RPP Sejarah Ke 31
RPP Sejarah Ke 31
(RPP)
A. Kompetensi Inti
1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya
2. Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong
royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan pro-aktif dan menunjukkan
sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara
efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.
3. Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan
humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban
terkait fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang
kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.
4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan
pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu
menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan.
B. Kompetensi Dasar
1.2 Menghayati keteladanan para pemimpin dalam toleransi antar umat beragama dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari
2.3 Berlaku jujur dan bertanggungjawab dalam mengerjakan tugas-tugas dari pembelajaran
sejarah.
3.8 Menganalisis karakteristik kehidupan masyarakat, pemerintahan dan kebudayaan pada
masa kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia dan menunjukan contoh bukti-bukti yang
masih berlaku pada kehidupan masyarakat Indonesia masa kini.
4.8 Menyajikan hasil penalaran dalam bentuk tulisan tentang nilai-nilai dan unsur budaya
yang berkembang pada masa kerajaan Islam dan masih berkelanjutan dalam kehidupan
bangsa Indonesia pada masa kini
C. Tujuan Pembelajaran
Melalui diskusi, mengamati dan membaca referensi siswa dapat:
1. Menganalisis peran ulama dalam proses integrasi
2. Menganalisis peran perkembangan perdagangan antar pulau dalam proses integrasi,
3. Menganalisis peran bahasa dalam proses integrasi dan menyajikan dalam bentuk tulisan
atau gambar tentang proses integrasi di Nusantara
4. Menganalisis dampak migrasi penduduk terhadap proses integrasi nusantara
D. Materi Ajar
1. Peran ulama Dalam Proses Integrasi
2. Peran Perkembangan Perdagangan Dalam Proses Integrasi Pada Masa Islam
3. Peran Bahasa Dalam Proses Integrasi Pada Islam
4. Dampak migrasi penduduk terhadap proses integrasi nusantara
E. Alokasi Waktu
2 x 45 menit
F. Metode Pembelajaran
Metode Pembelajaran : Ceramah, diskusi, tanya jawab dan penugasan
Pendekatan Pembelajaran : Scientifik
Strategi Pembelajaran : Project Based Learning
G. Kegiatan Pembelajaran
Alokasi
Kegiatan Deskripsi
waktu
Pendahuluan Kelas dipersiapkan agar lebih kondusif untuk proses belajar 10 menit
mengajar mengajar (kerapian dan kebersihan ruang kelas,
presensi, menyiapkan media dan alat serta buku yang
diperlukan).
Guru menegaskan topik pelajaran minggu ke-32 ini, Peran
ulama, peran perdagangan, dan peran bahasa dalam proses
integrasi pada masa Islam
Peserta didik diberikan motivasi tentang pentingnya
kegiatan lapangan dan kemudian mempresentasikan di
depan kelas.
Guru menyampaikan tujuan dan kompetensi yang harus
dikuasai para peserta didik. Guru harus juga mengingatkan
kepada peserta didik bahwa di dalam pembelajaran ini
menekankan kebermaknaan pencapaian tujuan dan
kompetensi, bukan hafalan.
Peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok kecil,
masing-masing kelompok beranggotakan empat anak
(anggota I, II, III dan IV).
Inti 1) Mengamati 60 menit
Siswa yang sudah tergabung dalam kelompok mengamati
gambar yang ditayangkan guru dalam Powerpoint tentang
Peran ulama, peran perdagangan, dan peran bahasa dalam
proses integrasi pada masa Islam
2) Menanya
Melalui pengamatan gambar siswa bertanya tentang gambar
yang ditayangkan
3) Menalar
Siswa dalam kelompok menghubungkan antara gambar yang
Alokasi
Kegiatan Deskripsi
waktu
ditayangkan dengan materi yang menjadi tanggung
jawabnya
4) Mencoba
Anggota I untuk masing-masing kelompok
bertanggung jawab untuk mengaji dan merumuskan
tentang peran ulama dalam proses integrasi.
Anggota II bertanggung jawab untuk mengaji dan
merumuskan tentang peran dan perkembangan
perdagangan antarpulau dalam proses integrasi.
Anggota III bertanggung jawab untuk mengaji dan
merumuskan tentang peran bahasa dalam proses
integrasi.
Anggota IV bertanggung jawab untuk mengaji dan
merumuskan tentang dampak migrasi penduduk
terhadap proses integrasi Nusantara.
5) Membuat Jejaring
Tiap-tiap peserta didik yang mendapat tugas yang
sama kemudian berkumpul untuk saling membantu
mengaji dan merumuskan materi yang menjadi
tanggung jawabnya. Anggota I berkumpul dengan
anggota I, anggota II berkumpul dengan anggota II,
dan begitu seterusnya. Kumpulan peserta didik yang
mendapat tugas yang sama ini kemudian dikenal
dengan sebutan kelompok pakar (expert group).
Sedang kelompok asli yang beranggotakan empat
anak tadi dinamakan home teams. Dengan demikian
ada kelompok pakar yang membahas perkembangan
kerajaankerajaan Islam dan perannya dalam proses
integrasi, ada kelompok pakar yang mengaji peran
perdagangan antarpulau dalam proses integrasi, ada
kelompok pakar yang mendiskusikan peran bahasa
dalam proses integrasi, ada kelompok pakar yang
membahas tentang dampak migrasi penduduk
terhadap proses integrasi Nusantara.
Setelah kelompok pakar selesai mendiskusikan dan
merumuskan materi yang jadi tugasnya kemudian
kembali ke home teams masing-masing.
Kelompok home teams kemudian mendiskusikan
hasil kajian yang diperoleh dari kelompok pakar.
Dengan demikian di kelompok home teams itu dapat
memahami topik pelajaran Perkembangan Islam
dan Proses Integrasi Nusantara. Bila waktu masih
cukup beberapa kelompok home teams dapat
ditampilkan untuk presentasi agar memperkaya
materi pelajaran yang sedang dikaji.
Keterangan Skor:
Masing-masing kolom diisi dengan
kriteria
4 : Baik sekali
3 : Baik
2 : Cukup
1 : Kurang
Keterangan
Skor:
Skor perolehan X
Nilai : 100
Skor Maximal (20)
Kriteria Nilai
A : 80 - 100 : Baik Sekali
B : 70 - 79 : Baik
C : 60 - 69 : Cukup
D : < 60 : Kurang
Lampiran 3
Ringkasan materi
Integrasi Nusantara
Baru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di
daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan
oleh ajaran suci Al-Quran bahwa sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Kesultanan Demak. Di zaman Sultan Trenggono,
datanglah seorang ulama dan ahli perang dari Aceh. Itulah Fatahillah, yang diangkat menjadi
panglima perang Demak, menggempur armada Portugis di Sunda Kalapa, lalu mendirikan kota
Jakarta. Ini baru satu contoh bahwa benih-benih persatuan bangsa telah ditanamkan Islam sejak
abad ke-16! Tidak usah heran jika Ki Geding Suro, bangsawan Demak yang pergi ke
Palembang, diterima dan diangkat menjadi raja pertama dari Kesultanan Palembang.
Pati Unus (sebutan Portugis untuk Adipati Yunus) dari Demak mengirimkan angkatan lautnya
untuk mengusir Portugis yang telah menaklukkan Malaka. Sayang sekali balabantuan itu gagal
karena kedudukan Portugis sudah terlalu kuat. Sekalipun demikian, pengharapan akan bantuan
dari saudara-saudaranya di Jawa tetaplah tinggal dalam jiwa anak Melayu, sehingga timbul dari
bibir mereka sebuah pantun: Jika jatuh kota Melaka, mari di Jawa kita dirikan, jika sungguh
bagai dikata, badan dan nyawa saya serahkan. Pantun ini telah beratus tahun menjadi dendang
anak Melayu sampai sekarang.
Syekh Yusuf Tajul-Khalwati ulama Makassar mengembara ke Banten, diangkat oleh Sultan
Ageng Tirtayasa menjadi mufti kesultanan, dan bersama-sama berjuang melawan Belanda. Si
Untung diberi gelar Surapati oleh Sultan Cirebon dan diberi gelar Wironegoro oleh Sultan
Mataram, padahal dia asalnya budak dari Bali, tetapi karena dia telah Islam dan berjuang
melawan Belanda, dia diterima menjadi bangsawan Jawa.
Tatkala usai Perang Diponegoro di Jawa, Belanda mengirim Sentot Ali Basyah ke Minangkabau
untuk memerangi kaum Paderi yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Sesampainya di
Minangkabau Sentot segera berbalik arah dan bersekutu dengan kaum Paderi, demi dilihatnya
yang dihadapinya adalah saudara-saudaranya seagama.
Pada zaman sebelum Islam pembauran antar suku di Nusantara belum pernah terjadi, sebab
belum ada rasa persaudaraan antar suku. Itulah sebabnya mengapa di Bandung ada Jalan
Diponegoro dan Jalan Sultan Agung, tapi tidak kita jumpai Jalan Gajah Mada!
Berabad-abad sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali
ditanamkan oleh Islam! Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman dahulu:
Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (Pansur), Syaikh Abdussamad al-Jawi al-Falimbani
(Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten), Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari
(Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi (Sumbawa), Syaikh Yusuf al-Jawi al-
Maqashshari (Makassar), dan lain-lain. Semua mengaku Jawi (bangsa Jawa), dari suku mana
pun dia berasal.
Berabad-abad sebelum istilah Indonesia diciptakan oleh ahli geografi James Richardson Logan
tahun 1850, nenek moyang kita menamakan diri bangsa Jawa, sebab orang Arab sejak zaman
purba menyebut kepulauan kita Jazair al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji
kita masing sering dipanggil Jawa oleh orang Arab. Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh
Jawi! demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah. Sumatera, Sunda, Sulawesi,
semuanya Jawa!
Sangat menarik apa yang pernah dikemukakan Prof.Dr. Hamka sebagai berikut: Sudah beratus-
ratus tahun lebih dahulu sebelum gerakan kebangsaan, orang Islam yang naik haji ke Mekkah,
seketika ditanyai siapa nama dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si Fulan dan
saya bangsa Jawa! Terus datang pertanyaan lagi: Jawa apa? Baru dijawab Jawa Padang, Jawa
Sunda, Jawa Bugis, Jawa Banjar, dan suku Jawa sendiri disebut Jawa Meriki. Padahal orang-
orang berpendidikan Belanda, kalau datang ke Negeri Belanda, tidaklah dapat memberikan
jawaban setegas itu. Sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang ada baru Jong Java, Jong
Sumatra, Jong Celebes, dan berbagai macam Jong. Marilah kita bersaksi kepada sejarah, mari
kita buka kartu sekarang: siapakah yang terlebih dahulu menyadari rasa kebangsaan, kalau
bukan bangsa Indonesia yang beragama Islam? (Rubrik Dari Hati ke Hati, majalah Pandji
Masjarakat, No.4, 20 November 1966).
Sebelum Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan
Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran
Islam. Para ulama, di samping memperkenalkan agama baru, juga memperkenalkan bahasa baru
sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf persatuan digunakan Huruf Arab-Melayu atau Huruf
Jawi, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi yang tidak ada dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain
diberi tiga titik menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya; huruf jim diberi tiga titik
menjadi ca; dan huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari Aceh sampai
Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.
Bahasa Melayu juga dipakai dalam berkomunikasi dengan bangsa asing. Surat Sultan Baabullah
dari Ternate kepada raja Portugal tahun 1570, surat Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh
kepada Ratu Elizabeth I di Inggris tahun 1601, dan surat Pangeran Aria Ranamanggala dari
Banten kepada Gubernur-Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen tahun 1619, semuanya memakai
bahasa Melayu. Itulah sebabnya Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya Itinerario tahun
1595, wanti-wanti berpesan agar orang Eropa yang ingin datang ke Kepulauan Hindia harus tahu
bahasa Melayu, sebab di setiap pelabuhan bahasa itu yang dipakai. Kata van Linschoten,
seseorang yang tidak berbahasa Melayu tidak akan diterima oleh penduduk Hindia sebagai
bagian dari komunitas mereka.
Dari seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan Islam dalam
melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul
faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan satu
nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat
di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan
nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya di
seantero penjuru kepulauan tanah air kita.
Sudah sejak Zaman dahulu kala, Bangsa Indonesia sudah emmiliki kemampuan berlayar dengan
pengetahuan navigasi yang tinggi. Bahkan, semenjak kedatangan nenek moyang bangsa
Indonesia yang Pertama dari daerah Yunan (Perbatasan Vietnam dengan China), mereka sudah
pandai berlayar dengan perahu bercadik sebagai ciri khasnya, berlayar sampai ke Afrika Timur
dan Madagaskar.
Pengetahuan pelayaran dan perkapalan (pembuatan kapal) diteruskan secara turun-temurun dari
masa ke masa atau dari abad ke abad berikutnya sehingga bangsa Indonesia disebut sebagai
Bangsa Bahari.
Tradisi Bahari yang sudah berabad-abad memberi kemampuan menggunakan angin muson.
Sebagai akibatnya, para pelaut Nusantara mengetahui betul bahwa pada setiap bulan Maret
sudah dapat berangkat berlayar dari Malaka, Aceh, Palembang, atau dari tempat lain di bagian
barat Indonesia, ke arah timur, yaitu ke Jawa (Banten, Jayakarta, Cirebon, Demak, Tuban,
Gresik dsb) atau ke Banjar, Gowa, Nusa Tenggara, sampai dengan Maluku. Sebaliknya mulai
bulan Oktober sudah dapat berlayar dari arah timur Indonesia ke arah barat. Demikian juga,
apabila akan berdagang ke arah Negeri China, mereka mengetahui betul bahwa sejak bulan Juni
sudah dapat berlayar ke arah utara dan pada setiap bulan September sudah dapat berlayar
kembali ke Nusantara.
Kemampuan perlayaran juga didukung kemampuan membuat Kapal. Misalnya di Bugis dan
Makassar terkenal dengan kapal Pinisinya, di Jawa yang Paling terkenal adalah kapal Buatan
Lasem (timur Semarang), dan di Maluku yang terkenal kapal buatan pulau Kei. Tentu saja
daerah lain banyak pula yang mampu membuat kapal bagus dan memenuhi syarat pelayaran
Samudera.
Wilayah Nusantara yang sangat luas memiliki hasil yang beraneka ragam, daerah yang satu
dengan yang lainnya saling membutuhkan sehingga mendorong timbulnya tukar-menukar
barang antar daerah dan memungkinkan berkembangnya perdagangan antar pulau dan antar
daerah di Nusantara. Misalnya, Jawa dengan hasil beras, Maluku dengan hasil rempah-rempah,
sumatera dengan hasil emas dan hasil hutan, Nusa Tenggara dengan hasil kayu cendana,
kalimantan dengan hasil kayu besi (belian), serta Sulawesi dengan hasil kayu hitam.
Pelayaran dan perdagangan antar pulau dan antar daerah menyebabkan adanya saling mengenal
suku-suku bangsa Indonesia, kemudian berkembang menjadi persaudaraan antar pulau dan antar
daerah. Hubungan perdagangan tersebut juga berkembang dalam hubungan yang lain, misalnya
penyebaran agama Islam dan hubungan perkawinan. Pada zaman penjajahan Belanda, para
pedagang Nusantara merasa satu saudara dan mempunyai rasa senasib sepenanggungan akibat
monopoli perdagangan Belanda. Rasa persaudaraan dan rasa senasib mendorong proses Integrasi
Bangsa Indonesia.
Bahasa melayu semula dipakai masyarakat sekitar selat Malaka dan sudah
tergolong bahasa yang tua. Sejak nenek moyang bangsa Indonesia datang
ke nusantara, mereka sudah menggunakannya meskipun tentu saja bukan
seperti sekarang. Pada zaman Sriwijaya (abad ke-7 M), prasasti
menggunakan bahasa melayu kuno, misalnya prasati kedukan bukit, Talang
Tuo, dan Kota Kapur. Di Jawa Tengah ada prasasti yang menggunakan
bahasa Melayu Kuno, yaitu prasasti Sojomerto (abad ke-7 M). Hal tersebut
memberi petunjuk bahwa bahasa Melayu zaman dahulu juga pernah menjadi
bahasa rrsmi dan sudah dikenal luas.
4. Kuli kontrak, misalnya pada akhir abad ke-19 Belanda menerapkan politik
ekonomi liberal sehingga banyak berdiri perkebunan swasta di Jawa dan Luar
Jawa (terutama di Sumatera). Untuk keperluan mencukupi buruh (kuli),
diadakan pemindahan penduduk dari Jawa ke Sumatera dengan dalih kuli
kontrak (sebenarnya pemindahan paksa) terutama di daerah Deli, Lampung
dan Kalimantan. Disamping ke daerah perkebunan, juga pemindahan
penduduk ke daerah industri, misalnya ke daerah industri gula, teh, kopi dan
tembakau yang biasanya hanya antar daerah di Jawa.
Migrasi juga terjadi pada kota-kota besar karena faktor pendidikan. Hal itu
dimulai sejak diberlakukannya politik Etis pada akhir abad ke-19 sampai
awal abad ke-20. Belanda membuka sekolah baik untuk bangsanya sendiri
maupun untuk kaum pribumi secara terbatas, misalnya:
1. Tahun 1892 dibuka sekolah Angka Loro.
2. Tahun 1907 dibuka sekolah Desa (Volkschool), kemudian dibuka sekolah
Angka Siji.
3. Vervolkschool (lanjutan sekolah dasar).
4. Hollandsch Inlandsch School (HIS) untuk kalangan atas.
5. Mulo (Meen Uit Gebreid Lager Onderwijs) setingkat SMP.
6. AMS (Alegemeene Meiddle School) setingkat SMA.
7. STOVIA (School Teer Opleiding Van Inlander / Arsten).
8. Normal School (Sekolah Guru).
Sumber: buku berjudul ''sejarah nasional dan umum'' karya Dra. Siti Waridah
dkk.