Anda di halaman 1dari 13

TUGAS GEOMORFOLOGI TERAPAN

GEOMORFOLOGI UNTUK TERAPAN DIBIDANG


(1) EKSPLORASI NIKEL, (2) BENCANA GUNUNG API,
DAN (3) RENCANA PEMBANGUNAN KETERLINTASAN
JALAN

Disusun Oleh :
Dadang Riankusuma Togela
111.130.057
Kelas A

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2016
EKSPLORASI NIKEL LATERIT

Nikel laterit merupakan bahan mineralyang terbentuk dari hasil pelapukan,


yangdalam prosesnya dipengaruhi oleh proses enrichment supergene terhadap
endapanhydrous silicate ini. Batuan induk dari endapan Nikel Laterit adalah
batuan ultrabasa yaitu harzburgite (peridotit yang kaya akan unsur orthopiroksen),
dunit dan jenis peridotite lainnya, Nikel dengan kadar yang cukup baik umumnya
mengandung mineral Garnierite (max. Ni 40%). Ni terlarut (leached) dari fase
limonite (Fe Oxyhydroxide) dan terendapkan bersama mineral silicate hydrous
atau mensubtitusi unsur Mg pada Serpentinit yang teralterasi (Pelletier, 1996).

Pengkayaan supergen mengakibatkan batuan-batuan ultramafik yang kaya


akan kandungan Ni akan mengalami proses kimia dan kontak dengan air tanah
maupun air permukaan sehingga akan mengalami pengkayaan mineralmineral
berat seperti Ni, Fe, dan sebagainya. Pada proses laterisasi, pelapukan kimia
khususnya, air tanah yang kaya akan CO2 berasal dari udara dan pembusukan
tumbuh-tumbuhan menguraikan mineral-mineral yang tidak stabil (Olivin dan
Piroksen) pada batuan (Dunit, peridotit, dan serpentin), menghasilkan Mg, Fe, Ni
yang larut Si cenderung membentuk koloid dari partikel - partikel silica yang
sangat halus. Di dalam larutan Fe2+ mengendap sebagai ferri-hydroksida
membentuk mineral-mineral seperti limonit dan hematit dekat permukaan. Proses
laterisasi adalah proses pencucian pada mineral yang mudah larut dan silika pada
profil laterit pada lingkungan yang bersifat asam dan lembab serta membentuk
konsentrasi endapan hasil pengkayaan proses laterisasi pada unsur Fe, Cr, Al, Ni
dan Co (Rose et al., 1979 dalam Nushantara 2002).

Secara umum, Nikel laterit dapat dibagi menjadi beberapa zona (Sundari,
2012). Profil nikel laterit dideskripsikan dan diterangkan oleh daya larut mineral
dan kondisi aliran air tanah yang juga menetukan persebaran secara lateral.

Zona lapisan/horizon Tanah Penutup (Overburden)


Zona lapisan/ horizon Limonit Berkadar Menengah (Medium
grade limonit)
Zona lapisan/ horizon Bijih (Saprolit)
Batuan dasar (Bedrock)

Diagram skematik profil vertikal endapan nikel laterit daerah New Caledonia
(modifikasi Chetelat, 1947)

Kondisi Geomorfologi Yang Mempengaruhi Pembentukan Endapan Nikel


Laterit

1. Kondisi toporafi dan morfologi


Kondisi toporafi dan morfologi merupakan dua faktor yang sangat penting
dalam endapan nikel laterit karena kaitannya dengan posisi water table, stuktur
dan drainage. Zona enrichment nikel laterit berada di topografi bagian atas
(upper hill slope, crest, plateau, atau terrace). Kondisi water table pada zona
ini dangkal, apalagi ditambah dengan adanya zona patahan. Akibatnya, akan
mempercepat proses palarutan kimia (leaching processes) yang pada akhirnya
akan terbentuk endapan saprolit mengandung nikel yang cukup tebal
sebaliknya, pada topografi yang rendah,water table yang dalam akan
menghambat proses pelarutan unsur-unsur dari batuan induk.
2. Sudut lereng dan beda tinggi
Sudut lereng mempengaruhi kecepatan aliran permukaan, sudut lereng
yang lebih besar akan menyebabkan infiltarasi air hujan tersebut kecil. Sudut
lereng yang landai atau relief yang kecil menyebabkan air hujan mengalir
pelan dipermukaan sehingga banyak yang meresap ke dalam batuan atau
tanah, proses ini yang menyebabkan unsur-unsur yang mempunyai daya larut
yang tinggi seperti Ni, Co, dan Mg meresap kedalam tanah atau batuan.
Unsur-unsur tersebut akan terendapkan pada zona supergen. Beda tinggi yang
besar dengan jarak yang pendek akan memyebabkan aliran permukaan
mengalir dengan kecepatan yang lebih tinggi dari air yang melewati daerah
yang mempunyai beda tinggi yang rendah. Sehingga beda tinggi ini
berbanding lurus dengan sudut lereng

3. Bentuk Lahan
Bentuk lahan struktural terbentuk karena adanya proses endogen atau
proses tektonik, yang berupa pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran. Gaya
(tektonik) ini bersifat konstruktif (membangun), dan pada awalnya hampir
semua bentuk lahan muka bumi ini dibentuk oleh kontrol struktural. Struktur
geologi baik secara regional maupun lokal sangat mempengaruhi
pembentukan mineral nikel, besarnya intensitas terjadinya pembentukan
struktur geologi (sesar, kekar) terutama secara lokal tentunya akan sangat
membantu dalam proses pelapukan secara kimiawi. Rekahan yang terjadi
terhadap batuan akan memudahkan penetrasi air tanah dan reagen-reagen
kimia untuk masuk dan mempercepat proses pelapukan.
Endapan nikel laterit umumnya berasosiasi dengan bentukan asal fluvial
dimana bentukan ini berkaitan dengan aktifitas sungai dan air permukaan
berupa pengikiran, pengangkatan, dan penimbunan pada daerah seperti
lembah, ledok, dan dataran alluvial. Proses penimbunan bersifat merata pada
daerah-daerah ledok, sehingga umumnya bentuk asal fluvial mempunyai relief
yang datar.

4. Pola pengaliran
Interpretasi pola pengaliran juga dapat digunakan untuk menentukan
intensitas pelarutan, dimana daerah yang pola pengalirannya lebih
berkembang akan lebih besar pula intensitas pelarutan yang dibutuhkan untuk
proses laterisasi. Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian
akan masuk (terserap) ke dalam tanah (infiltrasi), sedangkan air yang tidak
terserap ke dalam tanah akan tertampung sementara dalam cekungan-
cekungan permukaan tanah (surface detention) untuk kemudian mengalir di
atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya
masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan di dalam tanah oleh gaya kapiler
yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah.

5. Vegetasi
Vegetasi juga mempunyai peran penting dalam pembentuakn nikel
laterit,dimana selain akar tanaman yang memudahkan penetrasi air tanah dan
pelapukan, namun ketinggian dan kerimbunan serta kerapatan tanaman juga
menjadi faktor pertimbangan, karena tanaman yang terlalu rapat, rimbun dan
terlalu tinggi mengakibatkan intensitas kontak massa batuan dengan matahari
sebagai faktor penyuplai panas akan rendah, sehingga akan mempengaruhi
proses pelapukan.

BENCANA GUNUNG API

Gunung berapi atau gunung api secara umum adalah istilah yang dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem saluran fluida panas (batuan dalam wujud cair
atau lava) yang memanjang dari kedalaman sekitar 10 km di bawah permukaan
bumi sampai ke permukaan bumi, termasuk endapan hasil akumulasi material
yang dikeluarkan pada saat meletus.

Pergerakan antar lempeng ini menimbulkan empat busur gunungapi


berbeda:
1. Pemekaran kerak benua, lempeng bergerak saling menjauh sehingga
memberikan kesempatan magma bergerak ke permukaan, kemudian
membentuk busur gunungapi tengah samudera.
2. Tumbukan antar kerak, dimana kerak samudera menunjam di bawah kerak
benua. Akibat gesekan antar kerak tersebut terjadi peleburan batuan dan
lelehan batuan ini bergerak ke permukaan melalui rekahan kemudian
membentuk busur gunungapi di tepi benua.
3. Kerak benua menjauh satu sama lain secara horizontal, sehingga
menimbulkan rekahan atau patahan. Patahan atau rekahan tersebut menjadi
jalan ke permukaan lelehan batuan atau magma sehingga membentuk
busur gunungapi tengah benua atau banjir lava sepanjang rekahan.
4. Penipisan kerak samudera akibat pergerakan lempeng memberikan
kesempatan bagi magma menerobos ke dasar samudera, terobosan magma
ini merupakan banjir lava yang membentuk deretan gunungapi perisai.

Bencana merupakan peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan


oleh alam, manusia dan/atau keduanya yang mengakibatkan korban dan
penderitaan manusia, kerugian harta benda, kerusakan Lingkungan, kerugian
sarana-prasarana, dan utilitas umum, serta menimbulkan gangguan terhadap tata
kehidupan Dan penghidupan masyarakat. (UU 24 th 2007 ). Sedangkan bencana
gunungapi adalah salah satu bencana alam yang disebabkan oleh letusan atau
kegiatan gunungapi yang mengakibatkan kerusakan tata lingkungan hidup dan
penderitaan manusia. (Mardiatno, 2010).
Peran Geomorfologi Terhadap Bencana Gunung Api

Pemetaan bahaya erupsi gunungapi salah satunya dapat dilakukan dengan


pendekatan Geomorfologi. Menurut Maruyama et al. (1980) peran geomorfologi
dalam pemetaan overflow lahar yaitu :

Titik-titik di lereng gunung api yang rawan luapan banjir lahar:

1. Pada titik dimana gradien lereng tiba-tiba menjadi landai


2. Tempat dimana lembah lahar memotong lembah sungai lama
3. Pada titik dasar sungai mendadak landai
4. Tempat dimana terdapat teras dalam lembah lahar
5. Pada lembah lahar/lembah sungai yang mendadak menyempit dan dangkal
6. Lembah sungai membelok dengan tajam.

Hal yang penting dalam pemetaan bahaya erupsi merapi adalah saat
penarikan batas tingkat kawasan rawan bencana gunungapi yang harus
memperhatikan arah aliran awan panas, lahar, dan atau guguran lava pijar serta
memperhatikan sifat letusan gunungapi yang bersangkutan (tanpa
memperhitungkan arah/kecepatan angin), pelemparan lateral serta pola
bentanglahan (landscape). Analisis dasar untuk melakukan pemetaan kawasan
rawan bencana gunungapi agar bisa mengantisipasi kerugian yang ditimbulkan
oleh bencana. Adapun analisis tersebut meliputi :

1. Analisis Bentang Alam yang mencakup :


a) Analisis morfografi (Analisa daerah puncak/kawah, pola aliran sungai,
anomali pola aliran dan pola cabang-cabang sungai).
b) Analisis morfogenesa (Analisa pola sebaran dan stratigrafi batuan,
perkembangan kegiatan letusan dan struktur geologi gunungapi.
c) Analisis Morfometri (Kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng,
tingkat torehan erosi lereng, bentu, lebar, dan kedalaman lembah, pola
lembah, pola sebaran lembah dan analisa perpindahan titik erupsi, pusat
erupsi, erupsi samping, posisi titik pemunculan gas gunungapi.
d) Analisis morfokronologi (Menganalisis proses yang mempengaruhi
perubahan konfigurasi tubuh gunungapi.)
2. Analisis hubungan posisi topografi, mencakup analisis letak/kedudukan objek
bencana terhadap topografi daerah sekitarnya.
3. Analisis sumber/titik erupsi, mencakup analisis perkembangan pemunculan
titik-titik erupsi (zonasi daerah lemah/kelurusan titik erupsi)
4. Analisis pola sebaran lahar dan aliran piroklastik hasil kegiatan terakhir,
sebagai dasar perkiraan pola endapan hasil letusan yang akan datang, yang
dikaitkan dengan intensitas letusan.
RENCANA PEMBANGUNAN KETERLINTASAN JALAN

Transportasi merupakan salah satu sektor kegiatan yang sangat penting,


karena berkaitan dengan kebutuhan semua orang yang ada dalam lapisan
masyarakat. Di kota, transportasi berkaitan dengan kebutuhan pekerja untuk
mencapai lokasi pekerjaan dan sebaliknya, kebutuhan para pelajar untuk mencapai
sekolah, mengunjungi tempat perbelanjaan dan pelayanan lainnya, bahkan untuk
bepergian ke luar kota. Di samping kegiatan untuk mengangkut orang, maka
transportasi juga melayani kebutuhan untuk memindahkan barang dari satu tempat
ke tempat yang lain.

Suatu transportasi dikatakan baik apabila: pertama, waktu perjalanan cepat


dan tidak mengalami kemacetan. Kedua, frekuensi pelayanan memuaskan. Ketiga,
aman (bebas dari kemungkinan kecelakaan) dan kondisi pelayanan yang nyaman.
Untuk mencapai kondisi yang ideal seperti ini, sangat ditentukan oleh berbagai
faktor yang menjadi komponen transportasi, yaitu: kondisi sarana (kendaraan) dan
kondisi prasarana (jalan dan sistem jaringannya).

Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian


jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di
bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan
kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Jalan diklasifikasikan berdasarkan
peruntukan, fungsi, dan statusnya. Jalan sesuai dengan peruntukannya terdiri atas
jalan umum dan jalan khusus. Jalan menurut fungsinya dikelompokkan ke dalam
jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Jalan menurut
statusnya dikelompokkan ke dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten,
jalan kota, dan jalan desa.

Untuk memenuhi kebutuhan akan jalan maka sudah semestinya


pembangunan jalan harus berdasarkan pada hasil survei yang seksama. Kemudian
dalam merencanakan pembangunan jalan sebaiknya dikaji terlebih dahulu
mengenai kemungkinan-kemungkinan letak lintas jalan yang akan dibangun. Hal
ini penting karena dengan membangun jalan yang berdasarkan pada kajian fisik
dan sosial ekonomi akan diperoleh suatu pembangunan jalan yang murah, mudah
dipelihara, mudah dibangun dan efektif dipakai.

Dari segi fisik perencanaan jalan harus di perhatikan beberapa aspek fisik
yang meliputi beberapa karakteristik medan yaitu topografi, proses geomorfologi,
batuan, tanah, kerapatan aliran dan penggunaan lahan.

Teknik analisis data dengan cara pengharkatan (scoring) terhadap sifat dan
karakteristik medan yang berupa:

1. Topografi yang mencakup: kemiringan lereng dan Penjang lereng


2. Batuan yang mencakup: indeks keausan batuan, indeks beban titik dan
struktur lapisan batuan
3. Tanah yang mencakup: tekstur tanah, kelompok tanah, kadar air, angka
pori, permeabilitas tanah, dan kembang kerut tanah
4. Proses geomorfologi yang mencakup: erosi dan gerak massa batuan
5. Hidrologi yang mencakup: jarak antar sungai dan intensitas hujan
6. Penggunaan Lahan.

Peran Geomorfologi Dalam Perencanaan Keterlintasan Jalan

Evaluasi medan adalah proses pelaksanaan penilaian medan untuk


keperluan tertentu, meliputi pelaksanaan dan interprestasi hasil survei dan studi
mengenai relief, tanah, batuan/geologi, proses geomorfologi, hidrologi dan
penggunaan lahan dari medan, dalam rangka mengidentifikasi dan
membandingkan macammacam kemungkinan penggunaan lahan yang sesuai
dengan tujuan evaluasi (Van Zuidam, 1979). Studi satuan medan yang
mendasarkan pada kerangka klasifikasi satuan bentuklahan menurut genesanya,
kelas relief, dan litologi merupakan suatu model pendekatan evaluasi medan untuk
jalan. Dengan melakukan survei berdasarkan pada pendekatan tersebut diperoleh
keterkaitan karakteristik medan yang berpengaruh pada jalan yang akan atau
sudah dibangun.

Bentuk topografi permukaan bumi yang bervariasi memiliki daya dukung


yang bervariasi pula dalam menahan beban yang disangganya. Dalam medan
sebenarnya topografi dapat diketahui berdasarkan perbedaan kemiringan lereng.
Terkait dengan perencanaan lokasi jalur jalan raya, kemiringan lereng sangat
penting untuk diperhatikan. Karena suatu jalan yang akan dibangun memerlukan
bidang tanah yang datar. Jalur jalan yang dibangun di daerah rawa sudah barang
tentu memerlukan perencanaan yang berbeda dengan jalan yang dibangun di
daerah yang datar, begitu pula dengan jalan yang akan dibangun di daerah
pegunungan. Di daerah rawa akan lebih banyak menghadapi masalah penimbunan
dan penyingkiran material endapan rawa. Di daerah dataran akan lebih banyak
menghadapi masalah drainase, sedangkan di daerah pegunungan akan lebih
banyak menghadapi masalah pemotongan dan penimbunan.

Panjang lereng suatu medan sangat berpengaruh terhadap intensitas proses


yang terjadi pada medan tersebut. Semakin panjang lereng akan semakin lama
proses yang dikerjakan dan berimbas pada banyaknya dana yang harus
dikeluarkan, juga akan semakin besar akibat yang ditimbulkan seperti potensi
longsor. Panjang lereng dalam penelitian ini diukur dari igir sampai lembah pada
bentuklahan.

Penggunaan lahan dalam penelitian ini juga dilakukan penilaian, karena


jika penerapan tataguna lahan untuk jalan salah, maka dapat menimbulkan
kerusakan. Jalan yang terletak pada medan yang berbukit dengan permukiman
yang padat terancam pelongsoran, jika curah hujan di daerah itu tinggi dan
struktur perlapisan batuannya miring searah dengan kemiringan lerengnya. Dalam
pemberian kriteria penilaian untuk penggunaan lahan, selain didasarkan
pertimbangan ekonomis juga didasarkan pada kemungkinan bertambahnya kadar
air pada badan jalan, sebagai contoh jalan yang dilewatkan pada areal sawah
irigasi akan mengalami kesulitan dalam pembebasan tanah juga memungkinkan
bertambahnya kadar air pada tanah dasar dibandingkan jika melewati areal sawah
tadah hujan atau tegalan.
DAFTAR PUSTAKA

Waluyo, R.B. 2011. Kontrol Geomorfologi dan Petrologi Terhadap Laterisasi


Endapan Nikel, Desa Molore dan Lameru, Kecamatan Langgikima,
Kabupaten Konawe utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. PT. Stargate
Pasific Resources.
Ardiansyah E.Y, 2005. Nikel Laterit dan Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukannya. Dosen Teknik Pertambangan Institiut Teknologi
Medan.
Anonim. 2011. Nikel Laterit. https://id.wikipedia.org/wiki/Nikel_laterit
(diakses pada 10 Juni 2016)
Syafrizal , Anggayana,K., Guntoro, D. 2011. Karakterisasi Mineralogi Endapan
Nikel Laterit Di Daerah Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan,
Sulawesi Tenggara. JTM Vol. XVIII No. 4/2011
Anonim. 2014. Tektonika Lempeng. https://id.wikipedia.org/wiki/tektonika
_lempeng (diakses pada 10 Juni 2016)
Anonim. 2014. Gunung Berapi. https://id.wikipedia.org/wiki/gunung_
berapi (diakses pada 10 Juni 2016)
Firmansyah, 2011. Identifikasi Tingkat Resiko Bencana Letusan Gunung Api
Gamalama di Kota Ternate. Jurusan Teknik Planologi, Universitas
Pasundan.
Setiono, N.A. 2014. Mitigasi bencana Erupsi Gunung Api Merapi di Desa
Dompol Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten. Jurusan Geografi,
Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Riyadi, 2007. Evaluasi Medan Untuk Analisis Kerusakan Jalur Jalan Surakarta

Purwodadi, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan. Prodi Geografi,


Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai