Anda di halaman 1dari 10

FaktorrisikoRupturUteriKomplit

IqbalAlZirqi,MD,FRCOG,PhD;AnneKjerstiDaltveit,dr.philos;LisaForsn,MSc,

PhD;BabillStrayPedersen,MD,PhD;SiriVangen,MD,PhD

Pertama-tama, kami mencari data medis kelahiran di Norway (MBRN), yang diterbitkan
pada tahun 1967. Resgister nasional ini berisikan informasi terkait kesehatan maternal,
informasi mengenai kelahiran, komplikasi, dan informasi mengenai bayi baru lahir pada
seluruh kelahiran setelah usia gestasi 16 minggu di Norway. Ibu yang telah
menyelesaikan proses kelahiran mengirimkan formulir MBRN pada 7 hari setelah
melahirkan.

Selanjutnya, kami mencari Sistem Administrasi Pasien (PAS), yang merupakan register
lokal setiap unit maternitas. Register ini mendata seluruh diagnosis pasien sejak 1970.
Kami meminta izin untuk melakukan register PAS untuk mencari data pada seluruh unit
maternitas (n= 48) di Norway, dan 21 unit setuju untuk berpartisipasi . 21 unit ini
terdistribusi pada seluruh wilayah Norway, dan mereka menyajikan variasi jumlah
kelahiran yang beragam, dari <500/tahun sampai 3000/tahun. Target populasinya
termasuk angka kelahiran pada 21 unit ini pada tahun 1967-2008 (n=1,443,271), dimana
merepresentasikan 59.81% populasi ibu hamil di Norway. Kami mengeksklusikan pasien
yang kehilangan nomer registrasinya pada MBRN (kehilangan= 2,716) atau lupa dengan
usia kehamilannya (kehilangan= 8303). Meski begitu, seluruh sampel mengikutsertakan
1,432,252 ibu hamil.

Pada studi ini, kami memeriksa faktor risiko pada rupture uterus komplit setelah
mekahirkan. Kami mengeksklusikan seluruh pasien yang melahirkan secara sectio.
Jumlah sampel akhir adalah 1,375,826. Kami memeriksa faktor risiko rupture uteri
komplit secara terpisah pada wanita tanpa riwayat sectio sebelumnya(dengan seluruh
parietas) (n =1,317,967) dan dengan riwayat sectio (parietas>1) (n= 57,859). Secara
umum, di Norway, ibu hamil dengan riwayat sectio letak rendah ditawarkan untuk lahir
secara normal. Pada studi ini, mayoritas pasien mendapatkan insisi transversak rendah.
Beberapa mendapatkan insisi vertical atau insisi klasik vertical. Penjahitan lapisan baik
tunggal maupun ganda tidak terdata pada MBRN.

Untuk ibu yang melahirkan keduakalinya dengan riwayat melahirkan secara sectio pada
kelahiran pertama (parietas =1; n= 34,550), kami merancang kumpulan data, dimana dua
kelahiran pertama pada pasien sangatlah berhubungan. Data ini digunakan untuk
mengkalkulasi faktor risiko rupture uteri pada kelahiran kedua, berdasarkan riwayat
obstetri sebelumnya

Setelah mengidentifikasi kasus potensial rupture uteri pada MBRN dan PAS, kami
melakukan validasi diagnosis ruptur uteri komplit menggunakan rekam medis, yang
dianggap sebagai golden standard.5 penulis studi sebelumnya (I.A.-Z) mengidentifikasi
kasus ini dan mempelajari rekam medis dari pasien yang terdiagnosis ruptur uteri dengan
mengunjungi 16 unit maternitas dan membaca rekam medis dari 5 unit tambahan. Rekam
medis berisikan juga informasi lengkap mengenai ibu dan bayinya.

Pengukuran

Hasil yang diukur adalah terjadinya ruptur uteri komplit, yang didefinisikan sebagai
robekan pada seluruh lapisan dinding uterus, termasuk membrane serosa dan amniotic.
Ruptur uteri sebagian didefinisikan sebagai robekan di lapisan muscular, dengan tetap
5
intaknya membran serosa dan amniotik. Diagnosis rupture uteri dilaporkan pada
formulir registrasi MBRN oleh petugas yang membantu proses persalinan, dan
dilakukannya pencatatan kode secara elektronik oleh petugas MBRN.

Sebelum tahun 1999, kode yang digunakan adalah 71; namun sejak tahun 1999, Revisi
ke-10 International Classification of Diseases (ICD), merubah kode diagnostic menjadi
(0710,0711).6 Ruptur uteri diidentifikasikan oleh PAS menurut revisi ke-8 ICD dengan
7
kode: 956 (1967-1978); kode ICD 9: 6650 dan 66518 (1979-1998); dan revisi ke-10
ICD, kode: 0710 dan 0711 (1999-2008).6 Kode ini tidak menspesifikasikan jenis rupture.
Tipe ruptur, baik komptit atau parsial, diidentifikasi pada rekam medis. Studi ini hanya
memasukkan data dari ibu dengan rupture komplit.

Faktor risiko diidentifikasi, setelah dicatat pada form registrasi pada tulisan polos atau
ceklis. Didalamnya, termasuk faktor demografi, riwayak abortus, faktor pada kehamilan,
dan faktor-faktor obstetric. Faktor demografi meliputi usia maternal, yang
dikelompokkan sebagai <35 tahun atau >35 tahun; parietas dikelompokkan sebagai <3
atau >3; Negara kelahiran ibu dikelompokkan menjadi Barat (Eropa, Amerika Utara, dan
Australia) atau bukan-Barat; dan tahun kelahiran dikelompokkan menjadi 4 dekade yang
diikutkan dalam studi: dekade pertama (1967-1977), decade kedua (1978-1988), dekade
ketiga (1989-1999), atau dekade keempat yang dijadikan sebagai referensi.

Usia maternal dan parietas dianalisa sebagai variabel kontinyu, namun tidak ada
perbedaan signifikan yang terlihat sebelum nilai potong yang disebutkan pada
sebelumnya, dan hal ini dikelompokkan menjadi variabel kategorik. Riwayat abortus
didefinisika sebagai mengalami abortus satu kali atau lebih yang terjadi pada trimester
pertama.

Faktor kehamilan termasuk usia gestasi dalam minggu, yang dikelompokkan sebaga 37-
40 (referensi). >41, atau 24-36 minggu; presentasi fetus dikelompokkan menjadi vertex
occipitoanterior (referensi), nonoccipitoanterior, atau breech atau transversal; kematian
fetus antepartum, dan berat lahir dikelompokkan sebagai <4000 atau >4000g.

Faktor obstetric termasuk proses kelahiran, dikelompokkan menjadi spontan dan


kelahiran dengan induksi; augmentasi saat kelahiran (didefinisikan sebagai augmentasi
kontraksi setelah kelahiran spontan maupun induksi), dikelompokkan menjadi dengan
atau tanpa penggunaan oksitosin; dan metode induksi dikelompokkan menjadi kelahiran
spontan, induksi prostaglandin atau oksitosin ( masing-masih dilakukan dengan atau
tanpa amniotomi atau metode lain), metode lain (menyusup membrane, balon
transcervical, atau metode tidak spesifik), dan induksi sekuensial (menggunakan
kombinasi prostaglandin dan oksitosin dengan atau tanpa amniotomi atau metode lain).

Prostaglandin yang diberikan mayoritas adalah dinoprostone (prostaglandin E2) vaginal;


namun, penggunaan misoprostol (prostaglandin E1) meningkat pada uterus yang tidak
terluka, pada tahun 2004; juga, gameprost digunakan kadangkala untuk terminasi
kehamilan pada pasien-pasien dekade ke-3 studi. Dosis maksimal, dosis total, dan durasi
penggunaan prostaglandin atau oksitosin yang diberikan tidaklah dicatat pada form
MBRN. Faktor kelahiran lain adalah seperti ekstraksi breech, pengeluaran plasenta secara
manual setelah kelahiran spontan.

Diantara ibu dengan riwayat sectio pada kelahiran pertama (para 1), data set dari
kelahiran pertama dan kedua diperiksa untuk faktor risiko yang menyebabkan
dilakukannya kelahiran sectio sebelumnya. Faktor risiko ini termasuk usia maternal, usia
gestasi, jarak kelahiran<16 bulan, tipe sectio (elektif atau emergensi), partus lama, dan
perdarahan post-partum hebat yang didefinisikan sebagai kehilangan darah >1500 mL,
atau dibutuhkannya transfuse darah tanpa melihat jumlah kehilangan darah).

Analisis Data

Insidens keseluruhan dan insidens terjadinya ruptur uteri baik komplit maupun parsial
pada kelompok dengan atau tanpa riwayat sectio dimasukkan kedalam komputer.
Tabulasi silang dan regresi logistik digunakan untuk mengkalkulasi setiap faktor risiko
dan odd ratios (ORs) dengan 95% confidence intervals (CIs) ruptur uteri komplit. Hanya
pada yang signifikan secara statistic dimasukkan lagi untuk dilakukan analisis regresi
multivariable. Kami menggunakan regresi logistik multivariabel pada model yang
berbeda untuk menghitung dan menyesuaikan odds ratios (AORs). Faktor demografi
pertama-tama disesuaikan satu sama lian. Faktor risiko signifikan lainnya disesuaikan
untuk menemukan faktor yang berhungan pada model lainnya. Nilai yang dianggap
signifikan adalah P<0.5. Analisis data menggunakan SPSS versi 21 (SPSS Inc, Chicago,
IL)

Hasil

Kami menemukan 173 pasien dengan ruptur uteri komplit dari total 292 pasien yang
mengalami ruptur uteri setelah melahirkan pada periode 1967-2008. Dari 1,317,967
wanita tanpa riwayat sectio, ditemukan 51 kasus rupture komplit (0.38 per 10,999) dan 5
kasus ruptur parsial. Terdapat 13 ruptur komplit (0.2 per 10,000) diantara wanita nulipara
setelah melahirkan (631,813 kehamilan). Daintara 57,859 wanita dengan riwayat sectio
sebelumnya, terdapat 122 kasus ruptur komplit (21.1 per 1000) dan 114 kasus ruptur
parsial (19.7 per 10,000). Diantara kelompok-kelompok terserbut ruptur komplit paling
banyak terjadi pada dekade ke-4 (2000-2008) (Tabel 1 dan 2)

Pada wanita tanpa riwayat section sebelumnya (tabel 1), angka rupture komplit sangatlah
rendah, bahkan pada pasien dengan faktor risiko. Odds ratio tertinggi berhubungan
dengan induksi sekuensial dengan prostaglandin dan oksitosin (AOR, 48.0) diikuti
dengan ekstraksi breech (AOR, 42.6), augmentasi kelahiran dengan oksitosin
(AOR,22.5), kematian fetus antepartum (AOR,15.0), dan riwayat abortus pada trimester
pertama (AOR, 9.6). Faktor risiko lain termasuk usia maternal >35 tahun, parietas>3,
malposisi/malpresentasi, berat lahir >4000g dan asal ibu non-barat.

Pada ibu dengan riwayat sectio sebelumnya (tabel 2), odds ratio tertinggi berhubungan
dengan induksi sekuensial dengan prostaglandin dan oksitosin, dimana meningkatkan
risiko sampai 16 kali; angka kemungkinan ruptur hampir mencapai 4% (388.1 per
10,000). Faktor risiko rupture komplit dua kali lebih tinggi dengan induksi prostaglandin
dibandingkan kelahiran normal, dan risiko yang sama apabila dibandingkan dengan
induksi oksitosin. Amniotomi dan induksi mekanin lainnya menunjukkan hubungan yang
sangat lemah dengan ruptur uteri. Faktor risiko lain secara signidikan meningkatkan
risiko rupture dari 4-6 kali, termasuk kematian fetus antepartum, abortus pada trimester
pertama, augmentasi kelahiran dengan oksitosin, dan pengeluaran plasenta secara
manual. Faktor risiko ruptur meningkat sedikit pada fetus dengan berat >4000 gram, usia
gestasi >41 minggu, dan asal ibu non-barat.

Pada pasien dengan ruptur komplit dengan riwayat abortus, rekam medis menunjukkan
bahwa kebanyakan abortus terjadi pada tahun 1970, 1980, dan 1990-an. Kuretase menjadi
terapi pilihan pada periode tersebut namun rekam medis tidak mencatat adanya kejadian
perforasi.

Angka kejadian rupture setelah abortus pada dekade ke-4 (2000-2008) dianggap lebih
rendah dibandingkan pada dekade-dekase sebelumnya. Nilai AORs untuk rupture komplit
karena abortus pada dekade ke 4 adalah 3.4 (95%CI, 1.2-9.2) diantara wanita tanpa
riwayat sectio dan 1.5 (95% CI, 0.9-2.4) pada mereka dengan riwayat section. 18
kejadian rupture teridentifikasi pada mereka tanpa riwayat section dan dengan riwayat
abortus termasuk diantaranya: 5 para 0, 4 para 1. 5 para 2, 2 para 3, 1para 4, dan 1 para 5.
Kasus rupture setelah pada kematian fetus antepartum menunjukkan bahwa proses
melahirkan dilakukan sangat agresif dengan menggunakan induksi, augmentasi oksitosin,
dan prosedur manipulatif lainnya seperti versi podalik internal atau tekanan fundus. 8 dari
9 diinduksi, dan 1 berakhir dengan histerektomi.

Beberapa faktor yang ada saat sectio meningkatkan risiko ruptur uteri komplit setelah
melahirkan pada kehamilan selanjutnya (tabel 3). Faktor ini termasuk perdarah post-
partum, usia maternal >35 tahun, dan jarak kelahiran <16bulan. Risiko rupture uteri
komplit tidak meningkat dengan kejadian sectio atas indikasi partus lama atau sectio yang
dilakukan pada usia gestasi preterm. Faktor risiko ruptur lebih rendah pada pasien yang
dilakukan sectio darurat sebelumnya dibandingkan dengan sectio elektif, namun
perbedaan ini tidaklah signifikan secara statistik.

Komentar

Studi ini memperkirakan insidens rupture uteri komplit setelah melahirkan pada wanita
dengan dan tanpa riwayat sectio di Norway pada tahun 1967-2008. Insidens tertinggi
rupture komplit didapatkan pada dekade terakhir studi (2000-2008). Salah satu penemuan
utama studi ini adalah bahwa induksi sekuensial dengan prostaglandin dan oksitosin
menunjukkan odds ratio tertinggi untuk ruptur uteri komplit pada wanita dengan atau
tanpa riwayat sectio. Faktor risiko lain yang signifikan pada kedua kelompok wanita
adalah induksi augmentasi kelahiran dengan oksitosin, kematian fetus antepartum, dan
riwayat abortus.

Keunggulan dari studi ini adalah bahwa studi ini membahas komplikasi yang jarang
terjadi pada hampir setengah dari populasi ibu hamil di Norway dalam 40 tahun terakhir.
Seluruh unit yang di recruit dalam penelitian ini merepresentasikan jumlah dan wilayah
geografis Norway; walaupun kami percaya bahwa hasil ini merepresentasikan seluruh
unit di Norway. Terlebih lagi, odds ratio untuk ruptur uteri diperkirakan sama dengan saat
dilakukannya analisis tambahan yang melibatkan 48 unit (tidak tersaji dalam data). Maka
dari itu, kami tidak menganggap bahwa inklusi dari 27 unit yang tidak berpartisipasi
dalam penelitian ini, akan mempengaruhi hasil yang sudah didapat.
Beberapa faktor risiko mungkin dapat dimasukkan secara salah pada MRBN; namun,
misklasifikasi ini tidak akan membedakkan: karena, lebih baik memperkirakan kurang
daripada lebih. Pada studi sebelumnya, ruptur uteri tidak diklasifikasikan karena revisi
ke-10 ICD, tidak membedakan antara rupture parsial dan komplit. Klasifikasi yang
minimal ini dapat menyebabkan hubungan yang tidak benar ataupun tidak akurat.
Sebagai tambahan, kebanyakan studi memiliki sampel yang kecil. Di Norway, kami
memiliki kesempatan untuk mempelajari komplikasi yang jarang ini dengan register data
dimana mencakup jumlah sampel yang sangat besar dalam periode yang panjang. Kasus
rupture divalidasi dengan informasi yang tertera dalam rekam medis; secara konsekuen,
kasus nyata seperti ruptur komplit dapat di-identidikasi secara terpercaya.

Satu batasan pada penelitian ini adalah ukuran sampel pada beberapa sub-kelompok
seperti pada kelompok ekstraksi breech dan induksi sekuensial pada uteri intak tidak
cukup untuk menyingkirkan error tipe II, terutama karena ruptur uteri merupakan
kejadian yang sangat langka. Karena studi ini mempelajari rupture uteri dalam beberapa
dekade, seharusnya dipertimbangkan perubahan praktik obstetri seiring perkembangan
waktu. Data-data kasus ini menunjukkan banyaknya persalinan pervaginam secara agresif
dan manipulatif pada dekade pertama.; namun, telah disesuaikan seiring dengan
perjalanan dekade.

Pada wanita tanpa riwayat sectio sebelumnya, angka kejadian rupture uteri komplit
adalah 0.38 per 10,000, dimana lebih rendah dari yang dilaporkan oleh dunia industry
yaitu 1.3 per 10,000.9 Sejalan dengan itu, pada wanita dengan riwayat sectio sebelumnya,
angkanya lebih rendah daripada insidens yang dilaporkan sebelumnya (39,00 per
10,000).10 Angka insidens yang relative rendah dapat dijelaskan dengan hanya
memasukkan rupture uteri komplit dan periode studi yang panjang. Angka ruptur tinggi
pada dekade pertama dan dekade ke-empat. Tingginya angka ruptur pada awal studi bisa
terjadi karena tingginya presentasi dilakukannya insisi uterus secara klasik dan kelahiran
pervaginam yang agresif dan manipulatif. Kami telah menyebutkan sebelumnya 3 bahwa
meningkatnya angka ruptur uteri pada dekade ke-4 bisa terjadi sehubungan dengan
meningkatnya induksi sekuensial , meningkatnya augmentasi menggunakan oksitosin dan
tingginya persentase ibu dengan usia tua dan immigrant yang berasal dari wilayah non-
barat.

Kami mendemonstrasikan induksi sekuensial menyebabkan risiko substansial untuk


ruptur komplit pada wanita baik dengan atau tanpa riwayat melahirkan secara sectio.
Studi sebelumnya telah menunjukkan pentingnya induksi sekuensial pada kelompok
11
sebelumnya namun tidak untuk diterapkan kedepannya. Studi terhadap risiko ruptur
9,12,13
uteri pada uterus yang intak Jumlah sampel pasien yang menjalani induksi
sekuensial pada uterus yang masih intak pada studi ini sangatlah kecil, sehingga
menghhasilkan confidence interval yang besar. Namun, penemuan ini dapat penting bagi
Negara denga persentase multipara yang tinggi pada wanita dengan uterus yang intak
dengan risiko rupture. 9

Konsisten dengan beberapa studi lainya, induksi mekanis memiliki risiko paling rendah
terhadap terjadinya rupture uteri dibandingkan induksi menggunakan prostaglandin atau
4,14
oksitosin. Metode mekanis, belakangan ini banyak digunakan sebagai pilihan pertama
untuk induksi pada uterus yang sudah memiliki jaringan parut di Norway. Namun pada
praktik klinis, metode mekanik jarang dilakukan sendiri, dan lebih banyak melibatkan
prostaglandin atau oksitosin. Lebih jauh lagi, studi lebih lanjut dibutuhkan untuk
menggali risiko rupture terkait dosis dan lama pemberian prostaglandin atau oksitosin.

Konsisten dengan studi sebelumnya, augmentasi kelahiran menggunakan oksitosin


menyebabkan tingginya risiko ruptur komplit. 15 namun, kami kekurangan data spesifik
16
terkait dengan dosis maksimum oksitosin dan lama pemberiannya. Cahil et al mencatat
bahwa terdapat efek terkait dosis dengan peningkatan risiko rupture dengan penggunaan
maksimum dosis oksitosin. Hasil menyebutkan bahwa risiko rupture uteri adalah 2.9%
pada pemberian oksitosin dosis maksimal dengan dosis diatas 20mU/min. kontrol kasus
lebih lanjut menggunakan data dari studi ini dibutuhkan untuk mengetahui apakah
didapatkan hasil yang sama.

Kami menemukan bahwa riwayat abortus sebelumnya memeliki efek signifikan pada
ruptur uteri. Studi yang serupa sebelumnya menjelaskan bahwa ruptur pada wanita
12,17,17
dengan uterus yang intak setelah perforasi disebebkan oleh tindakan kuretase. Kami
tidak dapat menentukan apakah abortus telah menyebabkan kelemahan pada dinding
uterus atau apakah efek yang terjadi akibat terminasi menggunakan obat-obatan medis
atau operasi, karena MBRN tidak menyediakan informasi mengenai terapi pada abortus.
Namun, rekam medis dari kasus ruptur menunjukan mayoritas abortus terjadi pada
dekade awal, dimana tindakan kuretase masih mendominasi; angka rupture setelah
abortus lebih rendah pada dekade ke-4. Hal ini bisa disebebkan karena meningkatnya
terminasi menggunakan obat-obatan. Apabila kita menghilangkan faktor tersebut pada
uterus yang intak, angka ruptur akan menurun dari 0.38 menjadi 0.26 per 10,000. Hal ini
mengindikasikan bahwa lemahnya dinding uterus akibat tindakan kuretase berkontribusi
secara signifikan dalam meningkatkan risiko ruptur.

Sebuah studi sebelumnya19 menunjukkan bahwa pada 209 ibu hamil dengan riwayat
sectio sebelumnya dan kematian fetus antepartum; mereka menemnukan angka kejadian
ruptur hingga 2.4%, dan tidak ada yang membutuhkan tindakan histerektomi. Angka ini
masih lebih tinggi dibandingkan data kami yaitu 0.6%, namun, kami memiliki satu kasus
yang membutuhkan tindakan histerektomi. Kami memahami bahwa lebih baik
menghindari sectio berulang pada fetus yang tidak viable, namun haruslah dilakukan
dengan sangat hati-hati dalam melahirkan kasus seperti ini, bahkan pada uterus yang
masih intak sekalipun.

Faktor risiko seperti perdarahan postpartum hebat pada sectio sebelumnya dan pendeknya
jarak antar kelahiran haruslah digali pada saat konseling untuk menentukan metode
persalinan karena hal ini berkontribusi dalam proses pemulihan luka. 20-22

Penemuan ini menemukan bahwa riwayat partus lama dan riwayat sectio emergensi
bukan merupakan faktor risiko terjadinya rupture walaupun terdapat nilai yang tinggi
pada manajemen kelompok ini.

Dapat disimpulkan bahwa, faktor risiko ruptur uterus komplit meningkat dengan
terjadinya induksi sekuensial persalinan menggunakan prostaglandin dan oksitosin dan
dengan penggunaan oksitosin saat persalinan. Diperlukannya studi lebih lanjut untuk
menilai risiko ruptur terkait dosis dan lama penggunaan prostaglandin dan oksitosin. Ibu
dengan faktor risiko yang tidak dapat dihindari haruslah diawasi dengan ketat saat proses
persalinan.

Anda mungkin juga menyukai