Anda di halaman 1dari 15

CORTICOSTEROID

I. Pengertian.

Corticosteroid merupakan obat anti inflamasi yang sangat efektif, tetapi pemakaian
secara terus menerus akan mengakibatkan beberapa ESO yang tidak diinginkan.

II. Mekanisme Kerja.

Sangat komplek, yaitu menembus sel dan bergabung dengan reseptor khas untuk
memulai sintesa enzim-enzim, sehingga:
1. Mengurangi inflamasi.
2. Menekan respon imun ( imuno suppressive ) yakni menekan reaksi-reaksi
tangkis tubuh, artinya produksi antibody dihambat, jumlah limfosit dan jaringan
limfa berkurang, yang berakibat turunnya daya tangkis.
3. Merangsang sel erythroid pada sumsum tulang ( erythroid = sel pembentuk
eritrosit ).
4. Menaikan katabolisme protein, gluconeogenesis.
5. Menurunkan kadar Ca dalam serum.
6. Menekan pelepasan ACTH dari kelenjar pituitary ( hipopisis ), akibat produksi
corticosteroid endogen turun.
7. Retensi Natrium dan mengekresik kalium melalui ginjal.

III. Indikasi.

Untuk terapi substitusi pada defisiensi, penggunaan korticosteroid lebih banyak


bersifat empiris, dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang
perlu diperhatikan sebelum obat digunakan :
1. Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan trial
and error, dan harus dievaluasi dari waktu kewaktu sesuai dengan perubahan
penyakit.
2. Suatu dosis tunggal besar korticosteroid umumnya tidak berbahaya.
3. Penggunaan korticosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
4. Bila pengobatan diperpanjang sampai beberapa minggu atau bulan hingga dosis
melebihi dosis substitusi, insiden efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah.

1
5. Untuk insufisiensi adrenal, penggunaan korticosteroid bukan merupakan terapi
kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek anti-inflamasinya.
6. Penghentian tiba-tiba pada terapi pada terapi jangka panjang dengan dosis besar
mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam jiwa
pasien.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila Korticosteroid akan digunakan


untuk jangka waktu panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih
efektif.
Pada keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien misalnya untuk mengurangi
nyeri pada artritis reumatoid, dosis awal harus kecil kemudian secara bertahap
ditingkatkan sampai keadaan tersebut mereda dan dapat ditoleransi pasien.
Bila terapi bertujuan mengatasi keadaan yang dapat mengancam pasien,
misalnya pemfigus maka dosis awal haruslah cukup besar.bila dalam beberapa hari
belum terlihat efeknya, dosis dapat dilipatgandakan.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa, Korticosteroid dosis besar dapat
diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.

IV. Tujuan pemberian Corticosteroid:

Memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi sekresi korteks adrenal akibat


gangguan fungsi atau struktrur adrenal sendiri ( insufisiensi primer ) atau hipofisis
( insufisiensi sekunder ).

V. Penggunaan Klinis Cortikosteroid

Penelitian klinis corticosteroid secara konsisten membuktikan efektifitasnya


dalam memperbaiki semua indeks kontrol asma-keparahan gejala, tes caliber jalan
nafas dan rektivitas bronchial, frekuansi eksserbasi dan kualitas kehidupan, karena
efek sampingnya yang berat bila diberikan secara kronis,oral dan parenteral
corticosteroid disediakan untuk pasien yang membutuhkan pengobatan mendesak,
biasanya pasien yang tidak mengalami perbaikan yang memadai setelah diberi
bronkodilator atau yang mengalami gejala yang semakin buruk walaupun dalam
terapi pemeliharaan.

2
Pengobatan mendesak sering diawali dengan dosis oral 30-60 mg
prednisone tiap hari atau dosis intravena 1 mg/kg methylprednison tiap 6 jam; dosis
harian diturunkan secara bertahap setelah obstruksi jalan nafas membaik. Pada
sebagian besar pasien, terapi Cortisosteroid sistemik dapat dihentikan dalam
seminggu atau sepuluh hari, tetapi pada pasien lain gejala bisa memburuk jika
dosisnya dikurangi lebih rendah .Karena supresi adrenal oleh cortisosteroid
berhubungan dengan dosis dan arena sekresi corticosteroid memiliki variasi di
urinal, telah menjadi kebiasaan untuk memberikan corticosteroid dipagi hari,
setelah sekresi ACTH endogen mencapai puncak. Untuk pencegahan asma pada
malam hari corticosteroid oral atau per inhalasi merupakan cara yang paling efektif
jika diberikan pada sore hari.
Bentuk aerosol adalah cara yang paling efektif untuk menguragi efek
samping sistemik dari terapi Corticosteroid, Pengenalan pada corticosteroid yang
larut dalam lemak seperti beclomethasone, triamcinolon, flunisolide, fluticasone,
budesonide dan mometason, memungkinkan pemberian corticosteroid pada jalan
nafas dengan absorpsi sistemik yang minimal.Rata-rata dosis harian beclomethasone
empat dua kali sehari (400ug/hari) sama dengan 10-15mg/hari prednisone per oral
untuk mengontrol asma, dengan efek sistemik yang jauh lebih sedikit.
Salah satu peringatan pada penggantian cara pemberian Corticosteroid dari
per oral ke per inhalasi pada pasien adalah dengan mengurangi bertahap terapi oral
untuk mencegah terjadinya insufisiensi adrenal. Pada pasien yang memerlukan
pengobatan dengan prednisone terus menerus walaupun telah menggunakan
corticosteroid per inhalasi dengan dosis standar , diduga dosis yang lebih tinggi
lebih efektif; dosis fluticasone lebih dari 200 ug/ hari efektif dalam menyapih pasien
dari terapi prednisone kronis. Penggunaan steroid per inhalasi dengan dosis tinggi
dapat menyebabkan supresi adrenal, resiko toksisitas sistemik pada penggunaan
kronis tidak bermakna bila dibandingkan dengan terapi oral Corticosteroid yang
digantikannya.
Problem khusus penggunaan Corticosteroid per inhalasi adalah terjadinya
orofaringeal kandidiasis. Resiko komplikasi tersebut dapat dikurangi dengan
menyuruh pasien berkumur dan meludahkannya setelah penggunaan pengobatan per
inhalasi, Serak juga dapat terjadi sebagai efek local langsung pada pita suara pada
penggunaan Corticosteroidper inhalasi. Corticosteroid benar-benar bebas dari
komplikasi jangka pendek lain pada orang dewasa namun dapat meningkatkan
resiko terjadinya osteoporosis dan katarak dalam jangka waktu lama.
Pada anak, terapi Corticosteroid inhalasi terbukti dapat memperlambat
kecepatan pertumbuhan, tapi penyakit asma itusendiri bisa memperlambat pubertas
dan tidak ada bukti bahwa terapi Corticosteroid per inhalasi mempengaruhi tinggi
orang dewasa.

3
Penggunaan kronis Corticosteroid per inhalasi terbukti efektif dalam
mengurangi gejala dan meningkatkan fungsi paru pada pasien denganasma ringan.
Penggunaan Corticosteroid tersebut juga mengurangi atau meniadakan perlunya
Corticosteroid oral pada pasien dengan penyakit yang lebih parah.
Berkebalikan dengan obat stimulans B dan theopyline, penggunaan kronis
corticosteroid per inhalasi dapat mengurangi reaktivitas bronchial. Karena
efektivitas dan keamanan Corticosteroid per inhalasi, sekarang diresepkan untuk
pasien yang membutuhkan penggunaan lebih dari dosis yang lazim suatu agonis B
untuk mengurangi gejala. Terapi tersebut berlanjut selama 10-12 minggu dan
kemudian dihentikan untuk mengetahui perlunya terapi perlu diperpanjang atau
tidak.
Corticosteroid per inhalasi tidak menyembuhkan. Pada sebagian besar
pasien menifestasi asma bisa tersebut sudah digunakan dalam dosis tinggi selama 2
tahun atau lebih.

Contoh beberapa Corticosteroid yang biasa digunakan untuk penggunaan umum.

Glukokortikoid kerja singkat sampai sedang.


1. Hidrokortison (Kortisol ).
Bentuk sediaan : Oral, injeksi, topical.
Dosis oral : 20 mg.
2. Kortison.
Bentuk sediaan : Oral,injeksi, topical.
Dosis oral : 25 mg.
3. Prednison.
Bentuk sediaan : Oral.
Dosis oral : 5 mg.
4. Prednisolon.
Bentuk oral : Oral, injeksi, topical.
Dosis oral : 5 mg.

5. Fluokortolon 2.
Bentuk sediaan : Oral, topical.
Dosis : 5 mg.

6. Metilprednisolon.
Bentuk sediaan : Oral, injeksi, topical.
Dosis oral : 4 mg.

4
7. Meprednison 2.
Bentuk sediaan l : Oral, injeksi.
Dosis oral : 4 mg.

Glukokortikoid kerja sedang.


1. Triamsinolon
Bentuk sediaan : Oral,injeksi, topical.
Dosis oral : 4 mg.
2. Parametason 2 .
Bentuk sediaan : Oral,injeksi.
Dosis oral : 2 mg.
3. Fluprednisolon.
Bentuk sediaan : Oral.
Dosis oral : 1,5 mg.

Glukokortikoid kerja lama.


1. Betametason
Bentuk sediaan : Oral, injeksi, topical.
Dosis oral : 0,6 mg.
2. Deksametason.
Bentuk sediaan : Oral, injeksi, topical.
Dosis oral : 0,75 mg.

Mineralokortikoid.
1. Fludrokortison.
Bentuk sediaan : Oral.injeksi,topical.
Dosis oral : 2 mg.
2. Deoksikortikosteron asetat.
Bentuk sediaan : Suntikan, pellet.

Contoh obat Kortikosteroid lain:

1. Becotide ( Beclomethazone dipropionate ).


Inhaler : 50 Ug/puff x 200 dosis.
100 Ug/puff x 200 dosis.
2. Becotide Forte.
Inhaler : 250 Ug/puff x 200 dosis.

5
3. Pulmicort ( Budesonide ).
Inhaler : 200 Ug/puff x 100 dosis.
Turbuhaler : 100 Ug/dose x 200 dosis.
200 Ug/dose x 100 dosis.
400 Ug/dose x 100 dosis.
4. Flixotide ( Fluticasone propionate ).
Inhaler : 50 Ug/dose x 60 dosis.
125 Ug/dose x 60 dosis.
5. Sediaan campuran.
6. Ventide.
Isi : Beclomethasone dipropionate : 50 Ug.
Salbutamol : 100 Ug.
Per puff x 200 dosis.

Indikasi :
Tablet
Bila pasien harus memakai Corticosteroid maka Prednison merupakan
obat pilihan.
Inhaler
Setelah ditemukan Becotide inhaler maka efek toksik sistemik dari
Corticosteroid tidak ada lagi .
Keuntungan becotide inhalasi ialah :
1. Merupakan anti inflamasi yang sangar efektif.
2. Pada takaran normal maka obat yang tertelan akan menjadi inaktif
setelah melalui hepar ( biotransformasi ).
Injeksi :
Misalnya : Solu-Medrol (IV) = Metil Prednisolon succinate (IV).
Untuk pengobatan : Status asthmaticus ( krisis asma )
bersamaan dengan Aminophylin (IV)

Beberapa penyakit yang bukan merupakan kelainan adrenal atau hipofisis tetapi
dapat diatasi dengan sediaan Korticosteroid antara lain :
Artritis reumatoid
Karditis reumatik acut.
Penyakit ginjal.
Polimiositis atau dermatomiositis.
Penyakit kulit (diberikan secara sistemik ).
Penyakit Hepatitis alkoholik.

6
Penyakit mata (bila penggunaan lebih dari 2 minggu dianjurkan untuk
memeriksa tekanan intra okuler secara teratur.
Syok.
Edema serebral.
Dll......

VI. Faal dan Farmakodinamik.

Korticosteroid mempengaruhi metabolisme karbihidrat, protein dan lemak,


dan mempengaruhi juga fungsi system kardiovasculer, ginjal, otot lurik, system
saraf dan organ lain. Karena fungsi korticosteroid penting untuk kelangsungan
hidup organisme, maka dikatakan bahwa korteks adrenal berfungsi homeostatic
artinya: penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam
menghadapi perubahan linhkungan. Dalam keadaan tersebut hewan tanpa kortek
adrenal hanya dapat hidup apabila diberikan makanan yang cukup dan teratur,Nacl
dalam jumlah cukup banyak dan temperature sekitarnya dipertahankan dalam
batas-batas tertentu.
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologis atau
farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas idivudu. Misalnya, hewan
tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan
korticosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya, tetapi bila
keadaan sekitarnya tidak optimal maka dibutuhkan dosis obat yang lebih tinggi
untuk dapat mempertahankan hidupnya .
Bila dosisi obat relative tinggi ini diberikan berulang kali pada hewan yang
sama dalam keadaan optimal, akan terjadi hiperkortisisme, yaitu gelaja kelebihan
korticosteroid. Diduga adanya fluktuasi aktivitas sekresi korticosteroid pada orang
normal dapat menunjukan adanya variasi kebutuhan organisme akan hormone
tersebut.

Meski korticosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologic,


umumnya potensi sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya
efek retensi natrium dan penyimpanan glikogen dihepar atau besarnya khasiat anti
inflamasinya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu: Glukokortikoid dan Mineralokortikoid.
Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-
inflamasinya juga nyata.Sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan
elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini ialah kortisol.

7
Golongan mineralokortikoid efek utamanya terhadap keseimbangan air dan
elektrolit, sedangkan pengaruhnya pada penyimpanan glikogen hepar sangat kecil .
Prototip golongan ini ialah desoksikortikosteron. Umumnya golongan
mineralokortikoid tidak mempunyai kasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9
a-fluorokortisol, meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai
obat anti-inflamasi karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu
besar.
Sediaan Korticosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya :
1. Sediaan kerja singkatnya mempunyai masa paruh biologis dari 12 jam.
2. Sediaan kerja lama masa paruhnya lebih dari 36 jam.
3. Sediaan kerja sedang mempunyai masa paruh antara 12-36 jam

VII. Pengaruh Korticosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh sebagai berikut:

1. Metabolisme karbohidrat dan Protein.


Pengaruh Corticosteroid pada metabolisme karbohidrat terlihat pada
hewan yang di adrenalektomi , hewan ini hanya dapat bertahan hidup tanpa
kadar glukosa darah dan glikogen hepar menurun bila diberikan makanan
cukup, bila hewan tersebut dipuasakan sebentar saja maka cadangan
karbohidrat berkurang dengan cepat, glikogen hepar sedikit dari otot , timbul
hipoglikemia serta peningkatan sensitivitas terhadap isulin. Gambaran
gangguan metabolisme karbohidrat ini mirip dengan gejala yang dijumpai
pada pasien Addison.
Pemberian glukokortikoid, misalnya kortisol dapat memperbaiki
keadaan diatas, cadangan glikogen terutama dihepar bertambah, glukosa darah
tetap normal pada keadaan puasa dan sensitivitas terhadap insulin kembali
normal. Peningkatan produksi glukosa ini diikuti oleh bertambahnya ekskresi
nitrogen, hal ini menunjukan terjadinya perubahan protein menjadi
karbihidrat.
Perubahan diatas dapat menimbulkan gejala seperti pada pasien
diabetes mellitus pada seseorang yang diberi korticosteroid dosis besar untuk
waktu lama, pada keadaan tersebut, glukosa darah cenderung meninggi,
resistensi terhadap insulin meninggi, toleransi terhadap glukosa menurun dan
mungkin terjadi glukosuria.
Mekanisme bagaimana glukokortikoid mempengaruhi metabolisme karbohidrat
sebenarnya sangat komplek . Hormon ini menyebabkan glukoneogenesisi
diperifer dan hepar. Diperifer steroid ini menyebabkan mobilisasi asam amino

8
dari beberapa jaringan, jadi mempunyai efek katabolic, efek karabolik inilah
yang menyebabkan terjadinya atrofi jaringan limpoid, penghancuran jaringan
dengan akibat pengecilan masa jaringan otot, terjadi osteoporosis tulang
(pengurangan matriks protein tulang yang diikuti oleh pengeluaran kalsium ),
penipisan kulit dan keseimbangan nitrogen menjadi negative, asam amino
dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang berperan dalam
produksi glukosa dan glikogen.

2. Metabolisme lemak.
Pada penggunaan glukokortikoid dosis jangka panjang atau sindrom
Cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang khas, lemak akan
berkumpul secara berlebihan pada depot lemak, leher bagian belakang (buffalo
hump ), daerah supraclavikula dan juga dimuka (moon face )sebaliknya lemak
didaerah ekstremitas akan menghilang. Salah satu hipotesis yang menerangkan
keadaan diatas adalah sebagai berikut; jaringan adipose yang mengalami
hipertropi pada sindrom Cushing bereaksi terhadap efek lipogenik dan
antilipolitik insulin, yang kadarnya meningkat akibat hiperglikemi yang
ditimbulkan oleh glukokortokoid. Sel lemak diekstremitas bila dibandingkan
denga sel lemak ditubuh, kurang sensitive terhadap insulin, dan lebih sensitive
terhadap efek lipolitik hormone lain yang diinduksi oleh glukokorticoid.
Pada keadaan dimana tidak terdapat korteks adrenalin atau
adenohipofisis, mobilisasi lemak dari depot diperifer oleh epinefrin,norepinefrin
dan hormone pertumbuhan akan dihambat. ketonemia dan ketonuria yang
terjadi akibat pankreatektomi atau pemberian diet tinggi lemak, akan berkurang
pada hewan tanpa adrenal, kecuali itu transport dan penyimpanan lemak dihepar
juga dihambat.

3. Keseimbangan Air dan Elektrolit.


Mineralokortikoid dapat meningkatkan reabsorpsi ion Na serta
ekskresi K+ dan H+ ditubuli distal. dengan dasar mekanisme inilah pada
hiperkortisisme terjadi; retensi Na yang disertai ekspansi volume cairan
ekstrasel, hiperkalemia dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan
sebaliknya; hipontremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan
hidrasi sel. Pada insufisiensi adrenal ini tidak hanya ginjal yang mengeluarkan
cairan dengan kadar Na + yang abnormal tinggi dan K+ yang rendah, tetapi
juga kelenjar saliva, kelenjar eksokrin pancreas dan mukosa saluran cerna.

9
Pengeluaran keringat yang banyak mengandung Na+ pada pasien penyakit
Addison, dapat menjadi salah satu penyebab keseimbangan Na+ yang negative.

4. Sistem Kardiovaskuler.
Korticosteroid dapat mempengaruhi system kardiovaskuler secara
langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh tidak langsung :
Terhadap keseimbangan cairan dan elektrolit misalnya; pada hipokortisisme,
terjadi pengurangan volume yang diikuti peninggian viskositas darah, bila
keadaan ini didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps
kardiovaskuler.
Pengaruh langsung :
Terhadap system kardiovaskuler antara lain pada kapiker, arteriol dan miokard.

Defisiensi Korticosteroid dapat menyebabkan hal-hal sbb:


Permeabilitas dinding kapiler meninggi.
Respon vasomotor pembuluh darah kecil berkurang.
Jantung mengecil dan Curah jantng menurun.

5. Otot Rangka.
Untuk dapat mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi
dengan baik, dibutuhkan korticosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila
hormone ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut.
Pada insufisiensiadrenal atau pasien Addison, terjadi penurunan kapasitas kerja
otot rangka sehingga mudah timbul keluhan cepat lelah,dan lemah. Disfungsi
otot ini terutama disebabkan gangguan sirkulasi darah, sedangkan gangguan
metabolisme karbohidrat dan keseimbangan elektrolit merupakan factor yang
tidak besar perannya. Hal ini terbukti dengan menetapnya gangguan fungsi otot
meskipun kadar elektrolit dan glukosa normal. Pemberian kortisol dapat
mengembalikan kapasitas kerja otot.

6. Sususnan saraf Pusat.


Dapat mempengaruhi susunan saraf pusat, baik secara tidak langsung
maupun langsung.
Pengaruh tidak langsung:
Efeknya pada metabolisme karbohidrat
System sirkulasi .
Keseimbangan elektrolit.
Adanya efek pemakaian steroid pada susunan saraf pusat ini dapat dilihat:

10
o Perubahan mood.
o Tingkah laku.

7. Elemen Pembentukan Darah.


Glukortikoid dapat meningkatkan kadar hemoglobin dan jumlah sel
darah merah. Ini terbukti dari sering timbulnya polisitemia pada sindrom
Cushing, sebaiknya pasien penyakit Addison dapat mengalami anemia
normokromik, normositik yang ringan.
Glukokortikoid juga dapat menigkatkan jumlah lekosit polimorfonuklear,
karena mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum
tulang dan mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi,sebaliknya
jumlah sel limposit,monosit dan basofil dalam darah dapat turun sesudah
pemberian glukokortikoid.

8. Jaringan limpoid dan sistem imunologi.


Korticosteroid menghambat reaksi inflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit kedaerah inflamasi.sensitivitas jaringan limpoid timus terhadap
korticosteroid berbeda dengan yang berasal dari sumsum tulang. Limposit B
(sumsum tulang) menghasilkan antibody dan berperan dapat reaksi sensitisasi
dan imunologi.

9. Pertumbuhan.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian korticosteroid
disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh
hormon pertumbuhan, hambatan sekresi hormone pertumbuhan, berkurangnya
priliferasi sel di katilago epifisis, berkurangnya aktivitas asteoblas ditulang.

VIII. Efek Samping dan reaksi yang merugikan.


Efek samping dan reaksi yang merugikan dari pemakaian
Korticosteroid dosis tinggi (glukokortikoid ) atau pemakaian yang lama
mencakup : peningkatan gula darah, deposit lemak yang abnormal diwajah
dan tubuh (moon face), penimbunan lemak di supraklavikula dan leher,
belakang leher (buffalo hump), pengecilan ukuran ektremitas, edema, retensi
natrium dan air, hipertensi, euforia/psikosis, kulit tipis dengan purpura,
meningkatkan tekanan intraokuler (glaukoma),tukak peptik dan retaldari

11
pertumbuhan. Pemakaian glukortikoid jangka panjang dapat menyebabkan
atropi adrenal (hilangnya fungsi kelenjar adrenal). Penghentian obat secara
mendadak dapat menyebabkan insufisiensi adrenokortikoid dengan gejala
demam, mialgia, artralgia, dan malaise.
Kepekaan terhadap infeksi, osteoporosis.

IX. Kontraindikasi.
Dalam hal ini keadaan yang mungkin dapat merupakan kontraindikasi
relatif dapat dilupakan , terutama pada keadaan yang mengancam jiwa pasien.
Tetapi bila obat akan diberikan untuk beberapa hari atau bebarapa minggu,
keadaan seperti : diabetes melitus, tutak peptik, infeksi berat, hipertensi atau
gangguan sistem kardiovasculer lain patut diperhatikan.
Sebenarnya sampai sekarang tidak ada kontraindikasi absolut korticosteroid.

X. PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian:
Riwayat Penyakit (tukak peptik, glaucoma, katarak, masalah psikiatrik dan
diabetes), karena dapat memperberat masalah-masalah kesehatan tersebut.
Riwayat Allergi.
Riwayat penggunaan obat.
Riwayat Penggunaan Alkohol.
Riwayat Penggunaan nakotik.
Riwayat Perokok.
Pantau tanda-tanda Vital : tensi, nadi, pernafasan,dll.
Observasi keluhan pasien.
Kaji elektrolit.
Dll.

2. Perencanaan:
Proses peradangan klien akan mereda.
Klien akan terbebas dari inflamasi dan nyeri selama menjalani pengobatan.

3. Intervensi Keperawatan.

12
Pantau tanda tanda vital ( tensi, nadi, pernafasan,dll ) karena (kortison) dapat
meningkatkan tekanan darah. Insufisiensi adrenokortikal dapat menurunkan
tekanan darah.
Korticosteroid hanya diberikan sesuai perintah, cara pemberiannya adalah
melalui oral, intravena, intramuskuler ( jangan dideltoid ), aerosol, dan topikal.
Obat glukokortikoid topikal harus diolesi tipis-tipis dalam jumlah sedikit, bila
timbul ruam, infeksi dan purpura harus dicatat dan dilaporkan.
Observasi tanda-tanda dan gejala-gejala dari hipokalemia, seperti nausea,
muntah, kelemahan otot,distensi perut, ileus paralitik, dan denyut jantung tidak
teratur. Periksa kadar kalium serum; nilai normal adalah 3,5-5,3 m Eq/l.
Periksa adanya efek samping dari obat-obat, setelah pengobatan berjalan lebih
dari 10 hari dengan dosis yang tinggi. Obat-obat korticosteroid tidak boleh
dihentikan secara mendadak karena kemungkinan timbulnya krisis adrenal.
Pada orang tua pantau tanda dan gejala-gejala osteoporosis.
Laporkan perubahan kekuatan otot.

4. Penyuluhan Kepada Pasien.


Nasehatkan klien untuk memakai obat sesuai dengan yang diresepkan dokter,
instruksikan klien untuk tidak menghentikan obat-obat secara mendadak, jika
obat akan dihentikan, dosis harus diturunkan perlahan-lahan selama 1 sampai 2
minggu.
Untuk pemakaian glukokortikoid jangka pendek (kurang dari 10 hari) dosis
obat juga harus diturunkan secara perlahan-lahan. Siapkan jadwal untuk klien
tentang cara menghentikan obat selama 4-5 hari (misalnya minum obat 4 kali
sehari, 4 hari sebelum obat dihentikan, kemudian 3 kali sehari, kemudian 2 kali
sehari dan akhirnya 1 kali sehari.
Nasehatkan klien untuk memakan makanan yang kaya kalium, seperti buah-
buahan segar dan kering, sayur-mayur, daging dan kacang-kacangan.
Nasehatkan pasien untuk tidak memakai preparat kortison (oral, topikal),
selama kehamilan kecuali diperlukan dan diresepkan dokter( obat-obat ini
mungkin berbahaya bagi janin ).
Ajarkan klien untuk melaporkan tanda-tanda dan gejala kelebihan dosis obat
atau sindroma Chusing, yang meliputi moon fice, kelopak mata bengkak, edema
dikaki, mudah memar, pusing, perdarahan, dan menstruasi tidak teratur.
Beritahu klien untuk memakan obat pada waktu makan atau bersama-sama
makanan (dapat mengiritasi mukosa lambung dan menyebabkan tukak
lambung).

13
Nasehatkan klien untuk memakai tanda pengenal kesehatan yang dapat berupa
kartu atau tanda pemakain glukokortikoid.
Nasehatkan klien untuk menghindari orang yang sedang menderita infeksi
pernafasan karena obat-obat ini mnekan sistem kekebalan . hal ini penting
terutama untuk klien yang memakai glukortikoid dosis tinggi.
Nasehati klien bila memakai glukokortikoid untuk memberitahukan dokter
tentang semua obat-obat yang sedang dipakai, terutama sebelim menjalani
operasi.
Ajarkan klien untuk memakai aerosol. Ingatkan klien akan pemakaian yang
berlebihan dari aerosol untuk menghindari kemungkinan efek rebound.

6. Evaluasi.
Evaluasi efektifitas pengobatan glukortikoid, jika peradangan membaik, obat
mungkin perlu diganti.
Perhatikan efek samping, terutama jika klien menerima glukokortikoid dosis
tinggi.
Kaji keluhan pasien.

14
DAFTAR PUSTAKA

Joyce L.Kee dan Evelyn R Hayes, ( 1996 ). Farmakologi Pendekatan Proses


Keperawatan ( Edisi I ) Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.

Bertram G. Katzung, ( 1998 ). Farmakologi Dasar dan Klinik, ( Edisi VI ) Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran.

Farmakologi Dan Terapi, ( 2000 ), ( Edisi IV ), Jakarta : Penerbit Bagian Farmakologi


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kumpulan Makalah Simposium Tentang Farmakologi.

15

Anda mungkin juga menyukai