Anda di halaman 1dari 21

Dengue Syok Sindrom

Pendahuluan
Dengue syok sindrom berawal dari demam berdarah yang dengue yang
diakibatkan oleh virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4). Keduanya, baik dengue
syok sindrom dan demam berdarah dengue mempunyai manifestasi klinis yang hampir
serupa, namun pada dengue syok sindrom disertai gejala syok (hipotensi dan tekanan nadi
20 mmHg), hingga dapat disertai dengan kejang.
Di Indonesia pasien yang terjangking virus dengue hampir selalu ada setiap saat,
namun peningkatan tajam insidens DBD terutama pada musim penghujan, dimana banyak
tempat yang ideal untuk vektor (A. aegyti) bertelur.
Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas lebih mendalam mengenai stadium DBD
yang sudah berkembang menjadi DSS, selain itu juga akan dibahas mengenai penatalaksanaan
baik secara medikamentosa maupun non-medikamentosa.

Skenario 2
Seorang laki-laki 20 tahun datang ke IGD dengan tidak sadarkan diri sejak 1jam
SMRS. Menurut keluarga pasien sejak 5 hari yang lalu demam, demam naik turun, disertai
pegal-pegal dan mual. Os juga mengalami buang air besar kehitaman sejak 1 hari yang lalu.

Anamnesis
Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan criteria WHO 1997, diagnosis DBD
ditegakkan apabila semua hal dibawah ini dipenuhi :
1. Demam atau riwayat demam akut , antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut :
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis atau purpura
Pendarahan mukosa (tersering epitaksis atau pendarahan gusi) atau pendarahan dari
tempat lain.
Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit > 100.000/ul).
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut :
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

1
5. Terdapat keluhan lain seperti menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual,
muntah, dan nyeri otot atau pegal-pegal.
6. Adanya keluarga atau orang - orang di lingkungan pasien yang menderita demam
berdarah.
7. Riwayat perjalanan pasien, apakah pernah pergi ke daerah endemic demam berdarah. 1

Pemeriksaan fisik
1. Pada pasien DD hampir tidak ditemukan kelainan
2. Pemeriksaan nadi :
o Nadi pasien mula - mula cepat kemudian menjadi normal dan melambat pada hari ke 4
dan ke 5
o Bradikardi dapat menetap selama beberapa hari selama masa penyembuhan
3. Dapat ditemukan lidah kotor dan kesulitan buang air besar
4. Pada mata ditemukan pembengkakan, injeksi konjungtiva, lakrimasi, dan fotofobia.
5. Eksantem dapat muncul di awal demam, terlihat jelas di muka dan dada, berlangsung
beberapa jam, lalu akan muncul kembali pada hari ke 3-6 berupa bercak ptekiae di lengan
dan kaki, lalu seluruh tubuh.
6. Pada DBD dapat terjadi gejala pendarahan pada hari ke-3 atau ke-5 berupa ptekiae,
purpura, ekimosis, hematemesis, melena, dan epistaksis. Hati umumnya membesar dan
terdapat nyeri tekan yang tak sesuai dengan berat penyakit.
7. Pada DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis
perifer yang terutama tampak pada ujung hidung, jari - jari tangan dan kaki, serta
penurunan tekanan darah. Renjatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam
turun antara hari ke-3 dan hari ke-7 penyakit.
8. Tes tourquete positif.2

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium

Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam
dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan
hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit
plasma biru. Juga pemeriksaan urin. Dilihat apakah ada atau tidaknya albuminuria.

Pemeriksaan radiologis

2
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan, tetapi
apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan.
Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG. 1

Diagnosis Kerja
Demam berdarah dengue (DBD/DHF)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal di bawah ini
dipenuhi:2
1. Demam atau riwayat demam akut , antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal satu dari manifestasi pendarahan berikut :
Uji bendung positif
Petekie, ekimosis atau purpura
Pendarahan mukosa (tersering epitaksis atau pendarahan gusi) atau pendarahan dari
tempat lain.
Hematemesis atau melena
3. Trombositopenia (jumlah trombosit > 100.000/ul).
4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut;
Peningkatan hematokrit > 20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis
kelamin.
Penurunan hematokrit > 20% setelah mendapatkan terapi cairan, dibandingkan dengan
nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.

Sindrom syok Dengue (SSD)


Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang
cepat dan lemah, tekanan darah turun ( 20mmHg), hipotensi dibandingkan standar sesuai
umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah.2

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue

3
Diagnosis Banding
1. Syok Septik

Syok septik adalah syok yang disebabkan oleh infeksi yang menyebar luas yang
merupakan bentuk paling umum shock distributif. Pada kasus trauma, shock septik dapat
terjadi bila pasien datang terlambat beberapa jam ke rumah sakit. Syok septik terutama terjadi
pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan kontaminasi rongga peritonium dengan
isi usus. Penyebabnya adalah mikroorganisme, penyebab syok septik adalah bakteri gram
negatif. Ketika mikroorganisme menyerang jaringan tubuh, pasien akan menunjukkan suatu
respon imun. Respon imun ini membangkitkan aktivasi berbagai mediator kimiawi yang
mempunyai berbagai efek yang mengarah pada syok, yaitu peningkatan permeabilitas kapiler,
yang mengarah pada perembesan cairan dari kapiler dan vasodilatasi.

Bakteri gram negatif menyebabkan infeksi sistemik yang mengakibatkan kolaps


kardiovaskuler. Endotoksin basil gram negatif ini menyebabkan vasodilatasi kapiler dan
terbukanya hubungan pintas arteriovena perifer. Selain itu, terjadi peningkatan permeabilitas
kapiler. Peningkatan kapasitas vaskuler karena vasodilatasi perifer menyebabkan terjadinya
hipovolemia relatif, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan kehilangan
cairan intravaskuler ke intertisial yang terlihat sebagai udem. Pada syok septik hipoksia, sel
yang terjadi tidak disebabkan oleh penurunan perfusi jaringan melainkan karena
4
ketidakmampuan sel untuk menggunakan oksigen karena toksin kuman. Gejala syok
septik yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok hipovolemia (takikardia,
vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0.5 cc/kg/jam, tekanan darah sistolik turun dan
menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume intravaskuler normal atau
hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan sistolik hampir normal,
dan tekanan nadi yang melebar.

Manifestasi spesifik akan bergantung pada penyebab syok, kecuali syok neurogenik
akan mencakup kulit yang dingin dan lembab, pucat, peningkatan kecepatan denyut jantung
dan pernapasan, dan penurunan drastis tekanan darah. Sedangkan individu dengan syok
neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang normal atau melambat tetapi
akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba.

Syok septik di tandai dengan gambaran syok dan infeksi. Setiap syok yang tidak di
ketahui penyebabnya harus dicurigai adanya kemungkinan septisemia.

a. Tanda-tanda sistemik ; febris dan kekakuan, hipotermia, ptekie, lekositosis dengan


pergeseran ke kiri atau lekopenia.
b. Tanda-tanda lokal; kekakuan dinding abdomen, abses perirektal dan sebagainya. Tanda
dan gejala infeksi tidak selalu ada terutama pada pasien tua, neonatus atau supresi
imunologik. Lokasi spesifik yang sering menjadi tempat infeksi terselubung adalah
saluran empedu, pelvis, retroperitoneum, dan perirektal
c. Lain-lain : hiperventilasi dengan hipokapni

Diagnosis akhir septisemia ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologi (kultur).


Sampel pemeriksaan sebaiknya meliputi cairan tubuh (pus), jaringan dan darah. Pada sindrom
syok toksik, toksin dapat berasal dari infeksi kuman stafilokokus atau koloni terlokalisasi.
Sindrom sering menyebabkan hipotensi berat dengan kemerahan kulit yang merata,
nausea, muntah, diae dan trombositopeni.

Tindakan medis
1. Terapi cairan:
Cairan parenteral yang sering digunakan pada awal terapi syok septik adalah larutn
garam berimbang. Penggunaan cairan koloid pada syok septik yang telah disertai
kebocoran endotel kapiler dapat memperberat udem intersisial. Jumlah awal cairan
kristaloid pada resusitasi syok dapat mencapai -2 L yang diberikan selama 30-60

5
menit. Selan jutnya terapi cairan bergantung pada hasil pengukuran hemodinaamik
(tensi, nadi, TVS, diuresis) dan keadaan umum.
2. Obat-obatan inotropik
Dopamin harus segera dibesikan apabila resusitasi caian tidak memperoleh perbaikan
3. Terapi antibiotik
Sebaiknya terapi antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur dan resistensi. Hal ini
mungkin tidak dapat dilakukan pada keadaan darurat karena pemeriksaan tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama.3

2. Toksik Tifoid

Gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, samnolen,sopor, atau koma) dengan
atau tanpa disertai kelainan neurologis lainya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih
dalam batas normal. sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid
toksik, sedangkan penulis yang lain menyebutnya dengan demam tifoid berat, demam
tifoid ensefalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor-faktor sosial
ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim,
nutrisi,kebudayaan, dan kepercayaanm, (adat) yang masih terbelakang ikut mempermudah
terjadinya hal tersebut dan akibatnya meningkatkan angka kematian.
Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat,
langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400mg ditambah amplisilin 4
x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg. 3

3. Malaria Cerebral

Malaria cerebral atau malaria tropika juga disebut malaria falsiparum merupakan
bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali,
parasitemia sering dijumpai, dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari.
Malaria tropika mempunyai perlangsungan yang cepat, dan parasitemia yang tinggi dan
menyerang semua bentuk eritrosit. Gejala prodromal yang sering dijumpai yaitu sakit
kepala, lesu, perasaan dingin, mual, muntah dan diare. Parasit sulit ditemukan pada
penderita dengan pengobatan supresif. Panas biasanya ireguler dan tidak periodik, sering
terjadi hiperpireksia dengan temperatur diatas 40oc. Gejala lain berupa konvulsi,
pneumonia aspirasi dan banyak keringat walaupun temperatur normal. Apabila infeksi

6
memberat nadi cepat, nausea, muntah, diare menjadi berat dan diikuti kelainan paru
(batuk). Splenomegali dijumpai lebih sering dari hepatomegali dan nyeri pada perabaan;
hati membesar dapat disertai timbulnya ikterus. Kelainan urin dapat berupa albuminuria,
hialin dan kristal yang granuler. Anemia lebih menonjol dengan leukopenia dan
monositosi.
Penyebab malaria falciparum adalah Plasmodium falciparum. Penularan manusia
dapat dilakukan oleh nyamuk betina dari tribus anopheles. Selain itu juga dapat ditularkan
secara langsung melalui transfusi darah atau jarum suntik yang tercemar serta ibu hamil
kepada bayinya.8 P.falciparum menyebabkan malaria tropika. Spesies terkhir ini paling
berbahaya karena malaria yang ditimbulkan dapat menjadi berat. Hal ini disebabkan dalam
waktu singkat dapat menyerang eritrosit dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan
berbagai komplikasi di dalam organ-organ tubuh3
Gejala yang klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan: periode dingin
(15-60 menit): mulai menggigil, diikuti dengan periode panas: penderita muka merah, nadi
cepat, dan panas badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat;
kemudian periode berkeringat: penderita berkeringat banyak dan temperatur turun, dan
penderita merasa sehat. Anemia dan splenomegali juga merupakan gejala yang sering
dijumpai pada malaria.
Gangguan kesadaran pada malaria serebral dapat disebabkan adanya berbagai
mekanisme; gangguan metabolik diotak, peningkatan asan laktat, peningkatan sitokin
dalam darah, sekuestrasi dan rosetting.
Pengobatan malaria falciparum.4Lini pertama : Artesunat + Amodiakuin + Primakuin.
Dosis amodiakuin = 10 mg/kgBB (dosis tungal), artesunat = 4 mg/kgBB (dosis tunggal),
primakuin = 0,75 mgbasa/kgBB (dosis tunggal).
Apabila pemberian dosis tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita,
pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur. Dosis maksimal penderita
dewasa yang dapat diberikan untuk artesunat dan amodiakuin masing-masing 4 tablet, dan
primakuin 3 tablet.

Tabel 2. Pengobatan Lini Pertama Malaria Falciparum Menurut Kelompok Umur .5

Hari Jenis obat Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur

0-1 bln 2-11bln 1-4 th 5-9 th 10-14th 15th

7
1 Artesunat 1 2 3 4

Amodiakuin 1 2 3 4

Primakuin - - 1 2 2-3

2 Artesunat 1 2 3 4

Amodiakuin 1 2 3 4

3 Artesunat 1 2 3 4

Amodiakuin 1 2 3 4

Kombinasi ini digunakan sebagai pilihan utama untuk pengobatan malaria falciparum.
Pemakaian artesunat dan amodiakuin bertujuan untuk membunuh parasit stadium aseksual,
sedangkan primakuin bertujuan untuk membunuh gametosit yang berada di dalam darah. 4 lini
kedua malaria falciparum diberikan, jika pengobatan lini pertama tidak efektif .

Lini kedua: Kina + Doksisiklin/Tetrasiklin + Primakuin. Dosis kina = 10mg/kgBB/kali


(3x/hr selama 7 hari), doksisiklin = 4mg/kgBB/hr (dewasa, 2x/hr selama 7 hari),
2mg/kgBB/hr (usia 8-14th,2x/hr selama 7 hari), tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama
7 hari).

Apabila pemberian dosis obat tidak memungkinkan berdasarkan berat badan penderita,
pemberian obat dapat diberikan berdasarkan golongan umur.

Tabel 3. Pengobatan Lini kedua Untuk Malaria falciparum .4

Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-11 bln 1-4th 5-9th 10-14th 15th

*
1 Kina 3x 31 3x 32-3

8
Doksisiklin - - - 21 ** 21***

Primakuin - 1 2 2-3

*
2-7 Kina 3x 31 3x 32-3

Doksisiklin - - 21** 21***

*
: dosis diberikan kg/bb

**
: 250 mg doksisiklin

***
: 2100 mg doksisiklin

Tabel 4. Pengobatan Lini Kedua Untuk Malaria falsiparum.4

Hari Jenis obat Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0-11 bln 1-4th 5-9th 10-14th 15th

*
1 Kina 3x 31 3x 32-3

*
Tetrasiklin - - - 41**

Primakuin - 1 2 2-3

*
2-7 Kina 3x 31 3x 32-3

*
Tetrasiklin - - 41**

*
: dosis diberikan kg/BB

**
: 4250 mg tetrasiklin

Prinsip pelaksanaan sama seperti malaria berat umumnya. Beberapa hal penting yang
perlu diperhatikan; a) perawatan pasien dengan gangguan kesadaran. b) deteksi dini dan
9
pengobatab komplikasi berat lainnya. c) waspadalah akan terjadinya infeksi bakteri terutama
pada pasien in-line.

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106 .
Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN- l, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotipe dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis dan
West Nile virus.1-2
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasipada hewan mamalia seperti tikus,
kelinci, kelinci, anjing, kelelawar dan primata. Survei epidemilogi pada hewan ternak
didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi. Penelitian pada
artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus Aedes (Stegomyia
dan Toxorhynchites).1-2

Epidemiologi
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 Per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. 1-2
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama
A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang
berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya). 1-2
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus
dengue yaitu: l). vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di
lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2). pejamu : terdapatnya
penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis
kelamin; 3) lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk. 1-2

10
Patofisiologi
Virus dengue dibawa oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagai vector
ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Infeksi yang pertama kali dapat memberi
gejala sebagai DD. Apabila orang itu mendapat infeksi berulang oleh tipe virus dengue yang
berlainan akan menimbulkan reaksi yang berbeda. DBD dapat terjadi bila seseorang yang
telah terinfeksi dengue pertama kali, mendapat infeksi berulang virus dengue lainnya. Virus
akan bereplikasi di nodus limfatikus regional dan menyebar ke jaringan lain, terutama ke
system retikuloendotelial dan kulit secara bronkogen maupun hematogen. Tubuh akan
membentuk kompleks virus-antibodi dalam sirkulasi darah sehingga akan mengaktivasi
system komplemen yang berakibat akan dilepaskannya anafilatoksin C3a dan C5a sehingga
permeabilitas dinding pembuluh darah meningkat. Akan terjadi juga agregasi trombosit yang
melepaskan ADP, trombosit melepaskan vasoaktif yang bersifat meningkatkan permeabilitas
kapiler dan melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang koagulasi intravaskuler.
Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktorXII) akan menyebabkan pembekuan intravascular
yang meluas dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah.2
Dua perubahan patofisiologi utama yang terjadi yaitu peningkatan permeabilitas
vaskuler dan hemostasis yang abnormal. Permeabilitas vaskuler yang meningkat
mengakibatkan kebocoran plasma, hipovolemi dan syok. Kebocoran plasma dapat
menyebabkan asites. Gangguan homeostasis dapat menimbulkan vaskulopati, trombositopeni
dan koagulopati, sehingga memunculkan manifestasi perdarahan seperti petekie, ekimosis,
perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis dan melena. 2
Berikut ini gambaran skema terjadinya pendarahan dan syok pada demam berdarah
dengue;

11
Manifestasi klinis
Dengue haemorrhagic fever (DHF)
Kasus DHF ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi, perdarahan,
terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah (circulatory failure).

12
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DHF dan
demam dengue ialah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Gejala yang harus
dipertimbangkan dalam diferensiasi DHF dari demam dengue, ialah: 1). DHF pada umumnya
disertai pembesaran hati. 2). Leukositosis seringkali ditemukan pada DHF, berlainan dengan
demam dengue yang pada umumnya disertai leukopenia berat. 3). Manifestasi perdarahan
seperti petekie, ekimosis, Uji tornikuet positif dan trombositopenia lebih menonjol pada DHF.
4). Limfadenopatia, ruam makulopapular dan mialgia bersifat lebih ringan pada DHF.

Dengan mempelajari kepustakaan, nyata bahwa sebenarnya tidak pernah dicapai kata
sepakat mengenai definisi penyakit ini.beberapa pengarang menggolongkan semua infeksi
dengue yang disertai manifestasi perdarahan sebagai DHF walaupun hanya uji tornikuet yang
positif.
Istilah itu harus dibatasi hanya pada penderita yang disertai kelainan khas, yaitu
hipoproteinemia dan trombositopenia. Terdapat 2 batas tegas dalam pembagian klinis, yaitu
dengue normal dan dengue yang berubah sifatnya (altered dengue). Dengan demikian,
berdasarkan pembagian ini walaupun seorang menderita infeksi dengue disertai perdarahan
hebat, bila pada penderita tidak ditemukan hipoproteinemia dan trombositopenia, maka
kasusnya tidak digolongkan sebagai DHF.
Patokan WHO (1975) untuk membuat diagnosis DHF ditetapkan sebagai berikut: 1).
Demam tinggi dengan mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari. 2). Manifestasi
perdarahan, termasuk setidak-tidaknya uji tornikuet positif dan salah satu bentuk lain (petekia,
purpura, ekimosis, epistaksis dan perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena. 3).
Pembesaran hati. 4). Renjatan yang ditandai oleh nadi lemah, cepat disertai tekanan nadi
menurun (menjadi 20 mmHg atau kurang), tekanan darah menurun (tekanan sistole menurun
sampai 80 mmHg atau kurang) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung hidung, jari dan kaki, penderita menjadi gelisah, timbul sianosis di sekitar mulut. 6

Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan penderita DHF/DSS bersifat simtomatik dan suportif.
Protokol 1. Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

Petunjuk dalam memberi pertolongan pertama pada penderita atau tersangka DBD di
Unit Gawat Darurat serta dalam memutuskan indikasi rawat.Tersangka DBD di UGD
13
dilakukan pemeriksaaan darah lengkap, minimal Hb, Ht dan trombosit. Bila hasil trombosit
normal atau turun sedikit (100.000 150.000) pasien dipulangkan, wajib kontrol 24 jam
berikut atau bila memburuk segera harus kembali ke UGD. Bila hasil Hb dan Ht normal,
trombosit <100.000, pasien dirawat. Bila hasil Hb, Ht meningkat, trombosit normal atau
turun, pasien dirawat.7,8

Gambar 6.Penanganan Tersangka (probable) DBD Tanpa Syok

Protokol 2. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Tatalaksana kasus tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok,
diberi cairan infuse kristaloid dengan rumus volume cairan yang diperlukan per hari :

1500 + (20 x (BB dalam kg 20)

Monitor Hb, Ht, trombosit per 24 jam. Bila hasil Hb dan Ht meningkat >10-20% dan
trombosit turun <100.000 maka jumlah cairan tetap, lalu lanjutkan monitor per 12 jam. Bila
hasil Hb, Ht meningkat >20% dan nilai trombosit <100.000 lanjutkan pemberian cairan sesuai
Protokol 3.8

Gambar 7. Pemberian Cairan Pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat


14
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

Peningkatan nilai Ht >20% menunjukkan tubuh mengalami defisit cairan sebanyak


5%. Terapi awal pemberian cairan, infuse kristaloid dengan dosis 6-7ml/kg/jam. Monitor
dilakukan 3-4 jam setelah pemberian cairan. Parameter nilai perbaikan adalah kadar Ht,
frekuensi nadi, tekanan darah dan produksi urin. Bila didapatkan tanda perbaikan maka dosis
cairan dikurangi menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila 2 jam kemudian keadaan tetap dan ada
perbaikan, dosis dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila keadaan tetap membaik dalam 24-48
jam kemudian, pemberian cairan infuse dapat dihentikan. Bila keadaan tidak membaik setelah
terapi awal maka dosis cairan infus naik menjadi 10ml/kgbb/jam. Bila 2 jam keadaan
membaik, cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgbb jam. Bila memburuk, naik menjadi 15
ml/kgBB/jam.Bila tanda syok (+) masuk ke protokol syok.9

Gambar 8. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Hematokrit >20%

15
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Sumber perdarahan masif dan spontan pada penderita DBD adalah epistaksis,
perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena atau hematoskesia), saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak, dan yang tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Terapi cairan sama seperti kasus DBD tanpa syok. Pemeriksaan tanda vital, Hb,
Ht, trombosit dilakukan 4-6 jam serta pemeriksaan trombosis dan hemostasis.Heparin diberi
bila tanda KID (+).Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi, PRC diberi bila Hb
<10 g/dl. Trombosit hanya diberi pad pasien perdarahan spontan masif dengan kadartrombosit
<100.000 dengan atau tanpa tanda KID. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor
pembekuan (PT dan aPTT memanjang).

Gambar 9. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

Resusitasi cairan merupakan terapi terpenting dalam menangani syok hipovolemia


pada SSD.Fase awal, guyur cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB, lalu evaluasi 15-30 menit
kemudian.Bila renjatan telah teratasi jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam.Bila
dalam 60-120 menit keadaan tetap stabil, pemberian cairan menjadi 5 ml/kgBB/jam.Bila
dalam 60 120 menit kemudian tetap stabil, dosis menjadi 3 ml/kgBB/jam.Bila stabil selama
24-48 jam, hentikan infus karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami extravasasi

16
terjadi (ditandai dengan Ht yg turun), bila cairan tetap diberi bisa terjadi hipervolemi, edema
paru dan gagal jantung.

Selain itu dapat diberikan oksigen 2-4 liter per menit, dengan pemeriksaan darah
perifer lengkap, hemostasis, AGD, elektrolit, ureum dan kreatinin.Harus dilakukan
pengawasan dini terhadap kemungkinan syok berulang dalam waktu 48 jam. Karena proses
patogenesis penyakit masih berlangsung dan cairan kristaloid hanya menetap 20% dalam
pembuluh darah setelah 1 jam pemberian. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.

Bila setelah fase awal, renjatan belum teratasi, cairan ditingkatkan menjadi 20-30
ml/kgBB evaluasi dalam 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatikan nilai Ht.
Bila ht meningkat, perembesan plasma masih berlangsung, maka pilihan cairan koloid. Bila
Ht menurun kemungkinan perdarahan dalam (internal bleeding) maka dapat diberikan
transfuse darah segar 10 cc/kgBB (dpt diulang sesuai kebutuhan). Tanda hemodinamik masih
belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30/o dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid
dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1.

Koloid mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20 ml/kgBB, evaluasi setelah
10-30 menit, dapat ditambah hingga jumlah maksimal 30 ml/kgBB. Pilihan sebaiknya yang
tidak menggangu mekanisme pembekuan darah.Gangguan mekanisme pembekuan darah ini
dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid
itu sendiri.Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.Pada
kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan
selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. (

Pasang kateter vena sentral untuk pantau kecukupan cairan, Sasaran tekanan vena
sentral 15-18 cmH2O.Bila keadaan tetap belum teratasi, perhatian dan koreksi ganggguan
asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID dan infeksi sekunder. Bila tekanan vena
sentral sudah sesuai dengan target namun renjatan belum teratasi, maka dapat diberikan obat
inotropik/vasopresor (dopamin, dobutamin, atau epinephrine). 9,10

Hiponatremia danasidosis metabolik sering menyertai pasien SSD, dan apabila


asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi
lebih kompleks.Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya
dandilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahansebagai akibat
KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
17
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan infeksi
sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian
antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ lainnya, dan
antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.

Gambar10. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa

18
Komplikasi
Demam berdarah dengue dapat menimbulkan komplikasi :
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan
pendarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan
metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka kemungkinan
dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat
dari koagulasi intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue dapat
menembus sawar darah-otak.2
2. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat pemberian cairan
yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan
yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan
plasma masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskuler,
apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami
distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
edema paru pada foto rontgen dada. 2
3. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari syok yang
tidak teratasi dengan baik.Dapat dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun
jarang.Untuk mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan menggantikan
volume intravaskular, penting diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan
baik.Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi.Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam.Oleh karena
bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah dikurangi dapat
terjadi syok berulang. Pada keadaan syok berat sering kali dijumpai acute tubular necrosis,
ditandai penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
4. Kerusakan hati
Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan pada permulaan penyakit, bervariasi
dari hanya sekedar dapat diraba (just palpable) sampai 2-4 cm di bawah lengkung iga
kanan, derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit. Untuk menemukan
pembesaran hati ,harus dilakukan perabaan setiap hari. Nyeri tekan di daerah hati sering

19
kali ditemukan dan pada sebagian kecil kasus dapat disertai ikterus.Nyeri tekan di daerah
hati tampak jelas pada anak besar dan ini berhubungan dengan adanya perdarahan.

Pencegahan

1. Perlindungan terhadap gigitan nyamuk dengan memasang kawat kasa pada jendela dan
lubang angin atau memakai kelambu.
2. Membuang segala benda yang dapat menampung air hujan yang memungkinkan
terjadinya tempat perindukan Aedes aegypti.
3. Mengganti air atau membersihkan tempat-tempat yang mengandung air secara teratur
setiap minggu.
4. Pemberian abate ke dalam tempat penampung/penyimpanan air bersih.
5. Melakukan fogging dengan malathion pada daerah yang terkena wabah DHF setidak-
tidaknya 2 kali dengan jarak waktu 10 hari.
6. Pendidikan kesehatan masyarakat melalui ceramah untuk memusnahkan tempat
perindukan Aedes aegypti di sekitar rumah.11

Gambar 3. Upaya pemberantasan vektor nyamuk DBD

Prognosis

Demam dengue tanpa komplikasi merupakan penyakit ringan. Fatalitas kasus DHF
dan DSS adalah 1-2%, ditentukan oleh cepatnya pemberian cairan. Prognosis buruk bila
keterlambatan datang berobat, keterlambatan/ kesalahan diagnose, dan kurang mengenal tanda
kegawatan.2

Kesimpulan

20
DBD yang disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah,
tekanan darah turun ( 20 mmHg), hipotensi ,kulit dingin dan lembab serta gelisah disebut
Dengue Shock Syndrome (DSS). Pada kasus DSS cairan kristaloid adalah pilihan utama yang
diberikan.Selain resusitasi cairan, penderita juga diberi oksigen 2-4 liter/menit.Angka
kematian DSS sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD.

Daftar Pustaka

1. Suhendro, N.Leonard, C.Khie, P.T.Herdiman. Demam berdarah dengue. Ilmu penyakit


dalam III. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 2773-9
2. Noer HMS, Waspadji SRM. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 3 rd ed. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2006.h. 417-26
3. Harijanto.Malaria.Epidemiologi, Patogenesis Manifestasi Klinis, dan Penanganan.Jakrta:
EGC;2010.h.1-156
4. Moch Choirudin Alfan. Komplikasi malaria. Diunduh dari:
http://panmedical.wordpress.com/2010/04/30/malaria-komplikasi/. 23 november, 2014
5. Yasavati K.N, Santoso M, Winami W.W, Sumadikarya I.K. Buku panduan ketrampilan
medik. Smester 2. Jakarta. Ukrida ; 2010
6. Zulkarnain. Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada dewasa di RSCM. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2003.h. 150-66
7. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3.
Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.

8. Sudoyo AW, Setiyohadi D. Alwi I, Simadibrata WI, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta : Interna Publishing, 2010

9. Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar S. Parasitologi kedokteran. Edisi 4.Jakarta :
Balai penerbit FKUI, 2009

10. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi.Edisi 6.Jakarta : EGC, 2006

11. S.Rosdiana. Parasitologi kedokteran. Jakarta: Yrama Widya; 2010.h. 252-4

21

Anda mungkin juga menyukai