kakao mempunyai struktur dan
percabangan kanopi yang lebih rindang dibandingkan dengan tanaman kelapa. Hal
tersebut akan memberikan respon yang berbeda terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang ditanam sebagai tanaman sela pada kedua tanaman
tersebut.
Produksi dan kualitas minyak nilam dapat dijadikan penciri utama dari
respon tanaman yang budidayakan sebagai tanaman sela, disamping karakter
pertumbuhan lainnya. Namun demikian, karakter pertumbuhan yang baik belum
tentu sejalan dengan kadar minyaknya yang tinggi, misalnya pada jenis tanaman
yang sama dengan bobot kering yang lebih tinggi, namun kadar minyak dan
kualitas minyaknya justru lebih rendah. Juga dapat terjadi kadar minyak tinggi,
kualitas minyaknya yang rendah. Dengan demikian untuk melihat efek
penggunaan tanaman kakao dan tanaman kelapa sebagai tanaman sela pada
tanaman nilam, maka seperlu dilakukan karakterisasi produksi dan kualitas
minyak nilam yang dibudidayakan sebagai tanaman sela antara tanaman kakao
dan tanaman kelapa.
Pelaksanaan percobaan diawali dengan memilih kebun kakao dan kelapa
dengan kriteria tanaman kakao yang dipilih adalah tanaman yang berumur kurang
lebih 5 tahun, sedangkan untuk tanaman kelapa kurang lebih tujuh tahun, tanaman
dalam kondisi sehat dan tidak terserang hama dan penyakit, serta dibudidayakan
secara monokultur. Kegaiatan berikutnya, kebun dibersihkan dari gulma yang
ada di bawah tegakan tanaman kakao dan kelapa. Untuk tanaman kakao dilakukan
pemangkasan agar kanopi tanaman tidak terlalu rindang sehingga kelembaban
tidak terlalu tinggi, sedangkan pada kelapa dilakukan pemangkasan daun-daun tua
yang menggantung. Pembuatan plot percobaan dengan ukuran masing-masing 3 m
x 12 m (36 m2) untuk setiap ulangan, yang dibagi ke dalam 4 sub plot, masing-
masing berukuran 3 m x 3 m. Setiap plot dibuat bedengan ukuran 1 x 0,5 m.
Bibit tanaman nilam ditanam dengan jarak tanam 0,5 m x 1,0 m, dilakukan
dengan cara menanam atau membenamkan dua ruas ke dalam tanah. Sebelum
bibit ditanam, terlebaih dahulu dipupuk Urea (150 kg/ha), TSP (100 kg/ha) dan
KCl (100 kg/ha) atau, masing-masing 54 g/petak, 36 dan 36 g/petak dengan cara
membenamkan ke dalam tanah secara merata pada masing-masing petak
percobaan. Bibit yang telah ditanam disiram dan disungkup dengan pelepah daun
kelapa yang dimaksudkan agar bibit tidak mengalami stagnasi di awal
pertumbuhaanya.
Studi Kasus 5
DINAMIKA SISTEM BERBAGI SUMBERDAYA (RESOUCES SHARING)
DALAM AGROFORESTRI: DASAR PERTIMBANGAN PENYUSUNAN
STRATEGI SILVIKULTUR
Pola lorong dalam sistem agroforestry dirancang untuk memadukan dua
tujuan pengelolaan secara bersamaan yaitu produksi dan konservasi, sehingga
karakter pola lorong ini adalah jarak baris pohon antar lorong satu dengan lorong
yang lainnya lebih pendek apabila dibandingkan dengan pola pohon pembatas.
Hal ini terjadi karena pola lorong dipilih untuk lokasi yang mempunyai ragam
kelerengan (tidak datar). Penelitian ini menginformasikan bahwa gradien sumber
energi (cahaya) sangat tampak nyata berdasarkan waktu (pagi, siang dan sore)
apabila dibandingkan antara pola lorong dengan kondisi terbuka. Pengaruh
langsung keberadaan pohon dalam sistem agroforestri adalah penaungan yang
mengakibatkan cahaya yang dapat ditangkap oleh tanaman semusim berkurang.
Tajuk pohon yang semakin rapat akan semakin mengurangi cahaya yang
sampai kepermukaan tanah. Luas areal ternaungi dalam sistem agroforestri sangat
tergantung kepada lebar lahan dan lebar baris pohon yang tertutupi oleh tajuk,
sehingga yang menjadi faktor penentu dalam hal ini adalah arsitektur tajuk jenis
komponen penyusun. Selain itu, menurut konsep dasar fisiologi yang lama,
pertumbuhan akar dan fungsinya bagi produksi tanaman adalah didasarkan atas
keseimbangan morfogenetik antar akar dan tajuk tanaman. Dengan kata lain
bahwa lebih banyak akar, mengakibatkan pertumbuhan tajuk menjadi lebih baik
atau tinggi pohon dan luas sebaran tajuknya akan menentukan kedalaman dan luas
sebaran perakaran pohon tersebut. Sabarnurdin dkk. (2004) menjelaskan bahwa
pada pola lorong (alley cropping) dengan dominansi mahoni pada umur 10 tahun
mempunyai perkembangan tajuk sebesar =23,7532 (1-e-0,0316) 0,8428 ke arah
bidang olah.
Obyek penelitian ini adalah sistem agroforestri yang dikelola dengan
model Alley Cropping (AC) atau pola lorong (diambil 3 sampel yaitu AC 1, AC 2
dan AC. Jenis pohon terpilih meliputi Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia
macrophylla), Sonokeling (Dalbergia sissoides) dan Akasia (Acacia
auriculiformis) sedangkan untuk tanaman semusim yaitu jagung (Zea mays).
Sampel juga diambil pada sistem pertanaman murni (kondisi terbuka) untuk
mengetahui respon pada kondisi non agroforestri. Pertimbangan peruntukkan akan
memberikan konsekuensi pada nilai ragam jenis yang dipilih, artinya semakin
banyak manfaat yang didapatkan maka ragam jenisnya semakin tinggi. Sedangkan
karakteristik jenis didasarkan pada kemudahan dan kesederhanaan
pengelolaannya. Pohon merupakan komponen penting dalam model agroforestri
lorong (alley cropping) dan pohon pembatas (trees along border).
Karakteristik pohon sangat berpengaruh terhadap penggunaan sumberdaya
yang ada. Karakteristik penting yang perlu dipertimbangkan adalah arsitektur
tajuk yang meliputi lebar, kedalaman dan volume tajuk dan karakter pertumbuhan
yaitu jenis pertumbuhan cepat (fast growing spesies) atau lambat (slow growing
spesies). Sifat lain yang penting adalah sistem perakaran (morfologi, intensitas
dan sebaran). Karakter pohon yang terekspresikan sangat mempengaruhi dalam
penangkapan dan penggunaan sumberdaya, sehingga sangat berpengaruh dalam
sistem berbagi sumberdaya (resources sharing) dalam sistem agroforestri.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Alley cropping merupakan system pola tanam polikultur yang
memanfaatkan tanaman pagar untuk meningkatkan hasil tanaman utama, system
alley cropping mengambil konsep penanaman agroforestry namun tanaman pagar
ditanam pada lorong lorong yang dibuat diantara tanaman utama.
Pola tanam alley cropping dinilai menguntungkan karena produktivitas
pertanaman dapat meningkat, mengurangi tingkat kerusakan lingkungan,
memberikan supply bahan organic, dan menghemat biaya pengolahan lahan.
Sedangkan kekurangan dari pola tanam alley cropping adalah dibutuhkan tenaga
kerja lebih dan perawatan tanaman agar tidak terjadi persaingan unsur hara antara
tanaman utama dan tanaman pagar.
DAFTAR PUSTAKA
Daning Eka Septyarini. 2014. http://blog.ub.ac.id/daningfpub/2014/05/21/pola-
tanam-alley-cropping-budidaya-lorong/. Diakses 8 Mei 2017
Haryati, Umu. 2010. Budidaya Lorong (Alley Cropping). http://bebasbanjir2025.
Word press .com/teknologi-pengendalian-banjir/budidaya-lorong/. Diakses 8 Mei
2017
Heri. 2011. http://catatankuliah-heri.blogspot.co.id/2011/03/alley-cropping.html.
Diakses 8 Mei 2017
Kang, B.T., Reynolds, L. and AttaKrah, A.N. 1984. Alley farming, Advances in
Agronomy 43: 316 359.
Sariyata, Ketut. 2007. Usaha Tani Konservasi (Pola Budidaya Lorong). Kupang :
Balai Besar Pelatihan Peternakan Nusa Tenggara Timur.
Working Trees. 2012.
https://nac.unl.edu/documents/workingtrees/infosheets/WT_Info_alley_cropping.
pdf. Diakses 8 Mei 2017