Anda di halaman 1dari 6

BAB I

Pendahuluan

1. Latar Belakang
Pertimbangan pengembangan teknologi farmasetis untuk terapi terdiri dari
tiga faktor utama yaitu menciptakan sistem yang efektif (effectiveness), menekan
efek bahaya pada sistem jika diaplikasikan (safety), dan membuat agar sistem
dapat diterima dengan baik oleh pasien (acceptability). Ketiga faktor tersebut
mengantarkan pada pengemnbangan teknologi yang semakin maju. Dimana telah
banyak teknologi penghantaran obat yang melahirkan obat baru dengan sifat ideal,
dimulai dari penemuan struktur baru hasil sintesis secara murni mauoun
modifikasi, penggunaan teknologi in silico dengn komputasi menggunakan
kuantifikasi hubungan struktur-aktivitas hingga pada pengembangan teknologi
formulasinya. Penelusuran aktivitas obat juga telah mencapai pemahaman pada
aras molekuler dengan telah diperkenalkannya berbagai instrumen dan metode
analisis molekuler.
Teknologi formulasi sediaan farmasi dan sistem penghantaran obat
memegang peranan penting dalam proses penemuan terapi farmasetis baru pada
publik. Pertimbangan fisikokimia dan molekuler meliputi kesetimbangan ion-
molekul, kesetimbangan hidrofilik-lipofilik, proses biofarmasetika, metabolisme
dan biodegradasi, afinitas obat-reseptor, pertimbangan fisiologis, serta
biokompatibilitas dari sistem menjadi faktor utama yang umum diperhatikan
dalam melakukan penelitian pada bidang ini. Meskipun demikian, semakin
majunya pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi di dalam tubuh membuat
berbagai masalah yang pada mulanya kurang diperhatikan menjadi bahan
pertimbangan yang harus dicarikan solusinya. Pada beberapa kasus, misalnya
pada tahap awal, sebuah molekul obat yang poten tidak dapat menembus sistem
pertahanan tubuh dengan baik sehingga ketersediaan hayati senyawa dalam
sirkulasi sistemik maupun jaringan yang sakit menjadi sangat rendah. Berbagai
penelitian dikembangkan untuk meningkatkan kadar senyawa tersebut di dalam
darah, baik dengan meningkatkan efektivitas dan kecepatan absorpsi, menghindari
biodegradasi oleh enzim, maupun modifikasi molekuler untuk meningkatkan
absorpsi seluler. Namun demikian permasalahan timbul setelah usaha-usaha yang
dilakukan mencapai keberhasilan yaitu ditemukan gejala ketoksikan atau
munculnya efek samping maupun efek balik pada studi keamanan secara in vivo
karena jumlah obat yang mencapai kadar yang tidak dapat ditoleransi oleh tubuh.
Permasalahan tersebut mengubah cara pandang para peneliti farmasi dalam
pengembangan teknologi formulasi yaitu untuk lebih fokus pada peningkatan
efektivitas penghantaran obat pada jumlah yang tepat. Fakta ini membawa
berbagai penelitian pada kecenderungan untuk melakukan berbagai modifikasi
pada sistem terbaik yang ada.
Penghantaran nanopartikel dideskripsikan sebagai formulasi suatu partikel
yang terdispersi pada ukuran nanometer atau skala per seribu mikron. Batasan
ukuran partikel yang pasti untuk sistem ini masih terdapat perbedaan karena
nanopartikel pada sistem penghantaran obat berbeda dengan teknologi
nanopartikel secara umum. Pada beberapa sumber disebutkan bahwa nanopartikel
baru menunjukkan sifat khasnya pada ukuran diameter di bawah 100 nm, namun
batasan ini sulit dicapai untuk sistem nanopartikel sebagai sistem penghantaran
obat. Nanopartikel obat secara umum harus terkandung obat dengan jumlah yang
cukup di dalam matriks pada tiap butir partikel, sehingga memerlukan ukuran
yang relatif lebih besar dibanding nanopartikel non-farmasetik. Meskipun
demikian secara umum tetap disepakati bahwa nanopartikel merupakan partikel
yang memiliki ukuran di bawah 1 mikron (Tiyaboonchai, 2003; Buzea et al.,
2007). Ukuran ini dapat dikarakterisasi secara sederhana dan secara visual
menghasilkan dispersi yang relatif transparan, serta perpanjangan lama
pengendapan disebabkan karena resultan gaya ke bawah akibat gravitasi sudah
jauh berkurang. Hal tersebut sebagai akibat dari berkurangnya massa tiap partikel
dan peningkatan luas permukaan total yang singnifikan menghasilkan interaksi
tolak menolak antar partikel yang besar dan muncul fenomena gerak Brown
sebagai salah satu karakter spesifik partikel pada ukuran koloidal (Gupta dan
Kompella, 2006).
Beberapa kelebihan nanopartikel adalah kemampuan untuk menembus
ruang-ruang antar sel yang hanya dapat ditembus oleh ukuran partikel koloidal
(Buzea et al., 2007), kemampuan untuk menembus dinding sel yang lebih tinggi,
baik melalui difusi maupun opsonifikasi, dan fleksibilitasnya untuk dikombinasi
dengan berbagai teknologi lain sehingga membuka potensi yang luas untuk
dikembangkan pada berbagai keperluan dan target. Kelebihan lain dari
nanopartikel adalah adanya peningkatan afinitas dari sistem karena peningkatan
luas permukaan kontak pada jumlah yang sama (Kawashima, 2000). Pembentukan
nanopartikel dapat dicapai dengan berbagai teknik yang sederhana. Nanopartikel
pada sediaan farmasi dapat berupa sistem obat dalam matriks seperti nanosfer dan
nanokapsul, nanoliposom, nanoemulsi, dan sebagai sistem yang dikombinasikan
dalam perancah (scaffold) dan penghantaran transdermal.
Kemampuan nanopartikel untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat
dengan kelarutan yang rendah dalam sirkulasi sistemik telah banyak dibuktikan.
Peningkatan jumlah obat dalam darah pada penghantaran sistemik juga akan
meningkatkan resiko munculnya efek samping maupun efek balik, hingga pada
resiko tercapainya batas kadar toksik (Poelstra et al., 2012). Pada banyak kasus,
peningkatan kadar obat dalam darah ini sangat diperlukan bagi obat untuk dapat
menimbulkan efek farmakologis. Oleh karena itu, nanopartikel memberikan solusi
yang baik karena dapat memberikan efek farmakologis pada dosis yang lebih kecil
(efisien) (Hu dan Li, 2011; Wu et al., 2005). Kesesuaian bentuk sediaan
naopartikel dengan jaringan target dan penyakit diperlukan untuk memperoleh
sistem yang dapat memberikan hasil terapi yang optimal. Jaminan akan
tercapainya tujuan terapi merupakan syarat mutlak yang diperlukan untuk dapat
memperkenalkan produk sistem penghantaran obat baru yang dapat diandalkan.
Spektrum sinar matahari memancarkan sejumlah energi tertentu pada
rentang panjang gelombang 300-400 nm, yang dikenal sebagai sinar ultraviolet.
Sinar ultra violet yang dipancarkan oleh matahari terbagi menjadi dua daerah,
yaitu daerah nm dan daerah UVB pada rentang 290-320 nm (Lowe dkk.,1990).
Pemaparan sinar matahari berlebihan dapat membahayakan kulit manusia, karena
kerusakan kulit dapat terjadi segera setelah pemaparan, yaitu berupa eritema atau
kulit terbakar yang merupakan gejala terjadinya degradasi sel dan jaringan.
Kerusakan kulit yang terjadi dalam pemaparan jangka panjang akan memberikan
efek yang bersifat kumulatif akibat pemamparan sinar matahari berlebihan dalam
jangka waktu tertentu, antara lain adalah penuaan dini kulit dan kemungkinan
kanker kulit (Lowe dkk., 1990). Oleh karena adanya dampak negatif dari sinar
UV, maka diperlukan perlindungan terhadap sinar UV. Salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk meminimumkan jumlah UV yang berpenetrasi ke dalam kulit
adalah dengan menggunakan tabir surya. Indonesia sebagai negara tropis dengan
pemamparan sinar matahari yang cukup tinggi sangat membutuhkan sediaan
kosmetik yang berperan sebagai tabir surya. Mekanisme sediaan tabir surya
dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok tabir surya kimia yang bekerja
menyerap sinar UV, dan kelompok pemblok fisik (tabir surya yang bekerja secara
fisik). Tabir surya pemblok fisik bekerja dengan cara memantulkan atau
membelokkan radiasi UV. Tabir surya fisik pada umumnya merupakan senyawa
anorganik yang terbukti dapat memberikan manfaat mencegah terjadinya
kerusakan kulit akibat radiasi sinar matahari. Akan tetapi, formulasi senyawa
anorganik ini pada umumnya bersifat opaque, karena ukuran partikel serbuk akan
mempengaruhi penampilan kulit pada saat dipakai.
Bentuk nanopartikel pemblok fisik yang telah ada seperti TiO2
memberikan hasil formulasi tabir surya yang transparan, sehingga dapat diterima
dengan lebih baik sebagai kosmetik. Ukuran partikel bahan pemblok fisik yang
sangat halus memungkinkan sediaan ini dapat berperan juga sebagai tabir surya
dengan mekanisme mengabsorpsi sinar UV (Newmann dkk., 2009). Sunscreen
dengan titanium dioxide (TiO2) efektif menahan ultraviolet B yang dapat merusak
kulit (Monteiro reviere, 2011). Sebuah rekomendasi dari Amerika serikat oleh
Food and Drug Administratrion (FDA) mengatakan bahwa formulasi sunscreen
dengan mikronisasi TiO2 sangat efektif menanangkal sinar Ultraviolet B.
Optimasi dengan mikronisasi NPs.57 dapat meningkatkan efek dari proteksi sinar
tersebut. Sehingga merancang sebuah formulasi sunscreen dengan TiO2 melalui
teknologi nanopartikel akan sangat meningkatkan nilai farmasetik bagi sediaan
yang diformulasi.

2. Tujuan Penelitian
a. Mendapatkan sediaan lotion sunscreen yang memiliki efektivitas
melawan sinar ultaviolet melalui metode Nanopartikel.
b. Mendapatkan sediaan lotion sunscreen dengan aseptabilitas yang baik
melalui metode Nanopartikel.

3. Manfaat Penelitian
a. Dapat mengetahui dan memahami pembuatan formulasi sediaan
dengan baik, benar dan tepat melalui metode Nanopartikel
b. Dapat membuat sediaan lotion sunscreen yang memenuhi persyaratan
mutu dan mengetahui prosedur evaluasi sediaan secara benar melalui
metode Nanopartikel
Daftar Pustaka :
Lowe, J., Nicholas and N. A. Shaath, 1990, Sunscreens, New York : Marcel
Dekker Inc.

Newmann, M. D., M. Stotland, and J. I. Ellis, 2009, The Safety of Nanosized


Particles in Titanium Dioxide and Zinc Oxide-Based Sunscreen, J.Am.Acad.
Dermatol, 61:4, 687- 692.

Hu, M. dan Li, X., 2011, Oral bioavaibility : basic principles, advance concept,
and application, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey, 32-33

Tiyaboonchai W., 2003, Chitosan nanoparticles: A promising system for drug


delivery, Naresuan Univ. J., 11(3): 51-66

Wu Y., Yang W., Wang C., Hu J., and Fu S., 2005, Chitosan nanoparticle as a
novel delivery system for ammonium glycyrrhizinate, International Journal of
Pharmaceutics, 295: 235-245

Poelstra K., Prakash J., dan Beljaars L., 2012, Drug targeting to the diseased liver,
Journal of Controlled Release, 161: 188-197

Tonnis W. F., Kersten G. F., Frijlink H. W., Hinrichs W. L. J., de Boer A. H.,
Amorij J. P., 2012, Pulmonary Vaccine Delivery: A Realistic Approach?, Journal
of Aerosol Medicine and Pulmonary Drug Delivery, 25(5): 249-260

Ravichandran R., 2009, Nanoparticles in drug delivery: Potenial green


nanobiomedicine applications, Int. J. Green Nanotech. Biomed., 1: B108-B130

Gupta, R. B. and Kompella, U.B., 2006, Nanoparticle technology of drug


delivery, Taylor & Francis Grup, New York, pp. 4-6, 13-16

Buzea, C., Blandino, I.I.P., dan Robbie, K., 2007, Nanomaterial and nanoparticles:
sources and toxicity, Biointerphases, 2: MR170MR172

Monteiro ...........

Anda mungkin juga menyukai