Email: subdit.pemeriksaantransaksikhusus@pajak.go.id
TIM PENYUSUN
i
KONTRIBUTOR
ii
22. Wilfred T.E., NIP.197108171992031003,
Pemeriksa Pajak Muda
23. Budi Haritjahjono, NIP.197204241992031001,
Pemeriksa Pajak Muda
24. Nurwiyanto Nugroho, NIP.197112101994031002,
Pemeriksa Pajak Muda
25. Arief Budiman, NIP.196806031989031003,
Pemeriksa Pajak Muda
26. Wicaksono Naryo A., NIP.197102111991031003,
Pemeriksa Pajak Muda
27. Ginda Togatorop, NIP.197802282000011004,
Pemeriksa Pajak Pertama
28. Didik Prasetyo, NIP.198012282001121003,
Pemeriksa Pajak Pertama
29. I Made Rai Arnawa, NIP.198105102002121001,
Pelaksana Seksi Transfer Pricing dan Transaksi Khusus Lainnya
30. Sembergo Linardo, NIP.198411022006021001,
Pelaksana Seksi Transfer Pricing dan Transaksi Khusus Lainnya
31. Muji, NIP.198911112010122002,
Pelaksana Seksi Transfer Pricing dan Transaksi Khusus Lainnya
32. Rofiko Dewi Batubara, NIP.197802012000022001,
Pelaksana Seksi Pemeriksaan Transaksi Perusahaan Grup
33. Ferry Irawan, NIP.060101542,
Pelaksana Seksi Transfer Pricing dan Transaksi Khusus Lainnya
34. Nanang Stiyawan, NIP.197805272000011001,
Pelaksana Seksi Pemeriksaan Wajib Pajak Sektor Sumber Daya Alam
35. Mampe Tua Hasiholan S., NIP.197702071999031001,
Pelaksana Seksi Perjanjian Amerika dan Afrika
36. Anung Andang Wiratama, NIP.060102573,
Pelaksana Seksi Perjanjian Asia Pasifik
37. Agung Wijanarko, NIP.197908072002121001,
Pelaksana Seksi Peraturan Perpajakan Lainnya
iii
SAMBUTAN
Assalamualaikum Wr. Wb.
Selama beberapa tahun belakangan ini transfer pricing telah menjadi isu utama
dalam pemeriksaan terhadap perusahaan multinasional dan perusahaan grup yang sampai
saat ini masih memerlukan penanganan khusus. Dengan banyaknya Wajib Pajak
perusahaan multinasional yang ada di Indonesia serta cukup besarnya potensi penerimaan
pajak dari perusahaan-perusahaan tersebut, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
berkewajiban untuk mengamankan penerimaan pajak dari upaya penghindaran pajak yang
berpotensi dilakukan oleh Wajib Pajak.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan menjadi
dasar hukum bagi DJP untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam menerapkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha ketika Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak yang
memiliki hubungan istimewa.
Adanya berbagai pertanyaan dari pemeriksa untuk menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha, telah memicu kami untuk menyempurnakan peraturan pemeriksaan
transfer pricing yang telah ada saat ini agar dapat mengikuti perkembangan praktik dunia
internasional dalam penanganan kasus transfer pricing. Oleh karena itu, Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan PER-22/PJ/2013 tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak
yang Memiliki Hubungan Istimewa. Adapun petunjuk teknis yang lebih rinci termasuk format
tambahan Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP) dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) diatur
dengan SE-50/PJ/2013 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang
Mempunyai Hubungan Istimewa, yang diharapkan dapat memberikan pedoman yang lebih
jelas bagi Pemeriksa Pajak ketika menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Selain itu, buku kumpulan peraturan transfer pricing ini juga dilengkapi dengan
peraturan lain yang terkait dengan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha,
seperti PER-43/PJ/2010 dan PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai
Hubungan Istimewa.
Akhir kata, terima kasih kami ucapkan kepada Tim Transfer Pricing yang selama ini
telah banyak meluangkan tenaga dan waktu untuk kemajuan peraturan, kebijakan, dan
penanganan kasus-kasus transfer pricing, khususnya dalam hal pemberian bantuan teknis
kepada rekan-rekan pada unit pelaksana pemeriksaan sehingga hasil pemeriksaan terkait
transfer pricing bisa optimal. Kami harapkan juga kita semua tidak berpuas diri dan terus
berbenah untuk menyempurnakan peraturan ini demi kemajuan DJP kita tercinta karena
tantangan ke depan akan lebih berat.
Dadang Suwarna
NIP 195811061982031001
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan karunia-Nya yang
telah diberikan kepada kita sehingga penyusunan Kumpulan Peraturan Transfer Pricing ini
dapat diselesaikan.
Adanya risiko penghindaran pajak melalui skema transaksi dengan pihak afiliasi
yang berada di luar negeri yang makin hari makin besar memerlukan pedoman, petunjuk
teknis maupun modul pemeriksaan yang memadai dan selalu diperbaiki sesuai dengan
kondisi terkini.
Kumpulan Peraturan Transfer Pricing ini diharapkan dapat bermanfaat bukan hanya
bagi pemeriksa dalam melakukan pemeriksaan transfer pricing, namun juga bagi pegawai di
seksi pengawasan & konsultasi, keberatan banding, penyidikan maupun sebagai bahan ajar
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Imanul Hakim
NIP 196710181988031001
v
DAFTAR ISI
vi
Seksi Transfer Pricing dan Transaksi Khusus Lainnya
TENTANG
PEDOMAN PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 92
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak tentang Pedoman Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang
Mempunyai Hubungan Istimewa;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5268) berdasarkan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4999);
MEMUTUSKAN
Pasal 1
Menetapkan Pedoman Pemeriksaan sebagaimana tercantum dalam lampiran
peraturan ini sebagai pedoman pelaksanaan Pemeriksaan Terhadap Wajib
Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa yang selanjutnya disebut
Pemeriksaan transfer pricing.
Pasal 2
Jenis dan bentuk surat dan/atau dokumen yang diperlukan dalam
pelaksanaan Pemeriksaan Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan
Istimewa dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
1. Terhadap SP2 yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur
Jenderal ini dan Pemeriksaan belum selesai, proses penyelesaian
selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Direktur Jenderal ini;
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-01/PJ.07/1993 tentang
Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai
Hubungan Istimewa, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30-05-2013
Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: PER-22/PJ/2013
Tanggal: Mei 2013
BAB I
PENDAHULUAN
B. Hubungan Istimewa
Dalam Pemeriksaan transfer pricing, definisi hubungan istimewa mengacu pada
peraturan perpajakan yang berlaku. Konsep hubungan istimewa diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan
Nilai yang menyatakan bahwa hubungan istimewa dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak
atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
b. Wajib pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di
bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan
lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Penjelasan Pasal 18 ayat (4) huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan
bahwa:
a. hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui
manajemen atau penggunaan teknologi walaupun tidak terdapat hubungan
kepemilikan;
b. hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan di antara beberapa perusahaan yang
berada dalam pengusaan yang sama tersebut.
Penentuan hubungan istimewa dan kewajaran transaksi afiliasi untuk Wajib Pajak yang
menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum dan
pertambangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 33A ayat (4) UU PPh adalah
berdasarkan ketentuan kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama
pengusahaan pertambangan yang masih berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak atau
perjanjian kerjasama dimaksud. Dalam hal kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian
kerjasama pengusahaan pertambangan tidak mengatur hal tersebut, maka penentuan
hubungan istimewa dan kewajaran transaksi afiliasi Wajib Pajak tersebut ditentukan
berdasarkan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.
afiliasinya (affiliated transactions) dinyatakan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak
Penghasilan sebagai berikut.
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan
harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-
plus, atau metode lainnya.
Penjelasan pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa;
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran
pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan
istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya
ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian,
Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan
dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut
tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan
dan/atau biaya tersebut digunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen (comparable uncontrolled price method), metode harga penjualan kembali
(resale price method), metode biaya-plus (cost-plus method), atau metode lainnya
seperti metode pembagian laba (profit split method) dan metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method).
Demikian juga dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
dinyatakan bahwa dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat
penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
Dengan demikian, Pemeriksaan transfer pricing terhadap transaksi afiliasi pada
hakikatnya adalah suatu pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
pada transaksi afiliasi tersebut.
Jenis transaksi afiliasi antara lain:
1. transaksi penjualan, pembelian, pengalihan, serta pemanfaatan harta berwujud,
2. transaksi pemberian jasa intra-grup (intra-grup service),
3. transaksi pengalihan dan pemanfaatan harta tak berwujud,
4. transaksi pembayaran bunga, dan
5. transaksi penjualan atau pembelian saham.
Pedoman Pemeriksaan ini disusun untuk menguji penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (arm's length principle) pada transaksi afiliasi (affiliated transactions).
BAB II
TAHAPAN PEMERIKSAAN TRANSFER PRICING
Pembanding yang digunakan untuk menguji transaksi Wajib Pajak dengan pihak
afiliasinya dapat dikelompokkan menjadi pembanding internal dan pembanding eksternal.
Untuk dapat digunakan sebagai pembanding yang andal, pembanding internal
maupun pembanding eksternal harus memperhatikan 5 (lima) faktor kesebandingan, yaitu:
1) Karakteristik barang atau jasa,
2) Analisis fungsi, aset, dan risiko,
3) Ketentuan kontrak,
4) Ketentuan ekonomi, dan
5) Strategi bisnis.
Apabila tidak ditemukan pembanding internal yang andal, maka pembanding
eksternal dapat digunakan. Pembanding eksternal yang dapat digunakan sebagai
pembanding adalah pembanding yang merupakan data publik dalam negeri atau luar
negeri, database komersial (commercial database), London Metal Exchange, dan database
lainnya.
Dalam proses identifikasi data, perlu dikumpulkan data tambahan yang dianggap
penting untuk mengevaluasi peran harta tak berwujud yang digunakan dalam usaha Wajib
Pajak serta kontribusi Wajib Pajak dalam pengembangan harta tak berwujud tersebut. Data
tambahan ini diperlukan untuk mempertimbangkan metode transfer pricing yang paling
sesuai berdasarkan fakta dan kondisi transaksi afiliasi Wajib Pajak.
b. Menentukan metode transfer pricing yang paling sesuai berdasarkan fakta dan kondisi
Dalam penentuan metode transfer pricing, prinsip yang digunakan adalah metode
yang paling sesuai dengan fakta dan kondisi (the most appropriate method), dengan
mempertimbangkan antara lain:
1) Kelebihan dan kekurangan setiap metode;
2) Kesesuaian metode penentuan harga transfer dengan sifat dasar transaksi, yang
ditentukan berdasarkan analisis fungsi;
3) Ketersediaan informasi yang andal (sehubungan dengan pembanding independen)
untuk menerapkan metode yang dipilih dan/atau metode lain;
4) Tingkat kesebandingan antara transaksi afiliasi dengan transaksi antar pihak yang
independen, termasuk keandalan penyesuaian yang dilakukan untuk menghilangkan
pengaruh yang material dari perbedaan yang ada.
Untuk memilih metode yang paling sesuai pada suatu kasus transfer pricing,
dibutuhkan informasi-informasi terkait faktor-faktor kesebandingan terhadap transaksi
afiliasi yang sedang diteliti, terutama informasi tentang fungsi, aset, dan risiko dari semua
pihak afiliasi yang bertransaksi dengan Wajib Pajak, termasuk pihak afiliasi yang berada di
luar negeri. Penjelasan mengenai metode transfer pricing diuraikan dalam BAB III Metode
transfer pricing.
Pemilihan tested party dilakukan berdasarkan analisis fungsi yang telah dibuat dan
keandalan data/bukti/keterangan serta fakta yang diperoleh dalam pemeriksaan.
Pemeriksa Pajak dapat memilih Wajib Pajak yang sedang diperiksa (audited party) sebagai
pihak yang diuji (tested party). Pemeriksa Pajak juga dapat memilih lawan transaksi dari
Wajib Pajak yang sedang diperiksa sebagai pihak yang diuji (tested party). Pada umumnya,
yang dipilih sebagai pihak yang diuji (tested party) adalah pihak yang memiliki fungsi yang
lebih sederhana (lesscomplex functions) dan tidak memiliki unique/valuable intangible
property.
Berdasarkan analisis fungsi yang telah dibuat dengan didukung keandalan data/bukti
yang diperoleh dalam pemeriksaan, Pemeriksa Pajak juga dapat memilih dua pihak yang
diuji (tested party) dalam transaksi afiliasi sebagai pihak yang diuji (tested party), yaitu
Wajib Pajak yang sedang diperiksa (audited party) dan lawan transaksinya.
b. Meningkatkan Kesebandingan
Untuk membandingkan antara kondisi pada transaksi afiliasi dengan kondisi transaksi
independen, karakteristik yang relevan secara ekonomi dari keadaan yang dibandingkan
arus sebanding secara memadai agar pembandingan tersebut lebih akurat. Dalam hal
kondisi transaksi afiliasi tidak sebanding dengan kondisi transaksi independen, peningkatan
kesebandingan dapat dilakukan dengan cara, antara lain:
1) Kriteria Pencarian dan Seleksi Manual
Untuk menghasilkan pembanding yang andal maka pencarian data pada
database komersial harus menggunakan strategi pencarian/kriteria pencarian (searching
strategy/searching criteria) yang tepat, antara lain:
a) kode industri yang sesuai dengan Wajib Pajak yang diperiksa,
b) wilayah (region),
c) ketersediaan data,
d) indikator laporan keuangan.
Setelah melakukan pencarian data melalui searching strategy tertentu, maka
akan diperoleh satu atau lebih data perusahaan yang akan dijadikan sebagai
pembanding. Akan tetapi, data yang diperoleh dari commercial database tersebut hanya
merupakan kandidat pembanding. Atas kandidat pembanding yang terpilih, wajib
BAB III
METODE PEMERIKSAAN TRANSFER PRICING
Pemeriksaan transfer pricing terhadap transaksi Wajib Pajak dengan pihak afiliasinya
dapat dilakukan dengan melakukan pengujian terhadap harga atau laba baik di tingkat laba
kotor (gross profit) maupun di tingkat laba bersih usaha (net operating income). Setelah
melakukan analisis kesebandingan (comparability analysis), pengujian atas penerapan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha (Arm's Length Principle) dilakukan dengan menerapkan
metode transfer pricing.
Dalam pemeriksaan terhadap transaksi afiliasi yang melibatkan pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, penentuan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan
serta penentuan utang sebagai modal dilakukan dengan menggunakan metode-metode, antara
lain metode perbandingan harga antara pihak yang independen (Comparable Uncontrolled Price
Method), metode harga penjualan kembali (Resale Price Method), metode biaya-plus (Cost-Plus
Method), metode pembagian laba (Profit Split Method) dan metode laba bersih transaksional
(Transactional Net Margin Method), serta metode-metode lainnya sebagaimana yang dimaksud
Pasal 18 ayat (3) UU PPh dan penjelasannya.
Penerapan metode transfer pricing dilakukan bersamaan dengan pemilihan pihak yang
akan diuji (tested party). Pihak yang diuji (tested party) dapat merupakan Wajib Pajak yang
sedang diperiksa (audited party), dalam hal ini maka tested party adalah juga merupakan
audited party. Pihak yang diuji (tested party) dapat pula dipilih dari lawan transaksi audited
party, maka dalam hal ini tested party berbeda dengan audited party.
Berdasarkan gross margin dari transaksi independen (pembanding internal) maka diketahui
bahwa gross margin wajar atas penjualan kembali sebesar 15,3%. Berdasarkan data
pembanding tersebut maka penentuan harga beli wajar produk per unit dari DEF Corp. adalah
sebagai berikut:
ALP = Resale Price - (Gross Margin Independen x Resale Price)
ALP = USD 145.00 - (15.3% x USD 145.00)
ALP = USD 145.00 - USD 22.2 = USD 122.8
Dengan demikian harga beli wajar PT DEFI atas produk yang dibeli dari DEF Corp. adalah
USD122.8.
Harga beli dari DEF Corp. = USD 135.00
Harga beli wajar per unit = USD 122.80
Koreksi positif atas harga beli = USD 12.20
Karena terdapat pembanding internal yang andal maka pembanding internal tersebut dapat
digunakan.
Penghitungan Arm's Length Price (ALP) =
ALP = Costs + (Gross Mark-Up Independen x Costs)
ALP = USD 220,000.00 + (28.6% x 220,000.00)
ALP = USD 220,000.00 + USD 62,920.00 = USD 282,920.00
Nilai penjualan wajar = USD 282,920.00
Nilai penjualan kepada KLM Ltd. = USD 240,000.00
Koreksi positif atas penjualan = USD 42,920.00
(sembilan) perusahaan pembanding yang reliable. Rasio net mark-up 9 (sembilan) perusahaan
pembanding tersebut adalah 6,71%, 6,85% 6,95%, 7,91%, 7,31%, 7,23%, 7,59%, 8,35%,
dan 8,93%.
Berdasarkan hasil penghitungan, diketahui bahwa quartile-1 = 6,95%, quartile-2 = 7,31%, dan
quartile-3 = 7,91%. Dengan demikian, net mark-up PT PQR berada di luar range (quartile-1 -
quartile-3). Penyesuaian positif dilakukan dengan menggunakan quartile-2.
Rasio Net Mark-Up pembanding (quartile-1 s/d quartile 3) = 6,95% - 7,91% Rasio Net Mark-Up
PT PQR = 3,44%
Penghitungan Arm's Length Price (ALP)
ALP = Total Costs + (net mark-up x total costs)
ALP = USD 435,000.00 + (7.31% x USD 435,000.00)
ALP = USD 435,000.00 + USD 31,798.00
ALP = USD 466,798.00
Untuk Tahun Pajak 2010, PT STU sedang dilakukan pemeriksaan oleh KPP BPC. Setelah
dilakukan pencarian pembanding pada database komersial, diketahui bahwa tidak ditemukan
perusahaan pembanding. Untuk menerapkan Contribution Profit Split Method, digunakan
analisis fungsi sebagai media untuk memberi bobot pada fungsi-fungsi yang dilakukan kedua
belah pihak afiliasi yang saling bertransaksi.
Berikut adalah hasil pembobotan yang dilakukan terhadap fungsi kedua belah pihak
afiliasi yang saling bertransaksi (berdasarkan data dan Analisis fungsi kedua belah pihak).
Fungsi Bobot STU Corp. PT STU
Pemasaran 10 6 4
Transportasi 5 4 1
Intangible Property 10 10 0
Akuntansi 5 1 4
Penjualan 10 8 2
Daftar pelanggan 10 6 4
Logistik 5 3 2
Pergudangan 5 0 5
Warranty 5 3 2
Sales support 5 2 3
Training 5 5 0
Total 75 48 27
Profit Split 64.0% 36.0%
Net operating income STU Corp. = USD 20,000.00
Net operating income PT STU = USD 2,000.00 +
Total net operating income = USD 22,000.00
Pembagian laba dengan Contribution Profit Split Method
Net Operating income STU Corp. = 64% x USD 22,000.00 = USD 14,080.00
Net Operating income PT STU = 36% x USD 22,000.00 = USD 7,920.00
Koreksi positif atas net operating income PT STU
= USD 7,920.00 - USD 2,000.00 = USD 5,920.00
Koreksi positif atas net operating income diatribusikan kepada transaksi afiliasi yang terjadi
yaitu transaksi pembelian sehingga penyesuaian positif atas pembelian PT STU = USD
100,000.00 USD 5,920.00 = USD 94,080.00
Contoh 6:
BGS Corp., perusahaan manufaktur yang berkedudukan di Negara A, memiliki 99%
saham di PT BGS (distributor) yang berkedudukan di Indonesia. BGS Corp. melakukan fungsi
R&D dan memproduksi barang dengan brand-name "DK". Sedangkan PT BGS adalah distributor
yang sangat aktif memasarkan produk yang dibuat oleh BGS Corp. PT BGS melakukan promosi
dan iklan secara masif baik di media cetak maupun elektronik, sehingga brand-name "DK"
menjadi sangat terkenal di Indonesia. Pada Tahun Pajak 2010, PT BGS sedang dilakukan
pemeriksaan oleh KPP MLG.
Laporan Keuangan (USD)
BGS Corp. (R&D) PT BGS (Marketing)
Penjualan 700,000.00 Penjualan 976,000.00
HPP (466,000.00) HPP (700,000.00)
Laba kotor 234,000.00 Laba kotor 276,000.00
Biaya operasi: Biaya operasi:
Biaya R&D 140,000.00 Biaya Marketing 180,000.00
Biaya operasi lain 34,000.00 Biaya operasi lain 56,000.00
Laba Bersih usaha 60,000.00 Laba Bersih usaha 40,000.00
BAB IV
HAL - HAL KHUSUS TERKAIT PENERAPAN PRINSIP KEWAJARAN DAN
KELAZIMAN USAHA
Dengan demikian, penghitungan biaya jasa teknik yang wajar dengan menggunakan metode
biaya-plus adalah sebagai berikut.
Biaya jasa teknik wajar = USD 4,500.00 + (9% x USD 4,500.00)
Biaya jasa teknik wajar = USD 4,500.00 + USD 405.00 = USD 4,905.00
Biaya jasa teknik wajar = USD 4,905.00
Biaya jasa teknik PT XYZ = (USD 10,000.00)
Penyesuaian positif = USD 5,095.00
B. Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha atas Transaksi Harta Tak
Berwujud
Langkah-langkah pengujian atas transfer harta tak berwujud yang dilakukan Wajib
Pajak sebagai berikut.
1. Mengidentifikasi keberadaan setiap harta tak berwujud yang memberikan kontribusi
terhadap kesuksesan produk di pasar. Identitas ini dapat dilakukan melalui analisis fungsi.
Dalam analisis fungsi, Pemeriksa Pajak diharapkan memiliki pemahaman yang baik tentang
usaha Wajib Pajak.
2. Mengidentifikasi nilai harta tak berwujud dan menentukan pihak-pihak yang berkontribusi
terhadap pembentukan harta tak berwujud dimaksud. Hal ini perlu dilakukan agar dapat
diketahui apakah Wajib Pajak di Indonesia ikut berkontribusi terhadap pembentukannya
sehingga berhak menerima hasil atas eksploitasi harta tak berwujud tersebut.
3. Mempelajari apakah benar-benar telah terjadi transfer harta tak berwujud (Intangibles
property) dalam transaksi tersebut. Analisis terhadap saat terjadinya transfer harta tak
berwujud (Intangibles property) dalam transaksi independen dapat dijadikan pedoman.
4. Menentukan kompensasi yang wajar untuk setiap harta tak berwujud (intangible property)
yang ditransfer. Hal ini dilakukan dengan mengacu kepada pasar dimana harta tak
berwujud (intangible property) digunakan dan membandingkannya dengan transaksi
pembanding.
Metode yang dapat digunakan dalam menilai kewajaran transfer harta tak berwujud.
a) Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (CUP method)
b) Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method)
c) Metode biaya-plus (cost-plus method)
d) Metode pembagian laba (Profit Split Method)
e) Metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method)
f) Metode lainnya:
1. Income-Based Approach
2. Cost-Based Approach
3. Market-Based Approach
Contoh 8:
ARY Corp., perusahaan manufaktur yang berkedudukan di Negara A, memiliki 97%
saham di PT ARY (manufaktur) yang berkedudukan di Indonesia. PT ARY melakukan produksi
barang abc berdasarkan kontrak lisensi dengan ARY Corp. dan melakukan penjualan lokal ke
pihak independen.
Barang abc merupakan barang dengan merk yang cukup terkenal. Pada tahun pajak 2010, PT
ARY melakukan pembayaran royalti sesuai perjanjian lisensi dengan ARY Corp. Untuk Tahun
Pajak 2010, PT ARY sedang dilakukan pemeriksaan oleh KPP G.
Laporan Laba Rugi PT ARY pada Tahun Pajak 2010 adalah sebagai berikut.
Penjualan = USD 100,000.00
Harga Pokok Penjualan = (USD 80,000.00)
Laba kotor = USD 20,000.00 (20%)
Biaya operasi = (USD 19,000.00)
Laba (rugi) bersih usaha = USD 1,000.00 (1%)
Catatan: Dalam biaya operasi terdapat biaya royalti sebesar USD 11,000.00.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa PT ARY menggunakan intangible property yang
dimiliki oleh ARY Corp. Setelah dilakukan pencarian terhadap pembanding yang sesuai dengan
intangible property yang digunakan, diketahui bahwa terdapat pembanding yang andal untuk
dapat digunakan metode CUP.
Besarnya royalti pembanding = 4%
Besarnya royalti PT ARY = 11%
Penyesuaian positif = 7%
Dengan demikian, biaya royalti yang dapat dibebankan adalah sebesar USD 4,000.00.
Di tahun yang sama, ADC Corp. selaku independen, memberikan pinjaman kepada PT BAC
senilai USD 200,000.00 dengan suku bunga 10% per tahun. Syarat dan ketentuan pinjaman
dari BAC Corp. dan ADC Corp. tersebut sebanding. PT BAC sedang dilakukan pemeriksaan oleh
KPP DPK untuk Tahun Pajak 2010.
Kutipan Neraca PT BAC pada Tahun Pajak 2010 adalah sebagai berikut.
Utang
BAC Corp. (interest rate: 15% per tahun) = USD 200,000.00
ADC Corp. (interest rate: 10% per tahun) = USD 200,000.00
Total Utang = USD 400,000.00
Modal
Modal disetor = USD 200,000.00
Laba ditahan = USD 200,000.00
Total Modal = USD 400,000.00
Laporan Laba Rugi PT BAC pada Tahun Pajak 2010 adalah sebagai berikut.
Penjualan = USD 400,000.00
Harga Pokok Penjualan = (USD 250,000.00)
Laba kotor = USD 150,000.00
Biaya operasi = (USD 95,000.00)
Laba (rugi) bersih usaha = USD 55,000.00
Biaya bunga ke ADC Corp. (10% per tahun) = (USD 20,000.00)
Biaya bunga ke BAC Corp. (15% per tahun) = (USD 30,000.00)
Laba (rugi) bersih = USD 5,000.00
Penghitungan untuk biaya bunga wajar ke BAC Corp.
Tingkat suku bunga wajar (pembanding internal yang andal) 10%
Pinjaman kepada BAC Corp. = USD 200,000.00
Biaya bunga wajar (ke BAC Corp.) = 10% x USD 200,000.00
= USD 20,000.00
Biaya bunga ke BAC Corp. = USD 30,000.00
Biaya bunga wajar (ke BAC Corp.) = (USD 20,000.00)
Koreksi positif atas biaya bunga ke BAC Corp. = USD 10,000.00
Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor: PER-22/PJ/2013
Tanggal: 30 Mei 2013
JENIS DAN BENTUK SURAT DAN/ATAU FORMULIR YANG DIGUNAKAN DALAM PELAKSANAAN
PEMERIKSAAN TERHADAP WAJIB PAJAK YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA*)
*) bentuk dan isi surat dan/atau formulir dapat disesuaikan dengan data dan informasi yang
dibutuhkan dari Wajib Pajak
Yth. ........................................................
...............................................................
.............................................................. (5)
Supervisor,
..............................
NIP ........................ (8)
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PERMINTAAN KETERANGAN ATAU BUKTI
Meterai
.............................................. (12)
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PERNYATAAN
Nomor (1) : Diisi dengan nama Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa Wajib
Pajak yang menandatangani surat pernyataan.
Nomor (2) : Diisi dengan pekerjaan/jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau
kuasa Wajib Pajak yang menandatangani surat pernyataan.
Nomor (3) : Diisi dengan alamat Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa Wajib
Pajak yang menandatangani surat pernyataan.
Nomor (4) : Diisi dengan tanda [] pada kotak yang sesuai.
Nomor (5) : Diisi dengan nama Wajib Pajak yang diperiksa.
Nomor (6) : Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang diperiksa.
Nomor (7) : Diisi dengan alamat Wajib Pajak yang diperiksa.
Nomor (8) : Diisi dengan nomor SP2.
Nomor (9) : Diisi dengan tanggal SP2.
Nomor (10) : Format surat pernyataan ini dilampiri dengan formulir:
1. Laporan Keuangan Tersegmentasi,
2. Analisis Supply chain management,
3. Analisis Fungsi, Aset Dan Risiko (Analisis FAR),
4. Karakteristik Usaha, dan
5. Analisis Kesebandingan
Nomor (11) : Diisi dengan tempat, tanggal, bulan, dan tahun surat pernyataan dibuat.
Nomor (12) : Diisi dengan nama dan jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau
kuasa Wajib Pajak yang menandatangani surat pernyataan.
Jenis
Mitra
Nilai/Jumlah Hubungan Metode Keterangan
No Jenis Transaksi Transaksi
(5) Istimewa (7) (8)
(4)
(6)
1. Penjualan/Pembelian
Harta Berwujud
2. Penjualan/Pembelian
Barang Modal, Termasuk
Aktiva Tetap,
3. Penyerahan/Pemanfaatan
Harta Tak Berwujud,
4. Peminjaman Uang,
5. Pembayaran Jasa,
6. Penyerahan/Perolehan
Instrumen Keuangan
Seperti Saham dan
Obligasi,
7. Lain-lain ........... (9)
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat ditindaklanjuti
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
.............................................. (11)
PETUNJUK PENGISIAN
TRANSAKSI DALAM HUBUNGAN ISTIMEWA
Nomor (10) : Diisi dengan tempat, tanggal, bulan, dan tahun keterangan diberikan.
Nomor (11) : Diisi dengan nama dan jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa
Wajib Pajak yang memberikan keterangan.
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat ditindaklanjuti
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
........................., ................ (10)
Yang memberikan keterangan
........................................... (11)
PETUNJUK PENGISIAN
LAPORAN KEUANGAN TERSEGMENTASI
Deskripsi Research and Design Procurement Manufacturing Marketing Distribution ... (4) ...
Development
Tahun Pajak ... (5)... ... (5) ... ... (5) ... ... (5) ... ... (5)... ... (5) ... ... (5) ...
yang Diperiksa
.....(6)....
Laba Bersih
Usaha
.....(7)......
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat ditindaklanjuti sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
........................................... (9)
PETUNJUK PENGISIAN
ANALISIS SUPPLY CHAIN MANAGEMENT
Nomor (4) : Diisi dengan jenis fungsi lain sesuai dengan kebutuhan informasi Tim
Pemeriksa pajak.
Nomor (5) : Diisi dengan nama pihak perusahaan afiliasi yang melakukan fungsi
sebagaimana deskripsi.
Nomor (6) : Diisi dengan Tahun Pajak saat Wajib Pajak diperiksa.
Nomor (7) : Diisi dengan persentase laba bersih usaha perusahaan yang melakukan
fungsi sebagaimana deskripsi.
Nomor (8) : Diisi dengan tempat, tanggal, bulan, dan tahun keterangan diberikan.
Nomor (9) : Diisi dengan nama dan jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa
Wajib Pajak yang memberikan keterangan.
I. FUNGSI
A. Pembelian Bahan Baku
1. Pemilihan pemasok
2. Penjadwalan
3. Pengawasan kualitas material
4. Pembelian material impor
5. Pembelian material lokal
6. Distribusi material impor
7. Negosiasi harga atas material
impor
8. Negosiasi harga atas material lokal
9. Pemilik bahan baku
10. ...............................
E. Proses Produksi/Pengolahan
1. Memproduksi produk
2. Penjadwalan produk
3. Desain produk
4. Pemaketan dan pelabelan
5. Penyempurnaan produk yang
diproduksi
6. Mengumpulkan informasi atas
produk pesaing
7. .......................................
F Kepemilikan Barang/Produk
1. Siapa pemilik barang jadi?
2. Invoice dibuat atas nama siapa?
3. .............................
N. Lain-lain
1. Human research and development
2. Umum dan administrasi
3. Pelayanan purna jual
4. Garansi produk dan penanggung
biaya garansi
II. ASET
A Aset Tak Berwujud
1. Pemilik know-how terkait produksi
2. Pemilik paten atas produk
3. Lisensi atas know-how dll
4. Pemilik Trademark
5. Lisensi atas Trademark
6. Pihak yang berkontribusi terhadap
pengembangan aset tak berwujud
(misal: merek)
7. Kepemilikan secara ekonomi atas
aktiva tidak berwujud
8. ............................................
B. Aset Berwujud
1. Pemilik peralatan mesin pabrik
2. Pemilik fasilitas produksi
3. Pemilik tanah
4. Pemilik bangunan
5. Pemilik teknologi terkait produksi
6. Pemilik persediaan
7. ........................
III. RISIKO
1. Pihak yang menanggung risiko
R&D
2. Pihak yang menanggung risiko
keuangan
3. Pihak yang menanggung risiko atas
bahan baku impor
4. Pihak yang menanggung risiko atas
bahan baku lokal
5. Pihak yang menanggung risiko atas
ketidakefisienan lini produksi
6. Pihak yang menanggung risiko atas
jadwal produksi
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat ditindaklanjuti
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
........................................... (10)
*) Jenis fungsi, aset, dan risiko yang dianalisis dapat disesuaikan dengan karakteristik usaha
Wajib Pajak
PETUNJUK PENGISIAN
ANALISIS ATAS FUNGSI, ASET, DAN RISIKO (ANALISIS FAR)
Nomor (2) : Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang diperiksa.
Nomor (4) : Diisi dengan jenis fungsi, aset dan risiko yang diperlukan oleh Tim Pemeriksa
Pajak.
Nomor (8) : Diisi dengan keterangan terkait fungsi, aset, dan risiko pada nomor (4)
Nomor (9) : Diisi dengan tempat, tanggal, bulan, dan tahun keterangan diberikan.
Nomor (10) : Diisi dengan nama dan jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa
Wajib Pajak yang memberikan keterangan.
KARAKTERISTIK USAHA
Kami menyatakan bahwa karakteristik usaha berdasarkan fungsi yang dilakukan, aset
yang digunakan, dan risiko yang ditanggung dari perusahaan yang kami jalankan adalah
sebagai berikut. (4)
1. Fully Fledged Manufacturing
2. Contract manufacturing
3. Toll manufacturing
6. Commisionaire
7. Commission Agent
8. Service Provider
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat ditindaklanjuti
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
........................., ................ (6)
Yang memberikan keterangan
........................................... (7)
PETUNJUK PENGISIAN
KARAKTERISTIK USAHA
Nomor (2) : Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang diperiksa
Nomor (5) : Diisi dengan jenis karakteristik usaha Wajib Pajak selain angka 1 sampai
dengan 8
Misalnya:
Wajib Pajak melakukan usaha dengan jenis karakteristik usaha contract
manufacturing, namun melakukan fungsi tambahan yang tidak dilakukan oleh
perusahaan dengan jenis karakteristik usaha contract manufacturing.
Nomor (6) : Diisi dengan tempat, tanggal, bulan, dan tahun keterangan diberikan.
Nomor (7) : Diisi dengan nama dan jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa
Wajib Pajak yang memberikan keterangan.
ANALISIS KESEBANDINGAN
Transaksi Transaksi
Faktor Afiliasi Independen
No. Kategori Penjelasan
Kesebandingan
Transaksi Transaksi
Faktor
No. Kategori Penjelasan Afiliasi Independen
Kesebandingan
Harta Tak a. Bentuk transaksi (lisensi atau
Berwujud penjualan)
b. Jenis (paten, Trademark, dll.)
c. Jangka waktu dan tingkat
perlindungan
d. Manfaat yang diharapkan
e. Pembatasan area geografis dalam
hal hak pemanfaatan harta tak
berwujud dilaksanakan
f. Pembatasan ekspor atas produk
yang dihasilkan
g. Ekslusifitas hak yang dialihkan
h. Keberadaan hak pihak yang
memperoleh harta tak berwujud
untuk turut serta dalam
pengembangan harta tak berwujud
2. Analisis Atas Fungsi a. Pembelian Bahan Baku
Fungsi, Aset,
b. Konsinyasi Bahan Baku
dan Risiko
(FAR Analysis) c. Riset/Penelitian dan
Pengembangan
d. Perencanaan Produksi
e. Proses Produksi/Pengolahan
f. Kepemilikan Barang/Produk
g. Perakitan dan Packaging
h. Pergudangan dan Logistik
i. Penetapan Harga Jual
j. Invoicing dan Penagihan
k. Pemasaran, Pengiklanan, dan
Promosi
l. Quality Control
m. Penjualan dan Distribusi
n. Lain-Lain
Aset a. Aset Tak Berwujud
b. Aset Berwujud
Risiko a. Pihak yang menanggung risiko
R&D
b. Pihak yang menanggung risiko
keuangan
c. Pihak yang menanggung risiko atas
bahan baku impor
d. Pihak yang menanggung risiko atas
bahan baku lokal
e. Pihak yang menanggung risiko atas
ketidakefisienan lini produksi
f. Pihak yang menanggung risiko atas
jadwal produksi
Transaksi Transaksi
Faktor
No. Kategori Penjelasan Afiliasi Independen
Kesebandingan
g. Pihak yang menanggung risiko atas
kegagalan produksi
h. Pihak yang menanggung risiko atas
kegagalan produksi
h. Pihak yang menanggung risiko
pasar
i. Pihak yang menanggung kerugian
investasi
j. Pihak yang menanggung risiko
persediaan
k. Pihak yang menanggung risiko nilai
tukar/valas
l. Pihak yang menanggung risiko
kerusakan produk dan garansi
m. Pihak yang menanggung risiko
piutang tak tertagih
n. Lainnya
3. Ketentuan - a. Apakah ketentuan kontrak yang
Kontrak tertulis konsisten dalam
(Contractual penerapannya?
Term) b. Apakah ketentuan kontrak yang
tertulis tersebut sesuai dengan
praktik umum yang berlaku?
c. Apakah terdapat praktik/kebiasaan
umum yang berlaku (tidak
tertulis)? Jika iya, apakah praktik
umum tersebut?
d. Apakah ketentuan kontrak memiliki
pengaruh yang substansial
terhadap kesebandingan? Jika iya,
apakah pengaruh yang timbul
dapat dieliminasi?
e. Lainnya
4. Keadaan - a. Tahap/fase perusahaan
Ekonomi
b. Tahap/fase produk
(Economic
Condition) c. Lokasi geografis perusahaan
d. Waktu Terjadinya Transaksi
e. Pangsa/ukuran pasar
f. Situasi kompetitif/tingkat
persaingan pasar
g. Tingkat permintaan dan
penawaran dalam pasar baik
secara keseluruhan maupun
regional
h. Posisi relatif atas pembeli dan
penjual
i. Ketersediaan alternatif produk
(barang dan jasa pengganti)
j. Daya beli konsumen
Transaksi Transaksi
Faktor
No. Kategori Penjelasan Afiliasi Independen
Kesebandingan
k. Sifat dan cakupan peraturan
pemerintah dalam pasar
l. Biaya produksi termasuk biaya
tanah, upah tenaga kerja, dan
modal, biaya transportasi, dll
m. lainnya
5. Strategi Bisnis -
(Business a. Inovasi dan pengembangan produk
Strategic)
b. Tingkat diversifikasi
c. Strategi bundel
d. Penetrasi pasar yang baru
e. Lainnya
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya untuk dapat ditindaklanjuti
sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
,.. (8)
Yang memberikan keterangan
............................. (9)
PETUNJUK PENGISIAN
ANALISIS KESEBANDINGAN
Nomor (2) : Diisi dengan Nomor Pokok Wajib Pajak yang diperiksa.
Nomor (4) : Diisi dengan nama mitra transaksi yang merupakan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Nomor (5) : Diisi dengan nama mitra transaksi yang merupakan pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak.
Nomor (6) : Diisi dengan keterangan sesuai dengan kolom faktor kesebandingan,
kategori dan item terkait transaksi afiliasi.
Nomor (7) : Diisi dengan keterangan sesuai dengan kolom faktor kesebandingan,
kategori dan item terkait transaksi independen.
Nomor (8) : Diisi dengan tempat, tanggal, bulan, dan tahun keterangan diberikan.
Nomor (9) : Diisi dengan nama dan jabatan Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa
Wajib Pajak yang memberikan keterangan.
.........,..................20.... (3)
Nomor : S - ............................20.. (2)
Sifat : Segera
Lampiran : ......................................... (4)
Hal : Panggilan untuk Memberikan Keterangan Transaksi Afiliasi
Yth. ........................................................
............................................................... (5)
Untuk memberikan keterangan/penjelasan dan presentasi kepada tim Pemeriksa Pajak terkait:
1. karakteristik industri dan pasar di mana perusahaan berbisnis,
2. karakteristik transaksi afiliasi perusahaan,
3. karakteristik perusahaan sebagai bagian dari grup,
4. karakteristik usaha Wajib Pajak,
5. metode transfer pricing yang digunakan,
6. pembanding yang digunakan dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
(Arm's Length Principle) pada transaksi afiliasi,
7. penentuan harga/laba wajar transaksi afiliasi,
8. .................................................................. (11)
.......................... (12)
.................................
NIP.......................(13)
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PANGGILAN UNTUK MEMBERIKAN KETERANGAN TRANSAKSI AFILIASI
Nomor (4) : Diisi dengan jumlah lampiran Surat Panggilan untuk Memberikan
Keterangan.
Nomor (5) : Diisi dengan nama dan alamat Wajib Pajak yang dimintai keterangan atau
bukti.
Nomor (7) : Diisi dengan nomor dan tanggal Surat Permintaan Keterangan/Bukti
sebagaimana Format A Lampiran II Perdirjen ini.
Nomor (8) : Diisi dengan hari/tanggal Wajib Pajak diminta datang untuk memberikan
keterangan.
Nomor (9) : Diisi dengan pukul Wajib Pajak diminta datang untuk memberikan
keterangan.
Nomor (10) : Diisi dengan tempat pertemuan dimana Wajib Pajak diminta datang untuk
memberikan keterangan.
Nomor (11) : Diisi dengan keterangan/penjelasan lain yang diperlukan Pemeriksa Pajak.
Nomor (12) : Diisi dengan nama jabatan kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan.
Nomor (13) : Diisi dengan tanda tangan, nama, NIP dan cap jabatan dari kepala Unit
Pelaksana Pemeriksaan.
Nomor (14) : Diisi dengan nama penerima Surat Permintaan Keterangan atau Bukti.
Nomor (15) : Diisi dengan jabatan penerima Surat Permintaan Keterangan atau Bukti.
Nomor (16) : Diisi dengan tanggal terima Surat Permintaan Keterangan atau Bukti.
Nomor (17) : Diisi dengan tanda tangan penerima dan cap perusahaan penerima Surat
Permintaan Keterangan atau Bukti.
Demikian Berita Acara Pemberian Keterangan Terkait Transaksi Afiliasi ini dibuat dengan
sebenarnya dan ditandatangani oleh:
. (19)
(18) NIP
Ketua Tim,
. (20)
NIP
Mengetahui: Anggota,
(22) .. (21)
NIP NIP
PETUNJUK PENGISIAN
BERITA ACARA PEMBERIAN KETERANGAN WAJIB PAJAK TERKAIT TRANSAKSI AFILIASI
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama dengan atau berada dalam rentang
harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding.
7. Harga Wajar atau laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi
yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau laba yang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
8. Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau Direktorat
Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan dengan kondisi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa,
dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua jenis transaksi dimaksud.
9. Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan harga dalam transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
10. Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi
sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
11. Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam transaksi
sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
12. Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (Comparable Uncontrolled
Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan
membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
13. Metode harga penjualan kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode Penentuan
Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu
produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan
fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam
kondisi wajar.
14. Metode biaya-plus (Cost Plus Method/CPM) adalah metode Penentuan Harga Transfer yang
dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang
sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat
laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai
dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
15. Metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga
Transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang dilakukan dengan
mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat
diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan
terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
16. Metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang c dilakukan dengan membandingkan persentase laba
bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar
lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa lainnya.
17. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) adalah prosedur
administratif yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat
yang berwenang dari negara mitra P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang
timbul sehubungan dengan penerapan P3B.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Ruang lingkup Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini adalah transaksi yang dilakukan Wajib
Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat mengakibatkan pelaporan
jumlah penghasilan dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak tidak sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha meliputi
antara lain:
a. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun barang
tidak berwujud;
b. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan
harta berwujud maupun harta tidak berwujud;
c. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan
jasa;
d. alokasi biaya; dan
e. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan
penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat penyerahan atau perolehan harta
dalam bentuk instrumen keuangan dimaksud.
BAB III
PRINSIP KEWAJARAN DAN KELAZIMAN USAHA
SERTA ANALISIS KESEBANDINGAN
Pasal 3
(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil Analisis
Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba
Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran tidak melampaui
Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak diwajibkan memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), namun Wajib Pajak tetap diwajibkan memenuhi
ketentuan Pasal 28 Undang-Undang KUP.
Pasal 4
(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal:
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat
mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk menghilangkan
pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi tersebut terhadap harga
atau laba;
b. dalam hal tersedia Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal
dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka Wajib Pajak wajib menggunakan
Data Pembanding Internal untuk penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar .
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian dalam
melakukan Analisis Kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan Data
Pembanding Internal dan/atau Data Pembanding Eksternal serta menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 5
(1) Dalam melaksanakan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) harus dilakukan analisis atas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat
kesebandingan antara lain:
a. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang
diperjualbelikan, termasuk jasa;
b. fungsi masing-masing pihak yang melakukan transaksi;
c. ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian;
d. keadaan ekonomi; dan
e. strategi usaha .
(2) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan langkah-langkah, kajian, dan hasil kajian atas
faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyimpan buku, dasar catatan,
atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku .
Pasal 6
(1) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta
tidak berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a, harus dilakukan
analisis terhadap jenis barang atau jasa yang diperjualbelikan, dialihkan, atau diserahkan,
baik oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa maupun oleh pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain:
a. ciri-ciri fisik barang;
b. kualitas barang;
c. daya tahan barang;
d. tingkat ketersediaan barang; dan
e. jumlah penawaran barang.
(3) Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), harus dipertimbangkan antara lain:
a. jenis transaksi;
Pasal 7
(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan mengidentifikasi dan
membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung jawab utama yang
diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam hal
kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan dan/atau laba
yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
a. struktur organisasi;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain,
pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian, distribusi,
pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen;
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur,
harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak yang
melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan risiko
keuangan.
Pasal 8
kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa,
yang meliputi ketentuan tertulis dan tidak tertulis.
Pasal 9
Dalam melakukan penilaian dan analisis keadaan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 ayat (1) huruf d, harus diidentifikasi kondisi ekonomi yang relevan, seperti keadaan geografis,
luas pasar, tingkat persaingan, tingkat permintaan dan penawaran, serta tingkat ketersediaan
barang atau jasa pengganti pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa.
Pasal 10
Penilaian dan analisis atas strategi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf e, harus dilakukan antara lain dengan mengidentifikasi inovasi dan pengembangan
produk baru, tingkat diversifikasi barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan
usaha lainnya, yang terjadi pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
BAB IV
METODE PENENTUAN HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR
Pasal 11
(1) Dalam penentuan metode harga wajar atau laba wajar wajib dilakukan kajian untuk
menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling tepat.
(2) Metode Penentuan Harga Transfer yang dapat diterapkan adalah:
a. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (Comparable
Uncontrolled Price/CUP);
b. metode harga penjualan kembali (Resale Price Method/RPM) atau metode biaya-
plus (Cost Plus Method/CPM);
c. metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. penerapan metode Penentuan Harga Transfer dilakukan secara hirarkis dimulai
dengan menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang independen
(Comparable Uncontrolled Price/CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat;
b. dalam hal metode perbandingan harga antar pihak yang independen (Comparable
Uncontrolled Price/CUP) tidak tepat untuk diterapkan, wajib diterapkan metode
penjualan kembali (Resale Price Method/RPM) atau metode biaya-plus (Cost Plus
Method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat;
c. dalam hal metode penjualan kembali (Resale Price Method/RPM) atau metode
biaya-plus (Cost Plus Method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan
metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(4) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode perbandingan harga antar pihak yang
independen (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah:
a. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam
kondisi yang sebanding; atau
b. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak memiliki Hubungan Istimewa identik atau
memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan penyesuaian yang
akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi yang timbul.
(5) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode penjualan kembali (Resale Price
Method/RPM) adalah:
a. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara Wajib Pajak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan transaksi antara Wajib Pajak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan
hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda; dan
b. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan atas
barang atau jasa yang diperjualbelikan.
(6) Kondisi yang tepat dalam menerapkan metode biaya-plus (Cost Plus Method/CPM) adalah:
a. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
b. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility agreement)
atau kontrak jual-beli jangka panjang (long term buy and supply agreement) antara
pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
c. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
(7) Metode pembagian laba (Profit Split Method/PSM) secara khusus hanya dapat diterapkan
dalam kondisi sebagai berikut:
a. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sangat terkait
satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian secara terpisah;
atau
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi
yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
(8) Penerapan metode Penentuan Harga Transfer secara hirarkis harus didasarkan pada kondisi
yang tepat untuk setiap metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7).
(9) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 12
Dalam hal kondisi-kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) tidak terpenuhi maka
metode laba bersih transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) dapat diterapkan.
BAB V
HARGA WAJAR ATAU LABA WAJAR
Pasal 13
(1) Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan metode-metode Penentuan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dapat ditentukan dalam bentuk harga atau
laba tunggal (single price) atau dalam bentuk Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arms
length range/ALR).
(2) Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
rentangan antara kuartil pertama dan ketiga yang harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. transaksi atau data pembanding yang digunakan dapat diandalkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; dan
b. didukung dengan bukti-bukti dan penjelasan yang memadai bahwa penetapan
harga atau laba tunggal tidak dapat dilakukan.
(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, maka
Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar tidak dapat dipergunakan.
(4) Yang dimaksud dengan Rentang Harga Wajar atau Laba Wajar (arms length range/ALR)
adalah rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa, yang merupakan hasil pengujian beberapa data
pembanding dengan menggunakan metode Penentuan Harga Transfer yang sama.
BAB VI
TRANSAKSI KHUSUS
Pasal 14
(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan
antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial dari perolehan jasa; dan
c. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan
Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang sebanding,
atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk keperluannya;
(3) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal transaksi jasa
terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah satu atau
beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha.
(4) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk biaya atau pengeluaran
yang terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang saham
perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya pengurus
perusahaan induk;
b. kewajiban pelaporan perusahaan induk, termasuk laporan keuangan konsolidasi
perusahaan induk, kecuali terdapat bukti mengenai adanya manfaat yang terukur
yang dinikmati oleh Wajib Pajak; dan
c. perolehan dana/modal yang dipergunakan untuk pengambilalihan kepemilikan
perusahaan dalam kelompok usaha, kecuali pengambilalihan tersebut dilakukan oleh
Wajib Pajak dan manfaatnya dinikmati oleh Wajib Pajak.
Pasal 15
Dalam hal transaksi jasa yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dapat dilakukan identifikasi jenis transaksinya secara spesifik, langkah-
langkah penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) wajib diterapkan untuk setiap jenis transaksi jasa.
Pasal 16
(1) Dalam hal transaksi jasa dilakukan bersama-sama antara Wajib Pajak dan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dan tidak dapat dilakukan identifikasi atas transaksi jasa
yang diserahkan kepada masing-masing pihak, maka beban jasa harus dialokasikan
berdasarkan manfaat yang diterima oleh masing-masing pihak .
(2) Kriteria yang digunakan untuk mengalokasikan beban jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dianggap memadai dalam hal menerapkan kriteria yang terukur dan dapat
diandalkan berdasarkan:
a. sifat jasa, kondisi pada saat jasa diserahkan, dan manfaat yang diperoleh; atau
b. kriteria lain yang berkaitan dengan transaksi yang tidak dilakukan oleh pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Pasal 17
(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan dan
pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi pemanfaatan harta tidak berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan Istimewa
mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang
sebanding dengan menerapkan Analisis Kesebandingan dan menerapkan metode
Penentuan Harga Transfer yang tepat ke dalam transaksi.
(3) Transaksi pengalihan harta tidak berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi pengalihan harta tidak berwujud benar-benar terjadi; dan
b. nilai pengalihan harta tidak berwujud antara pihak-pihak yang mempunyai
mempunyai Hubungan Istimewa sama dengan nilai pengalihan harta tidak berwujud
yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang
mempunyai kondisi yang sebanding.
(4) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan untuk transaksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) harus dipertimbangkan antara lain:
a. keterbatasan geografis dalam pemanfaatan hak atas harta tidak berwujud;
b. eksklusifitas hak yang dialihkan; dan
c. keberadaan hak pihak yang memperolah harta tak berwujud untuk turut serta
dalam pengembangan harta dimaksud.
BAB VII
DOKUMEN DAN KEWAJIBAN PENGISIAN
SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
Pasal 18
(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen yang
menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib Pajak
sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur
kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar
pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan, hasil
analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian,
dan strategi usaha;
d. pembanding yang terpilih; dan
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang
dipilih oleh Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang
dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba
Wajar yang dipilih.
Pasal 19
Wajib Pajak wajib melaporkan transaksi yang dilakukannya dengan pihak-pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
BAB VIII
KEWENANGAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 20
(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Penghitungan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan metode dan dokumen penentuan
Harga Wajar atau Laba Wajar yang diterapkan oleh Wajib Pajak .
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat memberikan penjelasan yang memadai dan/atau
menunjukkan dokumen pendukung penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang
menetapkan Harga Wajar atau Laba Wajar berdasarkan data atau dokumen lain dan
metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dinilai tepat oleh Direktorat Jenderal
Pajak sesuai dengan kewenangan berdasarkan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
(4) Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan
apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam
transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.
(5) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa yang terindikasi sebagai tindak pidana di bidang perpajakan, Direktur Jenderal
Pajak berwenang melakukan penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-
Undang KUP.
Pasal 21
b. otoritas pajak negara lain atas penghitungan penghasilan dan pengurangan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak negara tersebut yang menjadi lawan transaksi Wajib
Pajak dalam negeri Indonesia.
(2) Atas penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak negara lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, Wajib Pajak tidak diperkenankan untuk melakukan sendiri
penyesuaian penghitungan pajaknya.
BAB IX
HAK-HAK WAJIB PAJAK
Pasal 22
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement
Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam P3B untuk
menyelesaikan sengketa perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai
dengan ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui penyesuaian
yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B terhadap Wajib Pajak yang menjadi
lawan transaksinya.
Pasal 23
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam transaksi yang
dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak
atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 6 September 2010
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
TENTANG
MEMUTUSKAN:
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak
Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa, diubah sebagai berikut:
Pasal 1
Pasal 2
(1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan Harga Transfer
(transfer pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk
Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar Indonesia.
(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa yang merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha
Tetap di Indonesia, Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini hanya berlaku untuk
transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa untuk memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan
antara lain:
a. perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor
usaha tertentu;
b. perlakuan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
c. transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama
Migas.
Pasal 3
(1) Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib menerapkan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. melakukan Analisis Kesebandingan dan menentukan pembanding;
b. menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
c. menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha berdasarkan hasil
Analisis Kesebandingan dan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat ke
dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa; dan
d. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba
Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP) mendasarkan
pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value/FMV).
(4) Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan nilai seluruh transaksi tidak melebihi Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak untuk setiap
lawan transaksi, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 4
(1) Dalam melakukan Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf a harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam
hal:
1) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang
dapat mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan;
atau
Pasal 4A
(1) Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Data Pembanding Eksternal adalah data Harga Wajar atau Laba Wajar dalam
transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain dengan pihak-pihak yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Data Pembanding Internal dan Data Pembanding Eksternal harus memenuhi faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan.
(4) Dalam hal Data Pembanding Internal telah memenuhi faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, maka Data Pembanding Eksternal tidak
diperlukan.
(5) Data Pembanding Eksternal dapat diperoleh dari database komersial maupun
database lainnya.
Pasal 7
(1) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, harus dilakukan analisis dengan
mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi yang signifikan dan tanggung
jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Kegiatan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap signifikan dalam
hal kegiatan tersebut berpengaruh secara material pada harga yang ditetapkan
dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan.
(3) Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi, harus dipertimbangkan antara lain:
a. struktur organisasi dan posisi perusahaan yang diuji dalam kelompok usaha
serta manajemen mata rantai (supply chain management) kelompok usaha;
b. fungsi-fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain,
pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian,
distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen serta
karakteristik utama perusahaan seperti jasa maklon (toll manufacturing),
manufaktur dengan fungsi dan risiko terbatas (contract manufacturing), dan
manufaktur dengan fungsi dan risiko penuh (fully fledge manufacturing);
c. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan Harta Tidak Berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur,
harga pasar, dan lokasi;
d. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak
yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan
risiko keuangan.
Pasal 8
Pasal 9
(1) Analisis keadaan ekonomi diperlukan untuk memperoleh tingkat kesebandingan dalam
pasar tempat beroperasinya para pihak yang melakukan transaksi.
(2) Keadaan ekonomi yang harus diidentifikasi untuk menentukan tingkat kesebandingan
pasar mencakup:
a. lokasi geografis;
b. ukuran pasar;
c. tingkat persaingan dalam pasar serta posisi persaingan antara penjual dan
pembeli;
d. ketersediaan barang atau jasa pengganti;
e. tingkat permintaan dan penawaran dalam pasar baik secara keseluruhan maupun
regional;
f. daya beli konsumen;
g. sifat dan cakupan peraturan pemerintah dalam pasar;
h. biaya produksi termasuk biaya tanah, upah tenaga kerja, dan modal;
biaya transportasi; dan tingkatan pasar;
i. tanggal dan waktu transaksi; dan sebagainya.
Pasal 11
(1) Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib dilakukan kajian
untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai (The Most
Appropiate Method).
(2) Metode Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat
diterapkan adalah:
a. Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP);
b. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM);
c. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method);
d. Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM); atau
e. Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).
(3) Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga
barang atau jasa dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding.
(4) Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) adalah metode
Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam
transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor
wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk
tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau penjualan
kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
(5) Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method) adalah metode Penentuan Harga Transfer
yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi
sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa pada harga
pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(6) Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM) adalah metode Penentuan Harga
Transfer berbasis Laba Transaksional (Transactional Profit Method Based) yang
dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan
dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan
pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan
antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan
Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian
Laba (Residual Profit Split Method).
(7) Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) adalah
metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan
presentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva,
atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dengan presentase laba bersih operasi yang diperoleh atas
transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa lainnya.
(8) Dalam menerapkan metode Penentuan Harga Transfer yang paling sesuai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), wajib diperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. kelebihan dan kekurangan setiap metode;
b. kesesuaian metode Penentuan Harga Transfer dengan sifat dasar transaksi antar
pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa, yang ditentukan berdasarkan
analisis fungsional;
c. ketersediaan informasi yang handal (sehubungan dengan transaksi antar pihak
b. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi
yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
(13) Kondisi yang tepat dalam menerapkan Metode Laba Bersih Transaksional
(Transactional Net Margin Method/TNMM) antara lain adalah:
a. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan kontribusi
yang khusus; atau
b. salah satu pihak dalam transaksi Hubungan Istimewa melakukan transaksi
yang kompleks dan memiliki transaksi yang berhubungan satu sama lain.
(14) Wajib Pajak wajib mendokumentasikan kajian yang dilakukan dan menyimpan buku,
dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Pasal 12 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi jasa yang
dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap memenuhi Prinsip Kewajaran
dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi;
b. nilai transaksi jasa antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai
Hubungan Istimewa sama dengan nilai transaksi jasa yang dilakukan antara pihak-
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi yang
sebanding, atau yang dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak untuk keperluannya;
(3) Penyerahan atau perolehan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dianggap benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis atau komersial yang
dapat menambah nilai atas penyerahan atau perolehan jasa dimaksud.
(4) Dalam menentukan nilai transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
harus diterapkan melalui Analisis Kesebandingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
(5) Transaksi jasa antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa dianggap tidak memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam hal
transaksi jasa terjadi hanya karena terdapat kepemilikan perusahaan induk pada salah
satu atau beberapa perusahaan yang berada dalam satu kelompok usaha.
(6) Transaksi jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk biaya atau pengeluaran
yang terjadi sehubungan dengan:
a. kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan induk, seperti rapat pemegang
saham perusahaan induk, penerbitan saham oleh perusahaan induk, dan biaya
Pasal 17
(1) Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha wajib diterapkan atas transaksi pemanfaatan
dan pengalihan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak
yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(2) Harta Tak Berwujud (Intangibles) adalah suatu aktiva yang pada umumnya memiliki
masa manfaat yang panjang dan tidak mempunyai bentuk fisik serta memiliki
kegunaan dalam kegiatan operasi perusahaan dan penggunaannya tidak untuk dijual
kembali, seperti paten, hak cipta atau merek dagang.
(3) Harta Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Harta Tidak
Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles) dan Harta
Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles).
(4) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Perdagangan (Trade Intangibles)
pada umumnya terjadi melalui kegiatan riset dan pengembangan yang berisiko dan
mahal, sehingga pemiliknya berusaha mengganti pengeluaran tersebut melalui
penjualan barang, perjanjian lisensi atau kontrak jasa.
(5) Harta Tidak Berwujud sehubungan dengan Fungsi Pemasaran (Marketing Intangibles)
meliputi antara lain merek dagang atau nama dagang yang membantu meningkatkan
pemasaran dari barang dan jasa, daftar pelanggan, dan saluran distribusi.
(6) Merek Dagang adalah nama, simbol atau gambar yang unik yang dimiliki sebagai
identitas dari suatu barang atau jasa tertentu yang dihasilkan oleh pabrikan atau
dealer, dimana penggunaannya oleh pihak lain diatur oleh hukum domestik atau
hukum internasional.
(7) Transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud yang dilakukan antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dianggap memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha sepanjang memenuhi ketentuan:
a. transaksi pemanfaatan Harta Tidak Berwujud benar-benar terjadi;
b. terdapat manfaat ekonomis atau komersial; dan
c. transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai mempunyai Hubungan
Istimewa mempunyai nilai yang sama dengan transaksi yang dilakukan antara
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang mempunyai kondisi
13. Diantara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 17A
Pasal 18
(1) Wajib Pajak wajib menyelenggarakan dan menyimpan buku, catatan, dan dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Termasuk dalam pengertian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
dokumen yang menjadi dasar penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha pada
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan dokumentasi dalam melaporkan transaksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang terdiri dari satu set dokumen induk dan
satu set lampiran dari dokumen induk.
(4) Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan
dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan
metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih, termasuk laporan
keuangan yang tersegmentasi.
(5) Dokumen penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang harus disediakan oleh Wajib
Pajak sekurang-kurangnya mencakup:
a. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha,
struktur kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha,
daftar pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha;
b. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya;
c. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan,
hasil analisis fungsional, kondisi ekonomi, ketentuan-ketentuan dalam
kontrak/perjanjian, dan strategi usaha.
d. pembanding yang terpilih;
e. catatan mengenai penerapan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar
yang dipilih oleh Wajib Pajak serta alasan penolakan metode yang tidak dipilih.
Pasal 20
Pasal 21
Pasal 22
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual
Agreement Procedure/MAP) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan dalam
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda atau P3B untuk menyelesaikan sengketa
perpajakan yang menyangkut penerapan ketentuan dalam P3B sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, termasuk dalam hal Wajib Pajak tidak
menyetujui penyesuaian yang dilakukan oleh otoritas pajak di negara mitra P3B
terhadap Wajib Pajak yang menjadi lawan transaksinya.
(2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah
perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara/jurisdiksi lain
dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
(3) Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah prosedur administratif yang dilakukan oleh pejabat
yang berwenang dari Indonesia dengan pejabat yang berwenang dari negara mitra
P3B untuk menyelesaikan sengketa perpajakan yang timbul sehubungan dengan
penerapan P3B.
Pasal 23
(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Kesepakatan Harga Transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, sebagai upaya menghindari permasalahan yang mungkin timbul dalam
transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak-pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa.
(2) Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement/APA) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah perjanjian tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib
Pajak atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang PPh.
Pasal II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 11 November 2011
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
A. FUAD RAHMANY
NIP 195411111981121001
TENTANG
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
10. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya
disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
11. Transfer Pricing adalah penentuan harga yang dilakukan dalam transaksi antara pihak-pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.
12. Corresponding Adjustments yaitu koreksi atau penyesuaian atas jumlah pajak yang terutang
bagi Wajib Pajak suatu negara yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak
negara mitra, yang dilakukan oleh otoritas pajak negara yang bersangkutan sehubungan
dengan koreksi transfer pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara mitra (primary
adjustments), sehingga alokasi keuntungan pada dua negara atau yurisdiksi tersebut
konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda.
13. Dual Residence adalah kondisi yang dihadapi oleh satu subjek pajak yang melakukan
transaksi lintas negara atau yurisdiksi pada saat yang sama dianggap menjadi subjek pajak
dalam negeri di masing-masing negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud.
Pasal 2
BAB II
TATA CARA PENGAJUAN DAN PELAKSANAAN MAP DARI WAJIB PAJAK
DALAM NEGERI INDONESIA ATAU WARGA NEGARA INDONESIA YANG
MENJADI WAJIB PAJAK DALAM NEGERI NEGARA MITRA P3B
Pasal 3
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
dilakukan antara lain dalam hal:
a. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan pajak atau akan dikenakan pajak karena
melakukan praktik transfer pricing sehubungan adanya transaksi dengan Wajib Pajak
Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa;
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan P3B sehubungan dengan keberadaan atau penghasilan bentuk usaha tetap
yang dimiliki oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia di Negara Mitra P3B;
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia menganggap bahwa tindakan Negara Mitra P3B
mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan
ketentuan P3B sehubungan dengan pemotongan pajak di Negara Mitra P3B; atau
d. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang juga merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri
Negara Mitra P3B meminta pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP untuk
menentukan status dirinya sebagai Wajib Pajak dalam negeri dari salah satu negara
tersebut.
(2) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
dilakukan dalam hal Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri
Negara Mitra P3B dikenakan atau akan dikenakan pajak di Negara Mitra P3B yang lebih
berat dibandingkan dengan yang dikenakan oleh Negara Mitra P3B kepada warganegaranya
(kasus non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B yang berlaku).
(3) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan memperhatikan ketentuan dalam P3B yang berlaku.
Pasal 4
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menyampaikan
informasi sekurang-kurangnya mengenai:
a. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang mengajukan permintaan;
b. nama, Nomor Identitas Wajib Pajak, alamat, dan jenis usaha Wajib Pajak di Negara
Mitra P3B yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak yang mengajukan
permintaan, khusus dalam hal terkait dengan transaksi transfer pricing;
c. tindakan yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B atau
otoritas pajak Negara Mitra P3B, yang telah dianggap tidak sesuai dengan ketentuan
P3B oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
d. penjelasan apakah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia telah mengajukan atau akan
mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, permohonan banding kepada badan
peradilan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan
pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27 ayat
(1), atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, atas hal-hal yang dimintakan
MAP;
e. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia;
f. penjelasan mengenai transaksi yang telah dilakukan koreksi oleh otoritas pajak Negara
Mitra P3B, yang meliputi substansi transaksi, nilai koreksi, dan dasar dilakukannya
koreksi;
g. pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan dengan koreksi yang telah
dilakukan oleh otoritas Negara Mitra P3B Indonesia;
h. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut
atas permintaan untuk melaksanakan MAP yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia;
i. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor
pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia yang mengajukan permintaan MAP; dan
j. ketentuan dalam P3B yang menurut Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak
diterapkan secara benar dan pendapat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atas
penerapan dari ketentuan P3B tersebut, apabila permintaan MAP berkaitan dengan
penerapan ketentuan P3B yang tidak semestinya.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia atau wakilnya yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang
KUP, dan dalam hal ditandatangani oleh kuasa, wajib dilampiri surat kuasa khusus.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-
dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B
yang berlaku, yang dihitung setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia dikenakan atau
akan dikenakan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
(4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib meneliti kelengkapan permintaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan melengkapi dengan dokumen-dokumen perpajakan yang
terkait yang terdapat dalam administrasi Kantor Pelayanan Pajak, untuk selanjutnya
diteruskan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II paling lama dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima lengkap.
(5) Dalam hal permintaan MAP disampaikan tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak
memberikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak paling lama dalam jangka waktu 15
(lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk melaksanakan MAP diterima, yang
menyatakan bahwa permintaan untuk melaksanakan MAP tidak lengkap dan meminta
Wajib Pajak untuk melengkapi hal-hal yang belum lengkap.
(6) Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti dan mempertimbangkan permintaan untuk
melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diproses lebih lanjut
untuk dikonsultasikan dengan Pejabat yang Berwenang di Negara Mitra P3B, Direktur
Peraturan Perpajakan II mengirimkan permintaan MAP secara tertulis kepada Pejabat yang
Berwenang di Negara Mitra P3B.
(8) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan
untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
a. permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah melewati batas
waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
b. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut
permohonan keberatan dimaksud; atau
c. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia mengajukan permohonan banding kepada badan
peradilan pajak atas permasalahan yang dimintakan MAP dan tidak mencabut
permohonan Banding dimaksud;
paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak permintaan untuk
melaksanakan MAP diterima dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau sejak diketahui Wajib
Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur Jenderal
Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
(9) Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia, termasuk meminta dokumen-dokumen pendukung dan
informasi yang diperlukan, serta dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain,
unit pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 5
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
disampaikan dengan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak c.q.
Direktur Peraturan Perpajakan II dengan menyampaikan informasi sekurang-kurangnya
mengenai:
a. nama, alamat, dan kegiatan usaha Warga Negara Indonesia yang mengajukan
permintaan;
b. tindakan atau pengenaan pajak yang telah dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra
P3B yang dianggap lebih berat dibandingkan dengan tindakan atau pengenaan pajak
yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B dimaksud kepada warga
negaranya sendiri;
c. Tahun Pajak sehubungan dengan permintaan yang dilakukan;
d. pihak yang dapat dihubungi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka tindak lanjut
atas permohonan yang telah disampaikan oleh yang bersangkutan; dan
e. nama kantor pajak Negara Mitra P3B, jika memungkinkan nama unit vertikal kantor
pajak Negara Mitra P3B yang terkait dalam hal diketahui oleh yang bersangkutan.
(2) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen-
dokumen pendukung dan disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam P3B
yang berlaku, yang dihitung setelah yang bersangkutan dikenakan atau akan dikenakan
pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B.
Pasal 6
(1) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang mengajukan permintaan untuk
melaksanakan MAP juga mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak
dapat memproses pengajuan permintaan MAP.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya
keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan
surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama
dimaksud dituangkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan
pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada
Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak, Direktur
Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan memberitahukan secara tertulis kepada
Wajib Pajak, paling lama dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kalender sejak diketahui
Wajib Pajak yang bersangkutan mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak.
Pasal 7
(1) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan
konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti
permintaan MAP yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga
Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B.
(2) Sebelum dicapainya Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak terlebih dahulu
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
atau Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra
P3B mengenai isi rancangan Persetujuan Bersama untuk memperoleh konfirmasi bahwa
yang bersangkutan dapat menerima isi rancangan Persetujuan Bersama.
(3) Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B
setelah Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau Warga Negara Indonesia yang telah
menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B memberikan konfirmasi bahwa yang
bersangkutan dapat menerima kesepakatan dimaksud.
(4) Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diberikan paling lama dalam jangka
waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat
2 disampaikan.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang
di Indonesia sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan
Pembetulan, dan Surat Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat
ketetapan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau
pembatalan atas surat ketetapan pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(6) Direktur Jenderal Pajak menyampaikan Persetujuan Bersama kepada Wajib Pajak secara
tertulis.
Pasal 8
Pasal 9
Tata Cara Pengajuan dan Pelaksanaan MAP dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia atau
Warga Negara Indonesia yang Menjadi Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang
merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan.
BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERMINTAAN MAP
DARI NEGARA MITRA P3B
Pasal 10
(1) Permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
dilakukan antara lain dalam hal:
a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas Wajib Pajak Luar
Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan dalam P3B;
b. terjadi koreksi Transfer Pricing di Indonesia atas Wajib Pajak Luar Negeri yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
c. Negara Mitra P3B meminta dilakukan Corresponding Adjustments sehubungan dengan
koreksi Transfer Pricing yang dilakukan otoritas Pajak negara yang bersangkutan atas
Wajib Pajak dalam negerinya yang melakukan transaksi hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia;
d. terjadi pemotongan pajak oleh Wajib Pajak di Indonesia sehubungan dengan
penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan
ketentuan dalam P3B; atau
e. penentuan negara domisili dari Wajib Pajak yang mempunyai status sebagai Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia dan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B (Dual
Residence).
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak permintaan MAP yang diajukan oleh Negara Mitra
P3B yang berkaitan dengan koreksi transfer pricing yang dilakukan oleh Negara Mitra P3B
yang bersangkutan, dalam hal tidak terdapat ketentuan mengenai Corresponding
Adjustments dalam P3B Indonesia yang berlaku.
Pasal 11
(1) Direktur Jenderal Pajak c.q. Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan permintaan
untuk melaksanakan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c kepada Kepala
Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait dengan permintaan dimaksud
terdaftar.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi informasi mengenai:
a. nama Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. tanggal diterimanya permintaan MAP;
c. nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan alamat bentuk usaha tetap atau Wajib Pajak
dalam negeri yang terkait;
d. nama dan alamat Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B yang terlibat, dalam hal
terjadi kasus transfer pricing; dan
e. nama dan alamat Wajib Pajak terkait serta Tahun Pajak yang akan dibahas dalam kasus
Dual Residence.
Pasal 12
(1) Direktur Jenderal Pajak menolak permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf c untuk permintaan MAP sehubungan dengan Corresponding Adjusments dalam hal
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait tidak mengajukan permintaan MAP
kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II atas nama Direktur Jenderal Pajak meminta pernyataan
secara tertulis dari Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia untuk memastikan bahwa yang
bersangkutan tidak mengajukan permintaan MAP.
Pasal 13
Dalam hal pokok permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah pemotongan atau pemungutan
Pajak Penghasilan oleh Wajib Pajak di Indonesia yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan
P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan secara tertulis kepada Wajib Pajak
dimaksud mengenai permintaan MAP dari Negara Mitra P3B dan dapat meminta penjelasan
mengenai dasar pemotongan atau pemungutan pajak, substansi transaksi, dan meminta
dokumen yang diperlukan melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
Pasal 14
Dalam menindaklanjuti permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, Direktur
Peraturan Perpajakan II dapat meminta informasi atau bantuan dari direktorat lain, unit
pelaksana teknis dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Pasal 15
(1) Dalam hal permintaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c terkait dengan
bentuk usaha tetap di Indonesia dan bentuk usaha tetap dimaksud juga mengajukan
permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (1) huruf b
Undang-Undang KUP, Direktur Jenderal Pajak dapat melaksanakan MAP dan memproses
permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan, atau pembatalan surat ketetapan
pajak.
(2) Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama sebelum dikeluarkannya
keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan
surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Persetujuan Bersama
dimaksud dituangkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan
pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak.
(3) Dalam hal pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak
yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP mengajukan permohonan
keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan
peradilan pajak, Direktur Jenderal Pajak menghentikan pelaksanaan MAP dan
memberitahukan secara tertulis kepada Negara Mitra P3B yang mengajukan permintaan
MAP.
Pasal 16
(1) Dalam hal dipandang perlu atau atas permintaan Negara Mitra P3B Indonesia, Direktorat
Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang
dari Negara Mitra P3B yang bersangkutan untuk menindaklanjuti permohonan MAP yang
dilakukan oleh negara mitra dimaksud.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menyepakati Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra
P3B, Direktur Peraturan Perpajakan II segera menyampaikan pemberitahuan secara tertulis
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak yang terkait terdaftar.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak segera menyampaikan Persetujuan Bersama secara tertulis
kepada Wajib Pajak terkait.
(4) Dalam hal Persetujuan Bersama mengakibatkan perubahan besarnya pajak yang terutang
di Indonesia dalam surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat
Keputusan Pengurangan atau Surat Keputusan Pembatalan surat ketetapan pajak, Direktur
Jenderal Pajak melakukan pembetulan, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan
pajak atau surat keputusan dimaksud sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(5) Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan dengan pemotongan atau pemungutan Pajak
Penghasilan di Indonesia, tindak lanjutnya dapat dilakukan berdasarkan prosedur atau tata
cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menolak atau menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
a. permintaan MAP disampaikan oleh Negara Mitra P3B setelah batas waktu pelaksanaan
MAP sebagaimana ditetapkan dalam P3B;
b. pokok permohonan yang diajukan oleh Negara Mitra P3B tidak termasuk ke dalam
ruang lingkup MAP sebagaimana diatur dalam P3B yang berlaku;
c. Negara Mitra P3B membatalkan permintaan MAP;
d. permintaan melaksanakan MAP terkait dengan bentuk usaha tetap di Indonesia dan
bentuk usaha tetap dimaksud mengajukan permohonan keberatan kepada Direktur
Jenderal Pajak atau permohonan banding kepada badan peradilan pajak;
e. Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan MAP sehubungan
dengan koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak Negara Mitra P3B
atas Wajib Pajak Dalam Negerinya, tidak mengajukan permohonan MAP;
f. Wajib Pajak yang diterbitkan surat ketetapan pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak yang
menjadi fokus dari permintaan MAP tidak memberikan seluruh dokumen yang
diperlukan;
g. Direktorat Jenderal Pajak tidak mungkin untuk mengumpulkan dokumen-dokumen yang
diperlukan untuk melaksanakan konsultasi dalam rangka MAP karena telah terlewatinya
waktu yang lama setelah penerbitan surat ketetapan pajak di Indonesia; atau
h. terdapat indikasi kuat bahwa pelaksanaan konsultasi dalam rangka MAP tidak akan
menghasilkan keputusan yang tepat.
(2) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak dan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B
bersepakat untuk menghentikan pelaksanaan MAP, Direktur Peraturan Perpajakan II
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak terkait.
Pasal 18
Tata Cara Penanganan Permintaan MAP dari Negara Mitra P3B adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu bagian yang
tidak terpisahkan.
BAB IV
PELAKSANAAN MAP ATAS INISIATIF DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 19
Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d tanpa berdasarkan permintaan dari Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atau dari Negara Mitra P3B, untuk:
a. meninjau ulang (me-review) Persetujuan Bersama yang telah disepakati sebelumnya karena
terdapat indikasi ketidakbenaran informasi atau dokumen yang diajukan oleh Wajib Pajak
Dalam Negeri Indonesia maupun Negara Mitra P3B;
b. meminta dilakukan Corresponding Adjustments atas koreksi Transfer Pricing yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia sehubungan
dengan transaksi hubungan istimewa dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B;
c. membuat penafsiran atas suatu ketentuan tertentu dalam P3B yang diperlukan dalam
pelaksanaan P3B yang bersangkutan; atau
d. melaksanakan hal-hal lain yang diperlukan dalam rangka melaksanakan ketentuan P3B.
Pasal 20
Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta dokumen dan/atau informasi tambahan yang
terkait dengan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, dari Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia atau melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
tersebut terdaftar.
Pasal 21
(1) Dalam hal Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan untuk melaksanakan MAP
kepada Negara Mitra P3B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 yang berkaitan dengan
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II memberitahukan
secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia yang terkait mengenai:
a. tanggal pengajuan permintaan untuk melaksanakan MAP;
b. nama Negara Mitra P3B yang terkait;
c. pokok-pokok yang diajukan dalam surat permintaan MAP;
d. argumentasi pengajuan permintaan MAP; dan
e. informasi lain yang diperlukan.
(2) Dalam hal dipandang perlu, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pertemuan
konsultasi dengan Pejabat yang Berwenang dari Negara Mitra P3B untuk menindaklanjuti
MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(3) Dalam hal tercapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B yang berkaitan dengan
Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan
Persetujuan Bersama secara tertulis kepada Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
(4) Dalam hal pelaksanaan MAP yang berkaitan dengan Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia
dihentikan tanpa menghasilkan Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B, Direktur
Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan penghentian MAP kepada Wajib
Pajak Dalam Negeri Indonesia terkait.
Pasal 22
Tata Cara Pelaksanaan MAP atas Inisiatif Direktur Jenderal Pajak adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang merupakan satu
bagian yang tidak terpisahkan.
BAB V
PELAKSANAAN KONSULTASI DALAM RANGKA MAP
Pasal 23
(1) Pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 ayat (1), Pasal 16 ayat (1), dan Pasal 21 ayat (2) dilakukan oleh Direktorat Peraturan
Perpajakan II atau oleh Tim Pelaksana/Delegasi Perunding yang dibentuk oleh Direktur
Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan masukan dari Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Direktur Peraturan Perpajakan II memberi masukan kepada Direktur Jenderal Pajak
mengenai direktorat, unit pelaksana teknis, dan/atau unit vertikal di lingkungan Direktorat
Jenderal Pajak yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam pelaksanaan
MAP untuk menjadi bagian dari Tim Pelaksana/Delegasi Perunding.
(3) Direktorat Peraturan Perpajakan II atau Tim Pelaksana/Delegasi Perunding menyiapkan
posisi Direktorat Jenderal Pajak dalam pelaksanaan MAP dan melaksanakan MAP sesuai
dengan posisi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 24
(1) Dalam hal permintaan untuk melaksanakan MAP terkait dengan koreksi transfer pricing,
Direktur Jenderal Pajak dapat membentuk Tim Khusus yang mempunyai tugas menyiapkan
posisi (position paper) Direktorat Jenderal Pajak, melakukan koordinasi serta supervisi atas
unit-unit yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP yang terkait dengan
koreksi transfer pricing, dan menjadi anggota delegasi perunding dalam pelaksanaan
pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(2) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari perwakilan Direktorat
Peraturan Perpajakan II, Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, dan unit pelaksana
pemeriksaan yang terkait dengan koreksi transfer pricing yang akan dibahas dalam
pelaksanaan pertemuan konsultasi dalam rangka MAP.
(3) Tim Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meminta data, informasi atau
dokumen yang diperlukan terkait dengan koreksi transfer pricing kepada Wajib Pajak Dalam
Negeri Indonesia yang terkait dengan permintaan untuk melaksanakan MAP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak Dalam Negeri Indonesia tidak memenuhi seluruh permintaan data,
informasi atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak
dapat menghentikan pelaksanaan MAP tersebut.
Pasal 25
Direktur Jenderal Pajak mengembalikan dokumen Wajib Pajak yang disampaikan dalam rangka
pelaksanaan MAP dalam hal:
a. pelaksanaan MAP batal untuk dilaksanakan atau dihentikan; atau
b. telah dicapai Persetujuan Bersama dengan Negara Mitra P3B.
Pasal 26
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 3 November 2010
Direktur Jenderal,
ttd.
Mochamad Tjiptardjo
NIP 195104281975121002
Lampiran I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-48/PJ/2010
TENTANG : TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR
PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL
AGREEMENT PROCEDURE)
BERDASARKAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Wajib Pajak menyampaikan Permohonan MAP secara tertulis dengan dilampiri dokumen-
dokumen pendukung secara lengkap kepada:
a. Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar bagi Wajib Pajak Dalam Negeri
Indonesia.
b. Direktorat Peraturan Perpajakan II bagi Warga Negara Indonesia yang telah menjadi Wajib
Pajak Dalam Negeri Negara Mitra P3B sehubungan dengan ketentuan non diskriminasi
(non-discrimination) dalam P3B yang berlaku.
Lampiran II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-48/PJ/2010
TENTANG : TATA CARA PELAKSANAAN
PROSEDUR PERSETUJUAN
BERSAMA (MUTUAL
AGREEMENT PROCEDURE)
BERDASARKAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA
1. Direktur Peraturan Perpajakan II menerima dan meneliti surat permintaan MAP dari Negara
Mitra P3B kemudian menugaskan Kepala Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan
Internasional untuk memproses permohonan tersebut.
2. Kepala Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional menugaskan Kepala Seksi
Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional untuk mempertimbangkan
permohonan Wajib Pajak.
3. Kepala Seksi Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional menugaskan
pelaksana untuk meneliti dan membuat konsep/rancangan:
a. surat pemberitahuan permintaan MAP kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak dan surat permintaan penjelasan ;
b. surat pemberitahuan permintaan MAP kepada Wajib Pajak dan surat permintaan
penjelasan melalui KPP, dalam hal permintaan MAP disebabkan oleh
pemotongan/pemungutan oleh Wajib Pajak ; dan
c. Persetujuan Bersama (MAP) dalam hal tercapai persetujuan ; atau
d. surat penolakan atau penghentian pelaksanaan MAP dalam hal surat permintaan MAP
tidak dapat diproses Iebih lanjut.
4. Pelaksana Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional membuat konsep surat
pemberitahuan permintaan MAP, surat permintaan penjelasan, rancangan Persetujuan
Bersama atau konsep surat penolakan atau penghentian pelaksanaan MAP kemudian
meneruskan kepada Kepala Seksi Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional.
5. Kepala Seksi Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional meneliti dan
memaraf surat pemberitahuan permintaan MAP, surat permintaan penjelasan, Persetujuan
Bersama atau konsep surat penolakan atau penghentian pelaksanaan MAP kemudian
meneruskan kepada Kepala Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional.
6. Kasubdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional meneliti dan memaraf surat
pemberitahuan permintaan MAP, surat permintaan penjelasan, Persetujuan Bersama atau
konsep surat penolakan atau penghentian pelaksanaan MAP kemudian meneruskan kepada
Direktur Peraturan Perpajakan II.
7. Direktur Peraturan Perpajakan II menelaah dan menandatangani surat pemberitahuan
permintaan MAP, surat permintaan penjelasan, Persetujuan Bersama atau konsep surat
penolakan atau penghentian pelaksanaan MAP.
8. Pelaksana Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional menatausahakan dan
mengirimkan:
a. surat pemberitahuan permintaan MAP kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat
Wajib Pajak terdaftar atau Wajib Pajak dalam hal permintaan MAP disebabkan oleh
pemotongan/pemungutan oleh Wajib Pajak;
b. surat permintaan penjelasan;
c. Persetujuan Bersama (MAP) kepada Negara Mitra P3B dengan tembusan KPP tempat
Wajib Pajak terdaftar; atau
d. surat penolakan atau penghentian pelaksanaan MAP kepada Negara Mitra P3B
dengan tembusan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, melalui Bagian Umum (SOP
Tata Cara Penyampaian Dokumen di Kantor Pusat)
9. Proses selesai.
Catatan:
Ketentuan teknis dalam rangka menyelesaikan permohonan MAP tetap berpedoman pada
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Lampiran III
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR : PER-48/PJ/2010
TENTANG : TATA CARA PELAKSANAAN
PROSEDUR PERSETUJUAN
BERSAMA (MUTUAL
AGREEMENT PROCEDURE)
BERDASARKAN PERSETUJUAN
PENGHINDARAN PAJAK
BERGANDA
7. Kasubdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional meneliti dan memaraf surat
permintaan MAP kepada Negara Mitra P3B, surat permintaan dokumen dan/atau informasi
tambahan, Persetujuan Bersama atau surat penghentian pelaksanaan MAP kemudian
meneruskan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II.
8. Direktur Peraturan Perpajakan II menelaah dan menandatangani surat permintaan MAP
kepada Negara Mitra P3B, surat permintaan dokumen dan/atau informasi tambahan,
Persetujuan Bersama atau surat penghentian pelaksanaan MAP.
9. Pelaksana Subdit Perjanjian dan Kerjasama Perpajakan Internasional menatausahakan dan
mengirimkan:
a. surat permintaan MAP kepada Negara Mitra P3B;
b. surat permintaan dokumen dan/atau informasi tambahan;
c. Persetujuan Bersama (MAP) kepada Wajib Pajak dengan tembusan KPP tempat Wajib
Pajak terdaftar; atau
d. surat pemberitahuan penghentian MAP kepada Wajib Pajak, melalui Bagian Umum (SOP
Tata Cara Penyampaian Dokumen di Kantor Pusat).
10. Proses selesai .
Catatan:
Ketentuan teknis dalam rangka menyelesaikan permohonan MAP tetap berpedoman pada
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
TENTANG
Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (3a) Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2008, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang
Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) ;
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) Tujuan Kesepakatan Harga Transfer adalah untuk memberikan sarana kepada Wajib Pajak
guna menyelesaikan permasalahan transfer pricing.
(2) Kesepakatan Harga Transfer mencakup perjanjian tertulis antara Wajib Pajak dan Direktur
Jenderal atau antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak Negara lain yang
melibatkan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang
PPh.
(3) Ruang lingkup Kesepakatan Harga Transfer meliputi seluruh atau sebagian transaksi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa.
BAB III
TAHAPAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER
Pasal 3
(1) Tahapan-tahapan yang harus ditempuh dalam pembentukan Kesepakatan Harga Transfer
adalah:
a. pembicaraan awal (pre-lodgement meeting) antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib
Pajak yang bertujuan antara lain untuk:
1. membahas perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer;
2. memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menjelaskan penentuan
metode Penentuan harga Transfer yang diusulkannya;
3. membahas kemungkinan pembentukan Kesepakatan Harga Transfer yang
melibatkan otoritas pajak negara lain;
4. membahas dokumentasi dan analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak;
5. menyepakati rencana waktu pelaksanaan pembentukan Kesepakatan harga
Transfer; dan
6. membahas hal-hal lain yang relevan dengan pembentukan dan penerapan
Kesepakatan Harga Transfer.
b. penyampaian permohonan formal Kesepakatan Harga Transfer oleh Wajib Pajak
kepada Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pembicaraan awal sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
c. pembahasan Kesepakatan Harga Transfer antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib
Pajak;
d. penerbitan surat Kesepakatan Harga Transfer oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
e. pelaksanaan dan evaluasi Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Wajib Pajak dapat mengajukan penghentian pelaksanaan pembicaraan awal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a atau menarik permohonan formal Kesepakatan Harga
Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sebelum surat Kesepakatan Harga
Transfer diterbitkan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak beserta alasan-alasannya.
BAB IV
PEMBICARAAN AWAL
Pasal 4
(1) Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak
melalui Direktur Peraturan Perpajakan II dengan tembusan kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak domisili untuk melakukan pembicaraan awal sebagaimana tercantum
dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dengan menggunakan Formulir APA-1 sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dilengkapi dengan
dokumen pendukung.
(2) Yang dimaksud dengan Kantor Pelayanan Pajak Domisili adalah Kantor Pelayanan Pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau domisili Wajib Pajak orang pribadi
terdaftar atau tempat kedudukan Wajib Pajak badan terdaftar.
(3) Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. akta pendirian dan perubahan Wajib Pajak, atau sejenisnya;
b. penjelasan rinci mengenai kegiatan dan usaha Wajib Pajak;
c. struktur perusahaan yang meliputi antara lain struktur kelompok usaha, struktur
kepemilikan dan struktur organisasi;
d. penjelasan rinci mengenai pemegang saham dan penjelasan rinci mengenai transaksi
yang dilakukan oleh pemegang saham dengan Wajib Pajak;
e. penjelasan rinci mengenai pihak-pihak lainnya yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan Wajib Pajak dan penjelasan rinci mengenai transaksi yang dilakukan pihak-
pihak lain tersebut dengan Wajib Pajak;
f. transaksi yang diusulkan untuk dibahas dan dicakup dalam Kesepakatan Harga
Transfer dan penjelasan rinci mengenai transaksi tersebut;
g. metode Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak dan dokumentasi
yang dilakukan oleh Wajib Pajak mengenai Analisis Kesebandingan, analisis fungsional,
pemilihan dan penentuan pembanding, dan penentuan metode Harga Transfer;
h. penjelasan rinci mengenai situasi atau keadaan dalam kegiatan atau usaha Wajib Pajak
yang perubahannya dapat mempengaruhi secara material kesesuaian metode
Penentuan Harga Transfer Wajib Pajak;
i. penjelasan rinci mengenai sistem akuntansi, proses produksi, dan proses pembuatan
keputusan;
j. penjelasan rinci mengenai pihak lain yang menjadi pesaing yang mempunyai jenis
kegiatan atau usaha atau produk yang sama atau sejenis dengan Wajib Pajak,
termasuk penjelasan mengenai karakteristik dan pangsa pasar pesaing;
k. fotokopi Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan Laporan Keuangan
Wajib Pajak yang telah diaudit Akuntan Publik selama 3 (tiga) tahun terakhir;
l. dokumen lain yang dianggap oleh Wajib Pajak relevan untuk disampaikan.
Pasal 5
Surat Kuasa Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Undang-Undang KUP dalam hal
permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak.
Pasal 6
(1) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak melakukan evaluasi dan menentukan jadwal untuk pembicaraan awal
dengan Wajib Pajak.
(2) Pembicaraan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan lebih dari satu
kali.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan kepada Wajib Pajak dan/atau
melakukan peninjauan ke tempat kegiatan usaha Wajib Pajak untuk melengkapi data atau
informasi yang diperlukan.
Pasal 7
Pelaksanaan pembicaraan awal tidak mengikat Direktur Jenderal Pajak atau Wajib Pajak untuk
membuat Kesepakatan Harga Transfer.
Pasal 8
(1) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan Wajib Pajak
secara lengkap, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak
tentang persetujuan atau penolakan untuk membahas lebih lanjut tentang Kesepakatan
Harga Transfer.
(2) Dengan diterbitkannya penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Wajib Pajak tidak dapat meminta untuk meneruskan pembahasan ke tahap selanjutnya.
(3) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan baru sebagaimana dimaksud dalam pasal 4
atas permohonan yang telah diterbitkan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB V
PENYAMPAIAN PERMOHONAN FORMAL
Pasal 9
(1) Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
Wajib Pajak dapat menyampaikan permohonan formal untuk membentuk Kesepakatan
Harga Transfer kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II.
(2) Permohonan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan dengan menggunakan
Formulir APA-2 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal
Pajak ini yang harus dilengkapi dengan dokumen pendukung.
(3) Dokumen-dokumen serta penjelasan yang diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi:
a. penjelasan mengenai ikhtisar hasil pembicaraan awal yang telah dilakukan sebelumnya
antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak;
b. penjelasan rinci mengenai metode Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh
Wajib Pajak, termasuk dokumentasi yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak;
c. penjelasan rinci mengenai kondisi yang membentuk metode Penentuan Harga Transfer;
d. penjelasan rinci dan dokumentasi yang menunjukkan bahwa penerapan metode
Penentuan Harga Transfer yang diusulkan oleh Wajib Pajak memenuhi Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha; dan
e. penjelasan rinci mengenai analisis asumsi kritikal (critical assumptions).
(4) Yang dimaksud dengan asumsi kritikal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e antara
lain:
a. perubahan ketentuan perundang-undangan perpajakan dan aturan pelaksanaannya;
b. perubahan tarif dan bea masuk;
c. perubahan ketentuan perundang-undangan di bidang usaha yang terkait;
d. peristiwa di luar kekuasaan dan kendali manusia/perusahaan (force majeur);
e. munculnya pesaing baru yang mempengaruhi struktur harga pasar secara signifikan;
f. keluarnya kebijakan pemerintah yang dapat mempengaruhi kegiatan Wajib Pajak;
g. perubahan kondisi ekonomi yang dapat mempengaruhi volume penjualan, unit
produksi, atau pangsa pasar secara signifikan;
h. perubahan kegiatan usaha Wajib Pajak, seperti restrukturisasi perusahaan; atau
i. perubahan nilai tukar mata uang yang signifikan.
BAB VI
PEMBAHASAN KESEPAKATAN HARGA TRANSFER
Pasal 10
(1) Berdasarkan permohonan formal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1), Direktur Jenderal Pajak melakukan pembahasan Kesepakatan Harga Transfer pada
waktu yang telah disepakati bersama antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
(2) Pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
antara lain:
a. ruang lingkup transaksi dan Tahun Pajak yang akan dicakup oleh Kesepakatan Harga
Transfer;
b. Analisis Kesebandingan, pemilihan dan penentuan data pembanding;
c. penentuan metode Penentuan Harga Transfer yang tepat;
d. kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan metode Penentuan Harga
Transfer; dan
e. perlu atau tidaknya diadakan Kesepakatan Harga Transfer dengan negara/jurisdiksi
lain.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Wajib Pajak untuk memberikan data dan informasi
lain yang diperlukan selama pelaksanaan pembahasan Kesepakatan Harga Transfer.
Pasal 11
(1) Dalam hal Wajib Pajak menganggap bahwa Kesepakatan Harga Transfer dapat
menyebabkan terjadinya pengenaan pajak berganda, Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengadakan Prosedur
Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure/MAP) dengan otoritas pajak dari
negara/jurisdiksi mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pembahasan Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
tetap dilanjutkan.
(3) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
berdasarkan PER-48/PJ/2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan
Bersama (Mutual Agreement Procedure) Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda.
Pasal 12
(1) Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga)
Tahun Pajak yang dihitung sejak Tahun Pajak saat Kesepakatan Harga Transfer disepakati.
(2) Kesepakatan Harga Transfer dapat diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum Kesepakatan
Harga Transfer disepakati sepanjang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud:
a. belum pernah dilakukan pemeriksaan;
b. belum pernah diajukan Keberatan atau Banding oleh Wajib Pajak; dan
c. tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Kesepakatan Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak mengenai Tahun Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dituangkan secara jelas dan tegas di dalam
Kesepakatan Harga Transfer.
BAB VII
NASKAH KESEPAKATAN HARGA TRANSFER
Pasal 13
(1) Berdasarkan kesepakatan yang dicapai dalam pembahasan Kesepakatan Harga Transfer
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak menyusun
naskah Kesepakatan Harga Transfer.
(2) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
sekurang-kurangnya:
a. nama, NPWP, serta alamat perusahaan yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan
Wajib Pajak yang terkait dengan Kesepakatan Harga Transfer;
b. ruang lingkup transaksi yang dicakup;
c. Tahun Pajak yang dicakup;
d. ketentuan umum yang digunakan dalam Kesepakatan Harga Transfer;
e. metode Penentuan Harga Transfer yang disepakati;
f. faktor-faktor yang mempengaruhi asumsi kritikal (critical assumptions) penerapan
metode Penentuan Harga Transfer;
g. Harga Wajar atau Laba Wajar, atau Rentang Harga Wajar atau rentang Laba Wajar
untuk setiap jenis barang/jasa atau transaksi yang dicakup;
h. kewajiban yang harus dilaksanakan dalam penerapan Kesepakatan Harga Transfer dan
kewajiban pelaporan;
i. konsekuensi hukum;
j. kerahasiaan informasi;
k. peninjauan kembali dan pembatasan; dan
l. mekanisme penyelesaian masalah yang timbul dalam penerapan;
(3) Naskah Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat
dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja setelah pembahasan Kesepakatan Harga
Transfer diselesaikan dan ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
BAB VIII
PELAKSANAAN DAN EVALUASI KESEPAKATAN HARGA TRANSFER
Pasal 14
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) mengikat Direktur
Jenderal Pajak dan Wajib Pajak.
Pasal 15
(1) Transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa yang telah mengikuti atau memenuhi kriteria-kriteria yang telah disepakati dalam
Kesepakatan Harga Wajar antara Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, dianggap telah
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(2) Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer akan diberlakukan untuk Tahun Pajak sebelum
disepakatinya Kesepakatan Harga Transfer dan Surat Pemberitahuan yang dilaporkan oleh
Wajib Pajak untuk Tahun Pajak dimaksud belum mencerminkan hasil Kesepakatan Harga
Transfer, Wajib Pajak dapat melakukan penyesuaian (compensating adjustment) dengan
membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(3) Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan Surat
Pemberitahuan menjadi lebih bayar, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
(4) Dalam hal penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyebabkan Surat
Pemberitahuan menjadi kurang bayar, sanksi administrasi dikenakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku atas kekurangan pembayaran
pajak dimaksud.
Pasal 16
(1) Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan tahunan (annual compliance report) yang
menggambarkan kesesuaian pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer dalam kegiatan atau
usaha Wajib Pajak kepada Kepala KPP Domisili paling lambat 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. kepatuhan Wajib Pajak menerapkan metode Penentuan Harga Transfer dalam transaksi
yang dicakup dalam Kesepakatan Harga Transfer;
Pasal 17
(1) Direktur Jenderal Pajak melakukan evaluasi atas penerapan Kesepakatan Harga Transfer
oleh Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau kembali atau membatalkan Kesepakatan Harga
Transfer dalam hal:
a. Wajib Pajak tidak mematuhi Kesepakatan Harga Transfer;
b. Wajib Pajak menyampaikan data/informasi yang tidak benar kepada Direktur Jenderal
Pajak;
c. Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 ayat (1) atau menyampaikan laporan tahunan namun tidak memenuhi ketentuan
dalam Pasal 16 ayat (2);
d. terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi (critical assumptions) penerapan
metode Penentuan Harga Transfer; atau
e. ditemukan fakta bahwa Kesepakatan Harga Transfer memuat kesalahan;
f. Wajib Pajak telah melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
(3) Kondisi yang menyebabkan Direktur Jenderal Pajak dapat meninjau atau membatalkan
Kesepakatan Harga Transfer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kondisi lainnya
harus dicantumkan dalam Kesepakatan Harga Transfer.
(4) Dalam hal terjadi pembatalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Direktur Jenderal
Pajak akan memberitahukan pembatalan dimaksud kepada Wajib Pajak secara tertulis.
Pasal 18
(1) Kesepakatan Harga Transfer tidak menghalangi Direktur Jenderal Pajak melaksanakan
pemeriksaan pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku.
(2) Dalam hal Kesepakatan Harga Transfer diberlakukan untuk transaksi antara Wajib Pajak
dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa di dalam negeri (domestic transfer
pricing), maka penyesuaian (secondary adjustment) pada Wajib Pajak dalam negeri lainnya
dapat dilakukan dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 19
(1) Buku, catatan, dokumen, atau informasi yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam
pembentukan Kesepakatan Harga Transfer merupakan kerahasiaan Wajib Pajak yang tidak
dapat diungkapkan kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009.
(2) Dalam hal proses pembentukan Kesepakatan Harga Transfer tidak mencapai kesepakatan
atau Kesekapatan Harga Transfer yang telah disepakati dibatalkan, buku, catatan,
dokumen, atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib
Pajak dan tidak digunakan sebagai dasar untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan
pajak.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 20
Pembentukan Kesepakatan Harga Transfer dilaksanakan oleh Tim yang dibentuk berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 21
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 31 Desember 2010
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP 195104281975121002
Lampiran I
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR: PER-69/PJ/2010 TANGGAL: 31 DESEMBER 2010
TENTANG: KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCED PRICING AGREEMENT)
KOP SURAT
Nomor : ....................................... 1)
Hal : Usulan Pengajuan APA
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- /PJ./2001 tanggal
..................... 2000 tentang Pedoman Pembuatan Perjanjian Penentuan Harga Transaksi
(Advance Pricing Agreement) Unilateral dan Bilateral, terlampir kami sampaikan dokumen-
dokumen yang diperlukan sebagai berikut:
1. ......................................................................................................
2. ......................................................................................................
3. ......................................................................................................9)
dst.
Demikian untuk dapat dimaklumi.
..................................., ..................................... 10)
......................................................................... 11)
FORM APA-1
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT USULAN PENGAJUAN APA
(FORM APA-01)
Angka 1 : Diisi dengan nomor surat Wajib Pajak sesuai dengan sistem penomoran
Wajib Pajak
Angka 2 : Diisi dengan nama orang (pengurus) yang ditunjuk untuk melaksanakan
APA
Angka 3 : Diisi dengan alamat orang (pengurus) yang ditunjuk untuk melaksanakan
APA
Angka 4 : Diisi dengan jabatan orang (pengurus) yang ditunjuk untuk melaksanakan
APA
Angka 5 : Diisi dengan nama Wajib Pajak yang akan melaksanakan APA
Angka 6 : Diisi dengan alamat Wajib Pajak yang akan melaksanakan APA
Angka 7 : Diisi dengan NPWP yang akan melaksanakan APA
Angka 8 : Diisi dengan alasan-alasan pengajuan APA
Angka 9 : Diisi dengan dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam surat
Angka 10 : Diisi dengan tempat dan tanggal pembuatan surat
Angka 11 : Diisi dengan tanda tangan, nama dan cap Wajib Pajak
Lampiran II
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR: PER-69/PJ/2010 TANGGAL: 31 DESEMBER 2010
TENTANG: KESEPAKATAN HARGA TRANSFER (ADVANCED PRICING AGREEMENT)
KOP SURAT
Nomor : ....................................... 1)
Hal : Pengajuan APA
..................................., ..................................... 8)
......................................................................... 9)
FORM APA2
PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PENGAJUAN APA
(FORM APA-2)
Angka 1 : Diisi dengan nomor surat Wajib Pajak sesuai dengan sistem penomoran
Wajib Pajak
Angka 2 : Diisi dengan nama orang (pengurus) yang ditunjuk untuk melaksanakan
APA
Angka 3 : Diisi dengan alamat orang (pengurus) yang ditunjuk untuk melaksanakan
APA
Angka 4 : Diisi dengan jabatan orang (pengurus) yang ditunjuk untuk melaksanakan
APA
Angka 5 : Diisi dengan nama Wajib Pajak yang akan melaksanakan APA
Angka 6 : Diisi dengan alamat Wajib Pajak yang akan melaksanakan APA
Angka 7 : Diisi dengan NPWP yang akan melaksanakan APA
Angka 8 : Diisi dengan tempat dan tanggal pembuatan surat
Angka 9 : Diisi dengan tanda tangan, nama dan cap Wajib Pajak
TENTANG
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133; Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
6. Pertukaran Informasi ke Luar Negeri adalah pertukaran informasi perpajakan yang dikirim
oleh Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B;
7. Pertukaran Informasi atas Permintaan adalah pertukaran informasi berdasarkan permintaan
dari Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B atau sebaliknya yang terkait dengan
pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak terhadap kewajiban perpajakan Wajib Pajak
tertentu pada tahun tertentu pajak tertentu atau informasi perpajakan lainnya;
8. Pertukaran Informasi Secara Otomatis atau Rutin adalah pertukaran informasi yang
dilakukan secara otomatis dan rutin mengenai berbagai jenis penghasilan yang diterima
oleh Wajib Pajak berupa dividen, bunga, royalti, gaji, pensiun, dan penghasilan lainnya
yang dikirimkan secara sistematik dan periodik oleh CA negara tempat pemberi penghasilan
atau negara sumber kepada CA negara tempat penerima penghasilan berkedudukan atau
bertempat tinggal atau negara domisili;
9. Pertukaran Informasi Secara Spontan adalah pertukaran informasi yang dilakukan secara
spontan dari Pemerintah Indonesia kepada Negara Mitra P3B atau sebaliknya yang mana
informasi tersebut didapat dari hasil pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak dari
negara pengirim informasi;
10. Unit Pemanfaat Informasi adalah unit DJP yang membutuhkan atau menerima informasi
atau data untuk pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak terhadap kewajiban
perpajakan Wajib Pajak atau informasi perpajakan lainnya.
Pasal 2
(1) Pertukaran informasi atau data mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah
perpajakan antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Negara Mitra P3B dapat
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui Direktur Peraturan Perpajakan II;
(2) Pertukaran informasi dengan Negara Mitra P3B dapat dilakukan oleh setiap unit Direktorat
Jenderal Pajak dalam hal:
a. sedang dilakukan penelitian, pemeriksaan, penyidikan, dan penelaahan atas
permohonan keberatan Wajib Pajak yang terkait dengan transaksi internasional;
b. adanya dugaan bahwa transaksi tersebut dilaksanakan untuk menghindari pengenaan
pajak di Indonesia atau hanya untuk memanfaatkan fasilitas P3B;
(3) Setiap informasi dan data yang dipertukarkan wajib diperlakukan secara rahasia dan hanya
diungkapkan kepada orang atau badan yang berwenang dan terkait sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan ketentuan dalam P3B terkait.
BAB II
PERMINTAAN PERTUKARAN INFORMASI
Pasal 3
Permintaan Pertukaran Informasi Kepada Negara Mitra P3B
Prosedur yang wajib dilakukan dalam melaksanakan Permintaan Pertukaran Informasi kepada
Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut:
a. Unit DJP yang membutuhkan informasi dari Negara Mitra P3B mengirimkan surat
permintaan untuk mendapatkan informasi sesuai dengan kebutuhan kepada Direktur
Peraturan Perpajakan II;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari permintaan informasi tersebut dan dalam hal
informasi yang dminta telah sesuai dan memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan
sebagaimana dimaksud dengan Pasal 4 maka dipersiapkan konsep surat Permintaan
Informasi kepada Negara Mitra P3B paling lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak
surat permintaan diterima;
c. Dalam hal Negara Mitra P3B mengirim jawaban atas Permintaan Informasi tersebut,
Direktur Peraturan Perpajakan II akan meneruskan jawaban dari Negara Mitra P3B tersebut
kepada Unit DJP yang meminta informasi paling lambat 14 (empat belas hari) kerja
semenjak jawaban diterima;
d. Unit DJP wajib melaporkan hasil pemanfaatan informasi tersebut kepada Direktur Peraturan
Perpajakan II;
e. Direktur Peraturan Perpajakan II membuat surat berisi feedback atas informasi yang
diterima dan mengirimnya kepada Negara Mitra P3B pengirim informasi.
Pasal 4
Informasi atau data - data yang harus dicantumkan oleh Unit DJP yang mengajukan
Permintaan Informasi kepada Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut:
a. Identitas Wajib Pajak dalam negeri yang sedang diperiksa atau disidik, yaitu: nama Wajib
Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan alamat Wajib Pajak ternasuk email atau
alamat internet bila diketahui;
b. Identitas Wajib Pajak atau entitas luar negeri yang dimintakan informasinya, yaitu nama
Wajib Pajak, Tax Identification Number (TIN), dan alamat Wajib Pajak termasuk email atau
alamat internet bila diketahui, nomor registrasi perusahaan bila diketahui, hubungan Wajib
Pajak luar negeri tersebut dengan Wajib Pajak dalam negeri yang sedang diperiksa atau
disidik, bagan atau diagram organisasi bila diketahui, atau dokumen lain yang menjelaskan
hubungan antara pihak-pihak yang terlibat;
c. Dalam hal informasi yang diminta menyangkut pembayaran atau transaksi melalui
perantara, cantumkan nama, alamat, dan Tax Identification Number (TIN) perantara
dimaksud termasuk nama bank, alamat bank, serta nomor rekening bank dalam hal
informasi bank diperlukan;
d. Latar belakang yang relevan termasuk tujuan dalam bidang perpajakan atas informasi yang
diminta, alasan meminta informasi, hal-hal yang dicurigai, dan hal-hal yang mendasari
pemohon meyakini bahwa informasi dimaksud dimiliki atau merupakan wewenang pihak
dalam yuridis negara mitra yang dimintakan informasi;
e. Informasi yang diminta serta alasan diperlukannya informasi tersebut bagi unit instansi
yang membutuhkan informasi;
f. Identifikasikan pula informasi yang relevan yang dimiliki oleh unit instansi yang
membutuhkan informasi (misalnya fotokopi faktur, kontrak, dan sebagainya);
g. Jenis pajak yang dipertanyakan, periode pemeriksaan pajak dan periode pajak atas
informasi yang diminta;
h. Kesegeraan jawaban dengan menyebutkan alasan permintaan informasi ini perlu segera
dijawab;
i. Cantumkan tanggal kadaluarsa saat informasi tersebut tidak dapat lagi digunakan.
Pasal 5
Permintaan Pertukaran Informasi ke Dalam Negeri
Prosedur yang wajib dilakukan dalam menjawab Permintaan Pertukaran Informasi ke Dalam
Negeri oleh Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut:
a. Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan pengecekan terhadap validitas dan
kelengkapan dari surat permintaan pertukaran informasi yang diterima dari Negara Mitra
P3B;
b. Dalam hal informasi/data yang diperoleh tidak/kurang valid dan/atau lengkap maka harus
diinformasikan dan dikembalikan kepada Negara Mitra P3B pengirim paling lambat 14
(empat belas hari) kerja semenjak surat permintaan pertukaran informasi diterima;
c. Dalam hal informasi/data yang diminta telah valid dan lengkap maka Direktur Peraturan
Perpajakan II melakukan akses data pada aplikasi Pedoman Administrasi Pembangunan,
Pengelolaan dan Pemanfaatan Data, dan apabila informasi/data yang diminta belum
tersedia di aplikasi Pedoman Administrasi Pembangunan, Pengelolaan dan Pemanfaatan
Data maka dipersiapkan konsep surat Direktur Peraturan Perpajakan II untuk meneruskan
surat permintaan tersebut kepada pihak terkait yang berwenang untuk menindaklanjuti isi
dari permintaan informasi tersebut, yaitu:
1. Direktorat Intelijen dan Penyidikan, dalam hal informasi yang dibutuhkan mengenai
Wajib Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan harus
ditindaklanjuti dengan pemeriksaan dan/atau penyidikan;
Pasal 6
Informasi atau data-data yang harus dicantumkan dalam menjawab Permintaan Pertukaran
Informasi ke Dalam Negeri adalah sebagai berikut:
a. Referensi dasar hukum dalam menyediakan informasi yang diminta;
b. Referensi surat permintaan informasi dari negara mitra pengirim permintaan;
c. Langkah-langkah yang telah dilakukan DJP untuk mendapatkan informasi dimaksud;
d. Informasi yang diperoleh oleh DJP, termasuk fotokopi dokumen (seperti catatan, kontrak,
faktur) dan juga informasi lain yang tidak secara khusus diminta tapi berguna sehubungan
dengan informasi yang diminta;
e. Diberikan penjelasan dan alasan, dalam hal informasi tidak dapat disediakan atau tidak
dapat ditampilkan dengan format yang diminta oleh Negara Mitra P3B;
f. Untuk informasi jumlah uang, cantumkan mata uangnya, keterangan apakah nilai tersebut
telah dipotong/dipungut pajak, tarif pemotongan/pemungutan pajak dan jumlah pajak yang
telah dipotong/dipungut;
g. Periode pajak atas informasi dimaksud;
h. Keterangan mengenai ada atau tidaknya pemberitahuan atas pertukaran informasi ini
kepada Wajib Pajak atau pihak ketiga dan bila ada apakah ada pihak yang berkeberatan
tentang pertukaran informasi ini;
i. Pernyataan perlu atau tidaknya feedback dari Negara Mitra P3B atas pemanfaatan informasi
yang diberikan.
Pasal 7
Tata cara tindak lanjut terhadap informasi yang diminta oleh Negara Mitra P3B yang diteruskan
kepada Direktorat Intelijen dan Penyidikan dan/atau Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan
dan/atau Kantor Wilayah DJP dan/atau Kantor Pelayanan Pajak diatur sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran I Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB III
PROSEDUR PERTUKARAN INFORMASI SECARA SPONTAN
KEPADA NEGARA MITRA P3B
Pasal 8
Prosedur Pertukaran Informasi Secara Spontan Kepada Negara Mitra P3B
Prosedur yang wajib dilakukan dalam mengirim Pertukaran Informasi Secara Spontan kepada
Negara Mitra P3B adalah:
a. Unit DJP mengirimkan surat usulan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II untuk
melakukan pertukaran informasi secara spontan terhadap informasi yang diperoleh dari
hasil pemeriksaan pajak dan/atau penyidikan pajak yang menyangkut Wajib Pajak Negara
Mitra P3B dan dirasakan bermanfaat bagi Negara Mitra P3B;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari informasi tersebut dan dalam hal informasi
yang diperoleh telah sesuai dan memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan sebagaimana
dimaksud dengan Pasal 9 maka dipersiapkan konsep surat Pertukaran Informasi Secara
Spontan kepada Negara Mitra P3B paling lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak
surat usulan diterima;
c. Direktur Peraturan Perpajakan II mengirimkan data pertukaran informasi secara spontan
kepada Negara Mitra P3B;
d. Negara Mitra P3B melakukan proses pemanfaatan data dan memberikan feedback atas data
dan informasi yang diterima kepada Direktur Peraturan Perpajakan II;
e. Direkur Peraturan Perpajakan II meneruskan feedback kepada unit DJP pengirim informasi.
Pasal 9
Informasi atau data-data yang harus dicantumkan dalam mengirim Pertukaran Informasi
Secara Spontan kepada Negara Mitra P3B, yaitu:
a. Identitas entitas atau Wajib Pajak luar negeri yang dimaksud dalam informasi, yaitu: nama
Wajib Pajak, Tax Identification Number (TIN), dan alamat (termasuk email atau alamat
internet bila diketahui);
b. Identitas entitas atau Wajib Pajak dalam negeri asal informasi diperoleh: nama Wajib Pajak,
NPWP, alamat (termasuk email atau alamat internet bila diketahui), nomor registrasi
perusahaan (bila diketahui), hubungannya dengan entitas atau Wajib Pajak luar negeri yang
dimaksud dalam informasi yang diberikan, bagan, diagram atau dokumen lain yang
menjelaskan hubungan antara pihak-pihak yang terlibat;
c. Dalam hal informasi yang dibuat menyangkut pembayaran atau transaksi melalui perantara,
cantumkan nama perantara, alamat, NPWP perantara dimaksud;
d. Dalam hal terdapat informasi bank, cantumkan pula nama Bank, alamat, dan nomor
rekening bank;
e. Informasi yang diperoleh dan penjelasan mengapa informasi tersebut dirasakan akan
berguna bagi Negara Mitra P3B penerima informasi;
f. Untuk informasi jumlah uang, cantumkan mata uangnya, keterangan apakah nilai tersebut
telah dipotong/dipungut pajak, tarif pemotongan/pemungutan pajak dan jumlah pajak yang
telah dipoting/dipungut;
g. Keterangan tentang bagaimana informasi tersebut diperoleh dan identifikasikan sumber
informasi tersebut (misalnya: Surat Pemberitahuan Masa, Surat Pemberitahuan Tahunan,
informasi pihak ketiga, dan sebagainya);
h. Keterangan mengenai ada atau tidaknya pemberitahuan atas pertukaran informasi ini
kepada Wajib Pajak atau pihak ketiga dan bila ada apakah ada pihak yang berkeberatan
tentang pertukaran informasi ini;
i. Penyataan perlu atau tidaknya feedback dari Negara Mitra P3B penerima informasi atas
pemanfaatan informasi yang diberikan.
Pasal 10
Prosedur Pertukaran Informasi Secara Spontan
Yang Diterima Dari Negara Mitra P3B
Prosedur yang wajib dilakukan dalam menerima dan memanfaatkan Pertukaran Informasi
Secara Spontan dari Negara Mitra P3B adalah:
a. Direktur Peraturan Perpajakan II menerima informasi atau data secara spontan dari Negara
Mitra P3B;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari informasi tersebut dan dalam hal informasi
yang diperoleh tersebut dirasakan akan berguna maka dipersiapkan konsep surat
penyampaian informasi yang diperoleh secara spontan tersebut kepada unit DJP yang
terkait paling lambat 14 (empat belas hari) kerja semenjak surat diterima;
c. Unit DJP terkait yang berwenang untuk menindaklanjuti isi dari informasi tersebut, yaitu:
1. Direktorat Intelijen dan Penyidikan, dalam hal informasi yang diperoleh mengenai Wajib
Pajak yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan harus ditindaklanjuti
dengan pemeriksaan dan/atau penyidikan;
2. Kantor Pelayanan Pajak dengan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP terkait,
dalam hal informasi yang diperoleh berkaitan dengan data dan informasi dengan Wajib
Pajak yang terdapat pada wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang berada di luar Jakarta.
d. Unit DJP melakukan penelitian, pemeriksaan dan/atau penyidikan terhadap informasi atau
data yang diterima;
e. Unit DJP membuat laporan hasil pemanfaatan informasi dan mengirimkan laporan tersebut
kepada Direktur Peraturan Perpajakan II;
f. Direktur Peraturan Perpajakan II membuat dan mengirim surat berisi feedback atas
pemanfaatan data dan informasi yang diterima kepada Negara Mitra P3B pengirim
informasi.
Pasal 11
Tata cara tindak lanjut terhadap pertukaran informasi secara spontan yang diperoleh dari
Negara Mitra P3B yang diteruskan kepada Direktorat Intelijen dan Penyidikan atau Direktorat
Teknologi Informasi Perpajakan dan/atau Kantor Wilayah DJP dan/atau Kantor Pelayanan Pajak
diatur sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
BAB IV
PERTUKARAN INFORMASI SECARA OTOMATIS ATAU RUTIN
Pasal 12
Pertukaran Informasi Secara Otomatis Dari Negara Mitra P3B
Prosedur yang wajib dilakukan dalam menerima dan memanfaatkan Pertukaran Informasi
secara Otomatis dari Negara Mitra P3B adalah sebagai berikut:
a. Direktur Peraturan Perpajakan II menerima data atau informasi secara otomatis dari Negara
Mitra P3B dalam bentuk softcopy;
b. Direktur Peraturan Perpajakan II mempelajari dan meneruskan data tersebut kepada
Direktur Informasi Perpajakan untuk ditindaklanjuti dengan tembusan kepada Direktorat
Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan;
c. Direktur Teknologi Informasi Perpajakan menindaklanjuti surat permintaan informasi dari
Negara Mitra P3B sesuai dengan Pedoman Administrasi Pembangunan, Pengelolaan, dan
Pengawasan Data;
i. Direktur Peraturan Perpajakan II membuat dan mengirim surat berisi feedback atas
pemanfaatan data dan informasi yang diterima kepada Negara Mitra P3B pengirim
informasi.
Pasal 13
Tata cara pengolahan Pertukaran Informasi secara Otomatis dari Negara Mitra P3B pada
Direktorat Teknologi Informasi Perpajakan diatur sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III
Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 16
Informasi atau data yang dapat disampaikan dalam Pertukaran Informasi secara Otomatis atau
Rutin, yaitu:
a. Perubahan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dari satu negara ke negara
lain;
b. Kepemilikan atau penghasilan dari harta tak bergerak;
c. Dividen;
d. Bunga;
e. Royalti;
f. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta;
g. Gaji, upah, remunerasi;
h. Penghasilan Direktur;
i. Penghasilan yang diperoleh para seniman dan olahragawan, pensiun dan penghasilan
sejenis;
j. Penghasilan dari gaji, upah dan remunerasi yang berkaitan dengan jabatan dalam
pemerintahan;
k. Penghasilan lain seperti berasal dari judi, Restitusi Pajak Pertambahan Nilai, cukai,
pembayaran jaminan kesejahteraan sosial; dan
l. Komisi dan pembayaran sejenis.
Pasal 17
Contoh surat Jawaban Permintaan Pertukaran Informasi dari Negara Mitra P3B sebagaimana
ditetapkan dalam Lampiran IV Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 18
Contoh surat Permintaan Pertukaran Informasi ke Luar Negeri sebagaimana ditetapkan dalam
Lampiran V Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 19
Formulir Laporan Pemanfaatan Informasi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 20
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2009
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
ttd.
MOCHAMAD TJIPTARDJO
NIP. 060044911
Lampiran I
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No : PER -67/PJ./2009
Tanggal : 30 Desember 2009
Lampiran II
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No: PER - 6 7 /PJ/2009
Tanggal 30 Desember 2009
Lampiran III
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No: PER 67 /PJ./2009
Tanggal 30 Desember 2009
Lampiran IV
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No: PER 6 7 /PJ./2009
Tanggal 30 Desember 2009
FROM TO
Mr. Competent Authority of Indonesia Mr. Competent Authority of Country X
JI. Jendral Gatot Subroto 40-42 Director of Taxes
Jakarta 12190 Indonesia 1234 Tax Boulevard
Phone: 62-21-5736094 Capital City 21001 Country X
Fax: 62-21-5736094
On January 2004, you presented a request for information under Article 26 of the Tax
Convention between our two countries concerning bank accounts identified as being used
directly or indirectly by PC Company or by Mr. John Smith the executive manager of PC
Company.
Please find enclosed the bank records of the account number (No. 001 678 543). Our
central file of bank accounts allowed us to identify another account opened on 5.08.92 by Mr.
John Smith, City Bank no 001.725.613, at the Branch located at 56 City Street in Jakarta City.
This information is provided under Article 26 above-mentioned and its use is covered
accordingly. Please provide information on the usefulness of the information supplied.
Yours sincerely,
Lampiran V
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
No: PER - 67/PJ./2009
Tanggal 30 Desember 2009
CONTOH SURAT
PERMINTAAN PERTUKARAN INFORMASI KE LUAR NEGERI
FROM TO
Mr. Competent Authority of Country X Mr. Competent Authority of Indonesia Director
taxes of Director of Tax Regulations II
1234 tax Boulevard JI. Jendral Gatot Subroto 40-42
Capital City 21001 Country X Jakarta 12190 Indonesia
Re: Request for information under Article 26 of the tax convention between Country X and
Indonesia
This request is presented according to Article 26 of the tax convention between our two
countries. Our Request concerns PC Company above mentioned. The local tax office of Blueville
is presently examining its income tax returns for tax periods referred to above.
PC Company is the business of importing high tech equipment in the computer industry
and selling this equipment to its domestic subsidiaries. During the tax examination it was
discovered that funds have been deposited into a bank account (number: 001 678 543 at the
state Bank, 1 bank Street Jakarta City. 34001 Indonesia). We believe the account is in the
name of Mr John Smith TIN 57.06.2345 born 15 06 57 address 1 Blue Street, Blueville 10003
who owns 65% of the shares of PC Company and is the executive manager. We believe that
the funds deposited into this account are taxable in Country X and have not been reported.
We therefore request the following information for the period under investigation:
Bank records including bank statements, concerning account no 001 378 543 identified
as being used directly or indirectly by PC Company or by Mr. John Smith.
If you need more information please contact Mr. Green phone: 1234567 fax 12344568.
Would you acknowledge receipt of this request and indicate when the information is likely to be
provided.
This request is presented according to Article 26 of our tax treaty and the information
provided will be used only as provided for in such Article.
Yours sincerely,