Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit kronis yang masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di dunia. Saat ini ada 382 juta jiwa

di dunia yang hidup dengan DM. Jumlah penderita diperkirakan akan naik mencapai

562 juta pada tahun 2035 hal ini menunjukkan peningkatan 55% dari tahun 2013

hingga 2035, dimana mayoritas kejadian DM diantara usia 40-59 tahun (IDF Atlas,

2013). Dimana proporsi kejadian DM tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang

menderita DM dan hanya 5% dari jumlah tersebut yang menderita DM tipe 1 (CDC,

2012).

Sekitar 80% dari seluruh penderita diabetes di wilayah ASEAN meninggal akibat

penyakit tersebut. Hampir 90% didominasi oleh DM tipe 2 (WHO, 2014). Data

regional IDF menunjukkan bahwa Asia Tenggara menduduki peringkat ke dua

tertinggi di dunia dengan jumlah penderita DM sebanyak 72 juta jiwa. Pada tahun

2035 diperkirakan angka ini akan meningkat 70,6% menjadi 122,8 juta penderita.
Jumlah penderita DM di Indonesia menduduki peringkat ke-7 dunia dengan

kejadian DM tertinggi dengan jumlah 8,5 juta penderita setelah Cina (98,4 juta), India

(65,1 juta), Amerika (24,4 juta), Brazil (11,9 juta), Rusia (10,9 juta), Mexico (8,7

juta), Indonesia (8,5 juta) (IDF, 2013).


Laporan Riskesdas (2013), menyatakan bahwa prevalensi DM di Indonesia

sebesar 2,1% yang terdiagnosis dokter, dimana prevalensi tertinggi terdapat di


1
2

Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3.4%), Nusa

Tenggara Timur (3,3%), Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%).


Prevalensi DM di Pulau Sumatera yang terdiagnosis dokter berdasarkan gejala

sebanyak 16,2%, dimana Sumatera Utara (Medan) yang terdiagnosis dokter

berdasarkan gejala sebanyak 2,3% (Riskesdas, 2013).

Di RSUD Dr. Pirngadi kota Medan kunjungan pasien DM yang rawat jalan rata-

rata 75 orang/harinya dan dalam sebulan dapat mencapai 1200-2000 orang/bulan

pada tahun 2014.

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua

duanya. Berdasarkan patogenesisnya, DM dengan tipe tersering adalah DM tipe 2

(90-95%), yaitu DM yang ditandai dengan resistensi dan defisiensi insulin relatif atau

defek sekresi insulin (American Diabetes Association, 2014).

Penelitian tentang resiko DM menunjukkan bahwa resiko paling tinggi terjadi jika

salah satu atau kedua orang tuanya menderita DM bila dibandingkan dengan orang

tua yang bukan penderita DM, riwayat keluarga mencerminkan kerentanan pewarisan

genetik. Riwayat keluarga DM tipe 2 dapat digunakan untuk mengidentifikasi

individu pada peningkatan resiko penyakit dan sasaran modifikasi perilaku yang

berpotensi sebagai pencegahan timbulnya penyakit. Penyakit dengan pola pewarisan

disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan dari orang tua kepada anaknya
3

sebagai akumulasi dari berbagai jenis mutasi yang terjadi pada DNA (Banner et al.,

2013).

Patofisiologi DM tipe 2 adalah kerusakan sel- pankreas dan resistensi insulin.

Resistensi insulin mengawali penyakit DM tipe 2 melalui adipocytokine yang dilepas

dari jaringan adiposa. Resistensi insulin akan menyebabkan sensitivitas insulin

berkurang pada reseptor, akibat dari kurang beresponnya jaringan sasaran (otot,

jaringan adiposa dan hati) terhadap insulin. Resistensi insulin juga akan

mengakibatkan penurunan aktivasi phosphatidylinositol-3-kinase sehingga terjadi

hiperglikemia (Abbas et al., 2013).

Resistensi insulin merupakan kondisi di mana tubuh memproduksi insulin tetapi

sel-sel tubuh resisten terhadap aksi insulin. Aksi biologis yang diharapkan tidak dapat

dicapai dengan konsentrasi insulin dalam sirkulasi yang efektif pada individu normal

(Holt et al., 2010). Pemeriksaan resistensi insulin dapat diperiksa dengan metode

euglicemic clamp dan HOMA-IR (Homeostasis Model Assessment of Insulin

Resistence) untuk mewakili penilaian resistensi insulin (Gayoso-Diz et al., 2013).

Adanya tatalaksana DM terdiri dari edukasi, OAD dan pemberian insulin. Dimana

pemberian insulin jauh lebih efektif untuk mengendalikan KGD dibandingkan obat

anti-diabetes oral pada pasien DM.

American Diabetes Association (2010), merekomendasikan pemeriksaan kadar

glukosa darah secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Yaitu dengan cara
4

pemeriksaan glukosa darah puasa dan glukosa plasma 2 jam PP (postprandial), yang

bertujuan sebagai penunjang diagnosa dan pengendalian KGD pasien DM.

Berdasarkan dari hasil penelitian Morimoto et al., (2014), menunjukkan hasil

bahwa ternyata semakin tinggi nilai HOMA-IR maka semakin tinggi juga nilai KGD

2 jam PP. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

Hubungan HOMA-IR dengan KGD 2 jam PP pada pasien yang mendapat terapi

insulin, dimana penelitian ini belum pernah dilakukan di RSUD Dr. Pirngadi kota

Medan tahun 2016.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut: Untuk mencari Hubungan HOMA-IR dengan KGD 2 jam PP pada penderita

DM tipe 2 yang diterapi insulin di poli endokrin RSUD Dr. Pirngadi kota Medan

tahun 2016.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mencari Hubungan antara HOMA-IR dengan KGD 2 jam PP pada

penderita DM tipe 2 yang diterapi insulin di poli endokrin RSUD Dr. Pirngadi kota

Medan tahun 2016.

1.3.2. Tujuan Khusus


5

1. Mengukur kadar HOMA IR pada pasien rawat jalan penderita DM tipe 2

yang diterapi insulin.


2. Mengukur kadar KGD 2 jam PP pada pasien rawat jalan penderita DM tipe 2.
3. Mencari Hubungan antara HOMA IR terhadap KGD 2 jam PP.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1.4.1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Memberikan informasi mengenai hubungan antara HOMA-IR dengan KGD 2 jam

PP pada penderita DM tipe 2 yang diterapi insulin serta sebagai bahan acuan untuk

peneliti lain yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.

1.4.2. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi dan pengetahuan pada masyarakat jika penelitian

hubungan HOMA-IR dan KGD 2 jam PP terbukti benar maka HOMA-IR ini dapat

dijadikan sebagai marker untuk menentukan nilai resistensi insulin pada penderita

DM tipe 2.

1.4.3. Bagi Peneliti

Menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai penyakit DM khususnya

DM tipe 2, pemeriksaan HOMA IR dan KGD 2 jam PP pada pasien DM di RSUD Dr.

Pirngadi kota Medan serta menambah pengalaman dan proses pembelajaran

khususnya dalam melakukan penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai