Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap tahun mengalami


peningkatan, korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja
sekarang sudah merambah ke remaja bahkan anak- anak.
Fenomena kekerasan seksual terhadap anak semakin sering
terjadi dan menjadi global hampir di berbagai negara. Kasus
kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat dari waktu ke
waktu. Pelakunya kebanyakan berasal dari lingkungan keluarga
atau lingkungan sekitar anak itu berada, antara lain di dalam
rumahnya sendiri, sekolah, lembaga pendidikan, dan lingkungan
social anak.1
Penyimpangan seksual merupakan bentuk perbuatan menyimpang dan
melanggar norma dalam kehidupan masyarakat. Penyimpangan seksual adalah
aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatakn kenikmatan
seksual dengan tidak sewajarnya. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang
tersebut adalah menggunakan objek seks yang tidak wajar. Penyebab terjadinya
kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil
dan lingkungan pergaulan dan faktor genetic.2
Pedofilia adalah orang dewasa yang berulangkali melakukan tindakan seksual
dengan anak prepubertas. Prevalensi pedofilia sulit ditentukan karena banyak kasus tak
tercatat. Pelecehan terhadap anak merupakan pelecehan yang cukup sering. Glueck
memperkirakan setengah hingga dua pertiga dari seluruh pelecehan seksual merupakan
laki-laki yang melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Keseriusan terhadap pedofilia,
yang menjadi perhatian masyarakat, ditunjukkan dengan penatalaksanaan yang diberikan
terhadap tersangka pedofilia. Walaupun pelaku yang baru pertama kali diberikan masa
percobaan dengan layanan terapi psikiater, residivis biasanya dipenjarakan atau
dilembagakan. Jika terapi yang efektif belum tersedia bagi pedofilia di RS jiwa, keadaan
akan sangat lebih buruk di penjara. Pelaku pelecehan seksual mendapatkan posisi
terendah dalam hirarki penjara. Jauh dari ketersediaan pelatihan bagi pedofilia mengenai
2

kebiasaan heteroseksual yang normal, lingkungan penjara kemungkinan dapat


mendukung penyimpangan lebih lanjut.2,3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Kata pedofilia berasal dari bahasa Yunani: paidophilia-pais "anak-anak"
dan philia, "cinta yang bersahabat" atau "persahabatan, meskipun ini arti
harfiah telah diubah terhadap daya tarik seksual di zaman modern,
berdasarkan gelar "cinta anak" atau "kekasih anak," oleh pedofil yang
menggunakan simbol dan kode untuk mengidentifikasi preferensi mereka.
Pedofilia adalah diagnosis klinis biasanya dibuat oleh psikiater atau psikolog.
Sebagai diagnosa medis, pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan
pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia
16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer
atau eksklusif pada anak prapuber (umumnya usia 13 tahun atau lebih muda,
walaupun pubertas dapat bervariasi). Anak harus minimal lima tahun lebih
muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat
diklasifikasikan sebagai pedofilia.2
Definisi pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi
impuls seksual yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia
umunya harus di atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang menjadi korban
berumur 13 tahun atau lebih muda (anak pre-pubertas). Dikatakan pedofilia
jika seseorang memiliki kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi
maupun kelainan seks tersebut mengganggu anak. Pedofilia merupakan suatu
kelainan dimana untuk mencapai rangsangan dan pemuasan seksual, penderita
tersebut memakai objek terutama pada seorang anak dari seks yang lama atau
berlainan.2
Pedofilia melibatkan dorongan seksual yang intens dan berulang atau
terangsang oleh anak berusia 13 tahun atau kurang, selama periode waktu
sedikitnya 6 bulan. Orang dengan pedofilia sedikitnya 16 tahun dan sedikitnya
3

lebih tua dari korban. Jika orang tersebut berada pada usia remaja akhir dan
terlibat di dalam hubungan seksual yang sedang berlangsung dengan anak usia
12 atau 13 tahun, diagnosis ini tidak dibenarkan.3
Sebagian besar penyiksaan anak melibatkan penyentuhan genital atau seks
oral. Penetrasi vagina atau anus anak jarang terjadi kecuali pada kasus inses.
Walaupun sebagian besar korban anak-anak yang mendapatkan perhatian
public adalah anak perempuan, temuan ini tampak sebagai hasil proses
rujukan. Pelaku melaporkan bahwa 60 % korban adalah anak laki-laki. Angka
ini berlawanan tajam dengan angka untuk korban anak tanpa sentuhan, seperti
mengintip dan eksibishionisme, 99% kasus tersebut dilakukan terhadap anak
perempuan. Pada pasien pedofilia 95% adalah heteroseksual, dan 50%
mengkonsumsi alcohol berlebihan saat kejadian. Selain pedofilia, sejumlah
besar pelaku juga atau sebelumnya pernah, terlibat dalam ekhibisinisme,
voyeurism atau pemerkoasaan.3
B. Epidemiologi
Di antara kasus parafilia yang dikenali, pedofilia adalah jauh
lebih sering dibandingkan dengan yang lainnya. Pedofilia lebih banyak
terjadi pada laki-laki tetapi tidak ada informasi yang
pasti tentang prevalensinya. Adanya prostitusi terhadap anak
di beberapa Negara dan maraknya penjualan materi pornografi
tentang anak-anak, menunjukkan bahwa tingkat ketertarikan seksual
terhadap anak tidak jarang. Meskipun demikian, pedofilia sebagai salah satu
bentuk perilaku seksual diperkirakan tidak secara umum terjadi. 2,4
Pedofil biasanya datang ke petugas medis atau hukum karena telah
melakukan perbuatan melawan anak disebabkan sebagian besar tidak
menemukan kepuasan seksual mereka. Pedofil biasanya mengakui bahwa
mereka tertarik kepada anak mulai sekitar masa pubertas atau remaja, tapi ini
ketertarikan seksual kepada anak-anak juga dapat berkembang di kemudian
hari. Beberapa studi telah menemukan bahwa sebanyak 50% sampai 60% dari
pedofil juga berkaitan dengan penyalahgunaan zat. Dalam sebuah studi yang
meneliti hubungan antara usia dan jenis kejahatan seksual, Dickey et Al
menemukan bahwa sampai 44% pedofilia dalam sampel mereka berada diusia
4

dewasa tua (usia 40-70 tahun). Bila dibandingkan dengan pemerkosa dan sadis
seksual, pedofilia terdiri dari 60% dari semua pelanggar yang berumur tua, hal
ini menunjukkan bahwa pedofil pada tahun tersebut menjadi pelanggar
seksual terbesar dibandingkan dengan pelanggar seksual yang lainnya. Dalam
sebuah studi 15 dari 2429 pedofil laki-laki dewasa, hanya 7%
mengidentifikasi diri mereka sebagai eksklusif tertarik secara seksual anak,
yang menegaskan pandangan umum bahwa sebagian besar pedofil adalah
bagian dari kelompok eksklusif. Pedofil biasanya tertarik pada rentang usia
tertentu dan/atau jenis kelamin anak. Penelitian mengkategorikan pedofil laki-
laki oleh apakah mereka tertarik hanya anak laki-laki (homoseksual
pedofilia), anak perempuan (pedofilia heteroseksual), atau anak-anak dari
kedua jenis kelamin (pedofilia biseksual). Persentase pedofil homoseksual
berkisar antara 9% sampai 40%, yang kira-kira 4 sampai 20 kali lebih tinggi
daripada tingkat pria dewasa tertarik lainnya dewasa laki-laki (menggunakan
tingkat prevalensi homoseksualitas dewasa dari 2%-4%). Individu tertarik
pada perempuan biasanya lebih suka anak-anak antara usia 8 dan 10 tahun.
Individu tertarik pada laki-laki biasanya lebih suka sedikit lebih tua anak laki-
laki antara usia 10 dan 13 tahun.2,4

C. Etiologi
Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku seksual yaitu
perspektif biologis yang tejadi pada masa pubertas dan pengaktifan hormonal.
Pada masa ini rawan terjadinya penyimpangan seksual. Pengaruh orang tua
terjadi biasanya kurangnya komunikasi antara orang tua dengan remaja dalam
masalah seputar seksual yang akhirnya dapat memperkuat munculnya perilaku
penyimpangan seksual, pengaruh teman sebaya, perspektif akademik dan
perseptif sosial kognitif.
Penyebab pedofilia belum diketahui pasti. Namun pedofilia sering kali
menandakan ketidakmampuan berhubungan dengan sesama dewasa atau
adanya ketakutan wanita untuk menjalin hubungan dengan sesame dewasa.
Jadi bisa dikatakan sebagai suatu kompensasi dari penyaluran nafsu seksual
5

yang tidak dapat disalurkan pada orang dewasa. Berikut adalah macam-
macam penyebab terjadinya pedofilia:
a. Trauma
Pengalaman selama anak-anak sebagai korban pedofilia ditengarai
sebagai penyebab utama seseorang menjadi pedofil. Mereka belajar
dengan mengamati bahwa kepuasan seksual dapat diperoleh dari
anak-anak. Bisa jadi pula mereka rendah diri menyadari dirinya
adalah korban pedofilia. Akibatnya mereka cenderung menutup diri dan
pergaulan pun jadi terbatas. Terkait dengan hal ini.
b. Kurangnya Kemampuan Sosialisasi
Kurangnya keterampilan untuk membina hubungan keakraban dengan
orang lain juga menjadi salah satu penyebab pedofilia. Mereka tidak dapat
menjalin hubungan intim dengan orang dewasa yang sebaya. Dalam
kondisi ini, tidak ada yang lebih nyaman selain berinteraksi dengan anak-
anak, yang mudah didekati tanpa melakukan perlawanan sebagaimana
dahulu yang terjadi pada mereka.
c. Merasa Harga Diri Rendah
Harga diri yang rendah juga menjadi faktor penyebab. Mereka merasa
tidak memiliki kelebihan atau merasa gagal dibandingkan pasangan atau
teman-temannya. Menguasai anak, mengancam dan memanipulasinya,
merupakan suntikan bagi harga diri para pedofil. Orang yang merasa
rendah diri juga mudah mengalami depresi dan kecemasan. Dalam kondisi
ini, melakukan pelecehan seksual terhadap anak dijadikan cara melepaskan
ketegangan.
d. Faktor Ekonomi
Dari segi sosial ditemukan pelaki pedofilia kebanyakan berasal dari
kalangan sosial ekonomi rendah. Sebagian bahkan tidak memiliki
pekerjaan. Ditambah dengan tingkat pendidikakn yang umunya kurang
memadai, mereka sulit menemukan cara penyelesaian masalah yang
efektif. Akibatnya mereka mudah terkena stres dan menggunakan anak
untuk mengatasi rasa tertekan atau ketegangannya akibat stres.2,3

D. Gejala Klinis
6

Pedofilia biasanya terdeteksi oleh diri sendiri setelah masa puber di mana
orientasi seksual pasien terfokus pada anak-anak, bukan orang dewasa. Pasien
tidak dapat menentukan orientasi seksual mereka dan kemudian merasa takut
akan diri mereka sendiri. Mereka juga sering mengalami diskriminasi sosial;
sulit bagi mereka untuk terlibat dalam komunitas dan berhubungan dengan
orang lain. Hasilnya, ini membuat pasien tertarik pada anak-anak karena
mereka tergolong masih polos dan tidak menghakimi seperti orang dewasa.
Belakangan ini, para ilmuwan dan masyarakat memiliki kecenderungan untuk
mempelajari masalah-masalah psikologis; beberapa pasien lebih terbuka akan
penyakit mereka demi ilmu pengetahuan. Menurut para pasien, gejala
pedofilia di antara lain perasaan inferior, terisolasi, dan bahkan depresi;
mereka takut orientasi seksual mereka diketahui, jadi mereka mengisolasi diri
dari orang lain. Para pasien menganggap gairahnya salah dan illegal untuk
dipenuhi. Maka dari itu selalu mengontrol diri mereka sendiri dan mencari
cara aman untuk memuaskan diri sendiri. Beberapa kasus dari kekerasan pada
anak-anak sering melibatkan penyakit kejiwaan yang lain seperti
schizophrenia dan distorsi-distorsi kognitif. Di sisi lain, beberapa kasus
kriminal pada anak sebenarnya bukan merupakan pedofilia.3

E. Klasifikasi
Pedofilia dapat diklasifikasi kedalam 5 tipe, yaitu:
1. Pedofilia yang menetap
Orang dengan pedofilia tipe ini, menganggap dirinya terjebak pada
lingkungan anak. Mereka jarang bergaul dengan sesame usianya, dan
memiliki hubungan yang lebih baik terhadap anak. Mereka digambarkan
sebagai lelaki dewasa yang tertarik pada anak laki-laki dan menjalin
hubungan layaknya sesama anak laki-laki.
2. Pedofilia yang sifatnya regresi
Di lain pihak, orang dengan pedofilia regresi tidak tertarik pada anak
lelaki, biasanya bersifat heteroseks dan lebih suka pada anak perempuan
berumur 8 atau 9 tahun. Beberapa di antara mereka mengeluhkan adanya
kecemasan maupun ketegangan dalam perkawinan mereka dan hal yang
menyebabkan timbulnya impuls pedofilia. Mereka menganggap anak
7

sebagai pengganti orang dewasa, dan menjalin hubungan layaknya sesama


dewasa, dan awalnya bersifat tiba-tiba dan tidak direncanakan.
3. Pedofilia seks lawan jenis
Pria dengan pedofilia yang melibatkan anak perempuan, secara tipik
didiagnosa sebagai pedofilia regresi. Pedofilia lawan jenis umunya mereka
menjadi teman anak perempuan tersebut, dan kemudian secara bertahap
melibatkan anak tersebut dalam hubungan seksual, dan sifatnya tidak
memaksa. Seringkali mereka mencumbu si anak atau meminta anak
mencumbunya, dan mungkin melakukan stimulasi oral, jarang bersetubuh.
4. Pedofilia sesama jenis
Orang dengan pedofilia jenis ini lebih suka berhubungan seks dengan
anak laki-laki ataupun perempuan dibangdingkan dengan orang dewasa.
Anak tersebut berumur antara 10 tahun 12 tahun. Aktivitas seksnya
berupa mastrubasi dengan cara stimulasi oral oleh anak-anak tersebut dan
berhubungan lewat anus.
5. Pedofilia wanita
Meskipun pedofilia lebih banyak oleh laki-laki, tetapi juga dilakukan
oleh wanita, meskipun jarang dilaporkan. Hal ini mungkin disebabkan
oleh adanya perasaan keibuan pada wanita. Anak laki-laki tidak
menganggap hal ini sebagai suatu yang sifatnya negative, karena
insidennya kurang dilaporkan. Biasanya melibatkan anak berusia 12 tahun
atau lebih muda.4
Empat karakteristik utama yang dimiliki oleh seorang pedofilia:
1. Pola prilaku jangka panjang dan persisten
- Memiliki latar belakang pelecehan seksual
Penelitian menunjukan bahwa banyak pelaku kekerasan seksual
merupakan korban dari kekerasan seksual berikutnya.
- Memiliki kontak social terbatas pada masa remaja
Pada waktu remaja, pelaku biasanya menunjukan ketertarikan seksual
yang kurang terhadap seseorang yang seumur dengan mereka.
- Sering berpindah tempat tinggal
Pedofilia menunjukan suatu pola hidup dengan tinggal di satu tempat
selama beberapa tahun, mempunyai pekerjaan yang baik dan tiba-tiba
pindah dan berganti pekerjaan tanpa alasan yang jelas.
- Korban banyak
8

Jika penyidikan mengungkapkan bahwa seseorang melakukan


pelecehan seksual pada korban yang berlainan, ini merupakan indicator
kuat bahwa ia adalah pedofilia.
- Percobaan berulang dan beresiko tinggi
Usaha atau percobaan berulang untuk mendapatkan anak sebagai
korban dengan cara yang sangat terampil merupakan indicator kuat
bahwa pelaku adalah seseorang pedofilia.
2. Menjadikan anak-anak sebagai obyek prefensi seksual
- Usia >25 tahun, single, tidak pernah menikah
Mempunyai preferensi seksual terhadap anak-anak, mereka
mempunyai kesulitan dalam berhubungan seksual dengan orang
dewasa oleh karena itu mereka tidak menikah.
- Tinggal sendiri atau bersama orang tua
Indicator ini berhubungan erat dengan indicator di atas
- Bila tidak menikah, jarang berkencan
Seorang laki-laki yang tinggal sendiri, belum pernah menikah dan
jarang berkencan, maka harus dicurigai sekiranya dia memiliki
karakteristik yang disebutkan di sini
- Bila menikah, mempunyai hubungan khusus dengan pasangan
Pedofilia kadang-kadang menikah untuk kenyamanan dirinya atau
untuk menutupi dan juga memperoleh akses terhadap anak-anak.
- Minat yang berlebih pada anak
Indicator ini tidak membuktikan bahwa seseorang adalah seorang
pedofilia, tapi menjadi alas an untuk diwaspadai. Akan menjadi lebih
signifikan apabila minat yang berlebih ini dikombinasikan dengan
indikaror-indikator lain.
- Memiliki teman-teman yang berusia muda
Pedofil sering bersosialisasi dengan anak-anak dan terlibat dengan
aktifitas-aktifitas golongan remaja.
- Memiliki hubungan yang terbatas dengan teman sebaya
Seorang pedofil mempunyai sedikit teman dekat dikalangan dewasa.
Jika seseorang yang dicurigai sebagai pedofil mempunyai teman dekat,
maka ada kemungkinan temannya itu adalah juga seorang pedofil.
- Menganggap anak bersih, murni, tidak berdosa dan sebagai objek
Pedofil kadang memiliki pandangan idealis mengenai anak-anak yang
diekspresikan melalui tulisan dan bahasa, mereka menganggap anak-
anak sebagai objek, subyek dan hak milik mereka.
9

3. Memiliki teknik yang berkembang dengan baik dalam mendapatkan


korban
- Terampil dalam mengidentifikasikan korban yang rapuh
Pedofilia memilih korban mereka, kebanyakan anak-anak korban
broken home atau korban dari penelantaran emosi atau fisik.
Keterampilan ini berkembang dengan latihan dan pengalaman.
- Berhubungan baik dengan anak, tahu cara mendengarkan anak
Pedofil biazasnaya mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan
anak-anak lebih baik daripada orang dewasa lainnya. Mereka juga tagu
cara mendengarkan anak dengan baik.
- Mempunyai akses ke anak-anak
Ini merupakan indicator terpenting bagi pedofil. Pedofil mempunyai
metode tersendiri untuk memperoleh akses keanak-anak. Pedofil akan
berada di tempat anak-anak bermain, menikah atau berteman dengan
wanita yang memiliki akses ke anak-anak, memilih pekerjaan yang
memiliki akses ke anak-anak atau tempat dimana dia akhirnya dapat
berhubungan khusus dengan anak-anak.
- Lebih sering beraktifitas dengan anak-anak, seringkali tidak
melibatkan orang dewasa
Pedofilia selalu mencoba untuk mendapatkan anak-anak dalam situasi
dimana tanpa kehadiran orang lain.
- Terampil dalam memanipulasi anak
Pedofil menggunakan cara merayu, kompetisi, tekanan teman sebaya,
psikologi anak dan kelompok, teknik motivasi dan ancaman.
- Merayu dengan perhatian, kasih sayang dan hadiah
Pedofil merayu anak-anak dengan berteman, berbicara, mendengarkan,
memberi perhatian, menghabiskan waktu dengan anak-anak dan
membeli hadiah
- Memiliki hobi dan ketertarikan yang disukai anak
Pedofil mengkoleksi mainan, boneka atau menjadi badut atau ahli
sulap untuk menarik perhatian anak-anak.
- Memperhatikan materi-materi seksual secara eksplisit kepada anak-
anak
Pedofil cenderung untuk mendukung atau membenarkan anak untuk
menelpon pelayanan pornografi atau menghantar materi seksual yang
eksplisit melalui komputer pada anak-anak.
4. Fantasi seksual yang difokuskan pada anak-anak
10

- Dekorasi rumah yang berorientasi remaja


Pedofilia yang tertarik pada remaja akan mendekorasi rumah mereka
seperti remaja lelaki. Ini termasuk pernak-pernik seperti mainan,
stereo, poster penyanyi rock, dll.
- Memfoto anak-anak
Pedofilia memfoto anak-anak yang berpakaian lengkap, setelah selesai
dicetak, mereka menghayalkan melakukan hubungan seks dengan
mereka.
- Mengkoleksi pornografi anak atau erotika anak
Pedofil menggunakan koleksi ini untuk mengancam korban agar tetap
menjaga rahasia aktivitas seksual mereka. Koleksi ini juga digunakan
untuk ditukar dengan koleksi pedofil yang lain.5

F. Diagnosis
Kriteria diagnostic Pedofilia menurut PPDGJ-III:
1. Preferensi seksual terhadap anak-anak, biasanya prapubertas atau awal
masa pubetas, baik laki-laki maupun perempuan.
2. Pedofilia jarang ditemukan pada perempuan.
3. Preferensi tersebut harus berulang dan menetap.
4. Termasuk laki-laki dewasa yang mempunyai preferensi partner seksual
dewasa, tetapi karena mengalami frustasi yang khronis untuk mencapai
hubungan seksual yang diharapkan, maka kebiasaan beralih kepada anak
sebagai pengganti.
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR Pedofilia
A. Untuk periode waktu sedikitnya 6 bulan, terdapat khayalan yang
merangsang secara seksual, dorongan atau perilaku seksual yang intens
dan berulang yang melibatkan aktivitas seksual dengan anak prapuber atau
anak-anak (umumnya berusia 13 tahun atau kurang).
B. Orang tersebut telah melakukan dorongan seksual ini, atau dorongan atau
khayalan seksual menimbulkan penderitaan yang nyata atau kesulitan
interpersonal.
C. Orang berusia sedikitnya 16 tahun dan sedikitnya 5 tahun lebih tua dari
anak atau anak-anak pada kriteria A.
11

Pedoman diagnostic F65.4 Paedophilia menurut ICD-10: ICD-10


mendefinisikan pedofilia sebagai "preferensi seksual untuk anak-anak, anak
laki-laki atau perempuan atau keduanya, biasanya usia prapubertas atau awal
pubertas." Berdasarkan kriteria sistem ini, orang yang berusia 16 tahun atau
lebih memenuhi definisi jika mereka memiliki preferensi seksual terus-
menerus atau pradominan untuk anak-anak praremaja setidaknya lima tahun
lebih muda dari mereka.

Diagnosis lebih lanjut ditentukan oleh jenis kelamin anak orang tersebut
tertarik, jika impuls atau tindakan terbatas dan jika daya tarik adalah
"eksklusif" atau "noneksklusif." Sebuah studi menunjukkan bahwa pornografi
anak merupakan diagnostic pasti dan dapat dijadikan indikator untuk
pedofilia. Pelanggaran ponografi anak merupakan pelanggar yang bermakna
dan lebih mungkin untuk menunjukkan pola pedofilia selama pengujian
phallometric dibandingkan kelompok orang dewasa atau pasien seksologi
umum. Pornografi anak memiliki signifikansi diagnostic dan mungkin sangat
membantu dalam situasi di mana orang tersebut menyangkal minat seksual
terhadap anak-anak praremaja, atau tidak memiliki sejarah yang
didokumentasikan perilaku seksual yang melibatkan anak-anak, atau di mana
tes phallometric hasil tidak tersedia.

Banyak istilah telah digunakan untuk membedakan "pedofil sejati" dari


pelaku non pedofil dan non eksklusif, atau untuk membedakan antara jenis
pelaku dalam sebuah kontinum sesuai dengan kekuatan dan eksklusivitas
kepentingan pedofil, dan motivasi atas perbuatan itu (lihat Jenis pelaku
pelecehan seksual terhadap anak). Pedofil Eksklusif kadang-kadang disebut
sebagai "pedofil sejati. Mereka tertarik pada anak-anak saja. Mereka
menunjukkan sedikit minat erotis pada orang dewasa yang sesuai dengan usia
mereka sendiri dan dalam beberapa kasus, hanya bisa menjadi terangsang
ketika berfantasi atau berada di hadapan anak-anak praremaja. Pedofil non
eksklusif terkadang disebut sebagai pelaku non pedofil, tetapi dua istilah ini
tidak selalu identik. Pedofil non eksklusif tertarik pada anak-anak dan orang
12

dewasa, dan dapat terangsang oleh keduanya, meskipun preferensi seksual


bagi salah satu dari yang lain dalam kasus ini juga mungkin ada.

Baik kriteria diagnostik ICD maupun DSM membutuhkan aktivitas


seksual yang sebenarnya dengan seorang pemuda praremaja. Diagnosis
sehingga dapat dibuat berdasarkan adanya fantasi atau dorongan seksual
bahkan jika mereka tidak pernah ditindak lanjuti. Di sisi lain, seseorang yang
bertindak atas dorongan ini belum ada pengalaman buruk tentang fantasi
mereka atau dorongan dapat juga memenuhi syarat untuk diagnosis. Bertindak
berdasarkan dorongan seksual tidak terbatas pada tindakan seks yang jelas
untuk tujuan diagnosa ini, dan kadang-kadang dapat mencakup paparan yang
tidak senonoh atau bermasturbasi dengan pornografi anak. Seringkali, perilaku
ini perlu dipertimbangkan dalam konteks dengan unsur penilaian klinis
sebelum diagnosis dibuat. Demikian juga, ketika pasien berada dalam masa
remaja akhir, perbedaan usia tidak ditentukan dalam angka yang keras dan
bukannya memerlukan pertimbangan situasi yang cermat.

G. Diagnosis Banding
Perilaku seksual yang terbatas pada anak-anak saja tidak
menjamin diagnosa pedofilia. Perlaku tersebut mungkin terpresipitasi
oleh perselisihan dalam perkawinan, kehilangan yang terjadi dalam waktu
dekat atau kesepian yang berkepanjangan. Pada keadaan tersebut, ketertarikan
pada anak mungkin dapat dimengerti. Pada retardasi mental, sindrom perilaku
organik dan hitoksikasi alkohol atau skizoprenia, mungkin terjadi penurunan
kemampuan daya nilai, kemampuan social pengendalian impuls.
Biasanya hal tersebut, walaupun jarang akan membuat seseorang memiliki
prefensi seksual yang terbatas pada anak-anak tetapi pada kebanyak kasus,
umumnya aktivitas seksual dengan anak-anak bukan meruoan hal yang mutlak
untuk mendapatkan kepuasan seksual.2,3
a. Ekshibisionisme
Merupakan dorongan berulang untuk menunjukkan alat kelamin pada
orang asing atau pada orang yang tidak menyangkanya. Kegairahan
seksual terjadi pada saat antisipasi terhadap pertunjukan tersebut, dan
13

orgasme didapatkan melalui masturbasi selama atau setelah peristiwa.


Orang yang diagnosia mengalami ekshibisionisme pada dasarnya tidak ada
keinginan untuk mengadakan kontak seksual dengan korbannya sehingga
tidak berbahaya. Pada ekshibisionisme, paparannya mungkin pada anak,
tetapi hal ini bukan merupapakn suatu permulaan untuk melakukan
aktivitas seksual pada anak-anak.3

b. Fethisime
Merupakan kelainan yang dikarakteristikan sebagai dorongan seksual
hebat yang berulang dan secara seksual menimbulkan khayalan yang
dipengaruhi oleh objek yang bukan manusia. Pada fetishisme, dorongan
seksual terfokus pada benda atau bagian tubuh (seperti sepatu, sarung
tangan, celana dalam, atau stoking) yang secara mendalam dihubungkan
dengan tubuh manusia. Pada fethisisme paparannya mungkin bisa terjadi
pada benda yang dipunyai anak.3

c. Froteurisme
Merupakan kelainan yang ditandai dengan seorang laki-laki yang
menggosokan penisnya pada pantat atau bagian tubuh lain perempuan
yang berpakaian lengkap untuk mendapatkan orgasme. Tindakan ini
14

biasanya terjadi di tempat ramai, terutama didalam bus dan kereta bawah
tanah.

d. Sadisme Seksual
Sadisme seksual bisa terjadi hanya dalam khayalan atau mungkin
diperlukan untuk perangsangan atau untuk mencapai orgasme. Beberapa
penderita sadisme, menjerat korban yang ketakutan, yang tidak menyetujui
apa yangdilakukan oleh penderita dan kemudian memperkosanya.
Penderita lainnya, secara khusus mencari mitra seksual yang menderita
masokisme dan memenuhi keinginan sadistiknya dengan mitra seksual
yang memang senang untuk disakiti. Khayalan dari pengendalian dan
kekuasaan total seringkali penting bagi penderita, dan penderita sadisme
bisa mengikat dan menyumbat mitra seksualnya dengan cara yang rumit.
Pada kasus yang berat, penderita bisa menyiksa, memotong,mencambuk,
memasang kejutan listrik atau membunuh mitra seksualnya.3

H. Hubungan antara gangguan jiwa dengan pedofilia


a. Post Traumatic Stress Disorder
Gangguan stres pascatrauma atau PTSD (post-traumatic stress
disorder) adalah kondisi kejiwaan yang dipicu oleh kejadian tragis yang
pernah dialami. Contoh peristiwa traumatis yang mungkin menjadi pemicu
15

kondisi ini meliputi kecelakaan lalu lintas, bencana alam, tindak kejahatan
seperti pemerkosaan atau perampokan, atau pengalaman di medan perang
Pernah mengalami trauma lain, misalnya saat masih kecil. Kondisi ini
termasuk kategori gangguan kecemasan yang membuat pengidapnya tidak
bisa melupakan kejadian traumatis yang dialami. Tidak semua orang yang
mengalami trauma otomatis akan mengidap PTSD. Gangguan mental ini
diperkirakan berkembang pada 30-35 persen di antara orang-orang yang
pernah mengalami kejadian traumatis. Kasus PTSD dapat menjadi
pedofilia karena ingin melakukan hal yang sama kepada anak-anak karna
orang tersebut merasakan hal yang sama ketika masa kecil dahulu.2,4
b. Hiperseksual
Perilaku hiperseksual ini dianggap mengganggu karena dianggap
sebagai perilaku kecanduan seksual. Selain itu, perilaku ini mengganggu
karena bisa menyebabkan pelakunya mengalami stres. Stres tersebut bisa
menyebabkan gangguan kesehatan, pekerjaan, dan hubungan sosial di
dalam kehidupan penderita. Hiperseksual juga bisa mengganggu atau
membahayakan pelaku dan orang lain yang dilibatkan. Jika dibiarkan,
perilaku ini akan melanggar batas-batas norma yang berlaku di
masyarakat, seperti berselingkuh atau menggunakan jasa pekerja seks
komersial. Sampai saat ini belum ditemukan diagnosis resmi untuk mereka
yang menderita hiperseks. Meski demikian ada beberapa prilaku yang
dijadikan tanda-tanda untuk menentukan perilaku yang juga dikategorikan
kecanduan seks ini yaitu: Memiliki lebih dari satu pasangan dalam
perkawinan bisa berupa perselingkuhan, sering berganti-ganti pasangan
seksual, terus mengonsumsi hal-hal terkait pornografi, sering
mempraktikkan hubungan seksual yang tidak aman, sering memakai jasa
pekerja seks komersial, selalu merangsang diri sendiri untuk mendapatkan
kepuasan alias masturbasi, sering mengintip aktivitas seksual yang
dilakukan oleh orang lain, erasa tidak mampu mengendalikan rangsangan
seksual yang menimpa diri sendiri, dorongan seksual yang memicu
tindakan seksual, namun hal tersebut belum tentu menjadikan pelakunya
mengalami kepuasan, menjadikan perbuatan seksual sebagai pelampiasan
16

atau pelarian dari berbagai tekanan hidup, seperti kesepian, stres, depresi,
atau kecemasan. Orang yang mengalami hiperseksual juga dapat
melampiaskan keinginan seksualnya terhadap anak-anak. Sehingga ini
meningkatkan terjadinya pedofilia.2

Anak sebagai korban dalam kasus pedofilia, secara jangka pendek dan
jangka panjang dapat mengakibatkan gangguan fisik dan mental. Gangguan
fisik yang terjadi adalah resiko gangguan kesehatan. Saat melakukan
hubungan kelamin pun seringkali masih belum bersifat sempurna karena organ
vital dan perkembangan hormonal pada anak belum sempurna karena organ
vital dan perkembangan hormonal pada anak belum sempurna organ dewasa.
Bila dipaksakan berhubungan suami istri akan merupakan siksaan yang luar
biasa, apalagi seringkali dibawah paksaan dan ancaman. Belum lagi bahaya
penularan penyakit kelamin maupun HIV dan AIDS, karena penderita
pedofilia kerap disertai dengan bergantinya pasangan atau korban. Bahaya lain
yang mengancam, apabila terjadi kehamilan. Beberapa penelitian menunjukan
perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker
leher Rahim. Pada usia anak atau remaja, sel-sel leher Rahim belum matang.
Kalau terpapar human papilloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan
menyimpang menjadi kanker. Usia anak yang sedang tumbuh dan berkembang
seharusnya memerlukan stimulasi asah, asih dan asuh yang berkualitas dan
berkesinambungan. Bila periode anak mendapatkan trauma sebagai korban
pedofilia dapat dibayangkan akibat yang bisa terjadi. Perkembangan moral,
jiwa dan mental pada anak korban pedofila terganggu sangat
bervariasi. Tergantung lama dan berat ringan trauma itu terjadi. Bila
kejadian tersebut disertai paksaan dan kekerasan maka tingkat
trauma yang ditimbulkan lebih berat.

Pola pelecehan seksual terhadap anak perempuan yang belum matur dapat
terjadi melalui beberapa cara. Pada perkembangan yang normal, permainan
seksual antar anak muda umum ditemukan. Ketika seorang pemuda
menghampiri untuk bergabung dengan pemudi atau dengan pemuda lainnya
17

untuk mendapatkan kepuasan seksual, kondisi ini merupakan kondisi yang


normal dan sehat dan hal ini tidak akan mempengaruhi perkembangan yang
normal. Jika perkembangan seksual yang normal dihambat oleh adanya defisit
keterampilan bersosialisasi maupun oleh adanya ansietas, kondisi ini dapat
berlanjut yang mengakibatkan seorang perempuan menjadi imatur dalam
aktivitas seksual. Pada kasus lain, saat kepuasan seksual dihubungkan secara
kuat dengan perempuan muda dan pelaku gagal mendapatkan kepuasan dari
perempuan sebaya, maka hasrat seksualnya dapat kembali lagi ke dirinya
sendiri atau dia menjadi terisolasi secara sosial. Pada contoh yang lain, hasrat
seksual pada anak-anak dapat terbentuk secara sirkumstansial. Seseorang yang
sedang mencari orang lain sebagai pelampiasan seksualnya akhirnya mencari
anak kecil karena anak kecil lebih mudah didapatkan dan kurang menuntut
dari segi emosional maupun sosial. Perlu diingat pula bahwa seorang anak
dapat memulai kontak fisik dengan orang dewasa saat anak tersebut melihat
bahwa orang dewasa terpuaskan olehnya. Tanpa memperhatikan alasan
seseorang melakukan kontak seksual dengan anak kecil, namun mengingat hal
ini dapat memberikan pengalaman yang memuaskan, pelecehan seksual dan
perilaku seksual terhadap anak-anak memiliki kecenderungan kuat untuk
berulang. Fantasi seksual tentang anak kecil dapat memicu pelecehan seksual.
Pemuasan seksual terhadap fantasi dalam hal ini akan mempengaruhi pola
pelecehan. Pola pelecehan seksual terhadap terhadap anak-anak cenderung
berkembang pada individu yang memiliki sosialisasi yang bervariasi maupun
pada individu yang memiliki kekurangan dalam menjalin hubungan dengan
perempuan dewasa.5

I. Terapi
Adapun pengobatan yang dapat diberikan pada pasien pedofilia adalah
sebagai berikut:
a. Psikoterapi
Psikoterapi berorientasi tilikan adalah pendekatan yang
paling sering digunakan untuk mengobati pedofilia. Pasien
memiliki kesempatan untuk mengerti dinamikanya sendiri dan
peristiwa peristiwa yang menyebabkan perkembangan penyakitnya.
18

Psikoterapi juga memungkinkan pasien meraih kembali harga dirinya dan


memperbaiki kemampuan interpersonal dan menemukan metode yang
dapat diterima untuk mendapatkan kepuasan seksual.
b. Terapi obat
Termasuk medikasi antipsikotik dan antidepresan, adalah diindikasikan
sebagai pengobatan skizofrenia atau gangguan depresif, bila pedofilia
disertai dengan gangguan-gangguan tersebut.

c. Terapi perilaku kognitif ("pencegahan kambuh")


Terapi perilaku kognitif telah terbukti mengurangi residivisme pada
orang yang memiliki hubungan dengan pelaku kejahatan seks. Perawatan
perilaku kognitif mempunyai sasaran, keyakinan, dan perilaku yang
dipercaya untuk meningkatkan kemungkinan pelanggaran seksual terhadap
anak-anak, dan "pencegahan untuk kambuh adalah jenis yang paling
umum dari pengobatan perilaku kognitif. Teknik-teknik pencegahan untuk
kambuh kembali didasarkan pada prinsip-prinsip yang digunakan untuk
mengobati kecanduan. Ilmuwan lain juga melakukan beberapa penelitian
yang menunjukkan bahwa tingkat residivisme pedofil dalam terapi lebih
rendah dari pedofil yang menjauhi terapi.2,3

J. Prognosis
Karena tidak adanya informasi yang dapat dipercaya dari berbagai studi
follow up, maka prognosisnya tergantung dari riwayat pasien sendiri, lama
penyimpangan seks, adanya gejala penarikan diri secara social maupun
seksual dan kekuatan serta kelemahan kepribadian pasien. Tetapi perilaku ini
biasanya tetap dilakukan pasien meskipun sudah diterapi. Prognosis baik jika
pasien memiliki riwayat koitus di samping pedofilia, jika pasien memiliki
motivasi tinggi untuk berubah, dan jika pasien dating berobat sendiri, bukan
dikirim oleh badan hukum.2
19

BAB III
KESIMPULAN

Pedofilia adalah kelainan seksual berupa hasrat ataupun fantasi impuls seksual
yang melibatkan anak di bawah umur. Orang dengan pedofilia umurnya harus di
atas 16 tahun, sedangkan anak-anak yang menjadi korban berumur 13 tahun atau
lebih muda (anak pre-pubertas). Dikatakan pedofilia jika seseorang memiliki
kecenderungan impuls seks terhadap anak dan fantasi maupun kelainan seks
tersebut mengganggu si anak.
Empat karakter yang dimiliki pasien dengan pedofilia adalah Pola perilaku
jangka panjang dan persisten., Menjadikan anak-anak sebagai objek preferensi
seksual, Memiliki teknik yang berkembang dengan baik dalam mendapatkan
korban, Fantasi seksual yang difokuskan kepada anak-anak

Prognosis pada pasien dengan Pedofilia tergantung dari riwayat pasien sendiri,
lama penyimpangan seks, adanya gejala penarikan diri secara sosial maupun
seksual dan kekuatan serta kelemahan kepribadian pasien. Tetapi perilaku ini
biasanya tetap dilakukan pasien meskipun sudah diterapi.
20

DAFTAR PUSTAKA

1. Noviana, Ivo. Seksual Terhadap Anak: Dampak Dan Penanganannya Child


Sexual Abuse: Impact And Hendling. Sosio Informa Vol. 01. No. 1. 2015. pp:
13-28
2. Maslim, R. (2001). Diagnosis gangguan jiwa, Rujukan ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Fk Unika Atma Jaya.
3. Sadock BJ dan Sadock VA. Kaplan dan Sadock: Buku ajar psikiatri klinis. Ed-
2. Jakrata: EGC; 2010. Hal 316-7.
4. Maramis WF, Maramis AA. Catatan ilmu kedokteran jiwa. Ed-2. Surabaya:
Airlangga University Press, 2009. Hal. 21-38.
5. Masrizal Khaidir. Jurnal Kesehatan Masyarakat dan andalas. Penyimpangan
seks pedofilia. Diunduh pada 4 Agustus 2016.

Anda mungkin juga menyukai