Kasus Usman Harun
Kasus Usman Harun
Semuanya berawal ketika pada 31 Agustus 1957 berdiri negara Persemakmuran Malaya. Saat
itu Singapura ingin bergabung dalam persemakmuran namun ditolak oleh Inggris. Lalu pada
16 September 1963 dibentuk federasi baru bernama Malaysia yang merupakan negara
gabungan Singapura, Kalimantan Utara (Sabah), dan Sarawak.Kesultanan Brunei kendatipun
ingin bergabung dengan Malaysia, namun tekanan oposisi yang kuat lalu menarik diri. Alasan
utama penarikan diri adalah Brunei merasa memiliki banyak sumber minyak, yang nanti akan
jatuh ke pemerintahan pusat (Malaysia).
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno sejak semula menentang keinginan
Federasi Malaya yang tidak sesuai dengan perjanjian Manila Accord. Presiden Soekarno
menganggap pembentukan Federasi Malaysia sebagai boneka Inggris merupakan
kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru serta dukungan terhadap berbagai
gangguan keamanan dalam negeri dan pemberontakan di Indonesia.Maka dibentuklah
sukarelawan untuk dikirim ke negara itu setelah dikomandokannya Dwikora oleh Presiden
Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta.Adalah Harun Said dan Usman Hj Mohd Ali,
dua anggota KKO (Korps Komando Operasi -kini dikenal dengan Korps Marinir) yang
diberangkatkan ke Singapura dengan menggunakan perahu karet. Tugasnya adalah
menyabotase kepentingan-kepentingan Malaysia dan Singapura.Berikut ini adalah catatan
perjalanan dua Pahlawan Nasional itu sebagaimana tersimpan dalam catatan sejarah KKO.
Tanggal 8 Maret 1965 pada waktu tengah malam buta, saat air laut tenang, ketiga
sukarelawan ini mendayung perahu. Sukarelawan itu dapat melakukan tugasnya berkat
latihan-latihan dan ketabahan mereka. Dengan cara hati-hati dan orientasi yang terarah
mereka mengamati tempat-tempat penting yang akan dijadikan obyek sasaran, dan tugas
mengamati sasaran-sasaran ini dilakukan sampa larut malam. Setelah memberikan laporan
singkat, mereka mengadakan pertemuan di tempat rahasia untuk melaporkan hasil
pengamatan masing-masing. Atas kelihaiannya mereka dapat berhasil kembali ke induk
pasukannya, yaitu Pulau Sambu sebaga Basis II di mana Usman dan Harus bertugas.
Pada malam harinya Usman memesan anak buahnya agar berkumpul kembali untuk
merencanakan tugas-tugas yang harus dilaksanakan, disesuaikan dengan hasil penyelidikan
mereka masing-masing. Setelah memberikan laporan singkat,mereka mengadakan
perundingan tentang langkah yang akan ditempuh karena belum adanya rasa kepuasan
tentang penelitian singkat yang mereka lakukan,ketiga sukarelawan di bawah pimpinan
Usman, bersepakat untuk kembali lagi ke daerah sasaran untuk melakukan penelitian yang
mendalam. Sehingga apa yangdibebankan oleh atasannya akan membawa hasil yang
gemilang.Di tengah malam buta, di saat kota Singapura mulai sepi dengan kebulatan dan
kesepakatan, mereka memutuskan untuk melakukan peledakan Hotel Mac Donald.
Diharapkan dapat menimbulkan kepanikan dalam masyarakat sekitarnya. Hotel tersebut
terletak di Orchad Road sebuah pusat keramaian d kota Singapura.Pada malam harinya
Usman dan kedua anggotanya kembali menyusuri Orchad Road.
Di tengah-tengah kesibukan dan keramaian kota Singapura ketiga putra Indonesia bergerak
menuju ke sasaran yang ditentukan, tetapi karena pada saat itu suasana belum mengijinkan
akhirnya mereka menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan tugas.Setelah
berangsur-angsur sepi,mulailah mereka dengan gesit mengadakan gerakan-gerakan menyusup
untuk memasang bahan peledak seberat 12,5 kg.Dalam keheningan malam kira-kira pukul
03.07 malam tersentaklah penduduk kota Singapura oleh ledakan yang dahsyat seperti
gunung meletus. Ternyata ledakan tersebut berasal dari bagian bawah Hotel Mac Donald
yang terbuat dari beton cor tulang, hancur berantakan dan pecahannya menyebar ke penjuru
sekitarnya. Penghuni hotel yang mewah itu kalang kabut, saling berdesakan ingin keluar
untuk menyelamatkan diri masing-masing. Demikian pula penghuni toko sekitarnya berusaha
lari dari dalam tokonya.
Beberapa penghuni hotel dan toko ada yang tertimbun oleh reruntuhan sehingga mengalami
luka berat dan ringan. Dalam peristiwa ini, 20 buah toko di sekitar hotel itu mengalami
kerusakan berat, 24 buah kendaraan sedan hancur, 30 orang meninggal, 35 orang mengalami
luka-luka berat dan ringan. Di antara orang-orang yang berdesakan dari dalam gedung ingin
keluar dari hotel tersebut tampak seorang pemuda ganteng yang tak lain adalah Usman. Di
tengah suasana yang penuh kepanikan bagi penghuni Hotel Mac Donald dan sekitarnya,
Usman dan anggotanya dengan tenang berjalan semakin menjauh ditelan kegelapan malam
untuk menghindar dari kecurigaan. Mereka kembali memencar menuju tempat perlindungan
masing-masing. Pada hari itu juga tanggal 10 Maret 1965 mereka berkumpul kembali.
Bersepakat bagaimana caranya untuk kembali ke pangkalan. Situasi menjadi sulit, seluruh
aparat keamanan Singapura dikerahkan untuk mencari pelaku yang meledakkan Hotel Mac
Donald.
Melihat situasi demikian sulitnya, lagi pula penjagaan sangat ketat, tak ada celah selubang
jarumpun untuk bisa ditembus. Sulit bagi Usman, Harun dan Gani keluar dari wilayah
Singapura.Untuk mencari jalan keluar, Usman dan anggotanya sepakat untuk menerobos
penjagaan dengan menempuh jalan masing-masing, Usman bersama Harun,sedangkan Gani
bergerak sendiri. Setelah berhasil melaksanakan tugas, pada tanggal 11 Maret 1965 Usman
dan anggotanya bertemu kembali dengan diawali salam kemenangan, karena apa yang
mereka lakukan berhasil. Dengan kata sepakat telah disetujui secara bulat untuk kembali ke
pangkalan dan sekaligus melaporkan hasil yang telah dicapai kepada atasannya. Sebelum
berpisah Usman menyampaikan pesan kepada anggotanya, barang siapa yang lebih dahulu
sampai ke induk pasukan, supaya melaporkan hasil tugas telah dilakukan kepada atasan.
Mulai saat inilah Usman dan Harus berpisah dengan Gani sampai akhir hidupnya.
Proses Pengadilan.
Usman dan Harun selama kurang lebih 8 bulan telah meringkuk di dalam penjara Singapura
sebagai tawanan dan mereka dengan tabah menunggu prosesnya. Pada tanggal 4 Oktober
1965 Usman dan Harun dihadapkan ke depan sidang Pengadilan Mahkamah Tinggi (High
Court) Singapura dengan J. Chua sebagai hakim. Usman dai Harun dihadapkan ke Sidang
Pengadilan Tinggi (High Court) Singapura dengan tuduhan :
1. Menurut ketentuan International Security Act Usman dan Harun telah melanggar Control
Area.
2. Telah melakukan pembunuhan terhadap tiga orang.
3. Telah menempatkan alat peledak dan menyalakannya.
Dalam proses pengadilan ini, Usman dan Harun tidak dilakukan pemeriksaan pendahuluan,
sesuai dengan Emergency Crimina Trials Regulation tahun 1964. Dalam Sidang Pengadilan
Tinggi (Hight Court) kedua tertuduh Usman dan Harun telah menolak semua tuduhan itu. Hal
ini mereka lakukan bukan kehendak sendiri, karena dalam keadaan perang. Oleh karena itu
mereka meminta kepada sidang supaya mereka dilakukan sebagai tawanan perang (Prisoner
of War). Namun tangkisan tertuduh Usman dan Harun tidak mendapat tanggapan yang layak
dari sidang majelis. Hakim telah menolak permintaan tertuduh, karena sewaktu kedua
tertuduh tertangkap tidak memakai pakaian militer. Persidangan berjalan kurang lebih dua
minggu dan pada tanggal 20 Oktober 1965 SidangPengadilan Tinggi (Hight Court) yan
dipimpin oleh Hakim J. Chua memutuskan bahwa Usman dan Harun telah melakukan
sabotase dan mengakibatkan meninggalnyatiga orang sipil. Dengan dalih ini, kedua tertuduh
dijatuhi hukuman mati.
Pada tanggal 6 Juni 1966 Usman dan Harun naik banding ke FederalCourt of Malaysia
dengan Hakim yang mengadilinya: Chong Yiu, Tan Ah Tah danJ.J. Amrose.Pada tanggal 5
Oktober 1966 Federal Court of Malaysia menolak perkara naik banding Usman dan Harun.
Kemudian pada tanggal 17 Februari 1967perkara tersebut diajukan lagi ke Privy Council di
London. Dalam kasus ini Pemerintah Indonesia menyediakan empat Sarjana Hukum sebagai
pembela yaitu Mr. Barga dari Singapura, Noel Benyamin dari Malayasia, Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmadja SH dari Indonesia, dan Letkol (L) Gani Djemat SH Atase ALRI di
Singapura.
Usaha penyelamatan jiwa kedua pemuda Indonesia itu gagal. Surat penolakan datang pada
tanggal 21 Mei 1968. Setelah usaha naik banding mengenai perkara Usman dan Harun ke
Badan Tertinggi yang berlaku di Singapura itu gagal, maka usaha terakhir adalah untuk
mendapat grasi dari Presiden Singapura Yusuf bin Ishak. Permohonan ini diajukan pada
tanggal 1 Juni 1968. Bersamaan dengan itu usaha penyelamatan kedua prajurit oleh
Pemerintah Indonesia makin ditingkatkan. Kedutaan RI di Singapura diperintahkan untuk
mempergunakan segala upaya yang mungkin dapat dijalankan guna memperoleh
pengampunan. Setidak-tidaknya memperingan kedua sukarelawan Indonesia tersebut.
Pada tanggal 4 Mei 1968 Menteri Luar Negeri Adam Malik berusaha melalui Menteri Luar
Negeri Singapura membantu usaha yang dilakukan KBRI. Ternyata usaha inipun mengalami
kegagalan. Pada tanggal 9 Oktober 1968, Menlu Singapura menyatakan bahwa permohonan
grasi atas hukuman mati Usman dan Harun ditolak oleh Presiden Singapura. Pemerintah
Indonesia dalam saat-saat terakhir hidup Usman dan Harun terus berusaha mencari jalan.
Pada tanggal 15 Oktober 1968 Presiden Suharto mengirim utusan pribadi, Brigjen TNI
Tjokropanolo ke Singapura untuk menyelamatkan kedua patriot Indonesia.
Pada saat itu PM Malaysia Tengku Abdulrahman juga meminta kepada Pemerintah Singapura
agar mengabulkan permintaan Pemerintah Indonesia. Namun Pemerintah Singapura tetap
pada pendiriannya tidak mengabulkannya. Bahkan demi untuk menjaga prinsip-prinsip tertib
hukum, Singapura tetap akan melaksanakan hukuman mati terhadap dua orang KKO Usman
dan Harun, yang akan dilaksanakan pada tanggal 17 Oktober1968 pukul 06.00 pagi waktu
Singapura. Permintan terakhir Presiden Suharto agar pelaksanaan hukuman terhadap kedua
mereka ini dapat ditunda satu minggu untuk mempertemukan kedua terhukum dengan orang
tuanya dan sanak farmilinya. Permintaan ini juga ditolak oleh Pemerintah Singapura yang
tetap pada keputusannya, melaksanakan hukuman gantung terhadap Usman dan Harun.
Pesan terakhir
Waktu berjalan terus dan sampailah pada pelaksanaan hukuman, di mana Pemerintah
Singapura telah memutuskan dan menentukan bahwa pelaksanaan hukuman gantung terhadap
Usman dan Harun tanggal 17 Oktober 1968, tepat pukul 06.00 pagi. Dunia merasa terharu
memikirkan nasib kedua patriot Indonesia yang gagah perkasa, tabah dan menyerahkan
semua itu kepadapencipta-Nya. Seluruh rakyat Indonesia ikut merasakan nasib kedua patriot
ini. Demikian juga dengan Pemerintah Indonesia, para pemimpin terus berusaha untuk
menyelesaikan masalah ini. Sebab merupakan masalah nasional yang menyangkut
perlindungan dan pembelaan warga negaranya.
Satu malam sebelum pelaksanaan hukuman, hari Rabu sore tanggal 16 Oktober 1968, Brigjen
TIN Tjokropranolo sebagai utusan pribadi Presiden Suharto datang ke penjara Changi.
Dengan diantar Kuasa Usaha Republik Indonesia di Singapura Kolonel A. Ramli dan
didampingi Atase Angkatan Laut Letkol ((G) Gani Djemat SH, dapat berhadapan dengan
Usman dan Harun di balik terali besi yang menyeramkan pada pukul16.00. Tempat inilah
yang telah dirasakan oleh Usman dan Harun selama dalam penjara dan di tempat ini pula
hidupnya berakhir. Para utusan merasa kagum karena telah sekian tahun meringkuk dalam
penjaradan meninggalkan Tanah Air, namun dari wajahnya tergambar kecerahan dan
kegembiraan, dengan kondisi fisik yang kokoh dan tegap seperti gaya khas seorang prajurit
KKO AL yang tertempa. Tidak terlihat rasa takut dan gelisah yang membebani mereka,
walaupun sebentar lagi tiang gantungan sudah menunggu.
Keduanya segera mengambil sikap sempurna dan memberikan hormat serta memberikan
laporan lengkap, ketika Letkol Gani Djemat SH memperkenalkan Brigjen Tjokropranolo
sebagai utusan Presiden Suharto. Sikap yang demikian membuat Brigjen Tjokropranolo
hampir tak dapat menguasai diri dan terasa berat untuk menyampaikan pesan. Pertemuan ini
membawa suasana haru, sebagai pertemuan Bapak dan Anak yang mengantarkan perpisahan
yang tak akan bertemu lagi untuk selamanya. Hanya satu-satunya pesan yang disampaikan
adalah bahwa Presiden Suharto telah menyatakan mereka sebagai Pahlawan dan akan
dihormati oleh seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyampaikan salut atas jasa mereka
berdua terhadap Negara.