Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat konsolidasi
dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan
benda-benda asing (Muttaqin, 2008).
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak dibedakan
menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis (bronchopneumonia),
Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan
dimanaalveoli(mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang bertanggung jawab
untukmenyerap oksigen dari atmosfer) menjadi radang dan dengan
penimbunancairan.Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam
sebab,meliputiinfeksi karena bakteri,virus,jamur atau parasit (Reevers, 2000).
2. Etiologi Pneumonia
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut. Organisme gram posifif
seperti : Steptococcus pneumonia, S. aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri
gram negatif seperti Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P.
Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi droplet.
Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar melalui penghirupan
udara yang mengandung spora dan biasanya ditemukan pada kotoran burung, tanah
serta kompos. Contoh jamur yang dapat menjadi penyebab antara lain Candida,
Histoplasma, Aspergilus
Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC). Biasanya
menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi.
Bahan kimia
Minyak tanah, bensin
Aspirasi (cairan amnion, makanan, cairan lambung, susu)(Reevers, 2000;
Sectish, 2003).
1
jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang kurang memadai,
defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara, kepadatan rumah tangga,
ventilasi rumah, dan pemberian makanan yang terlalu dini (Depkes RI, 2004). Selain
itu, dari sebuah hasil penelitian diketahui faktor-faktor risiko lain yang dapat
meningkatkan insidens pneumonia yaitu perilaku ibu dalam pengobatan, lamanya
waktu anak berada di dapur, riwayat ke Posyandu dalam 3 bulan terakhir, serta
pendapatan rumah tangga. Jika diklasifikasikan, maka faktor-faktor risiko pneumonia
dapat dibedakan atas faktor anak, faktor orang tua, dan faktor lingkungan.
Faktor Anak
a. Umur
Umur merupakan salah satu faktor risiko utama pada beberapa penyakit.Hal ini
disebabkan karena umur dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang.Anak-
anak yang berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia
dibandingkan anak-anak yang berumur di atas 2 tahun.Hal ini disebabkan imunitas
yang belum sempurna dan lubang pernapasan yang masih relatif sempit (Depkes RI
dalam Tantry, 2008). Umur yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan
menderita pneumonia yang lebih berat (Ewig dalam Machmud, 2006 ). Penelitian
Tuparsi di Filipina telah membuktikan bahwa morbiditas pneumonia berhubungan
dengan status sosial ekonomi yang rendah serta umur balita yang kurang dari 1
tahun. Hasil surveilans pada tahun 1998/1999 juga memperlihatkan bahwa proporsi
pneumonia pada bayi 14,1% lebih tinggi daripada pada balita (Herman, 2002). Balita
juga rentan terhadap risiko kematian akibat pneumonia. Semakin muda umur
seorang balita penderita ISPA/pneumonia, maka semakin besar risiko untuk
meninggal daripada usia yang lebih tua (Sutrisna dalam Tantry, 2008 ).
b. Jenis Kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa laki-laki adalah faktor
risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia (Depkes RI, 2004). Penelitian di
Srilanka memperlihatkan bahwa balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai
risiko 2,19 kali lebih tinggi dibandingkan perempuan (Dharmage et al dalam Herman,
2002 ). Penelitian di Uruguay juga menunjukkan bahwa pada tahun 1997-1998, 56%
penderita pneumonia yang dirawat di rumah sakit adalah laki- laki (Pirez dalam
Machmud: 2006 ).
c. Riwayat BBLR
BBLR atau bayi berat lahir rendah adalah bayi (neonatus) yang lahir dengan
berat kurang dari 2500 gram.Bayi dan balita dengan BBLR umumnya lebih berisiko
terhadap kematian, bahkan sejak masa-masa awal kehidupannya.Hal ini disebabkan
2
karena zat anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux dalam
Tantry, 2008).Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan
riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia (Abdullah
dalam Tantry, 2008).
d. Pemberian ASI
ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang alami diproduksi oleh ibu dan
merupakan sumber gizi yang sangat ideal dan berkomposisi seimbang sesuai
dengan kebutuhan pertumbuhan bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah
makanan yang paling sempurna bagi bayi, baik kuantitas maupun kualitasnya
(Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, 2000). ASI mengandung nutrisi dan
zat-zat penting yang berguna terhadap kekebalan tubuh bayi.Zat-zat yang bersifat
protektif tersebut dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi.Oleh sebab itu,
sangat penting bagi bayi untuk segera diberikan ASI sejak lahir karena pada saat itu
bayi belum dapat memproduksi zat kekebalannya sendiri.
Pemberian ASI ternyata dapat menurunkan risiko pneumonia pada bayi dan
balita. Penelitian Widiawati di Klapa Nunggal, Bogor menunjukkan bahwa balita yang
tidak mendapatkan ASI lebih berisiko 4,59 kali menderita pneumonia dibandingkan
yang telah mendapatkan ASI (Tantry, 2008). Penelitian di Rwanda juga melaporkan
hal yang sama. Bayi yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia lebih berisiko
meninggal dengan Case Fatality Ratenya dua kali lebih besar pada bayi yang tidak
memperoleh ASI (Victora dalam Machmud, 2006).
e. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan,
khususnya kesehatan anak.Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran rasio
berat badan dan tinggi (panjang) badan.Status gizi yang baik dapat diperoleh dari
asupan gizi yang tentu saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat
terjadi pada bayi dan anak dan akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa.
Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,
sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode
emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan
gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006).
f. Status Imunisasi
Pada dasarnya beberapa penyakit-penyakit infeksi yang terjadi pada anak-
anak dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I), yaitu antara lain difteri, pertusis,
3
tetanus, hepatitis, tuberkulosis, campak dan polio.Beberapa hasil studi menunjukkan
bahwa pneumonia juga merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian
imunisasi, yaitu dengan imunisasi campak dan pertusis (Kanra dalam Machmud,
2006).Penyakit pertusis berat dapat menyebabkan infeksi saluran napas berat
seperti pneumonia.Oleh karena itu, pemberian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan
Tetanus) dapat mencegah pneumonia.
Akan tetapi, kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin yang
penggunaannya dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi pneumokokus (IPD)
pada bayi dan anak-anak. Pemberian vaksin ini merupakan tindakan pencegahan
yang dipercaya sebagai langkah protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi
kuman
terhadap antibiotik semakin meningkat. Setelah divaksinasi, bayi dan anak-anak
akan memperoleh Herd Immunity atau kekebalan populasi. WHO telah
merekomendasikan penggunaan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV-7) ini di
setiap negara dalam program imunisasi nasional, khususnya pada negara dengan
mortalitas anak usia <5 tahun mencapai lebih dari 50 kematian per 1000 kelahiran
atau mencapai lebih dari 50.000 kematian per tahunnya (WHO dalam WeeklyEpid,
2006). Meskipun telah memperoleh izin edar dari Badan POM, Menteri Kesehatan RI
menyebutkan bahwa vaksin pneumokokus konjugasi belum ditetapkan sebagai
Program Imunisasi Nasional di Indonesia (Pusat Komunikasi Publik, Depkes RI,
2009).
g. Defisiensi Vitamin A
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya hubungan antara
kejadian pneumonia dengan pemberian vitamin A. Penelitian Herman (2002)
menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapat vitamin A dosis tinggi secara
lengkap 4,1 kali berisiko terhadap kejadian pneumonia.
Akan tetapi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa pemberian vitamin A
berguna dalam mengurangi beratnya penyakit dan mencegah terjadinya kematian
akibat pneumonia.Pemberian vitamin A dikhususkan pada balita berumur 6 bulan
sampai 2 tahun yang dirawat di rumah sakit karena campak dan komplikasi
pneumonia (Kanra dalam Machmud, 2006). Oleh karena itu, jika anak menderita
pneumonia tetapi telah memperoleh vitamin A sebelumnya dalam jangka waktu
tertentu, maka anak tersebut tidak akan menderita pneumonia berat dan dapat
mencegah mortalitas. Penelitian Sutrisna pada tahun 1993 menunjukkan balita yang
tidak memperoleh suplementasi vitamin A berisiko 14,8 kali untuk meninggal
4
dibandingkan dengan yang telah disuplementasi (Herman, 2002).
h. Pemberian Makanan Terlalu Dini
Pemberian makanan terlalu dini kepada bayi dapat mengakibatkan bayi
terkena pneumonia (Depkes RI, 2004).Pada bulan-bulan pertama kehidupannya,
belum mampu menerima makanan.Hal ini disebabkan karena saluran
pencernaannya yang belum sempurna.Kekebalan tubuh pada bayi juga belum
sepenuhnya terbentuk.Oleh karena itu diperlukan asupan dari ibu yang diberikan
kepada bayi melalui ASI. Pada dasarnya, makanan mulai diperkenalkan ketika bayi
sudah mencapai usia 6 bulan. Makanan juga sangat rentan untuk tercemar oleh
kuman.Pemberian makanan terlalu dini berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi
karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika ada kuman yang
masuk melalui makanan, bayi akan mudah terinfeksi penyakit.
Faktor Orang Tua
a. Pendidikan Ibu
Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang
pendidikan.Di negara-negara berkembang, terdapat petunjuk yang jelas tentang
adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan
pendidikan ibu (Ware dalam Machmud, 2006).Pendidikan ibu adalah salah satu
faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi
dan balita (Sukar dalam Tantry, 2008).
b. Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian pneumonia
balita.Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang
memadai dan bergizi kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian
pengobatan. Pengetahuan lebih jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek
pelayanan yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan
angka kesakitan dan kematian pneumonia (Machmud, 2006).
c. Sosial Ekonomi
Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit
pernapasan.Terdapat hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi
dengan morbiditas infeksi saluran napas (Purwana dalam Machmud, 2006).Pada
umumnya, status ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia diukur
dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang
menghuni tiap kamar (Foster dalam Machmud, 2006).Masyarakat miskin juga identik
dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar.Balita yang hidup
dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan
5
makanan yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit.
Sosial ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi upaya pencarian
pengobatan.Salah satu program yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat dalam
upaya menurunkan kematian akibat pneumonia balita tahun 1972 adalah dengan
meningkatkan akses penduduk miskin ke fasilitas pelayanan kesehatan (Dowell
dalam Machmud, 2006).
Faktor Lingkungan
a. Polusi Udara di dalam Rumah
Polusi udara dapat terjadi baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Polusi
udara di dalam rumah dihasilkan dari pembuangan asap seperti asap rokok dan
asap pembakaran kompor tungku atau kayu bakar. Asap tersebut berpotensi besar
menimbulkan pajanan partikulat seperti PM10 (Partikulat Matter 10 Mikron). Jika
terhirup, asap tersebut dapat mengganggu pernapasan. Pemajanan oleh partikulat
lebih berpotensial terjadi jika dapur berada dekat dengan kamar tidur atau kamar
tamu.Anak-anak yang lebih sering berada di dapur atau kamar tidur yang berdekatan
dengan dapur lebih berisiko untuk mengalami gangguan pernapasan.
Sementara itu, adanya perokok di dalam rumah dapat meningkatkan pajanan
asap rokok kepada anggota keluarga lainnya. Konsumsi perokok di dalam rumah
merupakan faktor risiko gangguan pernapasan pada anak balita (Purwana dalam
Machmud, 2006).
b. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10 m2/orang. Jika
suatu rumah memiliki kepadatan hunian yang tinggi maka akan mempengaruhi
pertukaran udara di dalam rumah. Foster menjelaskan bahwa kepadatan orang
dalam rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita (Machmud,
2006). Herman (2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian dengan insidens pneumonia.
c. Ventilasi Rumah
Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan pengeluaran
udara ke dan atau dari suatu ruang secara alamiah maupun mekanis. Pertukaran
udara secara mekanis dilakukan melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam
rumah.Pada dasarnya luas lubang tersebut minimal 5% dari luas lantai. Akan tetapi,
jika ditambah dengan lubang udara lain seperti celah pintu atau jendela, maka luas
minimal lubang ventilasi menjadi 10% dari luas lantai.
Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang tinggal di rumah
dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki risiko 4,2 kali lebih besar untuk
6
terkena pneumonia dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.
d. Kondisi Fisik Rumah
Rumah yang sehat adalah bangunan rumah tinggal yang telah memenuhi
syarat kesehatan dengan beberapa kriterianya antara lain memenuhi kebutuhan fisik
(suhu, iluminasi dan ventilasi), memenuhi kebutuhan kejiwaan (privasi dan hubungan
antar anggota keluarga), memenuhi kriteria keselamatan (bangunan yang kokoh dan
terhindar dari gas beracun), serta mampu melindungi penghuninya dari
kemungkinan penularan penyakit (Budiarti, 2006).Oleh sebab itu, sangatlah penting
memikirkan hal-hal tersebut di atas agar seluruh anggota keluarga dapat merasa
sehat dan nyaman berada di rumah.
Rumah yang tidak sehat dapat memudahkan penularan penyakit, terutama
penyakit pernapasan.Contohnya saja jika ventilasi udara dan pencahayaan di rumah
yang tidak baik. Kuman-kuman akan cepat berkembang biak jika rumah dibiarkan
lembab dan tidak terawat. Penelitian Yulianti menemukan ada pengaruh antara
dinding rumah dan jenis lantai dengan kejadian pneumonia (Tantry 2008).
Selain faktor- faktor risiko di atas juga ada faktor risiko lainnya, antara lain:
Pasien stroke
Pasien dengan keadaan yang tidak sadarkan diri atau mengalami kelumpuhan
misalnya stroke, pneumonia sering terjadi dalam 42-72 jam pertama pasca stroke
iskemik dan mengakibatkan sekitar 15-25% kematian terkait stroke. Pneumonia
pasca stroke merupakan akibat dari aspirasi yang disebabkan oleh deficit neurologis
seperti penurunan kesadaran, gangguan reflek protektif atau disfagia.
Orang-oarang yang memiliki daya tahan tubuh lemah
Seperti penderita HIV/AIDS, para penderita penyakit kronik sperti sakit jantung,DM.
Begitu pula bagi mereka yang pernah/rutin menjalani chemoterapi dan meminum
obat golongan immunosupresant dalam waktu lama dimana pada umumnya memiliki
daya tahan tubuh yang lemah.
Pasien yang berada di dalam ruang perawatan intensive (ICU/ICCU)
Pasien yang dilakukan tindakan ventilator endotrakeal tube sangat berisiko terkena
pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan tekanan balik isi lambung kea
rah kerongkongan, bila hal itu mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas
(ventilator) maka akan berpotensialtinggi terkena pneumonia
Pasien yang lama mengalami tirah baring
Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkan bermasalah dalam
hal mobilisasi, dan merupakan salah satu risiko tinggi terkena penyakit pneumonia
dimana dengan tidur berbaring statis memungkinkan mucus berkumpul di rongga
paru dan menjadi media berkembangnya bakteri (Soeparman, 2002).
7
4. Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang
terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian hampir diseluruh
dunia.Di AS pneumonia mencapai 13% darisemua penyakit infeksi pada anak
dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian insiden pada pneumonia didapat 4
kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus
ditemukan dari 100 anak umur 9-15 tahun.Di United States, insidensi untuk penyakit
ini mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan
kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup
tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara berkembang
sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah sakit dan angka
kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa,
2011).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi di atas angka
nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada Bayi: 2.2 %, Balita: 3%,
angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan Balita 15,5%. Pneumonia pada
dapat terjadi pada orang tanpa kelainan imunitas yang jelas.Namun pada
kebanyakan pasien dewasa yang menderita pneumonia didapati adanya satu atau
lebih penyakit dasar yang mengganggu daya tahan tubuh.Frekuensirelative terhadap
mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika infeksi tersebut
didapat.Selain itu factor iklim dan letak geografik mempengaruhi peningkatan
frekuensi infeksi penyakit ini (Kartasasmita, 2010).
5. Klasifikasi Pneumonia
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang
dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, menyebutkan 3 klaisfikasi
pneumonia, yaitu:
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti ( Community-Acquired Pneumonia/ CAP)
Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan
rumah sakit.Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit
pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari.
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial)
pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit.
jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir
1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama
8
dalam perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU,
lebih dari 60% akan menderita pneumonia.
c. Pneumonia aspirasi
Infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan
cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status
mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan.Stroke,
penyakit Parkinson, kesulitan menelan, dapat menyebabkan aspiration pneumonia.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised/ oportunistik
9
6. Patofisiologi Pneumonia
11
Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah
terjadi pada infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS,
memungkinkan berkembangnya pneumonia bacterial
LED: meningkat
Pemeriksaan fungsi paru
Volume mungkin menurun (kogesti dan kolaps alveolar): tekanan
jalan nafas mungkin meningkat dan complain menurun. Mungkin
terjadi pembebasan (hipoksemia).
Elektrolit: Natrium dan kalorida mungkin rendah
Bilirubin: mungkin meningkat
Aspirasi perkutan/ biopsy jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik
(CMV); karaktristik sel raksasa (rubeolla) (Misnadiarly, 2008).
9. Penatalaksanaan Pneumonia
Penatalaksanaan pneumonia dilakukan berdasarkan penentuan
klasifikasi pada anak, yaitu :
Pneumonia Barat
Tanda : tarikan dinidng dada ke dalam
Penderita pneumonia berat juga mungkin disertaii tanda lain, seperti :
- Nafas cuping hidung
- Suara rintihan
- Sianosis
Tindakan : cepat dirujuk ke rumah sakit ( diberikan satu kali dosis
antibiotika dan kalau ada demam atau wheezing diobati
lebih dahulu)
Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat
Tindakan :
1. Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
2. Beri antibiotik selama 5 hari
3. Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan
memburuk
4. Bila demam, obati
5. Bila ada wheezing , obati
WHO menganjurkan penggunaan antibiotika untuk
pengobatan pneumonia yakni dalam bentuk tablet atau sirup
( kortimoksazol, amoksisilin, ampisilisn ) atau dalam bentuk
suntikan intra muskuler ( prokain penisilin )
Bukan Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada nafas cepat
Tindakan :
1. Bila batuk > 30 hari, rujuk
2. Obati penyakit lain bila ada
3. Nasehati ibunya untuk perawatan di rumah
4. Bila demam, obati
12
5. Bila ada wheezing , obati
Pencegahan primer
13
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia, antara
lain:
a. Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah,
perlu gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat
bergizi yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin
dalam kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang
memungkinkan terkenanya infeksi selama kehamilan.
b. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan
karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI
pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun.Karena ASI terjamin
kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-
faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan
ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri.Oleh karena itu,
balita yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi
dibanding balita yang tidak mendapatkannya.
c. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak
umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak
3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
d. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang
sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa
menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.
Pencegahan sekunder
Tujuannya adalah untuk menyembuhkan orang yang sudah
menderita pneumonia, pencegahan sekunder antara lain:
a. Pneumonia berat: dibawa ke rumah sakit dan diberi antibiotik
b. Pneumonia: diberi antibiotic kortimoksasol oral dan ampisilin
c. Bukian pneumonia:bisa perawatan di rumah, tidak diberikan
antibiotic. Cukup diberikan paracetamol jika panas, bila pilek
diberikan kapas yang ditetesi air garam, bila nyeri tenggorokan
beri penicillin dan dipantau selama 10 hari
Pencegahan tersier
14
Tujuannya adalah untuk mencegah munculnya komplikasi/keadaan
yang semakin parah
a. Beri antibiotic selama 5 hari dan jika semakin parah konsul ke
dokter (Soeparman, 2002).
15
Kondisi ini terjadi ketika ada peradangan parah di dinding paru-paru
menyebabkan aliran udara menutup atau menyempitkan darah dan
aliran udara.Pengobatan awal adalah untuk mengurangi
peradangan.Hal ini dilakukan dengan antibiotik untuk menghilangkan
infeksi dan thoracentesis untuk menghapus cairan untuk
meringankan tekanan udara dan aliran kembali (Price, 2003; Sectish,
2003).
16
ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
17
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6-8 hari
Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah
Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan membran aveolar-kapiler
ditandai dengan Gas Darah Arteri abnormal, PH artery
abnormal,sianosis,nafas cuping hidung,dan gelisah (rewel)
b. Hipertermia b.d. dehidrasi dan penyakit ditandai dengan peningkatan
suhu tubuh diatas normal, dan kulit terasa hangat.
c. Kekurangan volume cairan b.d. kehilangan cairan keluarga aktif ditandai
dengan penurunan turgor kulit, memebran mukosa kering, dan
peningkatan suhu tubuh.
Rencana Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan kreteria hasil Intervensi
1. Gangguan Setelah dilakukan tindakan NIC label
pertukaran gas b.d. keperawatan selama 4x 24 Respiratory Monitoring
perubahan membran jam diharapkan pertukaran 1. Monitor laju ritme dari nafas
aveolar-kapiler gas adekuat dengan
ditandai dengan Gas kreteria hasil : 2. Monitor suara nafas tambahan seperti
Darah Arteri NOC label snoring
abnormal, PH artery Respiratory status
abnormal,sianosis,n RR normal (skla 5) 3. Monitor peningkatan kelelahan
afas cuping Ritme respiratory
hidung,dan gelisah normal (skala 5) 4. Monitor peningatan kegelisahan, dan
(rewel) Kedalaman nafas kekurangan oksigen
normal (skala 5) 5. Monitor sekresi dari sistem pernafasan
pasien
Akumulasi sputum
tidak ada (skala 5)
6. Berikan terapi perawatan nebulizer
Respiratory status :Gas
sesuai kebutuhan
exchange
Tekanan parsial
Oxigen therapy
karbondioksida pada
7. Bersihkan skresi mulut hidung dan
darah arteri normal
trakea sesuai kebutuhan
(skala 5)
8. Memeberikan terapi oksigen sesuai
pH arteri normal kebutuhan
(skala 5) 9. Monitor aliran oksigen
Tidak terjadi sianosis
(skala 5)
10. Monitor kerusakan kulit dari gesekan
dengan selang oksigen
2. Hipertermia b.d. Setelah dilakukan tindakan NIC : Vital Signs Monitoring
dehidrasi dan keperawatan selama 4x 24 1. Monitor TTV pasien (tekanan darah,
18
penyakit ditandai jam diharapkan suhu nadi, suhu, dan pernapasan).
dengan peningkatan tubuh pasien dalam batas 2. Monitor dan laporkan tanda dan gejala
suhu tubuh diatas normal dengan kriteria hipertermi.
normal, dan kulit hasil :
terasa hangat. NOC : Vital Signs 3. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan.
- Suhu tubuh dalam
batas normal (36- 4. Identifikasi kemungkinan penyebab
37,50C)dengan skala 5. perubahan tanda vital.
TTV dalam rentang normal NIC : Temperatur Regulation
(tekanan darah, nadi, 5. Anjurkan penggunaan selimut hangat
pernapasan) dengan skala untuk menyesuaikan perubahan suhu
5. tubuh.
6. Anjurkan asupan nutrisi dan cairan
adekuat.
Diarrhea managemenet:
19
8. Monitoring tanda dan gejala diare
9. Ketahui penyebab diare
20
(kekuatan dari system kegaduhan), lingkungan anak dan
keluarga untuk mencapai kurani sebagaimana mestinya
kebutuhan anggota 5. Sediakan tempat duduk yang nyaman
keluarga selama transisi di area yang tenang untuk menyusui
perkembangan mental) 6. Gunakan gerakan yang lambat, lemah
- Meregulasi kebiasaan lembut ketika menggendong, menyusui
anggota keluarga (skala 5) dan merawat anak
7. Pertimbangkan partisipasi keluarga
dalam menyusui
8. Dukung keinginan ibu untuk menyusui
9. Sediakan stimulasi menggunakan
rekaman music instrumental dan lain-
lainnya sebagaimana mestinya
DAFTAR PUSTAKA
21
Muttaqin, dkk.2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan System
Pernapasan.Jakarta : Salemba Medika.
North American Nursing Diagnosis Association. 2010. Nursing Diagnoses:
Definition & Classification 2012-2014. Philadelphia.
Price, Sylvia. 2003 .Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC
Reevers, Charlene J, et all. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
Salemba Medica.
Riskianti, Annisa, 2009. Faktor-faktor yang menyebabkan pneumonia.http://www.
lontar .ui. ac .id/ file ? file = digital / 1 2 6 5 6 0-s-5 738-faktor-faktor
%20yang literature.pdf. Diakses tanggal 3 Maret 2013.
Sectish TC, Prober CG. 2003. Pnemonia.Dalam : Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics.Edisi ke-
17.Philadelphia : WB Saunders, 1432-5.
22