Anda di halaman 1dari 11

Membandingkan asuransi kesehatan sosial dengan asuransi kesehatan komersial

di Indonesia dapat juga diartikan dengan membandingkan BPJS Kesehatan


dengan asuransi kesehatan komersial.

Secara umum, BPJS memberikan manfaat sebagai berikut:

a Pelayanan Promotif, Preventif yaitu: penyuluhan, Imunisasi (BCG, DOT-HB,


Polio dan Campak), Keluarga Berencana (kontrasepsi, vasektomi dan
tubektomi) dan skrining kesehatan (selektif).
b Pelayanan Kuratif dan Rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis, yaitu
(1) Rawat Jalan dengan dokter spesialis dan subspesialis, dan (2) Rawat
Inap di ruang intensif dan non intensif.
c Manfaat Non Medis meliputi akomodasi dan ambulans.

Masing-masing asuransi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.


Untuk dapat membandingkan keduanya, makalah ini membahas dari beberapa
poin terkait BPJS kesehatan dan asuransi kesehatan komersial, yang dalam hal ini
diwakili oleh perusahan asuransi AXA, Manulife, dan Prudential.

1. Syarat Kepesertaan
Peserta BPJS adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling
singkat enam bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran. Pada dasarnya,
semua orang, entah bekerja, karyawan, pengusaha atau bahkan pengangguran,
serta keluarganya, bisa menjadi peserta BPJS, asalkan membayar iuran atau
premi. Dengan demikian, BPJS tidak dapat menolak setiap pengajuan untuk
menjadi peserta BPJS. Lain hal nya dengan perusahaan asuransi komersial, di
mana calon peserta asuransi harus memenuhi syarat dan mengikuti prosedur
yang ditetapkan perusahaan untuk dapat menjadi peserta, karena hal ini terkait
dengan pengajuan klaim saat telah menjadi peserta nantinya. Syarat-syarat
tersebut di antaranya berupa:

a. Pre-existing condition

Pre-Existing Condition merupakan istilah yang terdapat di dalam polis Asuransi


Kesehatan yang artinya yaitu segala jenis penyakit, kondisi atau cedera baik
yang tanda atau gejalanya diketahui ataupun tidak, baik telah mendapatkan
perawatan/pengobatan/saran/konsultasi dari Dokter ataupun tidak, baik telah
didiagnosis ataupun tidak sebelum tanggal penerbitan Polis. Pre-Existing
Condition ini bisa merupakan kondisi penyakit yang umum sampai pada kondisi
yang serius seperti asma, tekanan darah tinggi maupun penyakit jantung.

Pre-existing Condition adalah istilah yang umum di dunia asuransi, di mana


hampir seluruh perusahaan asuransi jiwa memberlakukan hal ini, termasuk
Prudential, AXA, dan Manulife. Pihak asuransi dapat menolak pengajuan klaim
jika peserta asuransi didapati tidak melaporkan Pre-existing condition yang
sebenarnya. Perusahaan asuransi berhak untuk menyelidiki dan menelusuri
sebuah pengajuan klaim dengan bekerja sama dengan dokter atau Rumah Sakit.

Berbeda dengan asuransi komersial, pada BPJS kesehatan tidak mengenal istilah
pre-existing condition. Seluruh penyakit termasuk penyakit yang telah diderita
ataupun penyakit bawaan sebelum menjadi peserta tetap dapat ditanggung.

b. Medical Check-Up / Cek Medis

Sehubungan dengan tidak adanya pre-existing condition, maka tidak ada


medical check-up ketika akan mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan. Proses
pendaftaran BPJS kesehatan sangat sederhana dan mudah. Bagi peserta
perorangan, cukup mengisi formulir secara online, dengan data pribadi semua
peserta (bapak, ibu dan anak-anak). Tidak perlu data kesehatan maupun medical
check up. Data-data kesehatanpun tidak ditanyakan.

Sementara pada asuransi komersial, medical check-up diperlukan, karena


berhubungan dengan besarnya Uang Pertanggungan (UP) yang diinginkan oleh
calon peserta. Medical check-up mengikuti range usia dan maksimal Uang
Pertanggungan bebas medis. Misalnya pada asuransi Manulife, Seorang
pria/wanita berusia 35 tahun yang ingin mendapatkan UP 600juta maka
diwajibkan untuk Cek Medis, namun bila ia hanya mengambil UP 500juta maka
tidak diperlukan cek medis karena maksimal bebas cek media untuk usia 35
tahunan adalah 500juta. Medical check-up yang diperlukan antara lain:

1) Pemeriksaan urine. Yaitu dengan membuang urine awal, dan menampung


urine selanjutnya. Untuk calon tertanggung wanita, pemeriksaan ini tidak
dilakukan saat menstruasi, dan berilah waktu sekitar 7 hari dengan hari
mens terakhir, agar benar benar bersih. Hal ini menghindari hasil urine
yang bercampur darah sisa menstruasi.

2) Analisa Darah Rutin dan lengkap. Pada pemeriksaan ini mencakup struktur
darah, oleh karena itu bila kebetulan baru sembuh dari sakit, misal flu,
batuk, atau luka di tubuhnya, usahakan menunggu hingga benar benar
recover, dan luka tersebut sembuh. Karena hal tersebut akan berpengaruh
pada hasil darah rutin.

3) SGOT - SGOT, akan menunjukkan jika terjadi kerusakan atau radang pada
jaringan hati. Dan hasil akan melebihi normal bila kondisi tubuh kelelahan.
Oleh karena disarankan malam sebelumnya menghindari olah raga berat.

4) Ureum Kreatin, tujuan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dalam


darah dapat menjadi acuan untuk mengetahui adanya gagal ginjal akut
yaitu suatu sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan mendadak
(dalam beberapa jam sampai beberapa hari) kecepatan penyaringan
ginjal, disertai dengan penumpukan sisa metabolisme ginjal (ureum dan
kreatin).
5) Glukosa Puasa, Pemeriksaan glukosa ketika berpuasa selama 8 jam.
Pemeriksaan ini berfungsi untuk mengetahui kadar gula darah di dalam
tubuh.

6) Kolesterol Total, untuk mengetahui kadar kolesterol di dalam tubuh.


Termasuk test Kolesterol HDL, disebut juga sebagai kolesterol `baik`
karena membantu "membersihkan" tumpukan kolesterol dari pembuluh
darah dan mengangkutnya ke dalam hati. Manfaat pemeriksaan bisa
memprediksi terjadinya risiko penyakit jantung koroner.

7) Test Trigliserid merupakan pemeriksaan untuk menentukan konsentrasi


trigliserida di dalam darah . Manfaat pemeriksaan menentukan faktor
risiko independen untuk penyakit jantung koroner, dan mendeteksi
sindrom metabolik. Sedangkan LDL untuk melihat adanya kondisi
gangguan lemak dan bisa menentukan risiko penyakit jantung koroner.
Akan lebih baik nasabah diingatkan agar hari hari sebelum melakukan test
medis untuk menghindari makanan berlemak atau makanan yang
mempunyai kadar kolesterol tinggi.

8) Thorax Photo, pemeriksaan x-ray pada bagian dada untuk melihat kondisi
paru paru. Bila calon tertanggung wanita pastikan tidak dalam kondisi
hamil, dan coba ditanyakan apakah dalam waktu dekat pernah lakukan
thorax photo, karena pemeriksaan ini tidak boleh berdekatan waktunya
mengingat ada radiasi yang dipancarkan.

9) Treadmil Test, pemeriksaan kondisi jantung dengan berlari di atas mesin.


Pastikan calon tertanggung dalam kondisi fit, dan jujur pada dokter yang
memeriksa bila kondisi tubuh tidak mampu lagi melanjutkan test tersebut.
Memaksakan situasi justru merugikan bila terjadi hal hal yang tidak
diinginkan. Karena beberapa kondisi bila calon tertanggung tidak pernah
berolah raga, khususnya wanita perlu perhatian khusus. Dan jangan lupa
mengingatkan nasabah untuk membawa baju ganti bila setelah
pemeriksaan tersebut langsung melakukan aktifitas pekerjaan di kantor.

10) HbsAg adalah test penanda awal infeksi Hepatitis B. Dan HIV test
untuk melihat apakah tubuh terindikasi virus HIV.

Semakin besar UP yang diinginkan, maka ragam cek medis yang diperlukan juga
bertambah banyak.

c. Masa Tunggu Klaim

Pada awal penerapan BPJS Kesehatan, tidak ada masa tunggu bagi peserta baru.
Namun terhitung mulai tanggal 1 Juni 2015, BPJS Kesehatan memperpanjang
masa tunggu pengaktifan kepesertaan dari 7 hari menjadi 14 hari. Kebijakan ini
berlaku untuk pendaftar peserta bukan penerima upah (PBPU) kelas I dan II.
Kebijakan ini tidak berlaku untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan PBPU kelas
III. Artinya, PBPU harus menunggu 14 hari setelah mendaftar, baru dapat
menerima pelayanan kesehatan melalui BPJS.

Hal yang serupa berlaku pada asuransi komersial. Masa tunggu klaim berbeda-
beda tergantung pada perusahaan asuransi dan biasanya tertuang dalam polis
asuransi. Pada asuransi kesehatan AXA contohnya, Berlaku Masa Tunggu 30
hari, di mana manfaat klaim akan diberikan apabila rawat inap terjadi setelah
polis aktif lebih dari 30 hari, dan untuk kondisi medis yang baru di derita setelah
polis diaktifkan. Sedangkan untuk Pre-existing condition, berlaku satu tahun, di
mana manfaat klaim untuk rawat inap yang disebabkan kondisi medis yang telah
ada sebelum Tanggal berlakunya polis atau tanggal pemulihan polis, baru bisa
berikan setelah polis aktif selama satu tahun.

2. Premi/iuran
Besaran iuran BPJS kesehatan diatur Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan, sebagaiman terakhir diubah dengan Peraturan
Presiden Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan. Bagi Peserta Pekerja
Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja, besaran Premi atau iuran pada
BPJS kesehatan ditentukan kelas yang diambil, tidak ada perbedaan berdasarkan
umur dan jenis kelamin.

Daftar iuran perbulan PBJS Kesehatan Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan
Peserta bukan Pekerja:

Iuran per Orang per


Bulan
Iuran per Orang per
No. Ruang Perawatan
Bulan
(Belaku mulai 1 April
2016)

1 Kelas I Rp59.500 Rp80.000

2 Kelas II Rp42.500 Rp51.000

3 Kelas III Rp25.500 Rp30.000


Penyesuaian iuran tidak berlaku untuk semua peserta, malainkan hanya untuk
mereka yang mampu, dari kategori Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah
(PPBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (PBP). Iuran masyarakat miskin dan tidak
mampu tetap ditanggung pemerintah, sesuai UU BPJS. Bahkan saat ini sekitar 57
persen peserta BPJS Kesehatan (sekitar 92,3 juta) iurannya ditanggung
pemerintah. Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas Pegawai
Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, dan Pegawai
Pemerintah Non Pegawai Negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah
per bulan, dengan proporsi 3% (tiga persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 2%
(dua persen) dibayar oleh Peserta. Sedangkan Proporsi pembayaran iuran
Pekerja Swasta adalah 1 persen dibayarkan oleh pekerja dan 4 persen oleh
perusahaan.

BPJS tidak membedakan besaran premi berdasarkan umur, jenis kelamin serta
status merokok. Ini berbeda dengan asuransi kesehatan. Dalam asuransi
kesehatan, semakin tua umur, premi akan makin mahal. Ada pula perbedaan
premi antara laki dan perempuan serta status merokok.

Dibandingkan premi asuransi kesehatan swasta, iuran BPJS sangat murah. Premi
asuransi kesehatan murni atau tanpa investasi, paling tidak tarifnya sekitar Rp
300 sd Rp 500 rb per orang per bulan. Apalagi kalau unit link, premi bisa lebih
mahal lagi, bisa 800 sd 1 juta per orang per bulan.

3. Manfaat Kesehatan yang Dijamin

Manfaat kesehatan yang dijamin BPJS bagi peserta lebih lengkap dari asuransi
kesehatan komersial pada umumnya. Manfaat kesehatan yang diberikan BPJS
mencakup:

a. Rawat Inap,

b. Rawat Jalan,

c. Kehamilan dan Melahirkan, termasuk dengan operasi caesar

d. Optik/Kacamata.

e. Gigi

Sedangkan pada asuransi kesehatan, umumnya pelayanan kesehatan yang


dapat diklaim hanya berupa rawat inap atau rawat jalan. Contohnya saja pada
asuransi kesehatan PruMed dari Prudential, yang dapat diklaim hanya mencakup
rawat inap, unit perawatan intensif (ICU), dan pembedahan.

4. Plafond

Dalam asuransi kesehatan terdapat plafond atau limit manfaat. Misalnya,


batasan berapa hari maksimum rawat inap di rumah sakit, kemudian biaya
dokter, biaya obat serta lab, dan biaya biaya lainnya yang punya batasan
jumlah maksimum yang ditanggung asuransi kesehatan. Jika tagihan dari rumah
sakit melebihi plafond atau limit, kelebihan tersebut tidak diganti oleh asuransi.
Cara menghitung plafond ada bermacam macam, ada yang plafond per
penyakit (tidak ada batasan tahunan), ada yang plafond tahunan.

Contoh penerapan misalnya pada asuransi kesehatan PruLink dari Prudential di


mana peserta asuransi Pria berusia 25 tahun, Pekerja Kelas 1, tidak merokok
dengan premi Rp350.000 per bulan. Biaya rawat inap rumah sakit yang
ditanggung sebesar Rp280.000 per hari sedangkan untuk ICU sebesar
Rp580.000 per hari. Dengan kata lain, apabila biaya sesungguhnya untuk rawat
inap atau ICU lebih besar dari yang ditanggung, maka selisih biaya tersebut
dibayarkan sendiri oleh peserta asuransi.

Sedangkan dalam BPJS, tidak ada plafond atau batasan biaya penggantian.
Selama mengikuti prosedur dan menggunakan kelas kamar yang sesuai dengan
kepesertaan, semua biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS.

Namun ada juga asuransi kesehatan yang tidak mengenal plafon atau batasan
klaim, misalnya AXA, di mana besaran klaim yang dapat diakui adalah sebesar
yang ada pada kwitansi.

5. Pelayanan
a. Proses Rawat Inap dan Rawat Jalan

Dalam BPJS berlaku sistem rujukan berjenjang. Peserta harus datang dulu ke
fasilitas kesehatan tingkat pertama (faskes I), yaitu puskesmas, klinik atau
dokter keluarga, yang sudah ditunjuk oleh BPJS. Peserta tidak dapat meminta
rujukan ke sembarang puskesmas atau klinik meskipun sudah kerjasama dengan
BPJS. Fasilitas kesehatan pertama yang bisa digunakan hanya yang sudah
ditunjuk BPJS untuk peserta tersebut, di mana umumnya sesuai dengan domisili
peserta. Bila peserta pindah domisili, peserta dapat mengajukan perpindahan
faskes I ke domisili yang baru, sedangkan apabila peserta merasa tidak cocok
dengan faskes I khususnya klinik yang sudah ditunjuk, setelah tiga bulan baru
bisa minta diubah ke BPJS.

Fasilitas kesehatan tingkat pertama mendiagnosa dan memberikan rujukan


kepada peserta untuk ke rumah sakit yang kerjasama dengan BPJS. Keputusan
rujukan sepenuhnya ditangan faskes tingkat I, bukan di tangan peserta.
Walaupun peserta ingin dirujuk ke rumah sakit tertentu, mungkin karena sudah
langganan dengan dokternya, selama fasilitas kesehatan tingkat pertama tidak
memberikan, maka tidak bisa.

Begitu pula dengan tindakan perawatan. Misalnya, meskipun menanggung


persalinan dengan operasi caesar, BPJS akan mengganti jika memang itu rujukan
dari dokter yang menangani bahwa peserta harus melahirkan dengan operasi.
Tapi, kalau peserta yang meminta operasi, BPJS tidak akan mengganti, hanya
mengganti senilai persalinan normal.

Untuk gawat darurat, aturan ini tidak berlaku dan peserta bisa langsung ke
rumah sakit tanpa perlu rujukan. Bahkan ke rumah sakit yang belum kerjasama
dengan BPJS bisa untuk kondisi gawat darurat. BPJS menetapkan kriteria untuk
bisa diklasifikasikan kondisi gawat darurat.
Hal yang berbeda berlaku pada asuransi kesehatan komersial. Dalam asuransi
kesehatan komersial tidak ada sistem rujukan berjenjang. Peserta bisa langsung
ke rumah sakit mana saja untuk rawat inap. Prosesnya jauh lebih sederhana dan
cepat. Bahkan untuk rumah sakit yang sudah bekerja sama dengan pihak
asuransi, cukup dengan menunjukan kartu kepesertaan asuransi, semua biaya
yang ditanggung bisa langsung diklaim tanpa perlu mengeluarkan uang terlebih
dulu.

b. Cakupan Rumah Sakit yang Bekerja sama

Belum semua rumah sakit menerima BPJS. Meskipun seluruh rumah sakit
pemerintah telah menerima BPJS, namun rumah sakit swasta banyak yang
belum kerjasama dengan BPJS. Bagi rumah sakit yang belum bekerjasama,
peserta tidak bisa menggunakan jaminan kesehatan di rumah sakit tersebut.
Memang untuk kondisi gawat darurat, BPJS memperbolehkan perawatan di
rumah sakit yang belum kerjasama. Setelah kondisi gawat darurat diatasi,
peserta akan segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan
BPJS. Tentu saja, kriteria gawat darurat dari BPJS harus dipenuhi. Masih
banyaknya rumah sakit yang belum bekerja sama dengan BPJS juga terkait
dengan rumit dan lamanya klaim dari rumah sakit ke BPJS atas pelayanan
kesehatan yang telah diberikan sehingga rumah sakit terkesan enggan untuk
bekerja sama dengan BPJS.

Berbeda dengan BPJS, asuransi kesehatan komersial pada dasarnya menerima


klaim dari semua rumah sakit, termasuk yang belum kerjasama. Bedanya, kalau
belum kerjasama, pembayaran klaim dilakukan cara reimbursement (peserta
membayar duluan), sedangkan yang sudah kerjasama, pembayaran cukup
dengan kartu (cashless). Bagi perusahaan asuransi besar seperti AXA, Prudential,
dan Manulife, rumah sakit yang telah bekerja sama jumlah nya mencapai
ratusan rumah sakit dan tersebar sehingga semakin memudahkan peserta
asuransi.

c. Biaya Rumah Sakit yang Tidak Diganti


Penentuan biaya pelayanan kesehatan pada BPJS ditentukan berdasarkan sistem
INA CBGs. INA-CBGs adalah suatu sistem klasifikasi pasien yang memiliki empat
karakteristik utama, yaitu 1) pengumpulan secara teratur data pasien keluar
perawatan (terutama data tentang karakteristik pasien, pelayanan, serta
pemberi layanan) yang digunakan untuk mengklasifikasikan pasien menjadi (2)
kelompok-kelompok pasien (Kode INA-CBGs), yang (3) secara klinis bermakna
dan (4) secara ekonomi homogen atau mengonsumsi sumber daya yang relatif
sama besar.

Tarif INA-CBGs berbasis pada data costing 137 RS Pemerintah dan RS Swasta
serta data coding 6 juta kasus penyakit. Ada sejumlah aspek yang
mempengaruhi besaran biaya INA-CBGs, yaitu diagnosa utama, adanya
diagnosa sekunder berupa penyerta (comorbidity) atau penyulit (complication),
tingkat keparahan, bentuk intervensi, serta umur pasien.
Dengan kata lain, BPJS dengan pihak rumah sakit sudah sepakat diawal
mengenai besaran tarif berdasarkan pada diagnosa penyakit dan ketentuan
tindakan serta obat yang mesti digunakan. Besar tarif tetap, apapun dan
berapapun tindakan medis yang dilakukan. Misalnya, perawatan demam
berdarah, INA CBGS sudah menghitung layanan apa saja yang akan diterima,
berikut pengobatannya, sampai dinyatakan sembuh. Berdasarkan perhitungan
ini, biaya ini yang nantinya diklaim oleh rumah sakit ke BPJS.

Dampak dari penerapan metode ini yaitu penggantian tidak penuh meskipun
sudah mengikuti ketentuan kelas kamar, atau penggantian obat dilakukan secara
bertahap (tidak sekaligus). Hal ini terjadi karena cara tersebut berbeda dengan
perhitungan biaya berobat yang selama ini dilakukan di rumah sakit. Umumnya,
pasien mendapat pelayanan kesehatan terlebih dulu, kemudian baru tahu
berapa jumlah biayanya. Kalau BPJS, besarnya biaya sudah dipatok diawal,
sudah ada klasifikasinya berdasarkan INA CBGs, bahkan sebelum peserta
menjalani perawatan.

Dengan metode INA CBGS, beban BPJS menjadi lebih predictable. Namun, bagi
rumah sakit, itu bisa jadi bumerang karena mungkin actual cost-nya berbeda
dengan perhitungan INA CBGS. Paket biaya BPJS sudah menetapkan kisaran hari
perawatan. Begitu pula dengan obat. Ada yang diresepkan obat untuk 1 bulan
tapi karena biayanya melebihi ketentuan BPJS jika diberikan sekaligus,
pemberian obat diberikan secara bertahap. Masalahnya, setiap minta obat,
proses rujukan harus kembali dilakukan. Proses yang seharusnya cukup satu kali
menjadi harus dilakukan beberapa kali.

Sementara pada asuransi komersial, besaran klaim sesuai yang tertera pada
polis asuransi, di mana ada yang dibayarkan sesuai dengan plafon ataupun
sesuai kwitansi, contohnya asuransi AXA.

BPJS atau Asuransi Kesehatan Komerial

Dari pembahasan di atas, dapat disederhakan berupa:

a. BPJS: Jaminan kesehatan dari pemerintah ini memiliki keunggulan iuran yang
jauh lebih murah dengan manfaat lengkap yang tanpa pre-exisiting condition,
tanpa medical check-up dan tidak ada batasan plafond. Tanpa plafond, pada
prinsipnya semua tagihan rumah sakit akan dicover oleh BPJS selama mengikuti
prosedur dan kelas kamar. Sejumlah keunggulan ini yang sulit didapatkan di
asuransi kesehatan komersial, di mana preminya lebih mahal, manfaat terbatas
hanya rawat inap dan ada batasan plafond. Namun, kelemahan dari BPJS adalah
proses berbelit, antrian panjang dan terbatasnya pilihan rumah sakit. Dengan
kata lain, proses di BPJS masih belum dapat memuaskan bagi peserta.

b. Asuransi Kesehatan Komersial: Asuransi Komersial unggul dalam hal


pelayanan dimana pelayanannya relatif cepat, mudah dan fleksibel dalam
memilih rumah sakit. Pengobatan di semua rumah sakit pada dasarnya diterima
oleh asuransi, baik itu yang kerjasama (dengan metode cashless) dan tidak
kerjasama (reimbursement). Kekurangannya, manfaat lebih terbatas (tidak ada
rawat jalan, kehamilan, gigi dan optik), larangan pre-exisiting condition jika
punya penyakit bawaan (terutama usia usia tua), premi mahal dan ada plafond
yang bisa membuat tagihan tidak semua dibayar (jika melebihi plafond),
terutama pengobatan yang biayanya mahal

Secara umum, perbedaannya dapat disederhanakan pada tabel:

BPJS Asuransi Kesehatan


Komersial

Premi Murah Mahal

Manfaat Lengkap Terbatas (umumnya


hanya rawat inap)

Syarat Kepesertaan Mudah Lebih sulit

Plafon Klaim Tidak ada Ada

Pelayanan Proses Rumit Sederhana

Cakupan Rumah Sakit Terbatas Semua RS

Kesimpulan

Dengan segala pertimbangan yang telah diuraikan di atas, dan bahwasanya


kedua asuransi tersebut dapat saling melengkapim maka kami menyarankan
pilihan sebagai berikut:

Prioritas 1. BPJS + Asuransi Kesehatan Komersial. Dengan kata lain, kita


mengambil kedua asuransi tersebut, sehingga mendapat manfaar dari masing-
masing jenis asuransi. Jika tidak ada kendala keuangan, idealnya adalah dengan
menjadi peserta BPJS dan Asuransi Kesehatan Komersial.

Prioritas 2. Asuransi Kesehatan Komersial. Masalah kesehatan adalah masalah


mendasar dan paling penting bagi setiap manusia. Karena itu pelayanan
kesehatan hendaknya cepat, mudah dan fleksibel. Segala kelebihan ini terdapat
pada asuransi kesehatan komersial

Prioritas 3. BPJS. Bila terkendala dengan biaya dikarenakan premi asuransi


kesehatan komersial yang mahal, maka BPJS adalah pilihannya. Meskipun masih
memiliki beberapa kekurang diharapkan proses di BPJS bisa semakin baik,
sehingga kualitas dan jangkauan rumah sakitnya bisa sebaik asuransi kesehatan
komersial
Setelah mencermati pembahasan di atas, kita dapat mengetahui bahwa BPJS
dan asuransi kesehatan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Secara tidak langsung, sebenarnya kedua jenis asuransi ini dapat saling
melengkapi. Misalnya saja dari sisi manfaat dan proses, di mana BPJS memiliki
manfaat kesehatan yang lengkap, namun prosesnya memang terbilang rumit.
Sedangkan asuransi kesehatan komersial manfaat kesehatannya terbatas pada
rawat inap saja namun prosesnya terbilang sederhana. Dengan demikian kita
dapat menggunakan BPJS di saat kita membutuhkan pelayanan kesehatan
lainnya seperti pelayanan kesehatan gigi dan optik, sedangkan untuk rawat inap
kita dapat menggunakan klaim dari asuransi kesehatan komersial.

Kepesertaan BPJS sendiri yang besifat wajib bagi setiap warga negara Indonesia
dan warga asing yang sudah berdiam di Indonesia selama minimal enam bulan
sebenarnya secara langsung sudah memaksa kita untuk menjadi peserta BPJS.
Pembahasan ini lebih menekankan apakah masih diperlukan asuransi komersial
dan posisi asuransi kesehatan komersial paska adanya BPJS. Namun semuanya
kembali lagi kepada pilihan masing-masing, karena kebutuhan dan tingkat
kemampuan dalam membayar premi dan tolok ukur kerumitan setiap orang
berbeda, sehingga kita dapat menentukan asuransi kesehatan mana saja yang
kita perlukan

Lampiran

Anda mungkin juga menyukai