Koentjahja
Iwan N. Boestan.
PENDAHULUAN
Sembab paru bisa dibedakan menjadi 2 kelompok utama menurut mekanisme terjadinya,
yaitu kelompok peningkatan tekanan hidrostatik mikrovaskuler paru dan kelompok peningkatan
permia-bilitas mikrovaskuler paru. Kelompok peningkatan permiabilitas mikrovaskuler
merupakan patogenese terjadinya gangguan yang dikenal sebagai "Adult Respiratory Distress
Syndrome" (ARDS).
ARDS adalah suatu bentuk gagal napas akut. Istilah ini digunakan sejak 1971 oleh Petty
dan Ashbaugh (seperti dikutip oleh Pare dan Fraser) karena adanya kesamaan dengan IRDS
(Infantile Respiratory Distress Syndrome) dalam hal gambaran klinis, gambaran radiologis
toraks (penyakit paru infiltratif yang difus), gambaran patologis (sembab, perdarahan, membran
hialin, atelektase, sel-sel radang dan fibrosis), dan seperangkat gangguan faal paru (tanda-tanda
restriksi dan gagal napas).
Sehubungan dengan banyaknya faktor yang mendasari timbulnya ARDS, yang umumnya
merupakan penyakit yang berat atau berkaitan dengan kejadian ruda paksa yang berat, dikenal
banyak sinonim yang sifatnya diskriptif antara lain: "Da Nang lung, posttraumatic pulmonary
insufficiency, posttraumatic repiratory distress syndrome, haemorrhagic lung syndrome, shock
lung, wet lung, stiff lung, congestive atelectasis, catastrophic pulmonary failure, oxygen toxicity,
adult hyaline membrane disease".
Diperkirakan 150.000 orang penderita atau 1-2/1000 orang penduduk pertahun mengalami
rawat tinggal oleh karena ARDS di Amerika Serikat. Angka tersebut diperkirakan masih terlalu
rendah karena ARDS yang ringan seringkali tidak terdiagnose. Angka kematian dari penderita
ARDS adalah lebih dari 50 td_persen, karenanya sindrom ini merupakan salah satu penyebab
kematian terbesar dari kasus-kasus dengan penyakit gawat yang dirawat dirumah sakit.
Dikatakan bahwa penyebab ARDS masih belum pasti. Banyaknya faktor-faktor penyebab
yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit
(disease) tetapi sebagai sindroma. Sehubungan dengan itu dikenal sederetan panjang dari
keadaan yang mendasari timbulnya ARDS, dan tampaknya masih akan bertambah terus dari hari
kehari.
Faktor yang mendasari tersebut dapat berupa syok karena perdarahan, sepsis disertai syok
atau tidak, trauma toraks atau diluar toraks yang luas, transfusi masif pada keadaan gawat,
pankreatitis akut, aspirasi cairan isi lambung (sindroma Mendelson), keracunan obat-obatan,
pneumoni yang berat karena virus, efek radiasi pada paru, emboli lemak traumatik, keadaan
hampir tenggelam dan keadaan-keadaan lain yang termasuk dalam kelompok sembab paru
karena peningkatan permiabilitas mikro-vaskuler paru (lihat tabel 1). Dikatakan penyebab paling
sering adalah penderita dengan sepsis dan makin banyak keadaan yang mendasari timbulnya
ARDS dijumpai pada seorang penderita, makin besar pula kemungkinan terjadinya sindroma ini.
Perlu ditekankan bahwa apapun penyebab dan keadaan yang mendasari, gambaran klinis,
radiologis, patologis dan gangguan faal paru yang ditemukan pada sindroma ini adalah konsisten.
PATOGENESIS
ARDS diwarnai oleh timbulnya gagal napas akut dan sembab paru yang hebat; dimana
selain unsur peningkatan permi-abilitas mikrovaskuler paru, kadang-kadang peningkatan tekanan
hidrostatik mikrovaskuler paru tampaknya ikut berperan. Keadaan yang disebut belakangan ini
disebabkan karena timbulnya kelemahan otot jantung kiri akibat hipoksemia dan asidosis, yang
seringkali mendasari timbulnya ARDS. Hal ini dapat juga disebabkan karena kelebihan cairan
melalui penambahan intra vena.
Akibatnya ada yang berusaha memasukkan ARDS kedalam kelompok gabungan yang diperanani
oleh peningkatan tekanan hidrostatik maupun permiabilitas dari mikrovaskuler paru.
Gambaran patologis yang sama pada semua kasus ARDS, apapun keadaan yang
mendasari, diperkirakan berkaitan dengan adanya suatu faktor pencetus yang umum yang
menyebabkan peningkatan permiabilitas mikrovaskuler dan epitel alveoli. Walaupun syok
hipovolemik sering dijumpai, diperkirakan masih ada faktor lain yang terlibat didalamnya yaitu
endotoksin, produk dari DIC, bahan-bahan vasoaktif, gangguan pembentukan bahan surfaktan,
keracunan oksigen, penggunaan respirator yang lama, "cardio-pulmonary bypass" dan payah
jantung kiri.
DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) dapat merupakan patogenese utama pada ARDS.
Diperkirakan penyumbatan yang luas pada mikrosirkulasi paru akan menimbulkan bahan-bahan
yang mendasari terjadinya ARDS.
Bahan vasoaktif (histamin, serotonin, ATP, ADP, katekolamin, kinin, leukotrien) yang dapat
merubah permiabilitas pembuluh darah, biasanya dibebaskan oleh jaringan atau organ diluar paru
yang mengalami kerusakan karena trauma atau oleh unsur-unsur dalam darah.
Gangguan produksi bahan surfaktan dapat timbul 18-24 jam sesudah suatu trauma dan
disebabkan karena kerusakan langsung dari epitel alveoler tipe II, atau terpotongnya rantai
produksi bahan tersebut seperti pada meningkatnya aktifitas fosfolipase A pada pankreatitis akut.
Akibatnya alveoli menjadi tidak stabil dan mudah timbul suatu mikroatelektase. Tampaknya
peranan gangguan produksi bahan surfaktan bukan bersifat primer pada ARDS.
Kelemahan jantung kiri dapat terjadi primer atau sekunder akibat ARDS yaitu dengan adanya
hipoksemia & hipoksia jaringan, endotoksemia atau DIC.
Oksigen khususnya pada konsentrasi yang tinggi dan pada kurun waktu pemberian yang lama
dapat menyebabkan timbulnya kerusakan paru (alveolopati). Walaupun demikian pemberian
oksigen dikatakan tidak mudah untuk dapat menimbulkan ARDS terutama bila digunakan
konsentrasi dibawah 50td_persen.
Penggunaan respirator selama kurun waktu yang lama dikatakan dapat menimbulkan ARDS
melalui perubahan patologis berupa berkurangnya bahan surfaktan. Demikian pula halnya pada
pelaksanaan tindakan "cardiopulmonary bypass"
Banyak peneliti yang menekankan bahwa gangguan metabolik tertentulah yang merupakan
faktor pencetus untuk timbulnya ARDS, diantaranya yang dikemukakan adalah pembentukan
radikal oksigen yang bersifat toksik melalui aktivasi komplemen dan aggregasi netrofil.
Radikal oksigen bersifat toksik terhadap endotel mikrovaskuler paru dengan akibat terjadi
permiabilitas yang meningkat. Selain itu radikal oksigen juga menghambat ensim anti-protease
hingga terjadi destruksi struktur protein paru dan timbulah paru yang kaku.
Tekanan sirkulasi pulmonal dikatakan dapat meningkat karena adanya trombosis setempat
dan reaksi konstriksi pembuluh darah paru yang sifatnya reaktif akibat hipoksia.
Permiabilitas yang meningkat akan menyebabkan keluarnya air dan bahan terlarut dari
mikrovaskuler paru keruang interstisiel. Adanya cairan ini akan diimbangi dengan bertambahnya
pengaliran cairan melalui saluran getah bening.
Dalam ruang interstisiel, dikatakan terdapat reseptor J (juxta-capillary receptors) yang peka
terhadap sensasi pembengkakan dari ruang interstisiel. Rangsangan pada reseptor J
menyebabkan terjadinya takipneu hingga aliran cairan sembab melalui saluran getah bening
diperlancar. Bilamana pengaliran cairan melalui saluran getah bening tak tertampung lagi barulah
cairan tersebut masuk kerongga alveoler bahkan kadang-kadang dapat terkumpul di saluran
napas yang lebih proksimal.
Cairan yang keluar tersebut mengandung air, ion, molekul kecil, molekul besar bahkan
pada kelainan struktur yang berat keluar pula elemen darah, khususnya eritrosit (capillary
leakage). Kadar protein yang tinggi dijaringan interstisiel akan menimbulkan reaksi keradangan.
Volume udara pada akhir ekspirasi biasa (FRC) berkurang karena saluran napas kecil dan rongga
alveoler cenderung mengecil dan menutup lebih awal pada ekspirasi dibanding pada keadaan
normal, akibat cairan sembab dan keradangan interstisiel. Keadaan ini akan menimbulkan
gangguan pertukaran gas khususnya oksigen yang pada gilirannya timbul hipoksemia, shunt
venoarterial intrapulmoner dengan akibat hipoksemia yang refrakter, selanjutnya juga penurunan
volume paru karena kekakuan paru hingga menambah beban pernapasan.
Gambaran klinis yang jelas dari ARDS biasanya timbul baru beberapa saat setelah proses
penyakit dimulai, karena dari kerusakan mikrovaskuler yang berat sampai manifestasi sembab
paru timbul, memerlukan waktu tertentu (24-48 jam).
Penyembuhan penyakit juga berjalan lambat dan sering tidak lengkap. Pulihnya integritas
mikrovaskuler paru membutuhkan waktu dan keradangan yang timbul pada ARDS akan
menghambat penyembuhan, bahkan kadang kala menimbulkan fibrosis yang luas dan perubahan
emfisematous dari paru.
PATOLOGI
Kelainan yang dijumpai pada ARDS pada umumnya mengenai paru secara merata,
walaupun lebih menyolok didaerah basal paru.
Pada 12 jam pertama: dijumpai mikroemboli diparu.Selanjutnya pada 12-24 jam: tampak
sembab interstisiel.
Pada 24-48 jam: terdapat kongesti mikrovaskuler paru, sembab dan perdarahan yang luas pada
daerah interstisiel dan intraalveoler serta mikro-atelektasis, kerusakan sel epitel alveoler tipe I
dan paru menjadi menyerupai hati.
Selanjutnya pada hari ke V sampai VII: warna paru berubah menjadi keabuan, sembab paru
berkurang dan terjadi pembentukan membran hialin pada asinus. Hipertrofi dan hiperplasi sel
alveoli tipe II, proliferasi fibroblast dan pengendapan kolagen. Bercak-bercak bronkopneumoni
dapat dijumpai. Tampilnya fibroblast dan kolagen merupakan petanda ARDS menjadi
ireversibel.
Pada hari VII hingga XIV: Paru tetap berat, tampak proliferasi fibroblast yang luas dengan
pengendapan jaringan kolagen membentuk fibrosis. Gambaran pneumonia selalu dijumpai dan
karena kecenderungan infeksi dengan kuman gram negatif seringkali dijumpai nekrosis jaringan
dan mikroabses.
Selanjutnya yang karakteristik adalah adanya periode laten antara awal gangguan sistemik
dengan gejala-gejala pernapasan. Biasanya penderita tampak membaik hingga 4-24 jam,
kemudian keadaan penderita menjadi buruk kembali dan timbul hipoksemia setelah 24-48 jam.
Keadaan ini menunjukkan bahwa ARDS adalah reaksi lambat terhadap keadaan lain yang
mendasari sebelumnya. Gejala utama adalah sesak napas dan takipneu yang timbulnya
mendadak. Batuk mula-mula kering tapi dapat menjadi produktif dengan bahan mukoid yang
kental atau purulen. Pemeriksaan fisis bervariasi pula dari penyebab yang mendasari, ronki yang
luas, bising mengi, melemahnya suara nafas dan tanda-tanda konsolidasi biasanya dijumpai pada
pemeriksaan dada. Memburuknya kembali keadaan penderita ARDS setelah membaik kadang-
kadang dijumpai.
Pemeriksaan faal paru menunjukkan keadaan restriksi dengan FRC dan "compliance" paru
yang menurun serta kapasitas difusi yang menurun terhadap CO. Pemeriksaan gas darah
menunjukkan hipoksemia berat, dan walaupun diberikan oksigen konsentrasi tinggi dan disertai
IPPB sering tak membaik. Hipoksemia akhirnya diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan
asam laktat selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun
respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukkan
kelainan faal paru yang minimal berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan
khususnya mengenai kapasitas difusi. Pemeriksaan laboratorium lain dikatakan kurang
menunjang.
Radiologis pada umumnya menunjukkan gambaran yang sama dari semua bentuk ARDS,
dan mempunyai hubungan yang erat dengan gambaran patologinya.
Pada 12 jam pertama: Belum ada kelainan. Pada 12-24 jam: tampak bercak-bercak kesuraman
diseluruh lapangan paru yang sukar dibedakan dengan gambaran sembab paru karena sebab
kardial, kecuali ukuran jantung disini normal dan tak adanya redistribusi aliran darah. Pada 24-
48 jam: tampak kesuraman yang masif mulanya pada kedua lapangan paru bagian basal,
meskipun tidak harus simetris, dikenal sebagai "snowstorm appearance". Hari ke V hingga VII:
tampak menunjukkan perbaikan, kesuraman kurang homogen. Pneumonia sering timbul dalam
bentuk konsolidasi lokal. PEEP dapat menyebabkan interstisiel emfisema yang difus yang dapat
berkelanjutan menjadi pneumomediastinum atau pneumotoraks. Selanjutnya hari ke VII-XIV:
tampak cenderung menjadi retikuler dan berbuih, menunjukkan fibrosis yang difus atau
berbercak-bercak. Penderita yang mengalami kesembuhan umumnya menunjukkan gambaran
radiologis yang normal.
DIAGNOSA
Sangat diperlukan diagnosa dini untuk keberhasilan pengelolaan penderita dengan ARDS,
hal ini dapat diperoleh dengan perhatian khusus pada penderita dengan resiko tinggi.
Hal yang karakteristik adalah bahwa penderita ARDS biasanya adalah penderita dengan
penyakit sistemik atau trauma yang berat yang kemudian menjadi sesak, takipneu, terdapat
gambaran infiltratif difus pada pemeriksaan radiografisnya dan hipoksemia. Selanjutnya keadaan
penderita memburuk dengan cepat dan refrakter terhadap pemberian oksigen. Peningkatan
frekwensi pernapasan sudah terjadi pada fase awal dan merupakan tanda yang lebih andal
dibandingkan perubahan yang dijumpai pada analisa gas darah maupun perubahan radiologis.
Demikian pula hipokapni dijumpai lebih awal dibandingkan hipoksemia yang baru terjadi
belakangan. Dikatakan peningkatan cairan dalam paru sebanyak 30td_persen baru akan
menampakkan kesuraman radiologis pada pemeriksaan X foto toraks.
Pengukuran tekanan wedge (wedge pressure) arteria pulmonalis dengan kateter Swan-
Ganz sangat diperlukan untuk memperkirakan tekanan atrium kiri dimana umumnya akan
dijumpai tekanan yang normal atau rendah. Demikian juga pengukuran kadar protein dari cairan
sembab paru dapat ikut membantu membedakan sembab paru karena sebab kenaikan tekanan
atau kenaikan permiabilitas mikrovaskuler paru.
PENGOBATAN
Pengobatan yang cepat, tepat dan lengkap terhadap keadaan yang mendasari timbulnya
ARDS adalah tindakan yang sebaiknya diutamakan didalam pengelolaan penderita.
PERBAIKAN VENTILASI
Disepakati bahwa alat bantu pernapasan adalah diperlukan sedini mungkin, dengan
tekanan yang cukup tinggi untuk paru yang telah menurun elastisitasnya sehingga diperlukan
IPPV (Intermittent Positive Pressure Ventilation) termasuk PEEP (Positive End Expiratory
Pressure) dan tambahan oksigen yang adekwat sampai penyebab yang mendasari dapat
diperbaiki. Dengan cara ini sepanjang siklus pernapasan akan dipertahankan tekanan positip
sehingga dapat meningkatkan FRC (Functional Residual Capacity) dan pada gilirannya
memperbaiki ventilasi dari unit paru yang kurang berfungsi sehingga shunt fisiologis dapat
dikurangi.
Penghentian penggunaan alat bantu pernapasan dilakukan bila tekanan oksigen darah
(PaO2) telah mencapai diatas 60 mm Hg dengan kadar oksigen alveoler (PAO2) sebesar
40td_persen dan penderita sanggup bernapas tanpa lelah.
Perlu diperhatikan bahwa PEEP dapat menekan isi jantung semenit (CO = cardiac output)
sehingga hasil akhir dapat memperjelek oksigenasi jaringan. Penekanan CO dikatakan karena
peningkatan tekanan intratoraks menyebabkan penurunan pengisian atrium kanan, gangguan
pengosongan ventrikel kanan dan mengurangi isi diastolik ventrikel kiri dari jantung. Untuk itu
disarankan PEEP tidak lebih tinggi dari pada 10 cm air. Demikian pula "Tidal Volume" yang
diberikan disarankan tidak terlalu besar (10-12 cc/kg BB), karena adanya resiko timbul
pneumotoraks atau pneumo-mediastinum yang cepat menjadi fatal bila tidak mendapat
penanganan segera.
KESEIMBANGAN CAIRAN
Jarang suatu ARDS berdiri sendiri, biasanya merupakan kelainan klinis yang kompleks
dengan kelainan patologi dari banyak organ. Karenanya penting sekali untuk menjaga perfusi
yang adekwat untuk otak dan ginjal. Penilaian status hemodinamik dan keseimbangan cairan
penderita amat diperlukan, dan ini dapat dicapai dengan menggunakan kateterisasi arteria
pulmonalis dengan kateter Swan Ganz.
NUTRISI
PROGNOSA
Seringkali dinyatakan bahwa angka mortalitas ARDS adalah tetap tak ada perubahan sejak
sindroma ini pertama dikenal. Angka mortalitas yang sempat terekam adalah 50-70td_persen,
dengan catatan kasus-kasus yang ringan mungkin lolos dari diagnosa. Angka kematian menjadi
rendah bilamana hanya dijumpai gagal napas tanpa komplikasi lain (10-20td_persen), menjadi
lebih tinggi (70-80td_persen) bilamana terdapat sepsis atau gagal organ lain dan menjadi 90
td_persen bilamana bilamana terdapat gangguan napas yang menetap.
Pada kasus yang berat kematian biasanya disebabkan karena kegagalan oksigenasi
dijaringan, dan pada beberapa kasus yang lain dapat tetap hidup dengan kelainan faal paru yang
dapat permanen atau bersifat sementara.
RINGKASAN
ARDS adalah suatu bentuk gagal napas akut yang progresif dengan manifestasi sembab
paru karena peningkatan permiabilitas mikrovaskuler paru yang sebabnya belum diketahui,
didahului oleh penyakit yang berat atau trauma. Klinis dijumpai sesak napas, takipneu, gambaran
radiografis infiltrat difus dan hipoksemia yang refrakter terhadap terapi oksigen. Angka
kekerapan & kematian cukup tinggi.
Pencegahan yang dapat dilakukan ialah resusitasi dini, pemberantasan sepsis, pemakaian
filter mikroagregat untuk tranfusi darah, monitor sistem sirkulasi dan respirasi, kewaspadaan
terhadap penderita dengan resiko tinggi dan penggunaan kortikosteroid (?).
Pengobatan ARDS ialah oksigen dengan kadar adekwat, pernapasan bantuan (IPPV dan
PEEP), pengaturan keseimbangan cairan yang ketat, nutrisi yang adekwat. Digitalis, diuretik dan
antibiotika dapat digunakan dimana perlu.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cade JF. Adult Respiratory Distress Syndrome. Medicine International 1986; 2: 1413-6.
2. Crofton J. Douglas A. Pulmonary Oedema. In: Respiratory Diseases. Oxford: Blackwell
Scientific Publications 3th ed. 1984: 403-5.
3. Divertie MB. The Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Mayo Clin Proc 1982; 57:
371-8.
4. Fisher CWS. A New Look at Adult Respiratory Distress Syndrome. Medicine Digest Asia
1985; 3: 5-11.
5. Gore JM, Alpert JS, Benotti JR, Kotilainen PW, Haffajee CI. Chronic Cor Pulmonale and
Respiratory Failure. In: Handbook of Hemodynamic Monitoring. Boston/Toronto: Little,
Brown and Company, 1985: 111-4.
6. Hopewell PC, Murray JF. The Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Shibel EM,
Moser KM. eds. Respiratory emergencies. Saint Louis: The CV Mosby Company, 1977:
101-24.
8. Luce JM. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Cherniack RM. eds Current Therapy
of Respiratory Disease-2. Toronto: BC Decker Inc.,
1986: 253-6.
9. Netter FH. Posttraumatic Pulmonary Insufficiency. In: Divertie MB, Brass A, eds.
Respiratory System. Summit, N.J.: Ciba Pharmaceutical Company,
1979: 248-9.
10. Netter FH. Pulmonary Edema. In: Divertie MB, Brass A, eds. Respiratory System.
Summit, N.J.: Ciba Pharmaceutical Company, 1979: 236-7.
11. Pare JAP, Fraser RG. ARDS. In: Synopsis of Disease of The Chest. Tokyo: Igaku-
Shoin/Saunders, 1985: 512-7.
12. Petty TL. The Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Flenley DC, Lane DJ. eds.
Medicine - Respiratory disorders 1978; 2nd Series Add-On Journal:
738-40.
13. Robin ED. Restrictive Lung Disease. In: Rubenstein E, Federman DD, eds. Scientific
American Medicine. New York: Scientific American Inc.,
1986: V.1-13.
14. Shanies HM. Noncardiogenic Pulmonary Edema. The Medical Clinics of North America
- Symposium on Pulmonary Disease. 1977; 61: 1319-35.
15. Weinberger. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Principles of Pulmonary Medicine.
Philadelphia: WB Saunders Company, 1986: 289-310.
16. Whitcomb ME. In: The Lung Normal and Diseased. St. Louis: The CV Mosby Company,
1982: 273-81.
Cardiogenic:
Cor triatriatum
Neurogenic:
Head trauma.
Postictal.
1 Normal Microvascular Pressure (NMP).
Near drowning.
Ethyl alcohol.
High altitude.
Lymphatic insufficiency.