Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Autism Spectrum Disorder (ASDs) atau Gangguan Spektrum Autisme

adalah suatu gangguan perkembangan yang ditandai dengan adanya gangguan

keterlambatan bicara, adanya perilaku yang diulang-ulang, dan adanya gangguan

dalam berinteraksi dengan lingkungan. Istilah lain untuk ASDs adalah Pervassive

Developmental Disorder (PDD). Gambaran klinis ASDs dikemukakan pertama

kali hampir secara bersamaan oleh psikiatri Leo Kanner dan ahli anak Hans

Asperger sekitar awal tahun 1940. Pada tulisannya, Kanner menyimpulkan

terjadinya gangguan yang sedang diamati adalah hasil dari kelainan yang sudah

ada sejak lahir (Newschaffer dkk., 2002).

Onset autisme terjadi pada usia kurang dari 3 tahun, dan rata-rata umur

saat didiagnosis adalah 3,5 tahun. Dengan pengamatan yang lebih seksama maka

autisme dapat didiagnosis pada usia 18 bulan, bahkan dapat mulai menunjukkan

manifestasi klinis saat bayi (Blaxill, 2004).

Pada tahun 2000, the Center for Disease Control and Prevention

mengadakan survei di beberapa tempat berdasarkan catatan riwayat pasien untuk

mengetahui prevalensi ASDs. Prevalensi ASDs di Eropa dan Amerika Utara

adalah 6/1000. Pada tahun 2007, dilaporkan prevalensi anak yang berusia 8 tahun

dengan ASDs berkisar antara 1:303 dan 1:94 pada 14 tempat di Amerika Serikat,

dengan rata-rata 1:150 atau 6,6 setiap 1000 anak berusia 8 tahun. Angka yang

menunjukkan peningkatan sebesar 10 kali lipat dibandingkan setengah abad yang


2

lalu ini menghitung pasien dengan Aspergers syndrome dan Pervasive

Developmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD-NOS), sedangkan

setengah abad yang lalu hanya menghitung jumlah pasien Autistic Disorder saja.

Jumlah keseluruhan pasien ASDs di Kanada adalah 6,5:1000, untuk Autistic

disorder 2,2:1000, untuk Aspergers syndrome 1:1000, dan untuk PDD-NOS

3,3:1000 (Johnson & Myers, 2007). Data yang pasti belum ada di Indonesia,

namun peningkatan yang mencolok pada jumlah penyandang autisme dapat

terlihat dengan jelas (Sutandi, 2003).

Penyebab autisme sendiri masih kontroversial dan pendapat yang paling

banyak dianut saat ini adalah bahwa penyebab autisme adalah multifaktorial yaitu

faktor genetik, dan faktor lingkungan yang saling mempengaruhi (Blaxill, 2004).

Penelitian pada anak kembar dan penelitian pada keluarga menghasilkan bukti

adanya peranan genetik dengan lebih dari satu lokus yang terlibat. Penelitian

tentang faktor risiko yang tidak diturunkan menghasilkan bahwa pengaruh

lingkungan juga sangat penting sebagai etiologi dari ASDs, dan penelitian

tentang neuropatologi serta penelitian biomarker menghasilkan bukti faktor

prenatal yang berperan sebagai etiologi dari autisme (Croen dkk., 2007).

Penderita ASDs diketahui memiliki kelainan pada otak, namun tidak ada

satupun bentuk neuropatologi yang jelas yang dapat diketahui hingga sekarang

dan tidak ada satupun bentuk patofisiologi yang dapat diterima. Penelitian dalam

bidang neurotransmitter menghasilkan hipotesis tentang patogenesis ASDs untuk

melengkapi penelitian mengenai neuroanatomi, contohnya: keterlibatan sistem

serotonin. Serotonin diduga memiliki peranan yang penting pada diferensiasi


3

saraf, pembentukan sinaps, dan perpindahan saraf pada saat pertumbuhan dan

perkembangan selain peranannya sebagai neurotransmiter (Newschaffer dkk.,

2002).

Peningkatan prevalensi autisme membawa dampak tidak hanya pada segi

klinis, namun juga pada aspek sosial dan ekonomi. Secara klinis autisme

memiliki prognosis yang tidak baik, sementara keluarga dari anak autisme

menerima masalah dari stigma masyarakat hingga pengasuhan anak. Pengobatan

dan pendidikan autisme sering tidak murah dan harus dijalankan dalam waktu

yang lama sehingga hal ini membawa dampak pada ekonomi keluarga (Bawono,

2008).

Dua per tiga pasien ASDs akan tetap tidak mampu untuk hidup mandiri

dan masih bergantung pada orang lain saat dewasa. Gejala yang tidak mengalami

perbaikan adalah yang berkaitan dengan aktivitas yang berulang-ulang. Anak

autisme dengan IQ di atas 70 dan dapat berkomunikasi pada usia 5-7 tahun

memiliki prognosis yang terbaik (Sadock, 2003). Prognosis yang tidak baik pada

penderita ASDs menyebabkan pencegahan dengan mencari faktor risiko yang

berhubungan dengan ASDs menjadi penting.

Beberapa dekade terakhir rata-rata usia ibu dan usia ayah saat memiliki

keturunan semakin meningkat. Rata-rata usia ibu saat mengandung pertama kali

di Inggris mengalami peningkatan dari 26,4 pada tahun 1974 hingga 29,3 pada

tahun 2002. Rata-rata usia ayah saat memiliki anak pertama kali di Inggris juga

mengalami peningkatan dari 29,2 pada tahun 1980 menjadi 32,1 pada tahun 2002

(Bray dkk., 2006)


4

Peningkatan usia ibu dihubungkan dengan risiko terjadinya ASDs pada

beberapa penelitian (Croen dkk., 2007 dan Durkin dkk., 2008). Peranan usia ayah

dengan terjadinya ASDs lebih jarang diteliti, walaupun peningkatan usia ayah

dikatakan memiliki hubungan dengan kelainan yang lain seperti keguguran,

kematian janin, keganasan pada masa anak-anak, penyakit autoimun,

schizophrenia, dan kelainan neuropsikiatri lainnya (Croen dkk., 2007).

Usia ibu telah dihubungkan dengan kelainan tumbuh kembang saraf dan

telah dipertimbangkan pada beberapa penelitian sebelumnya tentang ASDs.

Peningkatan usia ibu akan meningkatkan risiko kelainan kromosom seperti

Sindrom Down dan telah dihubungkan dengan risiko terjadinya kerusakan otak

selama kehamilan, disleksia, dan retardasi mental akibat penyebab yang tidak

jelas. Penelitian tentang hubungan antara peningkatan usia ayah dan usia ibu dan

risiko terjadinya ASDs masih memberikan hasil yang kontroversi (Reichenberg

dkk., 2006).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Croen dkk. tahun 2006, didapatkan

insiden ASDs meningkat hampir dua kali pada ibu yang berusia 40 tahun

dibandingkan yang berusia 40 tahun dan insiden ASD meningkat lebih dari tiga

kali pada ayah 40 tahun dibandingkan dengan yang berusia 40 tahun.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Durkin dkk. tahun 2008, didapatkan

bahwa usia ayah dan usia ibu berpengaruh pada terjadinya ASDs. Pada penelitian

ini didapatkan pada usia ibu >35 tahun terdapat peningkatan risiko terjadinya

autisme pada anak, sedangkan pada usia ayah peningkatan risiko ASDs

meningkat pada usia >40 tahun.


5

Pada penelitian yang dilakukan oleh Bilder dkk. tahun 2009, didapatkan

bahwa usia ibu >34 tahun meningkatkan risiko terjadinya autisme pada anak

dibandingkan dengan ibu yang memiliki keturunan pada usia 20-34 tahun.

Penelitian tentang faktor risiko ASDs di Indonesia masih sangat sedikit

dan penelitian mengenai usia ayah dan usia ibu saat mengandung sebagai faktor

risiko ASDs tidak ditemukan. Rata-rata usia ibu dan usia ayah saat memiliki

keturunan yang semakin meningkat, adanya beberapa penelitian di negara lain

yang melaporkan hasil yang masih kontroversi antara hubungan usia ayah dan

usia ibu saat mengandung dengan kejadian ASDs, dan lebih mudahnya untuk

mendapatkan informasi mengenai usia ayah dan usia ibu saat mengandung

dibandingkan dengan faktor risiko ASDs lainnya, menyebabkan faktor risiko usia

ayah dan usia ibu saat mengandung dipilih untuk menjadi bahan untuk penelitian

ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat disusun

suatu rumusan masalah:

1. Angka kejadian ASDs yang semakin meningkat.

2. Etiologi ASDs yang masih belum jelas.

3. Kecenderungan usia ayah dan ibu yang semakin meningkat saat

mengandung anak pada dekade terakhir.

4. Hubungan usia ayah dan ibu saat mengandung dengan terjadinya

ASDs pada anak masih kontroversi.


6

C. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan dalam penelitian ini:

1. Apakah terdapat hubungan antara usia ayah saat ibu mengandung dengan

kejadian ASDs pada anak?

2. Apakah terdapat hubungan antara usia ibu saat mengandung dengan kejadian

ASDs pada anak?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum:

1. Menentukan apakah terdapat hubungan antara usia ayah saat ibu mengandung

dengan kejadian ASDs pada anak.

2. Menentukan apakah terdapat hubungan antara usia ibu saat mengandung

dengan kejadian ASDs pada anak.

Tujuan Khusus:

1. Menentukan apakah usia ayah merupakan faktor risiko ASDs.

2. Menentukan apakah usia ibu saat mengandung merupakan faktor risiko ASDs.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu dan bidang pengabdian masyarakat, dan bagi keluarga dan anak dengan

ASDs, seperti:

1. Bidang pengembangan ilmu

Penelitian ini mencari hubungan antara peningkatan usia ayah dan usia

ibu saat mengandung dengan kejadian ASDs pada anak sehingga dapat
7

dijadikan acuan dalam penelitian yang selanjutnya mengingat etiologi dari

ASDs belum jelas.

2. Bidang pengabdian masyarakat

Dengan mengetahui hubungan antara peningkatan usia ayah dan usia ibu

saat mengandung dengan terjadinya ASDs pada keturunannya maka

diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dengan skrining lebih awal

pada anak-anak dengan faktor risiko ASDs.

3. Bagi keluarga dan anak dengan ASDs.

Memberikan pengetahuan tentang faktor risiko ASDs, sehingga

menambah motivasi untuk berperan serta pada penelitian lain yang

dilakukan untuk mengetahui faktor risiko ASDs yang lain.

F. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran informasi, penelitian sebelumnya mengenai

hubungan antara peningkatan usia ayah dan usia ibu saat mengandung dengan

kejadian ASDs di Indonesia belum ditemukan.

Croen dkk. (2007) melakukan penelitian tentang hubungan antara usia ibu

dan usia ayah dengan risiko terjadinya ASDs pada keturunannya. Penelitian ini

melaporkan risiko ASDs meningkat secara nyata setiap 10 tahun kenaikan usia

ibu (RR 1,3 dan IK 95% 1,2 sampai 1,6) dan usia ayah (RR 1,3 dan IK 95% 1,1

sampai 1,5). Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Croen dkk. dengan

penelitian ini adalah pada penelitian yang dilakukan oleh Croen dkk.

menganalisis usia ayah dan usia ibu sebagai variabel kontinyu dan variabel

kategorik, sedangkan pada penelitian ini usia ayah dan usia ibu dianalisis sebagai
8

variabel kategorik. Penelitian Croen dkk. membagi usia ayah dan usia ibu

menjadi 6 kelompok (<20, 20-24, 25-29, 30-34, 35-39, dan 40 tahun) sedangkan

pada penelitian ini membagi usia ayah dan usia ibu menjadi 2 kelompok (ayah

<40 dan 40 tahun sedangkan ibu <35 dan 35 tahun).

Durkin dkk. (2008) melakukan penelitian tentang hubungan usia ibu dan

usia ayah dengan risiko terjadinya ASDs. Penelitian ini menggunakan metode

kasus-kontrol, kasus berjumlah 1251 anak berumur 8 tahun dengan informasi

umur kedua orangtua dan diidentifikasi sebagai ASDs berdasarkan Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders, fourth edition text revision (DSM-IV

TR). Setelah penyesuaian pada usia orangtua yang lain, urutan kelahiran,

pendidikan ibu, dan kovariat yang lainnya maka baik usia ibu dan usia ayah

berhubungan dengan kejadian ASDs (usia ibu 35 tahun RO 1,3; IK 95% 1,1

sampai 1,6 dan usia ayah 40 tahun RO 1,4; IK 95% 1,1 sampai 1,8). Keturunan

pertama dari kedua orangtua yang berusia lebih tua 3 kali lebih besar untuk

menderita ASDs dibandingkan keturunan ke tiga atau keturunan berikutnya (RO

3,1; IK 95% 2,0 sampai 4,7). Penelitian yang dilakukan oleh Durkin dkk. ini

menganalisis usia ayah dan usia ibu sebagai variabel kontinyu dan variabel

kategorik dengan membagi baik usia ayah maupun usia ibu menjadi 6 kelompok

sedangkan pada penelitian ini menganalisis usia ayah dan usia ibu sebagai

variabel kategorik (ayah <40 dan 40 tahun sedangkan ibu <35 dan 35 tahun).

Larsson dkk. (2004) meneliti tentang hubungan antara faktor perinatal,

riwayat kejiwaan orangtua, status sosioekonomi dengan risiko terjadinya autisme.

Analisis setelah dilakukan penyesuaian menunjukkan bahwa terjadinya autisme


9

berhubungan dengan presentasi bokong pada bayi (RR 1,63; IK 95% 1,18 sampai

2,26), nilai apgar yang rendah pada menit pertama (RR 1,89; IK 95% 1,10 sampai

3,27), usia kehamilan saat melahirkan <35 minggu (RR 2,45; IK 95% 1,55

sampai 3,86), dan riwayat kejiwaan orangtua (RR 3,44; IK 95% 1,48 sampai 7,95

untuk schizophrenia-like psychosis). Secara statistik tidak ada hubungan yang

bermakna antara risiko terjadinya autisme dan berat bayi sesuai dengan usia

kehamilan, jumlah anak, jumlah kunjungan antenatal, usia orangtua, ataupun

status sosioekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Larsson dkk. memperoleh

data mengenai faktor perinatal berdasarkan register kelahiran sedangkan

penelitian ini memperoleh data mengenai faktor perinatal dari wawancara

langsung yang mengandalkan ingatan dari orangtua.

Reichenberg dkk. (2006) melakukan penelitian yang bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara peningkatan usia ayah dengan risiko terjadinya

ASDs. Penelitian ini dilakukan pada anak yang lahir di Israel dalam 10 tahun

terakhir. Penelitian tersebut melaporkan keturunan dari ayah berusia 40 tahun

ataupun lebih tua memiliki risiko sebesar 5,75 kali untuk menderita ASDs

dibandingkan usia ayah yang kurang dari 30 tahun setelah mengontrol tahun

kelahiran, status sosioekonomi, dan usia ibu (IK95% 2,65 sampai 12,46).

Peningkatan usia ibu tidak memiliki hubungan dengan ASDs setelah disesuaikan

dengan usia ayah. Penelitian yang dilakukan oleh Reichenberg dkk. ini

menganalisis usia ayah sebagai variabel kategorik yang membagi usia ayah

menjadi 4 kelompok (15-29, 30-39, 40-49, dan 50 tahun), sedangkan pada

penelitian ini membagi usia ayah menjadi 2 kelompok (<40 dan 40 tahun). Usia
10

ibu dibagi menjadi 3 kelompok (15-29, 30-39, dan 40 tahun) pada penelitian yang

dilakukan oleh Reichenberg dkk. sedangkan pada penelitian ini dibagi menjadi 2

kelompok (<35 dan 35 tahun).

Tsuchiya dkk. (2008) melakukan penelitian tentang hubungan antara

peningkatan usia ayah dengan terjadinya ASDs. Delapan puluh empat pasien

dengan ASDs tapi tanpa kelainan intelektual dan 208 kontrol sehat dimasukkan

dalam penelitian ini. Setelah penyesuaian usia, jenis kelamin, jumlah anak, dan

usia ibu, dilaporkan peningkatan risiko yang meningkat sebesar 2,5 kali untuk

setiap peningkatan 10 tahun usia ayah. Pada analisis usia sebagai variabel

kategorik dilaporkan usia ayah di atas 33 tahun berhubungan dengan kejadian

ASDs pada anak (RO 3,1; IK 95% 1,2 sampai 8,2). Usia ibu dikatakan tidak

memiliki hubungan yang bermakna. Penelitian yang dilakukan oleh Tsuchiya

dkk. ini mengeksklusi anak-anak dengan ASD yang memiliki IQ <70 sedangkan

pada penelitian ini tidak menggunakan kriteria IQ untuk kriteria inklusi maupun

eksklusi kasus. Penelitian yang dilakukan oleh Tsuchiya dkk. ini menganalisis

usia ayah dan usia ibu sebagai variabel kategorik dan variabel kontinyu

sedangkan pada penelitian ini menganalisis usia ayah dan usia ibu sebagai

variabel kategorik.
11

Tabel 1. Penelitian yang meneliti hubungan antara peningkatan usia ayah dan usia ibu dan risiko autisme pada anak
No Peneliti Desain Jumlah subyek Penelitian Hasil
Penelitian
1 Croen Kohort 132844 anak di Kaiser Permanente, risiko ASDs meningkat secara nyata setiap 10 tahun kenaikan
dkk., Prospektif California Utara sejak 1 Januari 1995 31 usia ibu (RR 1,3 dan IK 95% 1,2 sampai 1,6) dan usia ayah
2007 Desember 1999. 593 anak dengan ASD dan (RR 1,3 dan IK 95% 1,1 sampai 1,5)
132251 anak lainnya sebagai kontrol.
2 Durkin Kasus- 253347 anak di Amerika sejak tahun 1994 - Baik usia ibu maupun usia ayah berhubungan dengan kejadian
dkk., kontrol 2002. Kasus terdiri atas 1251 anak berusia 8 ASDs (RO usia ibu 35 th 1,3; IK 95%: 1,1 sampai 1,6; RO
2008 tahun yang didiagnosis sebagai ASD. usia ayah 40 th 1,4; IK 95%: 1,1 sampai 1,8)
3 Larsson Kohort Penelitian dilakukan di Denmark, dengan Setelah dilakukan penyesuaian menunjukkan bahwa terjadinya
dkk., total kasus 698 anak dengan diagnosis autisme berhubungan dengan presentasi bokong pada bayi (RR
2004 ASDs dengan melakukan matching di 1,63; IK 95% 1,18 sampai 2,26), nilai apgar yang rendah pada
kelompok kontrol, pada jenis kelamin, menit pertama (RR 1,89; IK 95% 1,10 sampai 3,27), usia
tahun kelahiran dan usia. kehamilan saat melahirkan <35 minggu (RR 2,45; IK 95% 1,55
sampai 3,86), dan riwayat kejiwaan orangtua (RR 3,44; IK 95%
1,48 sampai 7,95 untuk schizophrenia-like psychosis).
4 Reichenb Kasus- Penelitian ini dilakukan pada pasien Yahudi Keturunan dari ayah berusia 40 tahun memiliki risiko sebesar
erg dkk., Kontrol yang lahir di Israel selama 6 tahun. 5,75 kali untuk menderita ASDs dibandingkan usia ayah <30
2006 Didapatkan total 378891 sampel pada tahun setelah mengontrol tahun kelahiran, status sosioekonomi,
penelitian ini. dan usia ibu (IK95% 2,65 sampai 12,46). Peningkatan usia ibu
tidak memiliki hubungan dengan ASDs setelah disesuaikan
dengan usia ayah.
5 Tsuchiya Kasus- Penelitian dilakukan di Jepang, dengan Setelah penyesuaian dilaporkan peningkatan risiko sebesar 2,5
dkk., kontrol partisipan terdiri dari individu dengan IQ kali untuk setiap 10 tahun usia ayah. Pada analisis usia sebagai
2008 70, dan didiagnosis dengan DSM-IV variabel kategorik dilaporkan usia ayah di atas 33 tahun
sesuai dengan gengguan autistik. Kontrol berhubungan dengan kejadian ASDs pada anak (RO 3,1; IK
didapatkan dari sukarelawan yang sehat dan 95% 1,2 sampai 8,2). Usia ibu dikatakan tidak memiliki
tidak berhubungan dengan kasus. hubungan yang bermakna.

Anda mungkin juga menyukai