Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kecelakaan lalu lintas adalah masalah kesehatan masyarakat diseluruh

dunia, khususnya di negara berkembang. Di Indonesia, jumlah kendaraan

bermotor yang meningkat setiap tahunnya dan kelalaian manusia, menjadi faktor

utama terjadinya peningkatan kecelakaan lalu lintas. Data badan pusat statistic

menyatakan pada 2012 terjadi 117.949 jumlah kecelakaan dengan korban

meninggal dunia sebanyak 29.544 orang dan pada tahun 2013 terjadi 100.106

jumlah kecelakaan dengan korban meninggal dunia sebanyak 26.416 orang (BPS

RI, 2014)

Kecelakaan lalu lintas menyebabkan seseorang mengalami cedera atau

bahkan kematian. Cedera merupakan kerusakan fisik pada tubuh manusia yang

diakibatkan oleh kekuatan yang tidak dapat ditoleransi dan tidak dapat diduga

sebelumnya (WHO, 2004).kerusakan fisik yang paling sering terjadi dalam

kecelakaan yang mengenai sistem muskuloskeletal adalah fraktur.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis

dan luasnya. fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang

dapat diabsorbsinya. Penanganan fraktur terbagi menjadidua jenis yaitu secara

konservatif ataudilakukan tanpa pembedahan dan dilakukandengan pembedahan

orthopedi. prinsip dari penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

1
2

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi (Smeltzer & Bare,

2002).

Dampak dari fraktur yang ditimbulkan diantaranya terbatasnya aktivitas

terutama pada pasien post operasi fraktur,sehingga kebanyakan pasien merasa

takut untuk bergerak setelah pembedahan orthopedi (Smeltzer & Bare, 2002).

Perawatan segera setelah operasi, harus dilakukan mobilisasi agar fungsi

kemandirian dapat dipertahankan. Manfaat dari mobilisasi yaitu untuk

peningkatan sirkulasi darah yang dapat menyebabkan pengurangan rasa nyeri,

mencegah tromboflebitis, memberi nutrisi untuk penyembuhan pada daerah luka,

dan meningkatkan kelancaran fungsi ginjal (Long, 2006).

Pasien yang menjalani operasi pembedahan orthopedi, setelah

pembedahan, tugas seorang perawat diantaranya mengobservasi kondisi luka

meliputi jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase yang terdapat pada balutan

(Potter & Perry, 2006). Ada beberapa masalah yang sering muncul setelah

pembedahan diantaranya adalah luka bedah mengalami stres selama masa

penyembuhan akibat nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi, dan

perubahan metabolisme yang akan meningkatkan risiko lambatnya penyembuhan

luka (Potter & Perry, 2006).

Penyembuhan luka adalah suatu proses fisiologis dari sel dan jaringan

dalam melakukan regenerasi atau kembali ke striktur normal melalui pertumbuhan

sel. luka bedah akan mengalami penyembuhan primer karena tepi kulit saling

berdekatan atau merapat dan mempunyai resiko infeksi yang rendah sehingga
3

penyembuhan terjadi dengan cepat. infeksi luka operasi biasanya tidak terjadi

sampa hari ke-4 atau ke-5 setelah operasi (Potter & Perry, 2006).

Mobilisasi dini merupakan faktor yang menonjol dalam mempercepat

penyembuhan atau pemulihan luka pasca bedah. Apabila klien imobilisasi

mempunyai luka, maka kecepatan penyembuhan menunjukkan indikasi nutrien

yang dibawa ke jaringan melambat (Potter & Perry, 2006). Secara psikologis

mobilisasi akan memberikan kepercayaan kepada pasien bahwa dia mulai merasa

sembuh (Brunner & Suddart, 2002).

Range Of Motion (ROM) adalah Latihan gerakan sendi yang

memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien

menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara

aktif ataupun pasif. Keuntungan dari Range Of Motion (ROM) diantaranya

memperbaiki kontraksi miokardial/meningkatkan curah jantung (memperlancar

peredaran darah) sehingga membantu penyembuhan luka dan memperbaiki

toleransi otot untuk latihan (Potter & Perry, 2006).

Menurut Ners Gusty, RP jurnal keperawatan FK UNAND vol 7, 2011

tentang Pengaruh Mobilisasi Dini Pasien Pasca Operasi Abdomen Terhadap

Penyembuhan Luka Dan Fungsi Pernafasan didapatkan bahwa hasil penelitian

menunjukkan terdapat perbedaan penyembuhan luka dan fungsi pernafasan pasien

post operasi abdomen antara kelompok yang tidak melakukan mobilisasi dini

sesuai prosedur (kontrol) dengan kelompok yang melakukan mobilisasi dini

sesuai prosedur perlakuan untuk bedah mayor dengan p = 0.000.


4

Selain itu dalam jurnal ilmu kesehatan Vol 3 Akademi Dharma Husada

Kediri, 2014 tentang pengaruh ROM exercise dini pada pasien post operasi

fraktur ekstremitas bawah terhadap lama hari rawat diruang bedah RSUD

Gambiran kota Kediri didapatkan bahwa hasil penelitian menunjukkan niali

signifikan 0,000<@ = 0.05, yang artinya ada pengaruh positif dari ROM exercise

dini pada pasien post operasi frakture ekstremitas bawah terhadap lama hari rawat.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RS.

Ngudi Waluyo Wlingi bahwa pada kurun waktu 3 bulan terakhir terdapat 102

pasien post operasi fraktur ekstremitas. Hasil wawancara pada perawat didapat

hasil bahwa pasien post operasi fraktur ekstremitas dianjurkan untuk mobilisasi

dini, namun tidak di observasi secara ketat dan terkadang pasien merasa takut

melakukan mobilisasi pasca operasi.

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti tentang

pengaruh Exercise range of motion dini terhadap proses penyembuhan luka pada

klien post operasi frakture ektremitas di RSUD X.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah

adakah pengaruh pemberian Exercise range of motion dini terhadap proses

penyembuhan luka pada klien post operasi frakture ektremitas di RSUD X


5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh exercise range of motion dini terhadap

proses penyembuhan luka pada klien post operasi frakture ektremitas di

RSUD X

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi proses penyembuhan luka pada pasien post operasi

frakture ekstremitas sebelum dilakukan exercise range of motion dini.

2. Mengidentifikasi proses penyembuhan luka pada pasien post operasi

frakture ekstremitas setelah dilakukan exercise range of motion dini.

3. Menganalisis pengaruh exercise range of motion dini terhadap proses

penyembuhan luka pada pasien post operasi frakture ekstremitas di RSUD

X.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Dengan exercise range of motion dini pada pasien post operasi fraktur

ekstremitas dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka, sehingga harapan

sesuai dengan teori bahwa pemberian exercise range of motion dini dapat

memperlancar peredaran darah dan memberikan cukup nutrisi yang dibutuhkan

untuk proses penyembuhan luka pada objek penelitian.

1.4.2 Praktisi

Dengan mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan exercise

range of motion melalui penelitian maka akan dapat memberikan operasional bagi

keperawatan sehingga dapat diterapkan di klinik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Fraktur

2.1.1 Pengertian Fraktur

Fraktur adalah petah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan

tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

(Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas

tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. (Smeltzer dan Bare, 2002).

2.1.2 Etiologi

Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gaya

punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah,

jaringan sekitarnya juga terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak,

perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf,

dan kerusakan pembuluh dasar. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat

gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang. (Smeltzer &

Bare, 2002)

2.1.3 Manifestasi klinis

Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat utama, rasa nyeri dan

bengkak di bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi,

diskrepansi), nyeri tekan, krepitasi, gangguan fungsi musculoskeletal akibat

nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler. Apabila

gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosis fraktur dapat ditegakkan

6
7

walaupun jenis konfigurasi frakturnya belum dapat ditentukan (Sjamsuhidajat

& De Jong, 2012)

2.1.4 Klasifikasi Fraktur

Menurut Smeltzer & Bare, tahun 2002, secara klinis, fraktur dibagi

menurut ada-tidaknya hubungan patahan tulang dengan dunia luar, yaitu

fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur terbuka memungkinkan

masuknya kuman dari luar ke dalam luka. Patah tulang terbuka dibagi

menjadi tiga derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka dan fraktur

yang terjadi. Derajat fraktur ada 3 , lihat tabel dibawah ini.

Tabel 2.1 Klasifikasi Fraktur


Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <1cm Sederhana, dislokasi
kerusakan jaringan tidak fragmen minimal
berarti
II Laserasi>1cm tidak ada Dislokasi fragmen jelas
kerusakan jaringan yang
hebat atau avulsi
III Luka lebar dan rusak Komunikatif,
hebat, atau hilangnya segmental, fragmen
jaringam disekitarnya tulang ada yang hilang
Kontaminasi hebat

Menurut garis frakturnya, patah tulang dibagi menjadi fraktur komplet

atau inkomplet (termasuk fisura dan greenstick fracture), transversa, oblik,

spiral, kompresi, simple, komunikatif, segmental, kupu-kupu, dan impaksi

(termasuk impresi dan inklavasi). (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012). Fraktur

komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasannya

mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal). Fraktur tidak komplet,

patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.


8

Fraktur tertutup (fraktur simple) tidak menyebabkan robeknya kulit.

Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan

luka pada kulit atau membrane mukosa sampai ke patahan tulang. Fraktur

terbuka digradasi menjadi: Grade I dengan luka bersih kurang dari 1 cm

panjangnya; Grade II luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang

ekstensif; dan Grade III, yang sangat terkontaminasi dan mengalami

kerusakan jaringan lunak ekstensif, merupakan yang paling berat.

Fraktur juga digolongkan sesuai pergeseran anatomis fragmen tulang-

fraktur bergeser/tidak bergeser. Berikut ini adalah berbagai jenis khusus

fraktur:

1. Greenstick fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi

lainnya membengkok.

2. Transversal fraktur sepanjang garis tengah tulang.

3. Oblik fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih

tidak stabil disbanding transversal).

4. Spiral fraktur memuntir seputar batang tulang.

5. Kominutif fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

6. Depresi fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering

terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).

7. Kompresi fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada

tulang belakang).

8. Patologik fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista

tulang, penyakit Paget, metastasis tulang, tumor).


9

9. Avulsi tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada

perlekatannya.

10. Epifiseal fraktur melalui epifisis.

11. Impaksi fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

lainnya.

2.1.5 Tahap penyembuhan fraktur

Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang

akan terjadi pada setiap patah tulang, tidak peduli apa yang telah dikerjakan

dokter pada patahan tulang tersebut. Pada permulaan akan terjadi perdarahan

di sekitar patahan tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembukuh darah

pada tulang dan periost. Fase ini disebut fase hematoma. Hematom ini

kemudian menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler

hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler

didalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang saling

menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis, dan jaringan yang

menempelkan fragmen patahan tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Ke

dalam hematom dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan

mesenkim yang bersifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi kondroblast

yang membentuk kondoroid yang merupakan bahan dasar tulang rawan,

sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya

relative banyak, sel ini berubah menjadi osteoblast dan membentuk osteoid

yang merupakan bahan dasar tulang kondoroid dan osteoid ini mula-mula

tidak mengandung kalsium sehingga tidak terlihat pada foto Rontgen. Pada

tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini


10

menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang. Pada foto Rontgen

proses ini terlihat sebagai bayangan radio-opak, tetapi bayangan garis patah

tulang masih terlihat. Fase ini disebut penyatuan klinis. Selanjutnya, terjadi

penggantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh tekanan dan tarikan yang

bekerja pada tulang. Akhirnya, sel tulang ini mengatur diri secara lamellar

seperti sel tulang normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang

biasa dan fase ini disebut fase konsolidasi (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012)

2.1.6 Faktor yang mengganggu penyembuhan fraktur

Proses penyembuhan patah tulang ini dapat mengalami gangguan.

Pertama, dapat terjadi perlambatan penyembuhan patah tulang. Keadaan ini

disebut pertautan lambat dan dengan berlalunya waktu, pertautan akan terjadi.

Kedua, bias terjadi patah tulang yang tidak menyambung sama

sekalimeskipun ditunggu berapa lama pun. Gagalnya pertautan

mengakibatkan pseudartrosis atau sendi palsu karena bagian bekas patah

tulang ini dapat digerakkan seperti sendi. Ketiga, terjadi pertautan, tetapi

dalam posisi yang salah; keadaan ini disebut salah taut. Gangguan

penyembuhan tulang dapat disebabkan oleh imobilisasi yang tidak cukup,

infeksi, interposisi, dan gangguan perdarahan setempat. Gerakan pada ujung

pecahan patah tulang menghalangi proses pertautan.(Sjamsuhidajat & De

Jong, 2012)

2.1.7 Komplikasi fraktur

Komplikasi patah tulang dibagi menjadi komplikasi segera, komplikasi

dini, dan komplikasi lambat atau kemudian. Komplikasi segera terjadi pada

saat terjadinya patah tulang atau segera setelahnya, komplikasi dini terjadi
11

dalam beberapa hari setelah kejadian, dan komplikasi kemudian terjadi lama

setelah patah tulang. Pada ketiganya dibagi lagi masing-masing menjadi

komplikasi local dan umum (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).

1. Komplikasi segera

a. Local

Kulit: abrasi, laserasi, penetrasi

Pembuluh darah: robek

System saraf: sumsum tulang belakang, saraf tepi motoric dan

sensorik

Otot

Organ dalam: jantung, paru, hepar, limpa (pada fraktur kosta),

kandung kemih (pada fraktur pelvis).

b. Umum

Rudapaksa multiple

Syok: hemorargik, neurogik

2. Komplikasi dini

a. Local

Nekrosis kulit, gangrene, sindorm kompartemen, thrombosis

vena, infeksi sendi, ostiomielitisumum

ARDS, emboli paru, tetanus

3. Komplikasi lama

a. Local

Sendi: ankilosis fibrosa, ankilosis osal


12

Tulang: Gagal taut/taut lama/salah taut

Distrofi reflex

Osteoporosis pasca trauma

Gangguan pertumbuhan

Osteomyelitis

Patah tulang ulang

Otot/tendo: penulangan otot, rupture tendon

Saraf: kelumpuhan saraf lambat

b. Umum

Batu ginjal (akibat imobilisasi lama di tempat tidur)

2.1.8 Penatalaksanaan Fraktur

Menurut Thomas, (2011) prinsip penanganan fraktur adalah

mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan

mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang

(imobilisasi).

Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna

seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan remodeling (proses

swapugar).

1. Cara pertama penanganan adalah proteksi saja tanpa reposisi dan

imobilisasi. Pada fraktur dengan dislokasi fragmen dan imobilisasi.

Pada fraktur dengan dislokasi fragmen patahan yang minimal atau

tidak akan menyebabkan cacat dikemudian hari, cukup dilakukan

dengan protesi saja, misalnya dengan mengenakan mitela atau

sling. Contoh kasus yang ditangani dengan cara ini adalah fraktur
13

iga, fraktur klavikula pada anak, dan fraktur vertebra dengan

kompresi minimal.

2. Cara kedua ialah mobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap

diperlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh

cara ini adalah pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa

dislokasi yang penting.

3. Cara ketiga berupa reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti

dengan imobiliasi. Ini dilakukan pada patah tulang dengan

dislokasi fragmen yang berarti, seperti pada patah tulang radius

distal.

4. Cara keempat berupa reposisi dengan traksi terus-menerus selama

masa tertentu, misalnya beberapa minggu, lalu diikuti dengan

imobilisasi. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang bila

direposisi akan terdislokasi kembali didalam gips, biasanya pada

fraktur yang dikelilingi oleh otot yang kuat seperti pada patah

tulang femur.

5. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi

dengan fiksasi luar. Fiksasi fragmen fraktur menggunakan pin baja

yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi

disatukan secara kokoh dengan batangan logam luar kulit. Alat ini

dinamakan fiksator eksterna.

6. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan

pemasangan fiksator tulang secara operatif, misalnya reposisi patah

tulang kolum femur. Fragmen direposisi secara non- operatif


14

dengan meja traksi; setelah tereposisi, dilakukan pemasangan

protesis pada kolum femur secara operatif.

7. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi

interna. Cara ini disebut juga sebagai reduksi terbuka fiksasi

interna (open reduction internal fixation, ORIF). Fiksasi interna

yang dipakai biasanya berupa plat dan sekrup. Keuntungan ORIF

adalah tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh

sehingga pasca operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan

mobilisasi segera bisa dilakukan. Kerugiannya adalah adanya

risiko infeksi tulang. ORIF basannya dilakukan pada fraktur femur,

tibia, humerus, antebrakia.

8. Cara yang terakhir adalah berupa eksisi fragmen patahan tulang

dan menggantinya dengan protesis, yang dilakukan pada patah

tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif lalu

diganti dengan protesis. Penggunaan protesis dipilih jika fragmen

kolum femur tidak dapat disambungkan kembali, biasanya pada

orang lanjut usia.

2.2 Konsep Luka Bedah

2.2.1 Pengertian Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yan

disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,

ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. (R. Samsuhidajat, 2006). Luka

adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis
15

yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu

(Perry & Potter, 2012)

2.2.2 Fisiologi penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka menurut Sjamsuhidajat, (2011) terdapat 3

fase penyembuhan yaitu : fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase

remodelling.
1. Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira

hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan

menyebabkan perdarahan, tubuh berusaha menghentikan dengan

vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh darah yang putus (retraksi),

dan reaksi hemostatis.


Hemostatis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh

darah saling melekat, dan bersama jala fibrin yang terbentuk,

membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah. Trombosit yang

berlekatan akan berdegranulasi, melepas kemoatrakan yang menarik sel

radang, mengaktifkan fribolast lokal dan sel endotel serta

vasokonstriktor. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi.


2. Fase Profilerasi
Fase profilerasi disebut juga fase fibroplasia karena yang

menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung di

akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast

berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin yang merupakan

bahan dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka.


3. Fase Remodelling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan

kembali jaringan yang berlebihan, pengerutan yang sesuai denhgan


16

gaya gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru. Fase

ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau

semua tanda radang sudang lenyap.


Tabel 2.2 Fase Penyembuhan Luka

No Fase Proses Tanda Dan Gejala


1. Dolor
2. Rubor
I Inflamasi Reaksi Radang
3. Kalor
4. Tumor
Jaringan granulasi / kalus
Regenerasi atau
II Proliferasi tulang menutup : epitel /
fibroplasia
endotel / mesotel
Pematangan dan
III Remodeling Jaringan parut / fibrosis
perupaan kembali

2.2.3 Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

Menurut (Potter & Perry, 2006) terdapat beberapa factor yang

mempengaruhi kecepatan penyembuhan luka. Klien yang memiliki factor

factor berisiko mengalami komplikasi luka, berikut ini factor factor yang

mempengaruhi penyembuhan luka:

1. Usia:

a. Penuaan dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka.

b. Perubahan vaskuler mengganggu sirkulasi ke daerah luka.

c. Penurunan fungsi hati mengganggu sintesis factor pembekuan.

d. Respons inflamasi lambat.

e. Pembentukan antibody dan limfosit menurun.

f. Jaringan kolagen kurang lunak.


17

g. Jaringan parut kurang elastis.

2. Malnutrisi:

a. Semua fase penyembuhan luka terganggu.

b. Stress akibat luka atau trauma yang parah akan meningkatkan

kebutuhan nutrisi.

3. Obesitas:

a. Jaringan lemak kekurangan suplai darah untuk melawan infeksi

bakteri dan untuk mengirimkan nutrisi serta elemen selular yang

berguna dalam pnyembuhan luka.

4. Gangguan oksigenasi:

a. Tekanan oksigenasi arteri yang rendah akan mengganggu sintesis

kolagen dan pembentukan sel epitel.

b. Jika sirkulasi local aliran darah buruk, jaringan gagal memperoleh

oksigen yang dibutuhkan.

c. Penurunan Hb dalam darah (anemia) akan mengurangi tingkat

oksigenasi arteri dalam kapiler dan megganggu perbaikan jaringan.

5. Merokok:

a. Merokok mengurangi jumlah Hb fungsional dalam darah sehingga

menurunkan oksigenasi jaringan.

b. Merokok dapat meningkatkan agresisasi trombosit dan menyebabkan

hiperkoagulasi.

c. Merokok mengganggu mekanisme sel normal yang dapat

meningkatkan pelepasan oksigen ke dalam jaringan.


18

6. Obat-obatan:

a. Steroid menurunkan respons inflamasi dan memperlambat sintesis

kolagen.

b. Obat-obatan antiinflamasi menekan sintesis protein, kontraksi luka,

epitelisasi, dan inflamasi.

c. Penggunaan antibiotic dalam waktu lama dapat meningkatkan risiko

terjadinya superinfeksi.

d. Obat-obatan kemoterapi dapat menekan fungsi sum-sum tulang,

menurunkan jumlah leukosit, dan mengganggu respon inflamasi.

7. Diabetes:

a. Penyakit kronik menyebabkan timbulnya penyakit pembuluh darah

kecil yang dapat mengganggu perfusi jaringan.

2.2.4 Pengukuran perkembangan penyembuhan luka

Evaluasi perkembangan luka dapat menggunakan skala Bates

Jensen yang terdiri dari 13 item penilaian meliputi ukuran luka, kedalaman

luka, tepi luka, undermining (gua), tipe jaringan nekrotik, tipe eksudat,

jumlah eksudat, kondisi kulit sekitar luka, edema perifer, ukuran granulasi,

ukuran epitelisasi. Menurut Dealay (2007) evaluasi untuk luka akut dapat

dilakukan setiap penggantian balutan, namun untuk luka kronik karena

proses penyembuhan luka berlangsung lebih lambat maka evaluasi kondisi

luka dapat dilakukan dengan interval waktu 2-4 minggu.

2.3 Konsep Mobilisasi Range Of Motion (ROM) Dini


19

2.3.1 Pengertian Mobilisasi ROM Dini

Mobilitas atau mobilisasi dini merupakan kemampuan individu untuk

bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi

aktifitas guna mempertahankan kesehatannya (Hidayat AA, 2006). Menurut

Kozier & Erb, (2009) Rentang Gerak Sendi (ROM) adalah pergerakan

maksimum yang mungkin dilakukan oleh sendi. Rentang gerak sendi

bervariasi pada setiap individu dan ditentukan secara genetis, pola

perkembangan, ada atau tidak adanya penyakit, dan banyaknya aktivitas

fisik yang biasanya dilakukan seseorang. Rentang gerak adalah gerakan

sendi melalui rentang penuhnya dalam semua bidang yang sesuai untuk

mempertahankan atau meningkatkan gerakan sendi (Smeltzer and Bare,

2002).

2.3.2 Tujuan Latihan Mobilisasi ROM Dini

Menurut Potter & Perry tahun 2006, tujuan moblisasi secara umum

untuk mengekspresikan emosi dengan gerakan nonverbal, pertahanan diri,

pemenuhan kebutuhan dasar, aktivitas hixup sehari - hari fdan kegiatan

rekreasi. dalam mempertahankan mobilitas fisik secara optimal maka sistem

saraf, otot dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi dengan baik.

2.3.3 Jenis Latihan Mobilisasi ROM Dini

Gerakan sendi melalui ekskursi penuh atau parsial yang dilakukan

untuk mempertahankan atau meningkatkan ruang gerak suatu sendi. Kisaran

gerak merupakan tipe latihan paling dasar yang diberikan pada semua fase

rehabilitasi fraktur. Kisaran gerakan dapat bersifat penuh (anatomis) atau

fungsional (gerakan yang diperlukan untuk melakukan tugas tertentu).


20

1. Kisaran gerak penuh

Kisaran gerak penuh adalah kisaran gerak yang dimungkinkan

terjadi pada sendi tertentu, sesuai struktur anatominya. Keterbatasan

gerak akibat konfigurasi tulang pada sendi serta keadaan ligament

akan menentukan luas ekskursi sendi yang mungkin, atau kisaran

gerakan. Misalnya, lutut mempunyai kisaran gerak 0-120 derajat

(ekstensif penuh, 0 derajat, sampai fleksi penuh, 120 derajat).

2. Kisaran gerak fungsional

Kisaran gerak fungsional adalah luas kisaran gerak yang diperlukan

pada sendi tertentu untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari atau

untuk tugas khusus-pasien (missal, menangkap bola). Untuk dapat

duduk dengan nyaman, misalnya, dibutuhkan fleksi 90 derajat pada

lutut. Kisaran gerak lutut mulai dari ekstensi penuh (0 derajat)

sampai 90 derajat fleksi tidak penuh, tetapi kisaran gerak ini

fungsional untuk duduk.

3. Kisaran gerak aktif

Paisen diinstruksikan untuk menggerakkan sendi melalui gerakan

penuh atau parsial yang ada sesuai keinginannya sendiri. Tujuan

latihan kisaran gerak aktif adalah menghindari kehilangan ruang

gerak yang ada pada sendi. Latihan ini diindikasikan pada fase awal

penyembuhan tulang, saat tidak ada atau sedikitnya stabilitas pada

tempat fraktur . umpan balik sensorik langsung pada pasien dapat

membantu mencegah gerakan yang dapat menimbulkan nyeri atau

mempengaruhi stabilitas tempat fraktur.


21

4. Kisaran gerak aktif dengan bantuan

Pada latihan ini, pasien dilatih menggunakan kontraksi ototnya

sendiri untuk menggerakkan sendi, sedangkan professional yang

melatih, memberikan bantuan atau tambahan tenaga. Latihan ini

paling sering digunakan pada keadaan kelemahan atau inhibisi

gerak akibat nyeri atau rasa takut, atau untuk meningkatkan kisaran

gerak yang ada. Pada latihan ini dibutuhkan stabilitas pada tempat

fraktur, misalnya bila sudah ada penyembuh tulang atau sudah

dipasang fiksasi fraktur.

5. Kisaran gerak pasif

Latihan ini terdiri dari gerakan sendi tanpa kontraksi otot pasien.

Semua gerakan dilakukan oleh dokter atau terapis. Tujuan latihan

ini adalah untuk mempertahankan atau meningkatkan gerakan yang

ada pada sendi, bergantung pada tenaga yang diberikan. Latihan ini

diindikasikan jika kontraksi otot volunteer tidak mungkin

dilakukan, tidak mau atau tidak cukup kuat melawan kontraktur

kapsul sendi. Karena berkurangnya umpan balik sensorik langsung

pada pasien, latihan kisaran gerak pasif tidak boleh dilakukan jika

gerakan sendi berlebihan dapat mempengaruhi stabilitas fraktur

yang sedang menyembuh.

2.3.4 Indikasi Latihan Mobilisasi ROM Dini

Indikasi pelaksanaan mobilisasi ROM adalah pasien dengan bed rest

total di tempat tidur dalam jangka waktu yang lama, pasien yang setelah

immobilisasi karena suatu keadaan tertentu (Potter & Perry, 2006).


22

2.3.5 Kontraindikasi Latihan Mobilisasi ROM Dini

Klien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispneu atau

nyeri dada selama latihan tidak akan tahan melakukan aktifitas seperti pada

klien yang tidak mengalaminya. pada klien lemah tidak mampu meneruskan

aktivitasnya karena energi yang besar diperlakukan untuk menyelesaikan

aktivitas menyebabkan kelelahan dan kelemahan menyeluruh. orang yang

depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan aktivitas.

perubahan perkembangan juga mempengaruhi aktivitas, todler dan remaja

membutuhkan istirhat yang lebih banyak. ibu hamil tua, akibat ukuran dan

lokasi fetus maka kemampuan ibu bernafas dalam menurun dan berkurangnya

oksigen yang dipakai untuk latihan. pada orang tua akibat massa otot

berkurang, postur tubuh berubah, dan kompensasi tulang berubah akan terjadi

penurunan aktivitas (Potter & Perry, 2006).

2.3.6 Prinsip Latihan Mobilisasi ROM Dini

Menurut Suratun, (2008) prinsip dasar latihan ROM ada 7, yaitu:

1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali

sehari.

2. ROM harus dilakukan perlahan dan hati-hati sehingga tidak

melelahkan pasien.

3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur,

pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.

4. ROM sering diprogramkan oleh dokter dan dikerjakan oleh ahli

fisioterapi.
23

5. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan latihan ROM adalah

leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.

6. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada

bagian-bagian yang dicurigai mengalami proses penyakit.

7. Melakukan ROM harus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi

atau perawatan rutin telah dilakukan.

2.3.7 Tahap Mobilisasi ROM Dini


Tahap tahap mobilisasi dini menurut Kasdu (2003) dilakukan secara

beberapa tahap, berikut ini tahapan mobilisasi dini:


1. Setelah operasi, pada 6 jam pertama klien harus tirah baring terlebih

dahulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan

kaki, mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan

menggeser kaki. Bertujuan untuk memperlancar aliran darah.


2. Setelah 6 10 jam, klien diharuskan untuk dapat miring kekiri dan

kekanan mencegah thrombosis dan tromboli emboli.


3. Setelah 24 jam klien dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk

duduk
4. Setelah klien dapat duduk, dianjurkan klien belajar berjalan
Menurut Doengoes (2002) tahap mobilisasi dini dibagi menjadi 2 tahap,

yaitu:
1. Pada 2-6 jam pertama setelah operasi atau pada hari pertama
Mobilisasi dini sebaiknya dilakukan segera setelah klien sadar dari

masa anestesi atau 2-6 jam setelah operasi selesai. Mobilsasi dini

paling cepat adalah mobilisasi dini yang dilaksanakan 2 jam setelah

operasi selesai karena efek anestesi sudah hilang dan fungsi tubuh

normal sehingga meminimalkan terjadinya efek samping yang

mungkin terjadi seperti pusing, mual dan muntah.


2. Pada 24 jam setelah operasi
24

Mobilisasi dini yang dilakukan 24 jam setelah operasi adalah

meliputi latihan duduk tegak, duduk di tepi tempat tidur dengan kaki

digantung, berdiri serta berjalan dalam ruangan.


Menurut Emely et al (2015) mobilisasi dini pasca operasi di bagi

menjadi 4 level terapi, sebagai berikut:


1. Level pertama dirancang untuk pasien tidak sadar dimana terapi

yang dilakukan adalah latihan rentang gerak pasif. Latihan rentang

gerak pasif pada ekstremitas atas dan bawah selama 3 kali sehari.
2. Level kedua dirancang untuk pasien yang menggapi dan mengikuti

perintah dimana tetapi yang dilakukan adalah latihan gerak pasif


3. Level ketiga dan keempat dirancang untuk pasien yang waspada dan

dapat berpartisipasi secara aktif. Terapi yang dilakukan adalah

membantu pasien keluar dari tempat tidur dan ke kursi, menjuntai

kaki di sisi tempat tidur, berdiri disamping tempat tidur, dan

ambulasi.

2.3.8 Prosedur Latihan ROM pasif

Prosedur latihan ROM pasif menurut Suratun, (2008), ialah:

1. Fleksi dan ekstensi pergelangan tangan

a. Atur posisi pasien sebelum latihan dilakukan, yaitu dengan posisi

tidur terlentang diatas tempat tidur. Lengan ditarik sejajar dengan

bahu.

b. Lengan bawah fleksi, sehingga telapak tangan dan jari-jari tangan

pada posisi vertical. Tangan kiri perawat memegang pergelangan

tangan kanan pasien dan tangan kanan perawat memegang telapak

tangan pasien.
25

c. Lakukan gerakan fleksi ke depan pada pergelangan tangan pasien.

Perawat menggerakkan telapak tangan dan jari-jari tangan pasien

ke arah depan, sehingga telapak tangan dan jari-jari pada posisi

horizontal.

d. Kembalikan tangan pada posisi.

e. Lakukan gerakan fleksi ke belakang pada pergelangan tangan

pasien. Perawat menggerakkan telapak tangan dan jari-jari tangan

pasien ke arah belakang, sehingga telapak tangan dan jari-jari

tangan pada posisi horizontal.

f. Ulangi gerakan fleksi ke depan, ekstensi, dan fleksi ke belakang

secara berurutan sebanyak 8 kali untuk masing-masing tangan

kanan dan kiri.

2. Fleksi dan ekstensi siku

a. Atur posisi pasien sebelum latihan dilakukan, yaitu dengan posisi

tidur terlentang diatas tempat tidur.

b. Posisi tangan kanan pasien lurus sejajar dengan tubuh dengan

telapak tangan menghadap keatas. Tangan kiri perawat diletakkan

di atas siku pasien dan tangan kanan perawat memegang telapak

tangan pasien.

c. Lakukan gerakan fleksi siku. Perawat mengangkat lengan bawah ke

arah atas, sehingga posisi lengan bawah pasien tegak lurus atau

vertical.

d. Kembali ke posisi semula.


26

e. Ulangi gerakkan di atas sebanyak 8 kali untuk masing-masing

tangan kanan dan kiri.

3. Pronasi dan supinasi lengan bawah

a. Atur posisi pasien sebelum latihan dilakukan, yaitu dengan posisi

tidur terlentang diatas tempat tidur, dan kedua tangan lurus sejajar

dengan tubuh.

b. Posisi lengan fleksi, yaitu tangan kiri perawat memegang

pergelangan tangan kanan pasien dan tangan kanan perawat

memegang telapak tangan pasien.

c. Lakukan gerakan pronasi siku. Perawat memutar lengan bawah

pasien ke arah luar atau kea rah perawat, sehingga telapak tangan

menghadap ke luar.

d. Kembali ke posisi semula.

e. Lakukan gerakan supinasi lengan bawah. Perawat memutar lengan

bawah pasien ke arah dalam, sehingga telapak tangan menghadap

ke tubuh pasien.

f. Kembali ke posisi semula.

g. Ulangi gerakan di atas 8 kali untuk masing-masing tangan kanan

dan kiri.

4. Fleksi dan ekstensi bahu

a. Atur posisi pasien sebelum latihan dilakukan, yaitu dengan posisi

tidur terlentang di atas tempat tidur.


27

b. Tangan pasien lurus sejajar dengan tubuh dan telapak tangan

menghadap ke tubuh pasien. Tangan kiri perawat memegang siku

kanan pasien dan tangan kanan perawat memegang telapak tangan

pasien.

c. Lakukan gerakan fleksi bahu. Perawat mengangkat tangan pasien

ke atas, sehingga posisi tangan kanan pasien tegak lurus atau

vertical.

d. Kembali ke posisi semula.

e. Ulangi gerakan di atas 8 kali untuk masing-masing tangan kanan

dan kiri.

5. Abduksi dan adduksi bahu

a. Atur posisi pasien sebelum latihan dilakukan, yaitu dengan posisi

tidur terlentang diatas tempat tidur.

b. Posisi tangan kanan pasien lurus sejajar dengan tubuh, telapak

tangan menghadap ke atas. Tanagn kiri perawat memegang bagian

atas siku pasien, tangan kanan perawat memegang punggung

telapak tangan pasien.

c. Lakukan gerakan adduksi bahu. Perawat menggerakkan tangan

pasien menjauhi tubuhnya atau kea rah perawat.

d. Kembali ke posisi semula.

e. Ulangi gerakan di atas 8 kali untuk masing-masing tangan kanan

dan kiri.
28

2.4 Hubungan mobilisasi (ROM) dini terhadap penyembuhan luka

bedah post operasi

Menurut Gruendemann & Fernsebner, (2005) Trombloflebitis atau

flebotrombosis terjadi jarang karena ambulasi dini mencegah stasis darah

dengan meningkatkan sirkulasi pada ekstremitas. Kecepatan pemulihan pada

luka bedah abdomen lebih cepat bila ambulasi dilakukan lebih dini; kejadian

eviserasi pascaoperatif pada serangkaian kasus benar-benar jarang terjadi

pada pasien diperbolehkan untuk turun dari tempat tidur secepatnya.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa nyeri berkurang bila ambulasi dini

diperbolehkan.
29

2.5 Kerangka Konseptual

Fraktur / Cedera Faktor yang Mempengaruhi


Penyembuhan Luka
1. Usia
Non Bedah Bedah Orthopedi 2. Malnutrisi
3. Obesitas
4. Gangguan Oksigenasi
5. Merokok
Implementasi Pasca Operasi 6. Obat-obatan
1. Latihan Nafas Dalam 7. Diabetes
2. Latihan Batuk Efektif
3. Latihan Kaki (Tungkai)
4. Ambulasi dan Mobilisasi Dini Latihan Range of Motion Proses Penyembuhan Luka
dini

Tujuan Latihan ROM Tahap Penyembuhan Luka

Keterangan : 1. Menurunkan Intensitas Nyeri 1. Fase Inflamasi Luka Sembuh


2. Mempertahankan Fungsi Sendi 2. Fase Proliferasi
: Diteliti 3. Membangun Kekuatan dan Masa Otot 3. Fase Maturasi Luka Infeksi
4. Membantu Kelancaran Sirkulasi
: Tidak Diteliti 5. Meminimalisir Pembentukan Kotraktur
6. Membantu Proses Penyembuhan Pasca
: Hubungan
Operasi

Gambar 2.1 Kerangka Konsep


30

2.6 Hipotesis

1. Ho tidak ada pengaruh pengaruh exercise range of motion dini terhadap

proses penyembuhan luka pada pasien post operasi frakture ekstremitas.


2. H1 ada pengaruh pengaruh exercise range of motion dini terhadap proses

penyembuhan luka pada pasien post operasi frakture ekstremitas.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam

melakukan prosedur penelitian (Hidayat AA, 2008). Penelitian eksperimental adalah

suatu rancangan penelitian yang digunakan untuk mencari hubungan sebab-akibat

dengan adanya keterlibatan penelitian dalam melakukan manipulasi variabel bebas.

Eksperimen merupakan rancangan penelitian yang memberikan pengujian hipotesis

yang paling tertata dan cermat (Nursalam, 2008).


Pada penelitian ini, peneliti menggunakan desain penelitian dengan cara quasi

eksperimen dengan menggunakan posttest only non equivalent control group design

yaitu dalam rancangan ini, kelompok eksperimental diberi perlakuan pemberian

ROM dini sedangkan kelompok kontrol tidak diberikan ROM dini (hanya diberikan

perawatan sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh perawat di ruangan).

Tabel 3.1 Desain Penelitian


anestesi

Subjek Perlakuan Pasca-tes

K-A I O1-A

K-B - O1-B

31
32

Keterangan

K-A : subyek perlakuan

K-B : subyek control

- : aktivitas lainnya

I : intervensi (pemberian ROM dini)

O1(A+B): observasi penyembuhan luka sesudah pemberian ROM dini (kelompok


perlakuan dan control)

3.2 Kerangka Kerja Penelitian

POPULASI
Seluruh pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS Ngudi Waluyo
Wlingi Blitar selama 3 bulan terakhir berjumlah 102 pasien

SAMPLING
Purposive sampling
33

SAMPEL
Sesuai dengan kriteria
inklusi 20 orang

Kelompok perlakuan diberikan ROM Kelompok kontrol hanya diberikan perawatan


dini sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh
perawat ruangan

MENGOBSERVASI
Penyembuhan luka sesudah dilakukan
ROM dini

ANALISA DATA
Hasil observasi proses penyembuhan luka fase inflamasi
sebelum dan sesudah dilakukan ROM

Gambar 3.1 Kerangka kerja penelitian

3.3 Populasi, Sampel, Dan Sampling

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu

yang akan diteliti. Bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari saja tetapi seluruh

karakteristik atau sifat yang dimiliki subjek atau objek tersebut (Hidayat AA, 2008).

Populasi pada penelitian ini ialah seluruh pasien post operasi dengan fraktur di ruang
34

perawatan di rumah sakit Ngudi Waluyo Wlingi. Pada 3 bulan terakhir jumlah pasien

post operasi fraktur ekstremitas sebanyak 102 orang.

3.3.2 Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai

subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2009). Sampel pada penelitian ini

ialah pasien post operasi fraktur ekstremitas yang termasuk dalam kriteria inklusi dan

eksklusi, dimana kriteria itu menentukan dapat dan tidaknya sampel tersebut dapat

digunakan. Pada dasarnya ada dua syarat yang harus dipenuhi saat menetapakan

sampel, yaitu representative (mewakili) dan sampel harus cukup banyak (Nursalam,

2009). Menurut Arikunto (2006) sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil

subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi didasarkan atas adanya

tujuan tertentu. Jika jumlah populasi lebih dari 100, jumlah besar sampel dapat

diambil 20-25% atau lebih. Jumlah populasi pasien post operasi fraktur ekstremitas

tiap bulannya di Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi sebanyak 102, maka jumlah

sampel yang akan diambil berjumlah 20 orang.

Berikut ini kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini, ialah :
1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Pertimbangan ilmiah

harus menjadi pedoman saat menentukan kriteria inklusi (Nursalam, 2008).

Berikut ini kriteria inklusi pada penelitian ini :


a. Pasien yang bersedia menjadi responden.
b. Pasien dengan post operasi fraktur.
c. Pasien tidak ada kontra indikasi diberi ROM.
d. Pasien kooperatif.
e. Pasien barusia 20-40 tahun.
2. Kriteria Eksklusi
35

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan/mengeluarkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi sebagai sampel penelitian. Penyebabnya antara

lain keadaan penyakit yang menggangu hasil, keadaan mengganggu

pelaksanaan, hambatan etis, dan subjek menolak partisipasi (Nursalam,

2008). Berikut ini kriteria eksklusi pada penelitian ini :


a. Pasien post operasi fraktur yang menolak untuk menjadi responden.
b. Pasien yang mempunyai penyakit diabetes mellitus.
c. Pasien tidak sadar.
d. Pasien dengan kontra indikasi diberi ROM.

3.3.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili

populasi yang ada. Teknik sampling merupakan cara - cara yang ditempuh dalam

pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar - benar sesuai dengan

keseluruhan subjek penelitian. Pada penelitian ini teknik yang digunakan ialah

sampling Nonprobability, dengan metode purposive sampling. Purposive sampling

disebut juga judgement sampling. adalah suatu teknik penetapan sampel dengan cara

memilih sampel diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti

(tujuan/masalah dalam penelitian), sehingga sampel tersebut dapat mewakili

karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2009).

3.4 Variabel Penelitian

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu. Dalam riset, variabel dikarakteristikkan sebagai derajat, jumlah, dan

perbedaan. Variable juga merupakan konsep dari berbagai level abstrak yang

didefinisikan sebagai fasilitas untuk pengukuran. Konsep yang dituju dalam suatu
36

penelitian bersifat konkret dan secara langsung bias diukur (Nursalam, 2008). Berikut

variable pada penelitian ini :

3.4.1 Variabel Bebas (Independent Variable)

Variabel bebas yaitu variabel yang dimanipulasi oleh peneliti untuk

menciptakan suatu dampak pada variabel terikat (dependent variabel). Variabel bebas

adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau

timbulnya variabel dependen (terikat) (Setiadi, 2013). Variabel bebas (independent

variable) dalam penelitian ini adalah pemberian Range Of Motion dini.

3.4.1 Variabel Terikat (Dependent Variable)

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas (Setiadi,

2013). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah proses penyembuhan luka.
37

3.5 Definisi Operasional


Tabel 3.2 Definisi Operasion
No Variabel Definisi Operasional Parameter Instrumen Skala Skoring
Data
1. ROM dini Adalah sebuah latihan isometrik 1.Pasien dengan SOP ROM Nominal Dilakukan: 1
dengan cara mengkontraksikan general anestesi Tidak
otot tanpa menggerakkan sendi dilakukan ROM Dilakukan: 0
berupa pengecekan otot gluteal Dilakukan 6 jam
dan kuadrisep yang dilakukan post operasi
pada ekstremitas bawah yang Dilakukan 3 kali
cedera dan sebuah latihan isotonik sehari
dengan cara mengkontraksikan 2.Pasien dengan
otot dengan menggerakkan sendi SAB anestesi
yang dilakukan pada ekstremitas dilakukan ROM
yang sehat, baik ekstremitas atas Dilakukan 10 jam
atau bawah. post operasi
Dilakukan 3 kali
sehari
2. Proses Adalah suatu bentuk proses Hasil penilaian Lembar Interval 1. Luka baik
Penyembuha pemulihan luka pada fase pemulihan luka Observasi (11-26)
n Luka inflamasi setelah operasi fraktur secara makroskopis BWAT 2. Luka kurang
yang dinilai sejak hari 1-4 dan Luka terasa nyeri baik (27-41)
diukur dengan alat observasi Luka teraba 3. Luka buruk
berdasarkan fase penyembuhan hangat (42-55)
luka (fase inflamasi). Luka
edema/bengkak
Luka ada pus
38

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Peneliti akan melakukan penelitian di Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi Blitar
Penelitian akan dilaksanakan mulai bulan Maret hingga bulan Mei

3.7 Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan data sebelum

melakukan pengumpulan data, perlu dilihat alat ukur pengumpulan data agar dapat

memperkuat hasil penelitian (Hidayat, A A, 2008). Alat ukur yang digunakan pada

penelitian ini menggunakan metode observasi, dengan mengobservasi proses penyembuhan

luka fase inflamasi. Pengumpulan data dengan cara observasi dapat digunakan apabila

objek penelitian adalah perilaku manusia, proses kerja, atau responden kecil (Hidayat, A A,

2008). Berikut ini penjabaran langkah langkah pengumpulan data penelitian:


3.7.1 Persiapan
1. Pada tahapan ini dilakukan pemilihan tempat untuk penelitian dan pengurusan

ijin penelitian kepada tempat dan pihak terkait lainnya. Peneliian ini dilakukan di

Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi.


2. Melakukan studi pendahuluan tentang penelitian yang akan dilakukan.
3.7.2 Pelaksanaan
1. Pada tahap ini peneliti menentukan populasi yang menjadi subjek penelitian, yaitu

pasien post operasi fraktur ekstremitas di Rumah Sakit Ngudi Waluyo Wlingi.
2. Menentukan sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah

dibuat.
3. Peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian pada responden.
4. Apabila responden bersedia, peneliti meminta persetujuan responden secara

tertulis sebagai bukti responden bersedia menjadi subyek penelitian dengan

memberikan lembar inform consent.


5. Responden yang sudah berada di ruang perawatan, diberikan penjelasan ulang

maksud, tujuan dan manfaat penelitian.


6. Peneliti melihat kondisi luka post operasi fraktur ekstremitas pasien.
7. Peneliti melakukan ROM kepada responden hari pertama.
39

8. Peneliti melakukan ROM kepada responden hari kedua.


9. Peneliti melakukan ROM kepada responden hari ketiga
10. Membuka balutan luka, melihat kondisi luka sesudah dilakukan ROM.
11. Peneliti mengakumulasi hasil data yang diperoleh.

3.8 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini ialah SOP ROM (Range Of Motion),

lembar observasi. Observasi merupakan cara pengumpulan data dengan mengadakan

melakukan pengamatan secara langsung kepada responden penelitian untuk mencari

perubahan atau hal hal yang akan diteliti (Hidayat, A A, 2008). Alat ukur yang digunakan

untuk mengetahui proses penyembuhan luka, skala nyeri. Setelah itu didapatkan hasil

pengamatan proses inflamasi pasien post operasi fraktur yang akan dicatat pada lembar

observasi.

3.9 Teknik Pengolahan dan Analisa Data

3.9.1 Pengolahan Data

Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk memperoleh data

atau data ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah menggunakan rumus tertentu

sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan (Setiadi, 2007). Pengolahan data yang

digunakan pada penelitian ini :


1. Editing
Editing adalah upaya menjaga kualitas data, Meneliti kembali apakah data yang

dikumpulkan sudah cukup baik (benar) dan dapat diproses lebih lanjut karena

adanya kesalahan pada pengumpulan data


2. Koding
Koding adalah usaha mengklasifikasikan hasil dari seluruh variabel. menandai

masing - masing jawaban dengan kode (angka) tertentu


3. Skoring
40

Skoring yaitu menentukan skor/nilai dan menentukan nilai terendah dan

tertinggi.
4. Tabulating
Tabulating yakni membuat tabel-tabel data, sesuai dengan tujuan penelitian atau

yang di inginkan peneliti.

3.9.2 Teknik Analisa Data

Analisa data merupakan pengumpulan data dari seluruh responden yang


dikumpulkan. Teknik analisa data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik (sugiyono,
2010). Pada penelitian ini analisa data dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Analisa Univariat
a. Data Umum
Analisa univariat digunakan untuk mendeskripsikan setiap variabel yang

diteliti dalam penelitian, yaitu dengan melihat distribusi data. analisa univariat

dalam penelitian ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,

penyakit terdahulu. Bentuk distribusi frekuensi dan persentase yang di

presentasikan secara kualitatif.


b. Data Khusus
Analisa data ini dilakukan terhadap tiap variabel dan pada umumnya dalam

analisa ini hanya menghasilkan distribusi dan presentasi dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2010). Dengan menghitung mean, median, modus, dan

persentase dari nilai hasil observasi proses penyembuhan luka. Berikut

penjabaran dari mean, median, dan modus:


Modus merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas

nilai yang sedang popular atau nilai yang sering muncul dalam kelompok

tersebut
41

Median adalah salah satu teknik penjelasan kelompok yang didasarkan

atas nilai tengah dari kelmpok data yang telah disusun urutannya dari

yang terkecil sampai terbesar, atau sebaliknya.


Mean merupakan teknik penjelasan kelompok yang didasarkan atas nilai

rata rata dari kelompok tersebut. Hal ini dapat dirumuskan seperti

berikut:

Keterangan:
Me = Mean (rata-rata)
= Jumlah
xi = Nilai x ke i sampai n
n = Jumlah individu (Sugiyono, 2010)
Analisa univariat pada penilaian ini adalah nilai penyembuhan luka fase

inflamasi pasien post operasi fraktur., dengan variabel : pre ROM dini dan

post ROM dini.


2. Analisa Bivariat
Analisasa bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga ada hubungan atau pengaruh (Notoatmodjo, 2010). Analisa bivariate ini

bertujuan untuk mengetahui perbedaan proses penyembuhan luka fase inflamasi

sebelum dan sesudah diberikan ROM dini pada pasien post operasi fraktur

ekstremias. Untuk menganalisis pengaruh pemberian ROM dini pada proses

penyembuhan luka pada pasien post operasi fraktur ekstremitas diruang

perawatan rumah sakit Ngudi Waluyo Wlingi dilakukan dengan bantuan software

komputer pengolah data statistic yaitu SPSS versi 16. Berikut ini urutan

pengerjaan menggunakan SPSS:


a. Uji pertama yang dilakukan menggunakan uji Kolmogorov Smirnov untuk

mengetahui distribusi data dan kehomogenan data,


42

b. Kemudian teknik uji statistik menggunakan uji statistic paired T test. Uji t

berpasangan (paired t-test) biasanya menguji perbedaan antara dua

pengamatan. Uji t berpasangan biasa dilakukan pada Subjek yang diuji pada

situasi sebelum dan sesudah proses, atau subjek yang berpasangan ataupun

serupa.
Penelitian ini mengunakan taraf signifikan = 0,05. Kriteria pengambilan

keputusan data sebagai berikut :

a. H0 diterima jika nilai p value > 0,05 yang berarti Tidak ada pengaruh ROM

dini terhadap penyembuhan luka fase inflamasi pasien post operasi fraktur.

b. H1 diterima jika nilai p value < 0,05 yang berarti ROM dini efektif terhadap

penyembuhan luka fase inflamasi pasien post operasi fraktur.

3.10 Penyajian Data

Teknik penyajian data merupakan cara bagaimana untuk menyajikan data sebaik

baiknya agar mudah dipahami oleh pembaca (Hidayat, A A, 2008). Hasil penelitian ini,

akan disajikan dengan bentuk penyajian matematis. Penyajian matematis merupakan

penyajian hasil penelitian dengan menggunakan angka angka dalam bentuk tabel

(menggunakan symbol symbol bilangan matematis). Dalam penyajian matematis ini akan

memperhatikan penjelasan menyeluruh tentang isi tabel, mengingat tabel merupakan

pemadatan sejumlah besar data sehingga memudahkan untuk melihat data secara

keseluruhan (Hidayat, A A, 2008).

3.11 Etika Penelitian


43

Menurut Notoatmodjo tahun 2010, etika dalam penelitian yang diterapkan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghormati Harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)


Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk mendapatkan

informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut. Disamping itu,

penliti juga memberikan kebebasan kepada subjek untuk memberikan informasi

atau tidak memberikan informasi (berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti

menghormati harkat dan martabat subjek penelitian, peneliti sayogianya

mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform concent) yang mencakup :


a. Penjelasaan manfaat penelitian.
b. Penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
c. Penjelasaan manfaat yang didapatkan.
d. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan subjek

berkaitan dengan prosedur penelitian.


e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian kapan

saja.
f. Jaminan anonimitas dan kerahasian terhadap identitas dan informasi yang

diberikan oleh responden.


2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and

confidentiality)
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan kebebasan

individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk tidak

memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab itu, peneliti

tidak boleh menampilkan infomasi mengenai identitas dan kerahasiaan identitas

subjek. Peneliti sayogianya cukup menggunakan coding sebagai pengganti

identitas responden.
3. Keadilan dan inklusivitas/keterbukaan (respect for justice an inclusiveness)
Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,

keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian perlu


44

dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan

menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua

subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa

membedakan jender, agama, etnis, dan sebagainya.

4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (ballancing harms

and benefits)

Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi

masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti

hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek. Oleh

sebab itu, pelaksana peneliti harus dapat mencegah atau tidak mengurangi rasa

sakit, cidera, stres, maupun kematian subjek penelitian.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
45

Benzon, H, T. 2005. Essentials of Pain Medicine and Regional Anesthesia. 2th Edition.
USA: Elsivier.

Brunton, L. 2011. Goodman & Gilman: Manual Farmakologi dan Terapi. Jakarta: EGC.

Carpenito, L J. 2000. Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinik. Jakarta: EGC.

Doenges, Marilynn E, 2002, Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC.

Emily et al, 2015. Early Mobilization: Changing The Mindset. (Online),


(http://dx.doi.org/10.4037/ccn2015512, diakses pada 6 Desember 2016).

Gruendemann, B J. Fernsebner, B. 2005. Buku Ajar: Keperawatan Perioperatif


(Comprehensive Perioperative Nursing) Volume 1 Prinsip. Jakarta: EGC.

Gusty, R, P, 2011. Pengaruh Mobilisasi Dini Pasien Pasca Operasi Abdomen Terhadap
Penyembuhan Luka Dan Fungsi Pernafasan. (Online),
(http://jurnal.fkep.unand.ac.id/index.php/ners/article/view/97/91, diakses pada 13
Januari, 2017).

Handayani, T, N. 2010. Pengaruh Pengelolaan Depresi Dengan Latihan Pernafasan Yoga


(Pranayama) Terhadap Perkembangan Proses Penyembuhan Ulkus Diabetikum di
Rumah Sakit Pemerintah Aceh. (Online), (https://www.google.co.uk/search?
q=pengaruh+pengelolaan+depresi+dengan+yoga+ui+pdf&ie=utf-8&oe=utf-
8&client=firefox-b&gfe_rd=cr&ei=wWOJWLqkNpeDaI7IraAN, diakses pada 26
Januari, 2017).

Hidayat, A A. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia, Edisi 1. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, A, A. 2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.

Kasdu, D. 2003. Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Sehat.

Keat, S., Bate, S., Bown, A., Lanham, S. 2013. Anaesthesia On The Move. Jakarta: Indeks.

Latief, S.A., Suryadi, KA. Dachlan, MR. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UI.

Morgan E.G., Mikhail S. Jhon F.Butterwworth, 2011. Clinical Anesthesiology, Fiveth


Edition, USA: McGra-Hill Companies,Inc.

Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam, 2009. Konsep dan Penerapan Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta : Salemba Medika.
46

Potter, P.A, Perry, 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.

Reeder, S.J., Martin, L.L., & Griffin, D.K. 2011. Keperawatan maternitas: Kesehatan
wanita, bayi & keluarga edisi 18. Jakarta : EGC.

Rochimah, Dkk. 2011. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik. Jakarta: Trans Info Media.

Setiadi, 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sjamsuhidajat, R & Wim, de Jong (ed). 2012. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzae, S, C. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol 1. Jakarta: EGC.

Sugiyono, 2010. Statistika untuk Penenlitian. Bandung: Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai