BPJS Vs Asuransi Komersial
BPJS Vs Asuransi Komersial
1. Syarat Kepesertaan
Peserta BPJS adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Pada dasarnya,
semua orang, entah bekerja, karyawan, pengusaha atau bahkan pengangguran,
serta keluarganya, bisa menjadi peserta BPJS, asalkan membayar iuran atau
premi. Dengan demikian, BPJS tidak dapat menolak setiap pengajuan untuk
menjadi peserta BPJS. Lain hal nya dengan perusahaan asuransi komersial, di
mana calon peserta asuransi harus memenuhi syarat dan mengikuti prosedur
yang ditetapkan perusahaan untuk dapat menjadi peserta, karena hal ini terkait
dengan pengajuan klaim saat telah menjadi peserta nantinya. Syarat-syarat
tersebut di antaranya berupa:
a. Pre-existing condition
Berbeda dengan asuransi komersial, pada BPJS kesehatan tidak mengenal istilah
pre-existing condition. Seluruh penyakit termasuk penyakit yang telah diderita
ataupun penyakit bawaan sebelum menjadi peserta tetap dapat ditanggung.
2) Analisa Darah Rutin dan lengkap. Pada pemeriksaan ini mencakup struktur
darah, oleh karena itu bila kebetulan baru sembuh dari sakit, misal flu,
batuk, atau luka di tubuhnya, usahakan menunggu hingga benar benar
recover, dan luka tersebut sembuh. Karena hal tersebut akan berpengaruh
pada hasil darah rutin.
3) SGOT - SGOT, akan menunjukkan jika terjadi kerusakan atau radang pada
jaringan hati. Dan hasil akan melebihi normal bila kondisi tubuh kelelahan.
Oleh karena disarankan malam sebelumnya menghindari olah raga berat.
8) Thorax Photo, pemeriksaan x-ray pada bagian dada untuk melihat kondisi
paru paru. Bila calon tertanggung wanita pastikan tidak dalam kondisi
hamil, dan coba ditanyakan apakah dalam waktu dekat pernah lakukan
thorax photo, karena pemeriksaan ini tidak boleh berdekatan waktunya
mengingat ada radiasi yang dipancarkan.
10) HbsAg adalah test penanda awal infeksi Hepatitis B. Dan HIV test
untuk melihat apakah tubuh terindikasi virus HIV.
Semakin besar UP yang diinginkan, maka ragam cek medis yang diperlukan juga
bertambah banyak.
Pada awal penerapan BPJS Kesehatan, tidak ada masa tunggu bagi peserta baru.
Namun terhitung mulai tanggal 1 Juni 2015, BPJS Kesehatan memperpanjang
masa tunggu pengaktifan kepesertaan dari 7 hari menjadi 14 hari. Kebijakan ini
berlaku untuk pendaftar peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas I dan II.
Kebijakan ini tidak berlaku untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan PBPU kelas
III. Artinya, PBPU harus menunggu 14 hari setelah mendaftar, baru dapat
menerima pelayanan kesehatan melalui BPJS.
Hal yang serupa berlaku pada asuransi komersial. Masa tunggu klaim berbeda-
beda tergantung pada perusahaan asuransi dan biasanya tertuang dalam polis
asuransi. Pada asuransi kesehatan AXA contohnya, Berlaku Masa Tunggu 30
hari, di mana manfaat klaim akan diberikan apabila rawat inap terjadi setelah
polis aktif lebih dari 30 hari, dan untuk kondisi medis yang baru di derita setelah
polis diaktifkan. Sedangkan untuk Pre-existing condition, berlaku satu tahun, di
mana manfaat klaim untuk rawat inap yang disebabkan kondisi medis yang telah
ada sebelum Tanggal berlakunya polis atau tanggal pemulihan polis, baru bisa
berikan setelah polis aktif selama satu tahun.
2. Premi/iuran
Besaran iuran BPJS kesehatan diatur Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan, sebagaiman terakhir diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Bagi Peserta Pekerja
Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja, besaran Premi atau iuran pada
BPJS kesehatan ditentukan kelas yang diambil, tidak ada perbedaan berdasarkan
umur dan jenis kelamin.
Daftar iuran perbulan PBJS Kesehatan Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan
Peserta bukan Pekerja:
BPJS tidak membedakan besaran premi berdasarkan umur, jenis kelamin serta
status merokok. Ini berbeda dengan asuransi kesehatan. Dalam asuransi
kesehatan, semakin tua umur, premi akan makin mahal. Ada pula perbedaan
premi antara laki dan perempuan serta status merokok.
Dibandingkan premi asuransi kesehatan swasta, iuran BPJS sangat murah. Premi
asuransi kesehatan murni atau tanpa investasi, paling tidak tarifnya sekitar Rp
300 sd Rp 500 rb per orang per bulan. Apalagi kalau unit link, premi bisa lebih
mahal lagi, bisa 800 sd 1 juta per orang per bulan.
Manfaat kesehatan yang dijamin BPJS bagi peserta lebih lengkap dari asuransi
kesehatan komersial pada umumnya. Manfaat kesehatan yang diberikan BPJS
mencakup:
a. Rawat Inap,
b. Rawat Jalan,
d. Optik/Kacamata.
e. Gigi
4. Plafond
Sedangkan dalam BPJS, tidak ada plafond atau batasan biaya penggantian.
Selama mengikuti prosedur dan menggunakan kelas kamar yang sesuai dengan
kepesertaan, semua biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.
Namun ada juga asuransi kesehatan yang tidak mengenal plafon atau batasan
klaim, misalnya AXA, di mana besaran klaim yang dapat diakui adalah sebesar
yang ada pada kwitansi.
5. Pelayanan
a. Proses Rawat Inap dan Rawat Jalan
Dalam BPJS berlaku sistem rujukan berjenjang. Peserta harus datang dulu ke
fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes I), yaitu puskesmas, klinik atau
dokter keluarga, yang sudah ditunjuk oleh BPJS. Peserta tidak dapat meminta
rujukan ke sembarang puskesmas atau klinik meskipun sudah kerjasama dengan
BPJS. Fasilitas kesehatan pertama yang bisa digunakan hanya yang sudah
ditunjuk BPJS untuk peserta tersebut, di mana umumnya sesuai dengan domisili
peserta. Bila peserta pindah domisili, peserta dapat mengajukan perpindahan
faskes I ke domisili yang baru, sedangkan apabila peserta merasa tidak cocok
dengan faskes I khususnya klinik yang sudah ditunjuk, setelah tiga bulan baru
bisa minta diubah ke BPJS.
Untuk gawat darurat, aturan ini tidak berlaku dan peserta bisa langsung ke
rumah sakit tanpa perlu rujukan. Bahkan ke rumah sakit yang belum kerjasama
dengan BPJS bisa untuk kondisi gawat darurat. BPJS menetapkan kriteria untuk
bisa diklasifikasikan kondisi gawat darurat.
Hal yang berbeda berlaku pada asuransi kesehatan komersial. Dalam asuransi
kesehatan komersial tidak ada sistem rujukan berjenjang. Peserta bisa langsung
ke rumah sakit mana saja untuk rawat inap. Prosesnya jauh lebih sederhana dan
cepat. Bahkan untuk rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan pihak
asuransi, cukup dengan menunjukan kartu kepesertaan asuransi, semua biaya
yang ditanggung bisa langsung diklaim tanpa perlu mengeluarkan uang terlebih
dulu.
Belum semua rumah sakit menerima BPJS. Meskipun seluruh rumah sakit
pemerintah telah menerima BPJS, namun rumah sakit swasta banyak yang
belum kerjasama dengan BPJS. Bagi rumah sakit yang belum bekerjasama,
peserta tidak bisa menggunakan jaminan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Memang untuk kondisi gawat darurat, BPJS memperbolehkan perawatan di
rumah sakit yang belum kerjasama. Setelah kondisi gawat darurat diatasi,
peserta akan segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan
BPJS. Tentu saja, kriteria gawat darurat dari BPJS harus dipenuhi. Masih
banyaknya rumah sakit yang belum bekerja sama dengan BPJS juga terkait
dengan rumit dan lamanya klaim dari rumah sakit ke BPJS atas pelayanan
kesehatan yang telah diberikan sehingga rumah sakit terkesan enggan untuk
bekerja sama dengan BPJS.
Tarif INA-CBGs berbasis pada data costing 137 RS Pemerintah dan RS Swasta
serta data coding 6 juta kasus penyakit. Ada sejumlah aspek yang
mempengaruhi besaran biaya INA-CBGs, yaitu diagnosa utama, adanya
diagnosa sekunder berupa penyerta (comorbidity) atau penyulit (complication),
tingkat keparahan, bentuk intervensi, serta umur pasien.
Dengan kata lain, BPJS dengan pihak rumah sakit sudah sepakat diawal
mengenai besaran tarif berdasarkan pada diagnosa penyakit dan ketentuan
tindakan serta obat yang mesti digunakan. Besar tarif tetap, apapun dan
berapapun tindakan medis yang dilakukan. Misalnya, perawatan demam
berdarah, INA CBGS sudah menghitung layanan apa saja yang akan diterima,
berikut pengobatannya, sampai dinyatakan sembuh. Berdasarkan perhitungan
ini, biaya ini yang nantinya diklaim oleh rumah sakit ke BPJS.
Dampak dari penerapan metode ini yaitu penggantian tidak penuh meskipun
sudah mengikuti ketentuan kelas kamar, atau penggantian obat dilakukan secara
bertahap (tidak sekaligus). Hal ini terjadi karena cara tersebut berbeda dengan
perhitungan biaya berobat yang selama ini dilakukan di rumah sakit. Umumnya,
pasien mendapat pelayanan kesehatan terlebih dulu, kemudian baru tahu
berapa jumlah biayanya. Kalau BPJS, besarnya biaya sudah dipatok diawal,
sudah ada klasifikasinya berdasarkan INA CBGs, bahkan sebelum peserta
menjalani perawatan.
Dengan metode INA CBGS, beban BPJS menjadi lebih predictable. Namun, bagi
rumah sakit, itu bisa jadi bumerang karena mungkin actual cost-nya berbeda
dengan perhitungan INA CBGS. Paket biaya BPJS sudah menetapkan kisaran hari
perawatan. Begitu pula dengan obat. Ada yang diresepkan obat untuk 1 bulan
tapi karena biayanya melebihi ketentuan BPJS jika diberikan sekaligus,
pemberian obat diberikan secara bertahap. Masalahnya, setiap minta obat,
proses rujukan harus kembali dilakukan. Proses yang seharusnya cukup satu kali
menjadi harus dilakukan beberapa kali.
Sementara pada asuransi komersial, besaran klaim sesuai yang tertera pada
polis asuransi, di mana ada yang dibayarkan sesuai dengan plafon ataupun
sesuai kwitansi, contohnya asuransi AXA.
a. BPJS: Jaminan kesehatan dari pemerintah ini memiliki keunggulan iuran yang
jauh lebih murah dengan manfaat lengkap yang tanpa pre-exisiting condition,
tanpa medical check-up dan tidak ada batasan plafond. Tanpa plafond, pada
prinsipnya semua tagihan rumah sakit akan dicover oleh BPJS selama mengikuti
prosedur dan kelas kamar. Sejumlah keunggulan ini yang sulit didapatkan di
asuransi kesehatan komersial, di mana preminya lebih mahal, manfaat terbatas
hanya rawat inap dan ada batasan plafond. Namun, kelemahan dari BPJS adalah
proses berbelit, antrian panjang dan terbatasnya pilihan rumah sakit. Dengan
kata lain, proses di BPJS masih belum dapat memuaskan bagi peserta.
Kesimpulan
Kepesertaan BPJS sendiri yang besifat wajib bagi setiap warga negara Indonesia
dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan
sebenarnya secara langsung sudah memaksa kita untuk menjadi peserta BPJS.
Pembahasan ini lebih menekankan apakah masih diperlukan asuransi komersial
dan posisi asuransi kesehatan komersial paska adanya BPJS. Namun semuanya
kembali lagi kepada pilihan masing-masing, karena kebutuhan dan tingkat
kemampuan dalam membayar premi dan tolok ukur kerumitan setiap orang
berbeda, sehingga kita dapat menentukan asuransi kesehatan mana saja yang
kita perlukan
Lampiran