Anda di halaman 1dari 8

Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Penanganan Kawasan

Permukiman di Hulu Sungai Citarum

1. Pendahuluan: Permasalahan Lingkungan dan Perkembangan


Permukiman di Hulu Sungai Citarum

1.1. Peran Hulu Sungai Citarum dalam Ecoregion DAS Citarum


Citarum merupakan sungai terpanjang di
Provinsi Jawa Barat. Demikian panjangnya
hingga perubahan pada badan airnya akan
berpengaruh terhadap kehidupan di
sekitarnya secara ekologis. Sungai Citarum
memiliki manfaat yang demikian besar bagi
wilayah Jawa Barat, antara lain dengan
mengairi ratusan ribu hektar sawah
Citarum photo courtesy of Deni Sambas Cita Citarum, 2014
khususnya di wilayah Pantai Utara (Pantura)
Jawa Barat melalui jaringan irigasi Jatiluhur yang terdiri dari tiga waduk, yaitu Waduk
Saguling (982 juta m3), Waduk Cirata (2.165 juta m3) dan Waduk Djuanda (3.000 juta m3),
sebagai sumber air bagi penduduk permukiman di wilayah yang dilaluinya, serta sebagai
sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk Pulau Jawa dan Bali.

Sungai Citarum berawal wilayah selatan Provinsi Jawa Barat, yaitu Gunung Wayang
(Kabupaten Bandung), kemudian mengalir kebagian tengah hingga bermuara di Laut Jawa
di bagian utara provinsi. Aliran sepanjang 269 km melalui 12 daerah: Kabupaten Bandung,
Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten
Sumedang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Subang, Kabupaten
Purwakarta, Kabupaten Karawang, dan Kota Bekasi. Wilayah pengaruhnya meliputi 5 DAS
yaitu DAS Citarum, DAS Cipunegara, DAS Cilamaya, DAS Cilalanang dan DAS Ciasem.
Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran
Sungai Citarum, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu:
Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang Ujung Saguling
Zona Citarum Tengah : Saguling Cirata Jatiluhur
Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir Muara Citarum

1.2. Perkembangan Permukiman dan Masalah Lingkungan di Hulu Sungai


Citarum
Hulu sungai merupakan wilayah yang dianggap paling memiliki peran krusial dalam
keberlanjutan kualitas ekologi suatu daerah aliran sungai. Bagian hulu berdasarkan fungsi
konservasi adalah wilayah yang perlu dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan
DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan
vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan.

BBWS Citarum (2014) menjelaskan bahwa wilayah hulu sungai Citarum mengalami
permasalahan degradasi fungsi konservasi sumber daya air dengan luas lahan kritis
mencapai 26.022,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3.632,50 juta
m3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. Permasalahan tersebut antara lain
disebabkan oleh berkurangnya fungsi kawasan lindung, meningkatnya limbah buangan
manusia akibat perkembangan permukiman, dan budi daya pertanian yang justru
menimbulkan tingkat erosi yang lebih tinggi, menimbulkan lahan kritis dan menyebabkan
sedimentasi yang terbawa ke areal waduk bahkan hingga ke jaringan prasarana air. BBWS
mencatat bahwa tingkat erosi hulu sungai Citarum lebih tinggi dibandingkan bagian tengah
dan hilir. Tingginya erosi di bagian hulu membawa residu yang disebut sedimen pada daerah
dibawahnya. Hal ini diperparah dengan pencemaran limbah industri dan linbah domestik
seiring perkembangan permukiman dan industri di wilayah hulu. Perkembagan tersebut
juga menimbulkan tambahan permasalahan seperti pengambilan air tanah yang diluar
kendali dimana sebagian besar tidak teregistrasi. Kementerian Lingkungan Hidup melalui
PPE Pulau Jawa (2014) memperkirakan bahwa 90 % penduduk dan 98 % industri di
Cekungan Bandung menggantungkan kebutuhan air sehari hari pada air tanah.
Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan
muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar potensi
daerah rawan banjir.

Semua permasalahan di wilayah hulu Citarum tersebut juga berdampak pada terjadinya
luapan air sungai Citarum setiap tahun, yang menimbulkan banjir di kawasan permukiman
dengan kerugian yang semakin besar tiap tahunnya. Banjir besar di wilayah Bandung
Selatan yang berkaitan dengan luapan sungai Citarum tercatat terjadi pada tahun 1931, 1945,
1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010. Dari kajian Walhi Jawa Barat, banjir tahunan di
wilayah Bandung Selatan disebabkan oleh degradasi siklus hidrologi di DAS Citarum bagian
hulu yang dialami oleh sungai Cikapundung, Citepus, Cirasea, Cipamokolan, Cidurian,
Cisangkuy, Ciminyak, Ciwidey dan Cihaur.

Berbagai kebijakan dan program yang telah dikeluarkan ternyata belum cukup efektif untuk
menangani permasalahan ini, sehingga kemudian mulai terpikir perlunya pendekatan lain
dalam memandang permasalahan: tidak hanya terfokus pada sudut pandang struktur fisik
lingkungan (antara lain dengan kegiatan normalisasi aliran sungai, pengetatan izin industri,
pengendalian limbah industri, dan sebagainya), namun juga perlunya pendekatan terhadap
masyarakat selaku penghuni hulu sungai Citarum dengan berbagai kegiatan mulai dari
permukiman hingga kegiatan pertanian dan kegiatan ekonomi lainnya yang berkaitan erat
dengan keberadaan Sungai Citarum.

2. Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanganan Permukiman di


Hulu Sungai Citarum
Mengingat kompleksitas permasalahan yang terjadi di wilayah Sungai Citarum, maka
disadari perlunya suatu kebijakan yang bersifat komprehensif, lintas sektor, lintas wilayah
administrasi dan pemerintahan, dengan dukungan peran aktif masyarakat. Pemerintah
pusat sebagai pihak yang berwenang terhadap pengelolaan wilayah Sungai Citarum telah
melakukan berbagai usaha yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat dalam
serangkaian dialog yang menghasilkan suatu Masterplan Penanganan Terpadu Wilayah
Sungai Citarum 2010 2025, yang disebut sebagai Citarum Roadmap. Masterplan tersebut
selanjutnya diterapkan melalui program Integrated Citarum Water Resources Management
and Investment Project (ICWRMIP). Komponen program di dalam Citarum Roadmap
disusun untuk mencapai suatu visi Pemerintah dan masyarakat bekerja bersama demi
terciptanya sungai yang bersih, sehat dan produktif serta membawa manfaat yang
berkesinambungan bagi seluruh masyarakat di wilayah sungai Citarum, yang digambarkan
sebagai suatu bangunan rumah.

Gambar 1 Komponen Program dalam Citarum Road Map 2010-2025

Dalam Citarum Road Map, keterlibatan dan partisipasi masyarakat merupakan fondasi
dasar dan jiwa dari seluruh komponen program (Summary Masterplan Penanganan Terpadu
Wilayah Sungai Citarum, KLH, 2010). Kegiatan pemberdayaan masyarakat meliputi (i)
pendidikan, peningkatan kesadaran, dan peningkatan kapasitas masyarakat dan individu
mengenai isu-isu pengelolaan air, (ii) diseminasi informasi kepada semua yang
membutuhkan mengenai pengelolaan sumber daya air, (iii) memfasilitasi kegiatan yang
melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan air dan (iv)
pengembangan program-program kemandirian masyarakat penyediaan dan perbaikan
pasokan air, lingkungan, dan kualitas air. Tujuan yang akan dicapai pada kegiatan yang
termasuk pada komponen pemberdayaan masyarakat adalah :
Pencapaian kesadaran yang tinggi dari masyarakat setempat terhadap permasalahan
konservasi, pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam..
Masyarakat memperoleh kesempatan dan ruang untuk berpartisipasi secara nyata
dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya air WS Citarum.
Menciptakan kondisi yang baik dalam hal kelembagaan, keuangan dan kapasitas)
masyarakat setempat untuk terlibat dalam penyediaan air minum dan layanan
sanitasi, pengelolaan daerah tangkapan air (watershed) dan pengelolaan limbah.

3. Kendala Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Penanganan


Permukiman di Hulu Sungai Citarum
Setelah sekian tahun berjalan, muncul suatu pertanyaan: bagaimana kinerja program
pemberdayaan masyarakat dalam Citarum Road Map? Apakah program tersebut telah
memberi kontribusi yang nyata terhadap upaya pengelolaan wilayah hulu sungai Citarum,
khususnya penanganan kawasan permukiman dan kegiatan pertanian yang berkembang di
wilayah hulu sungai tersebut? Melihat kondisi yang ada, keefektifan program pemberdayaan
dalam Citarum Road Map cukup dipertanyakan. Dinas Perumahan dan Permukiman Jawa
Barat (2015) menjelaskan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, kawasan yang terbangun di
hulu Citarum bertambah lebih dari 100%, diantaranya untuk peternakan, perumahan, dan
industri sehingga menyebabkan banjir di sejumlah wilayah di Jabar dan mengurangi mutu
air Citarum hingga berstatus tercemar berat. Perkembangan permukiman malah bertambah
101,2% dalam sepuluh tahun terakhir, termasuk 5 tahun selama program penanganan
terpadu berlangsung. Banjir di kawasan Bandung Selatan pun masih terus terjadi, terakhir
2014 dan 2015 lalu terjadi cukup besar, memperlihatkan siklus banjir besar yang semakin
sering. Dampak negatif kerusakan lingkungan di hulu sungai Citarum memang tidak melulu
akibat perkembangan permukiman semata, namun demikian upaya untuk mengurangi
dampak tersebut nampaknya belum memperlihatkan hasil yang signifikan, dimana jumlah
penduduk terdampak akibat banjir justru bertambah pada 2 tahun terakhir ini.
Kendala utama pemberdayaan masyarakat dalam upaya menangani masalah lingkungan di
hulu sungai Citarum adalah: bagaimana masyarakat dapat betul-betul diberi pemahaman
dan diarahkan untuk merubah pola hidup dan perilaku, sementara di sisi lain terdapat
tuntutan untuk bertahan hidup. Tidak sedikit masyarakat yang mengais rezeki dari aliran
sungai Citarum ini, baik melalui kegiatan bercocok tanam (pertanian), perikanan budidaya
di sekitar waduk, tenaga kerja industri yang berkembang di sekitar aliran sungai Citarum,
hingga mereka yang bekerja sebagai pengumpul sampah di sungai untuk dijual ke pabrik
pengolahan (proses recycle), pengumpul pasir untuk bahan bangunan. Diluar urusan
pekerjaan, mereka pun bertempat tinggal di sekitar aliran sungai Citarum walau menyadari
akan potensi luapan air sungai yang dapat menggenangi permukiman setiap saat bisa
terjadi.

4. Kajian Literatur: Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan


Lingkungan

4.1. Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat


Pemberdayaan, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai empowerment, pada dasarnya adalah
suatu upaya untk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat (Kartasasmita,
1996). Pemberdayaan masyarakat pada mulanya lebih merupakan suatu konsep ekonomi
yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma pembangunan
yang berfokus pada masyarakat sebagai agen keberlanjutan pembangunan melalui upaya
peningkatan partisipasi.

Partisipasi masyarakat sering kali dianggap sebagai bagian yang tidak terlepas dalam upaya
pemberdayaan masyarakat. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam Harahap (2001),
partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pembuatan
keputusan tentang apa yang dilakukan, dalam pelaksanaan program dan pengambilan
keputusan untuk berkontribusi sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau
kegiatan khusus, berbagi manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program
pembangunan. Upaya pemberdayaan masyarakat yang efektif tentunya perlu
mempertimbangkan kualitas partisipasi masyarakat. Kualitas partisipasi yang baik akan
lebih mudah diarahkan, difasilitasi, dan dikembangkan, sehingga pemberdayaan masyarakat
akan berdampak signifikan terhadap program pembangunan maupun penanganan
permasalahan.

Guna memperoleh kualitas partisipasi yang baik, tentunya diperlukan jenjang pentahapan
peningkatan kualitas tersebut. Strategi peningkatan kualitas partisipasi sangat bergantung
pada kapasitas masyarakat sebagai subyek yang akan diberdayakan. Kapasitas tersebut
digambarkan dalam suatu tingkatan partisipasi oleh Arnstein (1969).
4.2. Tangga Partisipasi
Konsep tangga partisipasi dari Sherry Arnstein (1969) mendefinisikan strategi partisipasi
yang didasarkan pada distribusi kekuasaan antara komunitas masyarakat dengan badan
pemerintah (agency). Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka akan semakin
tinggi pula distribusi kekuasaan masyarakat dibandingkan dengan badan pemerintahan,
sehingga pada akhirnya akan mengarah pada suatu proses partisipasi maksimal dimana
masyarakat memiliki kontrol penuh terhadap upaya perubahan / perbaikan kehidupan
mereka, sesuai dengan tujuan konsep pemberdayaan masyarakat.

Gambar 2 Tangga Partisipasi Arnstein

Dalam konsep tangga partisipasi, Arnstein mengelompokkan delapan anak tangga kedalam
tiga bagian. Bagian kesatu, Nonparticipation (Tidak Ada Partisipasi) berjenjang dari
manipulasi dan terapi, dimana otoritas yang berkuasa akan leluasa menyampaikan
informasi program yang sifatnya top-down. Masyarakat masih dalam taraf menerima
program sebagai suatu kewajiban yang harus dijalankan tanpa memahami kebenaran
sasaran dan keluaran program tersebut serta manfaatnya bagi mereka. Kekurangan kondisi
ini adalah besarnya kemungkinan program tidak berjalan sebagaimana mestinya karena
tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Pada bagian kedua, Tokenism (Delusif), kondisi
masyarakat yang lebih baik akan mengubah strategi dan cara menginformasikan program.
Pada tahap ini, otoritas yang berkuasa menginformasikan program dan rencana yang lebih
terukur dan dapat menimbulkan suatu diskusi dan umpan balik untuk penyesuaian
program.

Bagian ketiga, yaitu citizen power (masyarakat yang memiliki kekuatan), adalah tingkatan
partisipasi yang paling kuat, dimana masyarakat memiliki kekuatan untuk menyaring
informasi, bertindak, dan bernegosiasi dengan otoritas, sehingga otoritas yang berkuasa
perlu lebih mendengar umpan balik dan merancang program yang lebih implementatif
dengan mendahulukan keinginan dan kepentingan masyarakat. Partisipasi masyarakat yang
ideal akan tercipta pada level ini.

5. Rekomendasi: Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat yang Dapat


Dikembangkan dalam Upaya Penanganan Permukiman di Hulu Sungai
Citarum
Sesuai dengan tangga partisipasi Arnstein, upaya pemberdayaan masyarakat perlu melihat
kapasitas masyarakat yang akan dilibatkan. Masyarakat di wilayah permukiman pada hulu
sungai Citarum nampaknya belum berada pada tingkatan partisipasi yang tinggi, sehingga
untuk menghasilkan program yang efektif, diperlukan upaya yang lebih besar dari
pemerintah untuk memahami kebutuhan mereka dan menyampaikannya sesuai dengan
kapasitas masyarakat.

Beberapa langkah yang perlu diambil dalam menyusun strategi pemberdayaan masyarakat
di kawasan permukiman hulu sungai Citarum adalah:
Perlunya memetakan secara tepat kapasitas partisipasi masyarakat dan peluang
peningkatannya berdasarkan pertimbangan aspek budaya, pendidikan, dan
pengalaman partisipatif masyarakat
Menyusun alternatif strategi pemberdayaan sesuai dengan tingkatan partisipasi
masyarakat dengan asumsi bahwa tingkat partisipasi tersebut akan meningkat
seiring pelaksanaan program.
Penyesuaian perangkat pendukung pelaksanaan program pengelolaan DAS Citarum
dengan tingkatan partisipasi masyarakat agar pemberdayaan masyarakat dapat
disesuaikan dengan kapasitas partisipasi yang diharapkan terus meningkat.
Merumuskan program yang dapat meningkatkan kapasitas partisipasi secara
bertahap dan terukur, sehingga pada satu kondisi diharapkan akan diperoleh tingkat
partisipasi ideal di masyarakat, yang diharapkan dapat menjadi tonggak bagi
keberlanjutan program penanganan lingkungan permukiman di wilayah hulu sungai
Citarum yang berbasis masyarakat.

Pemberdayaan masyarakat yang efektif akan tercipta dari suatu strategi partisipasi yang
tepat dengan mempertimbangkan kapasitas masyarakat dan memberi peluang untuk
terjadinya peningkatan kapasitas partisipasi tersebut, sehingga program yang disusun akan
lebih tepat sasaran, terukur, dan mempertimbangkan kepentingan masyarakat maupun
kebutuhan untuk mengapresiasi upaya pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
Referensi

Isbandi Rukminto Adi., Pemberdayaan Masyarakat dan Partisipasi Masyarakat. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, Revisi 2012

Pusat Pengelolaan Ekoregion Jawa, Kementerian Lingkungan Hidup, 2014

Summary Rencana Penanganan Terpadu Wilayah Sungai Citarum 2010 2025, Kementerian
Lingkungan Hidup, 2011

PCMU Balai Besar Wilayah Sungai Citarum dan RCMU Direktorat Pengairan dan Irigasi
Bappenas, www.citarum.org

Data-data Wahana Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat www.walhijabar.org

Anda mungkin juga menyukai