PENDAHULUAN
Neurorestorasi berasal dari kata neuro-logy dan re-store yang
berarti upaya renovasi untuk mengembalikan ke kondisi atau fungsi
semula. Neurorestorasi di definisikan sebagai cabang ilmu neurologi
yang menerapkan prosedur aktif dalam meningkatkan atau
memperbaiki fungsi sitem saraf yang terganggu, baik secara
fungsional maupun patologis. Pendekatan ini dilakukan melalui
modifikasi selektif pada struktur dan fungsi saraf yang abnormal
berdasarkan mekanisme penyakit, serta ekskalasi kapasitas fungsional
sistem saraf yang tersisa dan/atau aktivasi sistem saraf yang
sebelumnya masih tersamar (World Congres of Neurology
Hamburgh,1985).
Ilmu yang mempelajari neurorestorasi disebut
neurorestoratologi, yang didefinisiskan sebagai ilmu neuro sains yang
mempelajari regenerasi neuron, neural structural repair of
replacement, neuroplastisitas, dan neuromodulasi. Tujuan utama dari
pengembangan ilmu ini adalah untuk meningkatkan proses pemuligan
fungsiional neuron yang rusak atau terganggu karena sebab apapun,
termasuk akibat penyakit neurodegenertif.
Ada 5 dogma yang berperan dalam ilmu neurorestorasi, yang
disebut sebagai 5Ns dogma, yaitu neuroregenerasi, neurorepair,
neuroplastisitas, neuromodulasi, dan neurorehabilitasi. Neuroproteksi
sendiri dianggap sudah tercakup dalam definsi neurorestorasi secara
umum.
Ada 4 prinsip yang penting untuk dipikirkan dalam memlakukan upaya
neurorestorasi, yaitu:
1. keterbatasan regenerasi neuron (limited regeneration).
2. Tidak instan, melainkan melalui proses pembelajaran ulang (re-
learning)
3. Kapasitas reservasi otak/saraf yang kurang memadai (insufficient
reserve) ; konsep yang menggambarkan diskrenpasi antara
derajat kerusakan saraf secara patologis denga derajat
manifestasi klinis
4. Life long reinforcement; sama seperti keterampilan yang perlu
terus dilatih yang diasah seumur hidup.
Ada aturan 4 langkah dalam neurorestoratologi yang perlu
dilakukan untuk mendapatka hasil yang efektif , yaitu:
1. neurorestorasi structural neuron.
2. Signaling neurorestorasi
3. Neurorestorasi rehabilitative
4. Neurorestorasi fungsional
Pada bab ini akan dibahas juga aplikasi neurorestorasi pada
keaadan khusus yang paling sering terjadi dan membutuhkan prosedur
tersebut, yaitu pasca stroke dan afasia.
NEUROPLASTISITAS
Di masa yang lampau, para ahli berpendapat bahwa otak
berhenti tumbuh pada masa kanak-kanak dan tidak mempunyai
kemampuan untuk beregenerasi. Mereka juga percaya bahwa koneksi
antar saraf ( sinaps ) hanya terbentuk pada suatu oeriode kritis pada
masa kanak- kanak tersebut menetap tidak berubah seiring dengan
pertambahan umur. Oleh karena itu, pada masa tersebut jika terdapat
suatu kerusakan area di otak, akibat yang sering terjadi akan besifat
permanen. Karena serabut saraf tidak bisa beregenerasi maupun
membentuk sinaps baru.
Namun studi dan eksperimen baik pada hewan coba maupun
pada manusia menunjukkan sebaliknya. Otak terbukti memiliki
kemampuan untuk beregenerasi dan melakukan modifikasi bentuk
structural dan sekaligus fungsinya secara kontinu sepanjang hidupnya.
Perubahan structural dan fungsional ini terjadi melalui mekanisme
penambahan atau pengurangan koneksi sinaps. Fenomena ini dikenal
dengan istilah neuroplastisitas.
Neuroplastisitas, berassal dari kata neuro dan bahasa Yunani
plastos yang berarti molded atau materi yang bisa dibentuk, seperti
tanah liat. Dengan enuroplastisitas inilah neuron di otak beradaptasi
dan menyesuaikan fungsinya sebagai respons terhadap situasi baru
atau oerubahan yang terjadi. Adanya paparan terhadap stimulus pada
umumnya akan menyebabkan penambahan dan perubahan sinaps
( Gambar 1 ), missal saat seseorang mempelajari keterampilan baru,
seperti belajar naik sepeda, belakar menyetir, belajar berjalan, atau
belajar berbicara. Namun oenambahan umlah sinaps juga dapat
berakibat merugikan seperti yang terjadi pada nyeri neuropatik.
Sebaliknya pada kondisi hilangnya paparan suatu stimulus,
misalnya akibat kematian sel pascastroke , atau adanya suatu
keterampolan yang pernah dipelajari dan tidak dipergunakan kembali,
maka fenomena neuroplastisitas yang terjadi berupa pengurangan
sinaps yang telah terbentuk sebelumnya. Secara klinis hal ini
bermanifestasi sebagai hilangnya atau berkurangnya kemampuan
seseorang dalam melakukan keterampilan tersebut.
Paparan stimulus akan menyebabkan terbentuknya sinaps-sinaps
baru: (A) kondisi sebelum paparan stimulus; (B) kondisi pascapaparan
stimulus; (C) variasi bentuk dendrit yang berubah pascaterbetuknya
sinaps-sinaps baru.
Cedera pada susunan saraf pusat (SSP) akan mempengaruhi baik
neuron pre maupun pascasinaps melalui beberapa mekanisme, yaitu
perubahan proyeksi aksonal, denercasi, dan eliminasi sebagaian
neuron. Berikut akan dibahas proses yang terjadi pada neuron-neuron
tersebut pascacedera SSP.
PERUBAHAN PADA NEURON PRESINAPS
Suatu cedera yang menyebabkan terpututtsnya akson (axotomy)
akan menyebabkan degenerasi oada bagian distal dari area yang
bengalami cedara, yang disebut degenerasi Wallerian. Kontak neuron
presinaps dengan neuron pascasinaps akan terputus. Neuro presinaps
dari sel-sel yang mengalami kerusakan akan kehilangan target untuk
diinercasi. Akibat proses ini terdapat beberpa perubahan pada neuron
presinaps, antara lain:
1. Atrofi dan degenerasi retrograd
Neuron presinaps mengalami atrofi dan degenerasi (kematian sel)
yang dimulai dari bagian akson terminal, mundur kebelakang sampai
ke bagian badan sel (Gambar2).
Ada beberapa factor yang mempengaruhi derajat atrofi dan degenerasi
retrograd, diantaranya:
a. Lokasi trauma; semakin proksimal lesi, semakin berat atrofi
degenerasi.
b. Ekstensi serabut proyeksi ke sel target semakin banyak proyeksi
kolateral dari akson yang mengalami cedera, semakin ringan
derajat atrofi dan degenerasi retrograd yang terjadi.
2. Synaptic stripping
Pada kerusakan akson, sinaps-sinaps antara neuron disekitarnya
juga akan mengalami gangguan. Sinaps yang mengalami disfungsi
tersebut akan dieliminasi oleh mikroglia sebagai mekanisme alamiah
tubu. Sinaps yang hilang ini dapat terbentuk kembali jika neuron
pascasinaps beregenerasi kembali.
3. Degenerasi berantai ( cascading degeneration )
proses kematian sel neuron dapat terhjadi secara retrograd dan
mempengaruhi sekelompok neuron ( transneuronal ). Degenerasi
retrograd dan dan trensneural tidak selalu terbatas pada satu jaringan
sinaps saja, melainkan bisa terjadi pada seluruh jaringan sinaps di
neuron tersebut. bila ada neuron yang mengalami denerfasi, maka
neuron skitar yang menjadi sel target juga akan dapat mengalami
denerfasi dan degenerasi. Proses ini dapat terus berlanjut dan
mempengaruhi neuron-neuron berikutnya sehingga mengakibatkan
kerusakan yang luas. fenomena ini dikenal sebagai fenomena
degenerasi berantai.
4. Delayed Neuronal death pascaiskemia
berdasarkan studi, terdapat sekelompok neuron yang dapat
bertahan pada iskemia akut. bila ikemia berlanjut, neuron-neuron ini
akan mengalami kematian dalam waktu beberaopa jam hingga
beberapa hari kemudian. kelompok neuron yang rentan terhadao
proses ini terdapat di daerah korteks dan hipokampus.
5. Demielinisasi
Salah satu bentuk lain degenerasi sebagai respon s=terhadap
cedera akson adalah kematian sel oligodendroglia yang berujung pada
demielimisasi akson. proses kematian ini terjadi melalui proses
apoptosis yang terus berlangsing selama beberapa hari sampai
beberapa minggu pascacedera.
NEURORESTORASI FUNGSIONAL
Proses reorganisasi otak pascastroke merupakan contoh yang paling
baik untuk memahami proses neuororestorasi fungsional pasca suatu
cedara SSP. Dari banyak studi yang telah dilakukan, terutama yang
mempelajari fisiologi pemulihan dungsi motorik pascastroke, proses
reorganisasi ini terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Reorganisasi lokal
Salah satu proses reorganisasi otak untuk memulihkan fungsi kontrol
motorik yang rusak adalah memlalui reorganisasi somatopik, atau
fenomena yang disebut vikariasi ( vicariation ). Fenomena ini diajukan
oleh donoghue pada tahun 1990. area di sekeliling infark
( penumpbra ) akan mengambil alih kontrol motorik dengan
mengaktifkan jaras-jaras dengan representasi motorik yang
sebelumnya "tertidur".
2. Pemulihan diaskisis ( diaschisis )
Disebut juga lesi imbas, yaitu gangguan fungsional pada area yang
secara anatomi terletak jauh dari area yang rusak. Diaskisi merupakan
respons alamiah akibat tergganggunya sistim "network" fungsional di
otak. Lesi ini ummumnya terhadi pada area-area yang bekerja sama
dengan erat, misalnya pusat menelan dan pusat motorik primer untuk
ekstremitas. Contohnnya, pada stroke akut yang menunjukkan iskemia
ganya pada area korteks motorik primer ( tanpa tanda-tanda iskemia
didaerah batang otak ), sering dijumpai gangguan menelan ( disfagia )
akut yang menyertai hemiplegia kolateral. disfagia ini terjadi sebagai
akibat fenomena diaskisis tersebut, terjadi gangguan fungsional tanpa
kelainan struktural di area yang letaknya jauh dari lesi primer.Hal ini
umumnya hanya berlangsung sebentar dan dapat pulih seperti
sediakala.
3.Reorganisasi area sekunder
Pada kerusakan luas yang menyebabkan kerusakan sel neuron
perlesional ( di sekeliling lesi ) dengan fungsi somatotopik,,
reorganisasi akan terhadu pada area somatotopik sekunder yang letak
anatominnya berjauhan dengan lesi. SEbagai contoh, aktivasi jaras
diarea korteks ppremotorik dan area motorik suplementer atau
supplementary motor area (SMA) 0ada kerusakan korteks motorik
primer.
4. Rorganisasi bihemisfer
Berbagai studi pencitraan tergadao masa pemulihan pascastroke
memperlihatkan aktivitas sensorimotor yang meluas hingga ke
hemisfer yang sehat atay hemisfer kontralesi. Pada awalanya duga
bahwa akticasi gemisfer kontralesi dapat meningkatkan prognosis
pemulihan fungsi motorik. Namun beberapa studi terbaru cenderung
membuktikan hal sebaliknya, yaitu akticasi hemisfer yang sehat
cenderung merugaikan atau dihubungkan dengan pemulihan fungsi
motorik yang lebih buruk.
Pasien dengan perbaikan fungsi motorik minimal menunjukkan
peningkatan aktivitas pada hemisfer kontralesi dan akticasi minimal
pada hemisfer ipsilesi. Adapun pasien dengan pemulihan fungsi
motorik optimal menunjukkan akticasi fi hemisfer ipsilesi yang lebih
tinggi dibandingkan akticasi hemisfer kontralesi. Hingga saat ini, peran
area homolog di hemisfer kontralesi masih menjadi perdebatan,
sebagai penyebab buruknya pemulihan fungsi motorik atau hanya
meruoakan epifenomena akibat ketidakmampuan hemisfer epilepsi
untuk mengaktifkan area yang dibutuhkan.
NEURORESTORASI PASCASTROKE
Saat ini, hanya kurang daro 10% penderita stroke iskemik yang
bisa mendapatkan terapi rTPA yang secara bermakna memperbaiki
luaran pasca stroke ini. Sisanya, stroke survivors harus menghadapi
berbagai masalah disabilitas berat, seperti hemipasresis, disfagia,
afasia, dan lain sebagainya.
Kemajuan sains dan teknologi mutakhir telah membuka jalan bagi
perkembangan ilmu neuroscience, neurobiologis, neuroptostetik,
robotic, biomedical engineering, untu program neurorestorasi pasien
dengan gangguan neurologis. Rangkuman berbagai modalitas
neurorestorasi pascastroke yang sedang berkembang dapat diliha pada
Tabel 1.
Adapun tata laksana neurorestorasi mempu- nyai strategi dan tujuan yang berbeda pada
stroke fase akut, subakut, dan kronik, yaitu:
Tata laksana atau intervensi pada pasien pascastroke harus mempertimbangkan pro- ses
patologik (sumbatan atau perdarahan) onset, serta mekanisme neuroanatomi dan
neurofisiologi. Penatalaksanaan multidisiplin yang terpadu (organized stroke care) di unit
stroke RSUPN Cipto Mangunkusumo yang sesuai dengan penemuan di kawasan lain
dunia berhasil menurunkan angka kematian akibat stroke sampai di bawah 5%.
1. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabili- tatif Fase Akut
Intervensi neurorestorasi rehabilitatif fase akut ditujukan sedini mungkin untuk
meminimalkan gejala sisa dengan membantu perbaikan perfusi otak dan mencegah
komplikasi imobilisasi, se- hingga tercapai pemulihan fungsional yang optimal
a. Mobilisasi, posturing, serta kontrol trunkal Selain untuk mencegah
kontraktur,dekubitus, dan stasis sirkulasi hemo- dinamik, mobilisasi posturing kontrol
trunkal berguna untuk mempertahan- kan fungsi antigravitasi otot trunkal. otot trunkal
berperan dalam menjaga postur tubuh dan merupakan jangkar dari gerak ekstremitas.
Pada fase akut, tata laksana pasien stroke mencakup posisi tirah baring untuk menjaga
MAP dan CBF yang optimal. Pada posisi tirah baring, gravitasi menjadi nol, sehingga
otot otot ekstesor trunkal yang dibutuh- kan untuk aktivitas yang melawan gravitasi
(misal untuk duduk, bangun, berdiri, berjalan, dan seterusnya sama sekali tidak bekerja.
Jika dibiarkan berkepanjangan, dapat terjadi feno mena neuroplastisitas negatif, seperti
pruning synapses (lihat penjelasan bab Neurorestorasi) yang menyebab kan atrofi otot-
otot trunkal.
Atrofi tersebut akan menyulitkan aktivitas antigravitasi dan juga gang guan pada kontrol
ekstremitas yang akan menambah permasalahan disabilitas dan program terapi fisik pada
fase kronik. oleh karena itu pengaturan posisi merupakan hal paling dini yang harus
diterapkan pada pasien stroke akut sesudah ke gawatdaruratan teratas.
Tindakan elevasi kepala dapat meminimalkan gravitasi untuk meningkatkan aliran balik
vena, mencegah aspirasi, menurunkan TIK, meningkatkan cerebral perfusion pressure
(CPP), serta menurunkan tekanan darah rerata arteri (mean arterial blood pressure/
MABP).
Mobilisasi duduk dan latihan gerak yang lebih bersifat aktif, pada umum- nya baru
dilakukan saat hemodinamik & kondisi medis stabil, tekanan rerata arteri (mean arterial
pressure/MAP) pada stroke iskemik <130mmHg, gula darah 90mg/dL atau 250mg/dL,
dan saturasi oksigen >95% (tanpa pemberian oz) Latihan ruang lingkup sendi dan pere-
gangan juga dapat dilakukan secara pasif maupun aktif dengan tujuan mencegah atau
mengurangi kekakuan sendi semata, tidak terlalu bermanfaat bagi untuk tujuan
fungsional.
b. Deteksi dan tata laksana gangguan menelan Setengah dari pasien stroke akut dengan
kesadaran penuh juga didiagnosis dengan disfagia. Disfagia yang tidak ditangani dengan
baik dapat menyebabkan komplikasi berupa pneumonia aspirasi, dehidrasi, dan
malnutrisi. Pneumonia merupakan penyebab kematian terbanyak pada pasien stroke akut.
Oleh karena itu, penting untuk melakukan identifikasi disfagia sejak dini dengan
melakukan skrining as- pirasi pada pasien stroke untuk segera dilanjutkan dengan
terapinya. Tahap ini akan dilanjutkan dengan tes ke- mampuan menelan bila pada
skrining ditemukan adanya disfagia.
Berikut beberapa tahapan dalam melaku kan skrining aspirasi:
1) Pasien diposisikan elevasi kepala 600
2) Kepala pasien ditekuk ke lateral, ke sisi yang sakit.
3) Pasien diberikan minum 1 sendok teh air.
4) Amati tanda batuk atau tersedak, bila tersedak, maka skrining dihentikan. Lakukan
suction bila perlu.
5) Jika tidak ada batuk atau tersedak, maka dilanjutkan dengan memberi- kan pasien
minum setengah gelas air secara perlahan Karena skrining aspirasi cukup seder hana dan
tidak memerlukan keahlian khusus, maka dapat dilakukan oleh pe- rawat atau dokter
sesegera mungkin saat pasien admisi di ruangan. Skrining ini dilanjutkan ke tahap
diagnostik de- ngan menggunakan metoda yang lebih sensitif oleh terapis wicara (dalam
wak- tu <72 jam setelah admisi) untuk meng- konfirmasi ada atau tidaknya disfagia.
Bila hasil skrining menyatakan tidak ada aspirasi, maka proses dapat d lanjutkan dengan
tes kemampuan menelan dengan menggunakan 4 bahan makanan yang berbeda, yaitu
setengah cair, makanan setengah padat, dan puree. Umumnya tes kemampuan menelan
ini dilakukan oleh te rapis wicara yang terlatih melakukan tes fungsi menelan.
Tata laksana yang diberikan pada pasien disesuaikan dengan hasil tes menelan tersebut,
yaitu:
1) Pasien dapat menelan air tanpa tersedak: diet normal.
2) Pasien dapat menelan makanan setengah encer tanpa tersedak: di- lakukan
pemasangan nasogastric tube (NGT) no 12 (hanya air)
3) Pasien dapat menelan makanan setengah padat tanpa tersedak: dilakukan pemasangan
NGT no.14 (susu/diet cair komersial, obat). Setengah porsi diberikan secara peroral (PO)
dan setengah porsi diberikan melalui NGT.
4) Pasien dapat menelan puree tanpa tersedak: dilakukan pemasangan NGT no 16.
Seluruh porsi diberikan via NGT atau nothing peroral (NPO) atau porsi diberikan secara
PO, 34 porsi diberikan melalui NGT.
Secara umum, tata laksana disfagia dapat dilakukan dengan beberapa tindakan berikut:
1) Latihan/terapi menelan direk (direct swallowing therapy)
2) Modifikasi konsistensi/tekstur/volume makanan.
3) Manuver & pengaturan posisi kepala, leher, tubuh (maneuver & adjusting body
position)
4) Stimulasi functional training:
- Stimulasi pasif.
- Sensory enhancement techniques (me ningkatkan tekanan sendok pada lidah ketika
menyuapkan bolus makanan, memberikan bolus dengan rasa asam, bolus dengan
temperatur dingin, bolus yang harus dikunyah, dan sebagainya)
-Thermal tactile oral stimulation.
-Deep pharyngeal neuromuscular stimulation.
-Neuromuscular electric stimulation. Transcranial magnetic stimulation.
5) Fisioterapi dada (chest physiotherapy).
c. Gangguan pengosongan kandung kemih Sepertiga sampai dua pertiga pasien stroke
akut, khususnya pasien usia lan jut, mengalami gangguan pengosongan kandung kemih.
Hal ini disebabkan be berapa macam penyebab yaitu: infeksi, overflow, impaksi feses,
diabetes melitus, dan instabilitas destrusor. Infeksi kandung kencing merupakan penyeb
komplikasi infeksi terbanyak pasca stroke akut.
Tujuan penanganan adalah menstimulasi pusat mikturisi, jika retensi urin >100cc akan
berisiko infeksi dan bila perlu dilakukan intermitten catheterization (IMC). Ada beberapa
teknik penanganan gangguan pengosongan kandung kemih, yaitu dengan cara
pemeriksaan pola buang air kecil, ada atau tidak masalah prostat, dan melakukan monitor
kapasitas bladder/ sisa urin. Beberapa studi menyaran kan untuk menggunakan urinal
terlebih dahulu dan menghindari pe makaian dower kateter.
d. Terapi fisik dada
Pneumonia dan acute respiratory failure termasuk ke dalam kelompok komplikasi
tersering pada stroke. Studi Morris dkk menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan
terapi fisik dada sejak masa perawatan dini dapat menurunkan masa perawatan secara
bermakna.
e. Stimulasi sensoris multimodal/stimulasi koma
Teknik menggunakan paparan sensorik eksternal multimodal pada penderita koma untuk
memancing arousal dan respons behavior. Walau pun tingkat efektifitasnya sangat dira
gukan, teknik ini mudah, murah, dan tidak invasif, sehingga tetap populer untuk
dipraktekkan.
2. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabili- tatif Fase Subakut (Bisa Saat Rawat Ina
Maupun Rawat Jalan)
Stroke fase subakut ditandai oleh kondisi hemodinamik dan proses neurologis yang telah
stabil. Tata laksana neurorestorasi pada fase ini mulai ditambah dengan program
neurorestorasi fungsional ter- masuk aplikasi berbagai teknik neuro- modulasi.
Gangguan komunikasi seperti afasia, dis- artria, dan kognisi harus ditangani sedini
mungkin. Jika ada gangguan menelan (disfagia) maka dilakukan penanganan gangguan
menelan yang lebih intensifi sehingga pasien terbebas dari NGT Jika ada gangguan
ambulasi berjalan, seperti pada pasien yang belum mampu ber jalan, maka harus dilatih
berjalan dan atau komponen berjalan sesuai dengan kemampuan pasien, terus menerus
sebanyak dan sesering mungkin. Adapun preskripsi latihan berupa:
-Teknik latihan untuk ambulasi berjalan terdiri dari latihan dasar persiapan berjalan,
ambulasi berjalan, berjalan secara fungsional, dan en- durance berjalan.
-Teknik latihan dasar persiapan berjalan.
-Pemilihan modalitas alat terapi, penggunaan alat bantu berjalan, ortosis dapat pula
diberikan sesuai dengan preskripsi dokter SpKFR.
Metode neurorestoratif rehabillitatif fungsional yang dianggap paling ber manfaat untuk
memperbaiki kontrol motorik adalah dengan teknik neuro- fasilitasi, yaitu berupa:
a. Bobath Konsep yang diperkenalkan oleh Berta dan Karel Bobath ini berfokus kepada
respon kontrol yang timbul sebagai respons terhadap kerusakan refleks postural. Prinsip
utamanya adalah teknik paparan fasilitasi dan pola gerak normal.
b. Brunnstrom Salah satu konsep terapi neurorehabili untuk pasien stroke yang populer
digunakan di seluruh dunia.
c. Rood Banyak menerapkan aktifitas dalam fase developmental, stimulasi sensorik
(terutama jenis stimuli kutaneus), dan klasifikasi kerja otot.
d. Proprioceptive neuromuscular facili tation (PFN)
Banyak menggunakan stimulasi pro- prioseptif perifer seperti peregangan dan resistensi
gerak untuk mening- katkan respon motorik yang ada.
Jika terdapat gangguan perawatan diri dan aktivitas sehari-hari, maka penggunaan teknik
latihan yang spesifik diberikan sesuai dengan dis abilitas yang ada. Jika ada gangguan
miksi dan defekasi termasuk kon- trolnya, dilakukan latihan khusus dengan atau tanpa
pressure feedback. Pada penurunan kebugaran kardiore- spirasi, dilakukan program
rehabili- tasi berupa exercise training dibawah pengawasan ketat dokter rehabilitasi
medik dengan memperhatikan hemodinamik, seperti saturasi 0, dan tanda vital). Jika ada
gangguan aktivitas sehari-hari akibat masalah visual, maka setiap pasien stroke sebaiknya
dilakukan penapisan gangguan visual agar dapat ditangani secara tepat.
Tata laksana disabilitas lain yang sering dijumpai sebagai komplikasi pasca- stroke
adalah:
-Spastisitas/peningkatan tonus otot karena pemulihan sinergis pada eksmitas atas dan
bawah; dapat di- berikan intervensi berupa pemberian toksin botulinum A, kombinasi
latihan, terapi manual, hingga dynamicsplinting.
-Pemendekan otot, kekakuan sendi, dan kontraktur; otot harus diposisi- kan dalam posisi
eksentrik, latihan peregangan, lingkup gerak sendi, hingga casting.
-Subluksasi bahu, nyeri bahu, dan shoulder hand syndrome; Perubahan biomekanik yang
berbeda dengan proses traumatic shoulder problem, sehingga diperlukan Rontgen hingga
USG muskuloskeletal atas indikasi. Penggunaan alat bantu, stimulasi otot, latihan hingga
modalitas alat yang sesuai kondisi pasien.
Ulkus dekubitus merupakan salah satu komplikasi yang sering terjadi. Sebag pencegahan,
harus dilakukan positioning, posturing, dan teknik transfer yang tepat minimal 1x/hari.
Pencegahan tromboem boli juga hal yang penting untuk diperhatikan dengan cara
perubahan posisi dalam waktu 48 jam terutama pada tungkai bawah dan memperhatikan
antikoagulan yang telah/sedang diberikan. Pemakaian stocking anti trombotik juga dapat
bermanfaat pada kasus-kasus tertentu.
3. Tata Laksana Neurorestorasi Rehabilitatif Fase Kronik (Saat Rawat Jalan)
Pada stroke fase kronik pada umumnya sudah terbentuk reorganisasi sistem saraf yang
kuat (established), baik yang berdampak positif, yang negatif. Pada fase ini, tata laksana
didasarkan pada adaptasi dan kompensasi terhadap dis- abilitas yang ada.
Manajemen rehabilitasi yang dilakukan umumnya meliputi:
- Memaksimalkan kemampuan fungsional/melakukan tugas/aktivitas tertentu.
-Kebugaran kardiorespirasi. Pasien harus mendapatkan program latihan penguatan dan
aerobik regular yang disesuaikan dengan komorbiditas dan keterbatasan fungsi pasien
dan telah melewati exercise testing sebelumnya.
-Persiapan kembali ke tempat kerja. Pekerja pascastroke harus diberi kesempatan untuk
mendapatkan pelatihan ketrampilan yang diperlukan kembali serta kesempatan bekerja
yang fleksibel.
-Kembali ke masyarakat. Pasien stroke dengan risiko jatuh di komunitas harus
mendapatkan intervensi kom prehensif, seperti program exercise spesifik perindividu
untuk mencegah atau mengurangi kejadian dan kepa- rahan akibat jatuh.
PENUTUP
Pada masa lampau, tata laksana penyakit penyakit neurologi banyak dibatasi oleh
dogma kemustahilan yang membuat orang (bahkan termasuk para neurolog) berm bahwa
tidak ada harapan untuk "sembuh Pada masa kini dengan kemajuan teknolog mutakhir,
pemahaman mengenai patofisiologi penyakit neurologis dan fisiologi proses reorganisasi
sistem saraf yang mendasari neurorestoratologi menjadi semakin jelas. Hal ini turut
memacu dan menjadi dasar perkembangan ilmu neurosains, neurobiologis,
neuroprostetik, robotik, dan biomedi- cal engineering untuk kepentingan program
neurorestorasi bagi pasien dengan gang- Oleh karena itu, sebaiknya guan neurologis.
dipahami dasar dan prinsip neuronestorasi memberikan pelayanan dan tata lak demi sana
yang paripurna bagi para pasien.