Anda di halaman 1dari 8

2.1.

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani yaitu kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 2-5 m dan lebar 0,3-0,5 m yang termasuk gram positif
dan bersifat anaerob. Bakteri ini membentuk spora yang berbentuk lonjong
dengan ujung yang bulat khas seperti batang korek api (drumstick). Bakteri ini
banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan peliharaan serta di
daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat bertahan dalam
lingkungan yang mengandung banyak oksigen. Sebaliknya, spora yang dibentuk
oleh bakteri ini mampu hidup dalam keadaan yang ekstrem selama bertahun-tahun
dalam lingkungan yang anaerob, dan juga sangat resisten terhadap panas dan zat
antiseptik. Mereka dapat bertahan walaupun telah di autoklaf (121C, 10-15
menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya.

Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Tetanus juga
dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses dan
gangrene. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan,
persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan.Tempat masuknya
bakteri ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengna kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah,
lecet yang dangkal atau kecil atau luka gesek yang terkontaminasi tanah, trauma
pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengna patah tulang jari dan
luka pada pembedahan.

Bakteri Clostridium tetani tidak bersifat invasif. Tetapi bakteri ini memproduksi 2
macam eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 dalton, larut dalam air, labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Tetanospasmin disebut juga sebagai
neurotoksin karena toksin ini dapat mencapai susunan saraf pusat dan
menimbulkan gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang-kejang.
Sementara itu, tetanolisis dapat menyebabkan lisis dari sel-sel eritrosit.
2.2. Patogenesis

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat kontaminasi lingkungan
oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal untuk menurunkan attack rate
adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree tidak
selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:

1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka


bakar yang luas.
2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.
3. Otitis media, karies gigi, luka kronik.
4. Pemotongan tali umbilikus yang tidak steril, pembubuhan puntung tali
umbilikus dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun
daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali
umbilikus yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum.

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke
dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi
anaerob), sehingga spora tersebut berubah menjadi bentuk vegetatif dan
berbiak dengan cepat akan tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi.
Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel
vegetatif yang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua jenis eksotoksin yaitu
tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak
berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh
tetanospasmin. Tetanospasmin menimbulkan gejala di keempat sistem saraf:
(1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada
beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum
pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan, atau 175
nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.

2.3. Patofisiologi
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan
saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi
melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh
limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang
berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf
motorik, selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang
berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.
Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase memecah
vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu
ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di
sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya
mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan -amino butyric acid
(GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena
pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik sehingga muncul
aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan
rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini
merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir,
mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya
penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,
aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan
neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya
terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.
Dampak toksin antara lain:

1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena


eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada
gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas
pada tetanus.
3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia.

2.4. Gejala Klinis

Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek atau lebih
panjang (1 hari hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan
dengan jarak dari port dentree bakteri C. tetani (tempat luka) ke susunan saraf
pusat (SSP); secara umum, semakin besar jarak antara tempat luka dengan SPP
maka masa inkubasinya kaan semakin lama. Semakin pendek jarak inkubasi maka
akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya kematian.

Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yaitu:

1. Generalized tetanus (tetanus umum)


Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung
dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang
desendens. Tanda pertama berupa trismus / Lock jaw, diikuti dengan
kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen.
Gejala utama berupa trismus terjadi pada sekitar 75% kasus, seringkali
ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis
lainnya meliputi iritabilitas, gelisa, hiperhidrosis, dan disfagia dengan
hidrofobia, hipersalivasi, dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh
akson yang pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung
hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu.
Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan.

2. Localized tetanus (tetanus lokal)


Tetanus lokal terjadi pada ekstremitas dengan luka yang terkontaminasi
serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang
tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi
hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap.
Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang
lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian.

3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)


Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejalanya terdiri dari disfungsi saraf kranialis
motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal
hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari.
Prognosis biasanya buruk.

4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum biasanya
terjadi pada negara berkembang dan menyumbang sekitar setengah dari
seluruh kematian neonatus.

Selain berdasarkan gejala klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus


dapat dibagi menjadi empat (4) tingkatan menggunakan klasifikasi Ablett

Derajat Manifestasi klinis


I: Ringan Trismus ringan sampai sedang; spastisitas umum tanpa spasme atau
gangguan pernapasan; tanpa disfagia atau disfagia ringan
II: Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan spasme ringan sampai sedang
dalam waktu singkat; laju napas >30x/menit; disfagia ringan
III: Berat Trismus berat; spastisitas umum; spasme lama; laju napas
>40x/menit; laju nadi >120x/menit, apneic spell, disfagia berat
IV: Sangat (derajat III + gangguan sistem otonom termasuk kardiovaskular)
berat Hipertensi berat dan takikardia yang dapat diselang-seling dengna
hipotensi relatif dan bradikardia, dan salah satu keadaan tersebut
dapat menetap.
2.5. Penegakkan diagnosis

Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena pemeriksaan


laboratorium tidak sepsifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya didasarkan
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis tetanus
meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan terdapat
4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi (imunokompeten).

Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
- Apakah djumpai luka tusuk, luka kecelakaan / patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
- Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
- Apakah pernah menderita gigi berlubang?
- Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi
yang terakhir?
- Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan:
- Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar
untuk membuka mulut. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
- Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar
dan kebawah.
- Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan, dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
- Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan
- Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar
atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin
pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
- Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang
dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf
otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau
kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang
tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain
sehingga terjadi retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah
tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
- Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif
jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah. Dalam laporan singkat The American
Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada
penelitian, uji spatula memiliki spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil
positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi (94% pasien yang terinfeksi
menunjukkan hasil yang positif).

Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
- Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang
yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman
anaerobik. Selain mahal, hasail biakan yang positif tanpa gejala klinis
tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan
pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
- Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal
- Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus
- Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.
- EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus menerus
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang
diamati setelah potensial aksi.
- Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.

DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
2. 2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Ohs Intensive Care
Manual. 6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7
3. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.
4. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J
Anaesth.2001;87(3):477-87
5. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurol India.2002;50:398-407.

Anda mungkin juga menyukai