Ketika dasarnya adalah pada mesin politik kapitalisme, yakni demokrasi, maka
yang terjadi adalah negara hanyalah teori..wadah atau institusi yang semu..ada
atau tak adanya negara sama saja, bahkan lebih buruk dan dzalim. Wadah
dengan sejuta kesemuan kesejahteraan, sejuta kebohongan kepemimpinan di
bawah oligarki bankir, sejuta kesesatan pemikiran yang membuat manusia
terbelenggu dengan obralan kebebasan yang merusak jiwa dan manusia.
Masyarakat menjadi sakit, namun diberi solusi berbagai macam alat pemeras
utang dalam bentuk beragam kredit, KPR, kredit pendidikan, kesehatan,
asuransi, dsb. Masyarakat dibodohi seolah itu semua mensejahterakan padahal
sejatinya hanya kian mencekik leher mereka, dimana pendapatan mereka yang
terbatas - sekalipun orang kaya - terus dituntut dengan biaya hidup dan
kebutuhan yang harganya tak bosan mengalami peningkatan.
Termasuk masalah kabut asap. Ini jelas menjadi bukti, bagaimana tidak
cerdasnya para pemegang kekuasaan yang punya modal (kekuasaan + kapital)
untuk menanggulangi dan mencegah kedepannya agar tidak terjadi lagi masalah
sedemikian rupa. Bukankah presiden yang dipilih dengan menghabiskan dana
milyaran itu dipilih oleh rakyat yang mana uangnya juga berasal dari rakyat.
Lantas, dikemanakan segelontor perjanjian antara pemimpin dan rakyat untuk
senantiasa mewujudkan kesejahteraan tersebut. Mewujudkan kesejahteraan tak
melulu harus berupa memberi beras, kesehatan gratis sehari full, ataupun
pembagian sembako gratis. Itu bukan mewujudkan KESEJAHTERAAN!!! TAPI
PEMIMPIN BODOH YANG MENULARKAN KEBODOHANNYA KEPADA RAKYAT!! Pada
akhirnya masyarakat akan menjadi malas dan pragmatis.