Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Euthanasia (Bahasa Yunani: -, eu yang artinya "baik", dan ,


thanatos yang berarti kematian) adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan
melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang
minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan
sering kali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya
perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan
di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan
dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

Sejauh ini Indonesia memang belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia.
Euthanasia atau menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya sendiri sama dengan
perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan hal ini masih menjadi perdebatan
pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju
tentang euthanasia.
Perdebatan ini tidak akan pernah berakhir, karena sudut pandang yang dipakai
sangatlah bertolak belakang, dan lagi-lagi alas an perdebatan tersebut adalah masalah
legalitas dari perbuatan euthanasia. Walaupun pada dasarnya di Indonesia tindakan
euthanasia termasuk dalam perbuatan tindak pidana yang diatur dalam pasal 344 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Di negara-negara Eropa (Belanda) dan Amerika, tindakan euthanasia mendapatkan


tempat tersendiri yang diakui legalitasnya, hal ini juga dilakukan oleh Negara Jepang.
Tentunya dalam melakukan tindakan euthanasia harus melalui prosedur dan persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi agar euthanasia bisa dilakukan.
Di Indonesia masalah euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui
secara yuridis. Oleh karena itu, dari latar belakang di atas, masalah ini menarik perhatian

1
kami untuk menulis makalah terkait dengan isu-isu etik kedokteran tersebut, baik dari segi
hukum, agama, maupun sosial budaya.

Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai


salah satu materi pembahasan, semoga tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-
nilainya, baik sosial, etika, maupun moral.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama, sosial budaya, dan
hukum?
2. Apa pengertian Euthanasia?
3. Apa saja jenis-jenis Euthanasia?
4. Bagaimana Euthanasia dari segi aspek etik kedokteran?
5. Bagaimana Euthanasia dari segi aspek agama?
6. Bagaimana Euthanasia dari segi aspek sosial budaya?
7. Bagaimana Euthanasia dari segi aspek hukum?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui masalah Euthanasia dilihat dari aspek etik, agama, sosial budaya dan
hukum.
2. Mengetahui pengertian Euthanasia.
3. Mengetahui jenis-jenis Euthanasia.
4. Mengetahui Euthanasia dari segi aspek etik kedokteran.
5. Mengetahui Euthanasia dari segi aspek agama.
6. Mengetahui Euthanasia dari segi aspek sosial budaya.
7. Mengetahui Euthanasia dari segi aspek hukum.

2
1.4 Manfaat

1. Untuk memperluas wawasan mengenai Euthanasia.


2. Memahami aspek etik, agama, sosial budaya dan hukum pada Euthanasia.
3. Ilmu yang didapat bisa diaplikasikan dalam kehidupan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Euthanasia
2.1.1 Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari kata Yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah
mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit. Euthanasia sering disebut
: mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri,
permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa
persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).

2.1.2 Jenis Euthanasia


Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi 3:
1. Euthanasia aktif adalah: suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti :
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang
termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien,
berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan
hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu
dilakukan.
2. Euthanasia pasif adalah: suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti
: bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan
darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
3. Auto-euthanasia, artinya seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek
atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat
sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
euthanasia pasif atas permintaan.

4
2.1.3 Macam-Macam Euthanasia

1. Euthanasia sukarela: Apabila si pasien itu sendiri yang meminta untuk diakhiri
hidupnya. Misalnya dengan menolak perawatan medis, meminta perawatannya
dihentikan atau mesin pendukung kehidupannya dimatikan atau menolak untuk
makan.
2. Euthanasia non-sukarela: Apabila pesien tersebut tidak mengajukan permintaan atau
menyetujui untuk diakhiri hidupnya.Ini terjadi ketika pasien sadar atau tidak,
sehingga ada orang lain yang mengambil keputusan atas namanya.Euthanasia non-
sukarela bisa terjadi pada kasus-kasus seperti pasien sedang koma, pasien terlalu
muda (misalnya bayi), orang pikun, mengalami keterbelakangan mental yang sangat
parah atau gangguan otak parah.
3. Involuntary Euthanasia: Pada prinsipnya sama seperti euthanasia non-sukarela, tapi
pada kasus ini, si pasien menunjukkan permintaan euthanasia lewat ekspresi.
4. Assisted suicide (bunuh diri dengan bantuan): Atau bisa dikatakan proses bunuh diri
dengan bantuan suatu pihak. Seseorang memberi informasi atau petunjuk pada
seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Jika aksi ini dilakukan oleh dokter
maka disebut juga, physician assisted suicide.
5. Euthanasia dengan aksi: Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang dengan
melakukan suatu aksi, salah satu contohnya adalah dengan melakukan suntik mati.
6. Euthanasia dengan penghilangan: Dengan sengaja menyebabkan kematian seseorang
dengan menghentikan semua perawatan khusus yang dibutuhkan seorang pasien.
Tujuannya adalah agar pasien itu dapat dibiarkan meninggal secara wajar.

5
2.2 Isu Etik Euthanasia

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan
manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana
yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS
yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku
manusia yang baik. Etika dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi
kehidupan manusianya sebagai berikut :

1. Autonomy (otonomi)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir
logis dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau
pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan bentuk
respek terhadap seseorang, atau dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan
bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan
individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi
saat tim perawatan paliatif menghargai hak-hak klien dalam membuat keputusan
tentang perawatan dirinya.
2. Non maleficience (tidak merugikan)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada
klien. Prinsip tidak merugikan (Nonmaleficience, do no harm) hendak mengartikan
bahwa kita berkewajiban jika melakukan suatu tindakan agar jangan sampai
merugikan orang lain.
3. Beneficience (berbuat baik)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan,
memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam
situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
4. Justice (keadilan)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam praktek profesional ketika tim perawatan paliatif bekerja untuk

6
terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek, dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
Terciptanya suasana saling mempercayai dalam transaksi terapeutik (penyembuhan),
memerlukan adanya kesadaran etis yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
orang lain. Kesadaran etis itu perlu dimiliki oleh tim perawatan paliatif agar dapat selalu
mempertimbangkan setiap tindakan yang akan dilakukan dengan mengingat dan
mengutamakan kepentingan pasien. Demikian juga kesadaran etis dari pasien juga diperlukan
agar menghargai setiap upaya medis yang dilakukan tim perawatan paliatif dalam usaha
meringankan/membebaskan penderitaan penyakitnya. Kesadaran etis itu akan berfungsi
dalam tindakan konkret ketika mengambil keputusan terhadap tindakan tertentu dengan
mempertimbangkan baik buruknya secara bertanggung jawab (Komalawati, 1989).
Tuhan jelas melarang manusia membunuh dirinya sendiri, atau orang lain
melakukannya. Hidup dan mati semuanya di Tangan Tuhan, meskipun manusia, termasuk
dokter dan tenaga kesehatan lainnya dengan segala ilmu dan teknologi yang dikuasainya,
berusaha menolong seorang pasien, tetapi semuanya Tuhan yang akan menentukan. Di dalam
Kode Etik Kedokteran Indonesia dan lafal sumpah Dokter dinyatakan bahwa dokter
mempunyai tugas dan kewajiban untuk melindungi hidup makhluk insani mulai dari saat
pembuahan, dan dokter harus membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan.
Pasien mempunyai hak untuk memperoleh informasi tentang penyakitnya, pengobatan
dan prognosisnya, dan berdasarkan informasi menolak pertolongan atau perawatan oleh
seorang dokter. Antara etik kedokteran yang digunakan sebagai landasan tugas dan kewajiban
dokter dan hak asasi pasien untuk memilih perawatan kesehatannya tersebut, kadang-kadang
menimbulkan masalah antara lain dalam masalah euthanasia ini sudah sejak lama terdapat
masalah bagi dokter dalam menghadapi keadaan dari segi medis tidak ada harapan dalam
situasi yang demikian ini, tidak jarang pasien meminta agar dibebaskan dari segala
penderitaan dan tidak menginginkan diperpanjang hidupnya atau dilain keadaan pada pasien
yang sudah tidak sadar, keluarga pasien yang tidak sampai hati melihat penderitaan pasien
menjelang ajalnya meminta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila
perlu memberikan obat yang mempercepat kematian. Dari sinilah muncul istilah euthanasia,
yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari penderitaan, atau mati secara enak
menurut versi pasien/keluarga pasien yang menginginkannya. Meskipun euthanasia ini
berlaku untuk semua makhluk hidup, tetapi biasanya hanya yang berkaitan dengan perawatan
kesehatan, atau yang ada kaitannya dengan perawatan manusia.

7
Dari segi moral yang penting adalah bahwa penyebab kematian adalah penyakit yang
diderita oleh pasien, dan bukan perbuatan keluarga dan tim pelayanan kesehatan. Aplikasi
dari teknologi medis yang terus menerus berkembang menimbulkan masalah yang
mengandung berbagai dilema etis. Respirator dan mesin dialisis tentu mahal, tetapi bagi
orang yang ingin memperpanjang hidupnya terapi (pengobatan) semacam ini mungkin
merupakan terapi yang biasa saja. Dilema etis moral lainnya adalah apakah boleh orang tidak
melakukan sesuatupun, sedangkan diketahui bahwa sebagai akibatnya akan timbul keadaan
yang membawa kematian.
Disini penting pula maksud pelaku: tidak memberikan pengobatan yang kurang
berguna atau terlalu membebani keluarga dalam hal pembiayaan dan bukan bermaksud
mengakibatkan kematian secara langsung.
Dilema etis yang lain adalah adanya perbedaan antara berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu. Seringkali orang merasa bahwa menghentikan suatu terapi yang sudah
dimulai adalah bertindak, sedangkan tidak memualai ksuatu terapi mirip dengan perbuatan
yang tidak bertindak. Pada umumnya dikatakan bahwa argumen moral untuk keduanya
adalah jelas sama.
Artinya alasan-alasan untuk tidak memulai dengan respirator seringkali sama dengan
alasan-alasan untuk menghentikannya. Walaupun sering kebanyakan orang akan lebih setuju
mengenai sesuatu terapi yang tidak banyak bermanfaat bagi kesembuhan pasien, mungkin
silang pendapat akan timbul tentang tepat tidaknya menghentikan terapi itu, karena orang lain
yang tidak berbuat sesuatu untuk pasien. Disinilah akhirnya timbul masalah etik yaitu ketika
mengevaluasi manfaat dan beban terapi bagi si pasien atau keluarganya.
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah
untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-
jelas menolaknya, Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya. Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin
saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami

8
kematian batang otak atau kehilangan fungksi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut
secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus
secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan
medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini
berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar
batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk
melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi,
dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

9
2.3 Isu Agama Euthanasia

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di
dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri.
Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar
dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki
euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan
dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan
usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan
berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan,
kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati
penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai
melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan
standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum
hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok
dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

a. Kristen
Menurut agama Kristen, euthanasia ini tidak berjalan beriringan dengan apa
yang tertulis dalam alkitab. Praktek euthanasia adalah salah karena melanggar prinsip
bahwa kehidupan itu diberikan oleh Allah. Allah tidak menyetujui tangan yang
menumpahkan darah orang tidak bersalah(Amsal 6:16,17). Kehidupan berasal dari
Allah. Adalah keputusan Allah untuk memberi kehidupan dan mengambilnya kembali
(Pengkhotbah 12:7; Ayub 1:21).
Dalam Alkitab, menumpahkan darah orang yang tidak bersalah disebut
pembunuhan (1 Yohanes 3:15; Kejadian 9:6). Isu tentang euthanasia ini muncul kira-
kira sebagai akibat dari murahnya hidup manusia. Euthanasia adalah akibat dari
hilangnya hormat pada kehidupan manusia. Kalau orang mengerti dan menghormati

10
kesucian dari hidup manusia, maka mereka tidak akan memutuskan untuk
mengakhirinya. Allah telah memberi kita hak untuk membuat pilihan dalam
kehidupan ini. Banyak orang di dunia sekarang ini tidak lagi percaya untuk
membedakan apakah kita hidup atau mati. Allah menghendaki kita untuk memilih
hidup. Hidup dan mati adalah hak prerogatif Tuhan sebagai Sang Pencipta. Alasan-
alasan seperti rasa kasihan melihat penderitaan pasien, alasan ekonomi, atau
kerepotan mengurus pasien, tidak bisa mengesampingkan hak prerogatif Allah
tersebut.

b. Hindu
Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran
tentang karma, moksa dan ahimsa. Karma adalah merupakan suatu konsekuensi murni
dari semua jenis kehendak dan maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk,
lahir atau batin dengan pikiran kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus-
menerus dari karma yang buruk adalah menjadi penghalang moksa yaitu suatu
istilah kebebasan dari siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari
penganut ajaran Hindu. Ahimsa adalah merupakan prinsip anti kekerasan atau
pantang menyakiti siapapun juga. Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di
dalam ajaran Hindu dengan pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu
faktor yang mengganggu pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan karma
buruk. Kehidupan manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat
berharga untuk meraih tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.
Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh
diri, maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada di
dunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa
waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupannya, setelah itu maka rohnya masuk
ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya kembali ke dunia dalam
kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan karmanya terdahulu yang
belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal.

c. Budha
Ajaran agama Budha sangat menekankan kepada makna dari kehidupan
dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup adalah
merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal tersebut diatas

11
maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah perbuatan yang tidak dapat dibenarkan
dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal tersebut, ajaran Budha sangat
menekankan pada welas asih (karunia). Mempercepat kematian seseorang secara
tidak alamiah adalah merupakan pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha
yang dengan demikian dapat menjadi karma negatif kepada siapapun yang terlibat
dalam pengambilan keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.

d. Islam
Agama Islam menjunjung tinggi hak hidup seseorang sebagaimana disebutkan
dalam Alquran. Islam menetapkan aturan-aturan preventif dan hukuman yang adil
bagi tindakan-tindakan yang cenderung mengancam hidup orang lain tanpa ada alasan
yang sah. Alquran menetapkan hukuman mati untuk tindak pembunuhan yang
disengaja:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu pembalasan yang adil
(qishash) berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Q.S. al-Baqarah, 2:178)

Ini merupakan tindakan pembunuhan, dan membunuh adalah dosa besar


karena itu dilarang dalam Islam, agama yang murni rahmat. Dalam Alquran juga
dipaparkan bahwa:

Allah yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Allah mengetahui segala
apa yang kalian lakukan (Q.S. Al Imran, 3:156)

Dari ayat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kendati ahli medis tersebut
hanya bermaksud mempertinggi dosis obat yang diberikan, sementara ia sadar
sepenuhnya bahwa tindakan tersebut dapat mengakibatkan kematian, maka menurut
syariat, ia akan dimintai pertanggungjawaban karena telah mengakhiri hidup
pasiennya yang sama saja dengan tindak pembunuhan.

12
e. Katolik

Agama Katolik memandang Euthanasia dalam beberapa prinsip moral, yaitu:

1. Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik martabat setiap individu maupun
anugerah hidup adalah kudus. Kita menghormati kekudusan kelangsungan
hidup manusia sejak dari saat pembuahan hingga kematian yang wajar.
2. Setiap orang terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan
dengan keterbukaan terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan
akan kepenuhan hidup di surga.
3. Dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan merupakan
penolakan terhadap rencana Allah.

Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa euthanasia merupakan tindakan


belas kasihan yang keliru, itu merupakan belas kasihan yang semu. Belas kasihan
yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas kasihan itu
tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita tanggung.

13
2.4 Isu Sosial Budaya Euthanasia

2.3.1 Aspek Sosial


Aspek sosial yang dibicarakan disini berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Setiap
orang di dunia ini mempunyai hak asasi sejak lahir. Hak asasi ini meliputi hak untuk hidup,
hak untuk memeluk agama, hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikirannya secara bebas,
hak untuk berkeluarga, hak untuk mendapatkan pendidikan, dan masih banyak lagi. Oleh
karena itu, jika seseorang melakukan praktek euthanasia, itu berarti ia mengambil hak atau
kesempatan seseorang untuk hidup. Dan ini dianggap melanggar hak asasi manusia untuk
hidup. Kita harus menghargai dan menghormati semua hak asasi yang dimiliki oleh setiap
manusia tanpa terkecuali.
Ada dasarnya pihak-pihak yang menyetujui euthanasia dapat dilakukan, beranggapan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya dengan
segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup mendukung yaitu alasan
kemanusiaan. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau
bahkan hidup, maka ia dapa tmelakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Ini
merupakan tindakan dan pola pikir yang salah dari pihak yang mendukung Eutanasia sebab
seperti yang kita ketahui bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri
hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat oleh manusia. Selain itu, salah satu alasan mengapa melakukan euthanasia
adalah ketika suatu keluarga merasakan ketidaksanggupannya dalam membayar biaya
perawatan untuk si penderita dan membiarkannya hidup hanyalah membuang-buang uang
saja.
Padahal nilai kehidupan ini tidak bisa dibayarkan hanya dengan sejumlah uang saja.
Hidup dan mati seseorang tidak dapat diukur dengan uang, karena kehidupan kita lebih
berharga daripada uang atau apapun juga, uang itu berasal dari hidup kita dan kita yang
menghasilkan uang, uang bisa saja habis dan musnah karena dipakai atau digunakan oleh
kita, namun Tuhan menciptakan kita di dunia ini untuk hidup bukan untuk mati. Jadi selama
pasien masih memiliki kesempatan untuk hidup orang lain seharusnya tidak berhak untuk
mengakhiri hidupnya.

2.3.2 Aspek Budaya


Dalam perkembangannya Euthanasia menjadi bahasan yang kontroversi, diawali dari
perdebatan di Amerika Utara dan Eropa tahun 1928, undang-undang tentang Euthanasia

14
mulai diberlakukan di Newyork yang kemudian diikuti oleh negara-negara bagian lainnya.

Tidak sampai disitu, setelah perang Saudara tahun 1861-1865 beberapa advokat dan
dokter mendukung dilakukannya Euthanasia secara sukarela. Kelompok-kelompok
pendukung Euthanasia muncul pada tahun 1835 di Inggris dan 1938 di Amerika, yang
dimana mereka mendukung praktik Euthanasia aktif.

Pada tahun 1937, Euthanasia dianjurkan oleh Nazi di Jerman yang menyebut sebuah
program Euthanasia dengan sebutan action T4 yaitu melakukan Euthanasia terhadap anak
dibawah tiga (3) tahun yang mengidap cacat mental, cacat fisik, dan gangguan lainnya yang
pada akhirnya juga diberlakukan kepada anak diatas tiga (3) tahun. Tindakan keji ini
diberlakukan NAZI guna meluruskan jalan mereka menjadi bangsa yang paling sempurna
dibandingkan dengan bangsa lain di dunia sesuai dengan tonggak awal Adolf Hitler sewaktu
mendirikan NAZI. Inilah juga awal dimana pendukung Euthanasia akhirnya mulai berkurang
secara signifikan.

Di beberapa negara juga melakukan tindak Euthanasia secara tidak langsung dengan
mengatasnamakan kebudayaan setempat. Misalnya di India pernah diprekatekan kebiasaan
untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga, kemudian di Sardinia
(Kepulauan Sisilia, Itali ) orang tua dipukuli hingga mati oleh anak lakilaki tertuanya.

Euthanasia juga kerap dipraktekan di Indonesia. Inilah sebuah ironi yang terjadi di
NKRI, memang dari segi agama danbudaya di Indonesia, Euthanasia dilarang dan ditentang.
Akan tetapi seorang dokter hanya akan menyarankan tindak Euthanasia jika dalam kasus-
kasus tertentu bukan karena kekurangan biaya pengobatan. Namun, di Indonesia sendiri
banyak terjadi kasus ketidakterjangkauan biaya pengobatan pada pasien kurang mampu yang
mengidap penyakit serius, sehingga tercipta bahwa orang melarat dilarang sakit keras, setuju
atau tidak itu kenyataannya.

Kasus euthanasia yang kerap terjadi di Indonesia tersebut bukan karena kesalahan
dokter. Dokter sering dikambinghitamkan dalam permasalahan ini, karena sesungguhnya
kesalahan terjadi pada sistem 'bisnis kesehatan' yang ada di Indonesia, management rumah
sakit adalah murni menjalankan bisnis, dan bisnis memerlukan keuntungan maka dengan
begitu memang di Indonesia sakit itu mahal.

15
2.5 Isu Hukum Euthanasia

Euthanasia adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sadar untuk melakukan suatu
tindakan yang jelas dimaksudkan untuk mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk
elemen-elemen berikut:

Subjek tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak
dapat disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri.
Agen mengetahui tentang kondisi pasien dan menginginkan kematian dan melakukan
tindakan dengan niat utama mengakhiri hidup orang tersebut.
Tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi.

Di Indonesia sendiri belum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life


decision. Padahal, sudah terdapat undang-undang etik kedokteran yang telah membolehkan.
Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni
with-holding atau with drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat bantuan
hidup. Sehingga apabila dilakukan dokter tidak menyalahi prosedur meski di hukum pidana
tidak diperbolehkan.

Pasal-pasal dalam kode etik kedokteran dalam kodeki yang menyangkut euthanasia
adalah:

1. Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standard profesi yang tertinggi.
2. Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Bagaimana pun keadaan pasien, dokter harus senantiasa semaksimal mungkin
memberikan pelayanan medis, kasih sayang dan penghormatan atas martabat
manusia dengan tidak mudah membuat keputusan sebelum ada ijin dari pihak
terkait serta indikasi yang kuat.
3. Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.

16
Setiap manusia (pasien) ada haknya untuk sehat, hidup bahkan mati. Sebagai
dokter, harus tetap bijak & menghormati apapun hak dari pasien. Terutama bila
hal tersebut, memang yang pasien/keluarganya inginkan.Tapi tidak mengindahkan
juga hak dokter, karena tindakan Euthanasia bukanlah hak seseorang untuk
mati,tetapi hak untuk membunuh. Dokter juga harus terus mencari solusi terbaik
& mengupayakan agar pasien tetap bertahan serta adanya dukungan emosional &
spiritual agar pasien nyaman dengan sisa hidupnya.
4. Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
mahluk insani.
Setiap tindakan dokter harus bertujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaaan manusia. Jadi dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak
boleh melakukan: (1)Menggugurkan kandungan (Abortus Provocatus),
(2)Mengakhiri kehidupan seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan
tidak mungkin akan sembuh lagi/(euthanasia). Terutama disini adalah Euthanasia
aktif yang dokter secara sengaja melakukan tindakan untuk mempercepat
kematian pasien.Hal ini perlu dilakukan pertimbangan dari pihak pasien
(keluarga) maupun pihak dokter serta terus mencari alternative/solusi terbaik
untuk pasien.

Masalah dari tindakan euthanasia adalah adanya pro dan kontra atas tindakan yang
akan mereka lakukan untuk sang pasien. Jika mereka mematikan alat bantu pernafasan
pasien, itu berarti mereka melakukan euthanasia, yang akan menjerat mereka dalam pasal
338, 340 dan 359 KUHP. Adapun isi dari pasal-pasal tersebut adalah:

KUHP Pasal 338:


Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun
KUHP Pasal 340:
Barang siapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan, dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

17
KUHP Pasal 359:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Euthanasia berasal dari bahasa Yunani yang berarti praktik pencabutan kehidupan
manusia atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan
yang mematikan Dari segi pemberian keputusan ada euthanasia involuntary dan voluntary,
menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., euthanasia dibagi menjadi euthanasia aktif,
pasif, dan autoeuthanasia, ditinjau dari segi pelaksanaanya euthanasia terdiri dari euthanasia
agresif, non agresif, aktif, pasif, dan tidak langsung. Beberapa negara seperti Belanda, Belgia,
dan negara bagian Oregon di Amerika Serikat melegalkan euthanasia dengan pengawasan.
Sedangkan negara Inggris, Amerika, Swiss, Australia, termasuk Indonesia tidak melegalkan
euthanasia.

Hukum di Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia, dan agama yang diakui di
Indonesia tidak mengizinkan tindakan euthanasia. Semuanya diatur dalam KUHP pasal 344,
338, 340, 345, dan 359. Dan di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri
Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 pasal 10. Ada beberapa alasan mengapa
permohonan euthanasia dilakukan, diantaranya: rasa sakit yang tidak tertahankan dan hak
untuk melakukan bunuh diri dan munculnya pertanyaan haruskah seseorang dipaksa untuk
hidup? Euthanasia tidak seharusnya dilakukan karena selain berlawanan dengan hukum
agama, negara, dan kedokteran, euthanasia juga tidak mencerminkan tindakan menghargai
nyawa manusia. Karena sesungguhnya Tuhan-lah yang menentukan hidup matinya
seseorang.

3.2 Saran

Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada para pemberi layanan
kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia, karena jika dilihat dari
segi hak asasi manusia setiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama,
yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan. Apabila hukum di Indonesia

19
kelak mau menjadikan persoalan euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga
tetap diperhatikan dan dipertimbangkan sisi nilai-nilainya, baik sosial, etika, maupun
moral.

20
DAFTAR PUSTAKA

Go, Piet. 1989. Euthanasia: Beberapa Soal Etis Akhir Hidup Menurut Gereja Katolik.
Malang: Dioma

Komalawati, D. Veronica. 1989. Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter. Jakarta: Pustaka
Harapan

Kuitert, H.M & Tengker, F. 1991. Kematian Yang Digandrungi: Euthanasia dan Hak
Menentukan Nasib Sendiri. Bandung: Nova
https://id.wikipedia.org/wiki/Eutanasia diakses 6 November 2016

http://www.islamonline.net/servlet/Satellite?cid=1119503544774&pagename=IslamOnline-
English-Ask_Scholar/FatwaE/FatwaEAskTheScholar diakses 6 November 2016

Samil, RS. 2001. Etika Kedokteran Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
www.fathony78.lecture.ub.ac.id diakses 6 November 2016

www.lppmstikeskarsahusada.ac.id/wp-content/uploads/2016/06/7.-Sri-wulan-jpg.pdf diakses
6 November 2016

21

Anda mungkin juga menyukai