Perselisihan dan sengketa diantara dua pihak yang melakukan hubungan kerjasama
mungkin saja terjadi. Terjadinya perselisihan dan sengketa ini sering kali disebabkan apabila
salah satu pihak tidak menjalankan kesepakatan yang telah dibuat dengan baik ataupun karena
ada pihak yang wanprestasi, sehingga merugikan pihak lainnya. Penyelesaian sengketa bisa
melalui dua cara yaitu pengadilan dan arbitrase. Konflik bisa terjadi antara pengadilan dan
arbitrase dalam penentuan kewenangan mutlak untuk menyelesaikan perkara. Kewenangan
mutlak arbitrase tercipta melalui klausul arbitrase yang terdapat pada suatu perjanjian yang
dibuat oleh para pihak sebelum terjadi sengketa atau berdasarkan kesepakatan para pihak setelah
timbul perselisihan.
Sengketa kerap terjadi di mana dan kapan saja. Terutama bagi mereka yang terjun di
dunia bisnis, perselisihan akan selalu ada, baik dengan relasi, klien, konsumen, maupun lawan
atau saingan bisnis. Berbagai cara digunakan untuk menyelesaikannya, entah itu melalui
pengadilan atau di luar pengadilan. Bagi pembuat keputusan yang bijak, tentu mereka akan
memilih jalur kedua, yaitu di luar pengadilan. Jalur ini lebih aman dibandingkan jalur
pengadilan. Artinya, lebih memiliki banyak keuntungan dan kemudahan dibandingkan dengan
proses sidang di pengadilan. Penyelesaian model ini, yang dikenal di Indonesia ada empat jenis,
yaitu sistem Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase.
Salah satu kelaziman kehidupan masyarakat Indonesia dari masa ke masa yang
menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara memulihkan persaudaraan dan silaturahmi.
Dalam bahasa hukum modern dikenal WIN WIN SOLUTION dan inilah tujuan hakiki atau
esensial dari Arbitrase, Mediasi, atau cara lain menyelesaikan sengketa di luar proses peradilan.
Secara umum arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses
pengadilan di-equivalensi-kan dengan pemeriksaan sengketa oleh orang-orang yang ahli
mengenai objek yang disengketakan dengan waktu penyelesaian yang relatif cepat, biaya ringan
dan pihak-pihak dapat menyelesaikan sengketa tanpa publikasi yang dapat merugikan reputasi
dan lain sebagainya. Arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses
pengadilan mempunyai maksud untuk menyelesaikan sengketa bukan sekedar memutuskan
perkara atau perselisihan
Secara umum Pelatihan Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini bertujuan
untuk memberikan Peserta wawasan, prinsip-prinsip dasar serta melakukan upaya penyelesaian
sengketa melalui jalur non litigasi dalam menyelesaikan sengketa di luar proses pengadilan tanpa
publikasi yang dapat merugikan reputasi para pihak.
Dalam UU no.30 tahun 1999 ada 6 macam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
yaitu :
a. Konsultasi
b. Negosiasi
c. Mediasi
d. Konsiliasi
e. Pendapat hukum oleh lembaga arbitrase
f. Arbitrase
A. KONSULTASI
Dalam UU no.30 tahun 1999 tidak ada rumusan secara rinci mengenai hal ini, namun
dalam Blacks Law Dictionary diartikan sebagai suatu tindakan yang bersifat personal antara
suatu pihak tertentu yang disebut klien dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang
memberikan pendapatnya kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan
kliennya tersebut.
B. NEGOSIASI
Berdasarkan UU no.30 tahun 1999 Pasal 6(2), dikatakan bahwa para pihak dapat dan
berhak untuk menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul diantara mereka. Kemudian,
kesepakatan itu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua
digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian melalui negosiasi merupakan cara yang paling
penting. Alasan utamanya adalah dengan cara ini, para pihak dapat mengawasi prosedur
penyelesaian sengketanya dan setiap penyelesaiannya didasakan kesepakatan para pihak.
Cara penyelesaian melalui negosiasi biasanya adalah cara yang pertama kali ditempuh
manakala para pihak bersengketa. Negosiasi dalam pelaksanaannya memiliki dua bentuk utama:
bilateral dan multilateral. Negosiasi dapat dilangsungkan melalui saluransaluran diplomatik pada
konperensi-konperensi internasional atau dalam suatu lembaga atau organisasi internasional.
Negosiasi diperlukan dalam kehidupan manusia karena sifatnya yang begitu erat dengan
filosofi kehidupan manusia dimana setiap manusia memiliki sifat dasar untuk mempertahankan
kepentingannya, di satu sisi, manusia lain juga memiliki kepentingan yang akan tetap
dipertahankan, sehingga, terjadilah benturan kepentingan. Padahal, kedua pihak tersebut
memiliki suatu tujuan yang sama, yaitu memenuhi kepentingan dan kebutuhannya. Apabila
terjadi benturan kepentingan terhadap suatu hal, maka timbul lah suatu sengketa. Dalam
penyelesaian sengketa dikenal berbagai macam cara, salah satunya negosiasi. Secara umum,
tujuan dilakukannya negosiasi adalah mendapatkan atau memenuhi kepentingan kita yang telah
direncanakan sebelumnya dimana hal yang diinginkan tersebut disediakan atau dimiliki oleh
orang lain sehingga kita memerlukan negosiasi untuk mendapatkan yang diinginkan.
Dalam setiap proses negosiasi, selalu ada dua belah pihak yang berlawanan atau berbeda
sudut pandangnya. Agar dapat menemukan titik temu atau kesepakatan, kedua belah pihak perlu
bernegosiasi.
Istilah Negoisasi tercantum di dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaiaan Sengketa, Pasal 1 butir 10, disebutkan bahwa
ADR adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati oleh para pihak, Dalam praktik yakni penyelesaian dengan cara konsultasi, negosiasi,
mediasi, konsolidasi, atau penilaian ahli.
Pengertian negosiasi dapat berbeda-beda tergantung dari sudut pandang siapa yang
terlibat dalam suatu negosiasi. Dalam hal ini, ada dua pihak yang berkepentingan dalam
bernegosiasi, Negosiasi dapat didefinisikan sebagai : pembicaran dengan orang lain dengan
maksud untuk mencapai kompromi atau kesepakatan untuk mengatur atau mengemukakan.
Istilah-istilah lain kerap digunakan pada proses ini seperti : pertawaran, tawar-menawar,
perundingan, perantaraan atau barter
Menurut Oliver, negosiasi adalah sebuah transaksi dimana kedua belah pihak mempunyai
hak atas hasil akhir. Hal ini memerlukan persetujuan kedua belah pihak sehingga terjadi proses
yang saling memberi dan menerima sesuatu untuk mencapai suatu kesepakatan bersama.
Sedangkan menurut Fisher R dan William Ury; Negoisasi adalah komunikasi dua arah
dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat keduabelah pihak memiliki berbagai
kepentingan yang sama atau berbeda.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa suatu proses negosiasi selalu
melibatkan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi, mencari suatu kesepakatan kedua belah
pihak dan mencapai tujuan yang dikehendaki bersama yang terlibat dalam negosiasi.
Dengan kata lain negosiasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencapai suatu
keadaan yang dapat diterima kedua belah pihak. Negosiasi diperlukan ketika kepentingan
seseorang atau suatu kelompok tergantung pada perbuatan orang atau kelompok lain yang juga
memiliki kepentingan-kepentingan tersebut harus dicapai dengan jalan mengadakan kerjasama.
Negosiasi adalah pertemuan antara dua pihak dengan tujuan mencapai kesepakatan atas
pokokpokok masalah yang :
1. Penting dalam pandangan kedua belah pihak
2. Dapat menimbulkan konflik di antara kedua belah pihak
3. Membutuhkan kerjasama kedua belah pihak untuk mencapainya.
Negosiasi tidaklah untuk mencari pemenang dan pecundang; dalam setiap negosiasi
terdapat kesempatan untuk menggunakan kemampuan sosial dan komunikasi efektif dan kreatif
untuk membawa kedua belah pihak ke arah hasil yang positif bagi kepentingan bersama.
Salah satu tujuan orang bernegosiasi adalah menemukan kesepakatan kedua belah pihak
secara adil dan dapat memenuhi harapan/keinginan kedua belah pihak. Dengan kata lain, hasil
dari sebuah negosiasi adalah adanya suatu kesepakatan yang memberikan keuntungan bagi kedua
belah pihak. Artinya, tidak ada satupun pihak yang merasa dikalahkan atau dirugikan akibat
adanya kesepakatan dalam bernegosiasi. Selain alasan tersebut diatas, tujuan dari negosiasi
adalah untuk mendapatkan keuntungan atau menghindarkan kerugian atau memecahkan problem
yang lain
Negosiasi sama-sama menang secara sederhana adalah bisnis yang baik. Ketika pihak-
pihak yang berkepentingan di dalam suatu perjanjian merasa puas dengan hasilnya, mereka akan
berusaha membuat perjanjian itu berhasil, tidak sebaliknya. Mereka pun akan bersedia untuk
bekerja sama satu sama lain pada masa datang. Barangkali anda bertanya, Bagaimana saya bisa
menang di dalam suatu negosiasi bila saya membolehkan pihak lawan juga memenuhi kebutuhan
mereka?. Jawaban pertanyaan ini terletak pada kenyataan bahwa orang yang berbeda
mempunyai kebutuhan yang berbeda.
Negosiasi menjelaskan setiap proses komunikasi antara individu yang ditujukan untuk
mencapai kompromi atau kesepakatan untuk kepuasan kedua belah pihak. Negotiation involves
examining the facts of a situation, exposing both the common and opposing interests of the
parties involved, and bargaining to resolve as many issues as possible. Negosiasi melibatkan
memeriksa fakta dari sebuah situasi, exposing baik umum dan kepentingan yang berlawanan dari
pihak yang terlibat, dan tawar-menawar untuk menyelesaikan masalah-masalah sebanyak
mungkin.
Yang perlu kita ketahui dalam negosiasi tidak akan pernah tercapai kesepakatan kalau
sejak awal asing-masing atau salah satu pihak tidak memiliki niat untuk mencapai kesepakatan.
Kesepakatan harus dibangun dari keinginan atau niat dari kedua belah pihak, sehingga kita tidak
bertepuk sebelah tangan.
Karena itu, penting sekali dalam awal-awal negosiasi kita memahami dan mengetahui
sikap dari pihak lain, melalui apa yang disampaikan secara lisan, bahasa gerak tubuh maupun
ekspresi wajah. Karena jika sejak awal salah satu pihak ada yang tidak memiliki niat atau
keinginan untuk mencapai kesepakatan, maka hal tersebut berarti membuang waktu dan energi
kita. Untuk itu perlu dicari jalan lain, seperti misalnya: conciliation, mediation dan arbitration
melalui pihak ketiga.
Dalam negosiasi sendiri diperlukan upaya agar bahasan yang ada tidak melenceng atau
keluar dari terbuka responsif dan aserti persuasif. Jika keluar dari tujuan utama dari bahasan
maka relasi tidak akan pernah bisa dibangu karena masing-masing pihak akan saling menghindar
sehingga substansinya tidak pernah tersentuh, sedangkan jika keluar dari tujuan utama dari
bahasan maka relasi juga tidak bisa terbangun karena akan terjadi konfrontasi atau pertikaian
dari masing-masing pihak.
1. Keuntungan Negoisasi :
b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang mengambil
c. kesepakatan;
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang
esensinya sama dengan proses musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan
atau musyawarah atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala sesuatunya harus
memperoleh persetujuan dari para pihak.
Mediasi juga merupakan suatu cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga. Yang
menjadi pihak ketiga ini organisasi internasional, negara ataupun individu. Pihak ketiga ini
dalam sengketa ini dinamakan mediator.
Dengan demikian ada 4 hal yang mendasar dari pengertian mediasi tersebut, yaitu :
a. Adanya sengketa yang harus diselesaikan
b. Penyelesaian melalui perundingan
c. Tujuan perundingan untuk memperoleh kesepakatan
d. Peranan Mediator dalam membantu penyelesaian
Para pihak bebas menentukan prosedurnya yang terpenting adalah kesepakatan para
pihak, mulai dari proses pemilihan mediator, cara mediasi, diterima atau tidaknya ususlan-usulan
yang diberikan oleh mediator, sampai berakhirnya tugas dari mediator.
Pengaturannya dalam Pasal 6 (3-5) UU no.30 tahun 1999. Mediasi adalah suatu proses
kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak menurut
ketentuan Pasal 6 (2). Mediasi melibatkan pihak ketiga (Pasal 6 (3).
Pertama, proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika
para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah perkara
yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa dapat diselesaikan melalui
perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya hukum kasasi karena perdamaian
merupakan hasil dari kehendak bersama para pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan
upaya hukum. Sebaliknya, jika perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari
pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan
dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak yang
kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan kasasi. Pada
akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya
penumpukan perkara.
Kedua, proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat
dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada penelitian yang
membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan murah dibandingkan
proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada logika seperti yang telah diuraikan pada alasan
pertama bahwa jika prkara diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum,
banding maupun kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat
memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga
pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika perkara dapat diselesaikan
dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya dapat menerima hasil akhir karena
merupakan hasil kerja mereka yang mencerminkan kehendak bersama para pihak. Selain logika
seperti yang telah diuraikan sebelumnya, literatur memang sering menyebutkan bahwa
penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian
alternative dispute resolution (ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat
dan murah dibandingkan proses litigasi.
Ketiga, pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk
memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui proses litigasi,
tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak. Dengan diberlakukannya
mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat pencari keadilan pada umumnya dan para
pihak yang bersengketa pada khususnya dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas
sengketa mereka melalui pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah
yang disebut mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses
musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan, Mahkamah
Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh upaya perdamaian
yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum acara yang berlaku, yaitu HIR
dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu mendamaikan para pihak sebelum proses
memutus dimulai, tetapi juga karena pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan
memuaskan adalah proses penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk
bersama-sama mencari dan menemukan hasil akhir.
Mediator yang handal dan profesional harus dapat menangkap dan mendiagnosis bahasa
tubuh seperti gerakan tubuh, gerakan tangan, ekspresi wajah dan lain-lain, disamping harus
memiliki strategi bahasa lisan yaitu pertenyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada para pihak.
Ada tipe mediator yang hanya sedikit menggunakan pertanyaan, tipe semacam ini disebut tipe
fasilitatif. Ada mediator yang banyak menggunakan pertanyaan, tipe semacam ini disebut tipe
evaluatif dan tipe penyelesaian.
Banyak sekali bentuk-bentuk pertanyaan yang harus dimiliki oleh seorang mediator,
diantaranya adalah :
Bentuk ini dapat dikemukakan pada setiap tahapan mediasi, misalnya Pertanyaan : Dapatkah
Saudara ceritakan mengapa saudara bisa sangat emosi sehingga saudara menampar wajah isteri
saudara dengan keras ? ( Dalam kasus perkara perceraian ). Dapatkah saudara ceritakan mengapa
saudara bisa menjual tanah yang dibeli bersama dengan isteri saudara tanpa sepengetahuan isteri
saudara ? ( Dalam kasus perkara harta bersama ).
Bentuk pertanyaan ini hanya dapat diajukan pada situasi tertentu saja, yang dimaksudkan untuk
mendapatkan jawaban : ya atau tidak.
Misalnya pertanyaan : apakah saudara menyukai kebahagiaan hidup di akhirat ? dijawab : ya.
Apakah saudara senang hidup bahagia didunia tetapi harta yang saudara miliki masih bercampur
dengan harta yang menjadi hak orang lain ? dijawab : tidak.
Apakah saudara yakin dengan agama Islam yang mengatur secara adil pembagian harta
warisan ? dijawab : ya.
Apakah saudara sudah siap kalau kasus waris saudara diselesaikan menurut hukum Islam yang
saudara yakini ? dijawab : ya.
Apakah saudara rela hubungan persaudaraan dan kekerabatan saudara hancur dan bermusuhan
karena sekedar memperebutkan harta benda dunia ? dijawab : tidak. ( dalam kasus perkara gugat
waris ).
Jawaban yang bersifat mengubah : asalkan isteri saya bisa merubah kebiasaan suka hutang tanpa
sepengetahuan suami.
Jawaban yang bersifat membantah : sangat sulit hidup dengan isteri ucapannya kasar ( kasus
perkara permohonan cerai talak ).
Bentuk pertanyaan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan salah satu atau kedua pihak
guna memikirkan hal tertentu.
Misalnya :
Salah satu pihak merasa tidak memiliki kekuatan tetapi ada perasaan ketakutan, maka mediator
dapat bertanya Apakah anda punya perasaan takut sehingga tak berdaya? (Kasus perkara
Syiqoq).
Misalnya :
Seandainya orang tua saudara mau membantu menyelesaikan persoalan saudara, apakah saudara
bersedia menerima bantuan mereka?
Suami menjawab : Ya, tetapi apakah orang tua isteri saya bersedia juga?
Suami menambahkan : mestinya orang tua kedua pihak harus sama-sama membantu
menyelesaikan.
Dalam kasus ini jika ternyata pihak isteri tidak memberikan perhatian, maka mediator
dapat mengulang pernyataan itu karena mediator mengetahui ada hal-hal penting yang
dikemukakan oleh suami agar ada Hakam yang membantu mendamaikan dari kedua pihak,
mengulang pernyataan ini disebut dengan REITERASI (Kasus perkara Syiqoq).
D. KONSILIASI
Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa yang sifatnya lebih formal dibandingkan
mediasi. Biasanya konsiliasi ini berbentuk badan konsiliasi yang dibentuk oleh para pihak
melalui perjanjian. Komisi ini berfungsi untuk menetapkan persyaratan-persyaratan penyelesaian
yang diterima oleh para pihak, sehingga lebih formal atau luas karena ada aturan dan ada
lembaga atau lembaganya.
Komisi konsiliasi ini bisa sudah terlembaga atau ad hoc (sementara) yang berfungsi untuk
menetapkan persyaratan penyelesaian yang diterima oleh para pihak. Namun putusannya tidak
mengikat para pihak.
Persidangan suatu badan konsiliasi terdiri dari dua tahap yaitu tahap tertulis dan tahap
lisan, kemudian badan ini akan mendengarkan keterangan lisan para pihak. Para pihak
mendengarkan keterangan lisan para pihak dan dapat diwakkili oleh kuasanya. Hasil fakta-fakta
yang diperoleh konsilator (sebutan dari konsiliasi) menyerahkan laporannya kepada para pihak
dengan kesimpulan dan usulan-usulannya, dan putusannya tidak mengikat karena diterima atau
tidaknya usulan tersebut tergantung sepenuhnya kepada para pihak.
Adapun prosesnya hampir serupa dengan mediasi, tetapi biasanya diatur oleh undang-
undang. Ketika suatu pihak diwajibkan hadir, konsiliator cenderung menekan dan bertanggung
jawab atas norma sesuai undang-undang atau badan terkait, dan langkah hukum akan diambil
bila kesepakatan tidak tercapai.
A. Timbulnya Konsiliasi
Perjanjian pertama untuk mengatur konsiliasi diadakan antara Swedia dan Chili 1920.
Tahun 1975 ditandai dengan dua perkembangan penting. Pertama suatu perjanjian antara Prancis
Swiss mendefinisan fungsi komisi konsiliasi permanen yaitu tugas komisi konsiliasi
permanen ialah untuk menjelaskan masalah dalam sengketa, dengan tujuan itu mengumpulkan
semua keterangnan yang berguna melalui penyelidikan atau dengan cara lain,dan berusaha untuk
membawa pihak-pihak pada persetujuan. Komisi ini, setelah mempelajari kasus itu, dpat
mendekatkan pada pihak-pihak batas penyelesaian yang kelihatannya sesuai, dan menetapkan
batas waktu kapan mereka harus membuat keputusan.
Pada akhir pemeriksaannya komisi itu akan membuat suatu laporan, karena hal ini
memungkinkan, yang menyatakan bahwa pihak-pihak harus mencapai persetujuan dan, jika
perlu, batas persetujuan, atau bahwa terbukti tidak mungkin untuk melakukan penyelesaian.
Pemeriksaan komisi, kecuali jika pihak-pihak tidak setuju, harus diakhiri dalam waktu enam
bulan terhitung sejak hari diserahkannya sengketa itu pada komisi tersebut. Periode antara tahun
1925 dan Perang Dunia Ke-dua konsiliasi berkembang luas dan hampir dibuat 200 perjanjian
pada tahun 1940. Sebagian besar berdasarkan pada perjanjian antara Prancis Swiss tahun 1925.
B. Praktek Konsiliasi
Fungsi komisi konsiliasi adalah untuk menyelidiki sengketa dan batas penyelesaian yang
mungkin. Fungsi komisi konsiliasi adalah memberikan informasi dan nasehat tentang pokok
masalah posisi pihak-pihak dan untuk menyarankan suatu penyelesaian yang bertalian dengan
apa yang mereka terima, bukan apa yang mereka tuntut. Karena proposal komisi konsiliasi dapat
diterima atau ditolak, praktek yang umum untuk komisi itu adalah memberikan pihak-pihak
jangka waktu tertentu selama beberapa bulan guna memperlihatkantanggapan mereka. Jika
proposal komisi diterima komisi itu membuat proces-verbal (persetujuan) yang mencatat fakta
konsiliasi dan menentukan batas penyelesaian. Jika batas diusulkan ditolak, maka konsiliasi itu
gagal dan para pihak tidak mempunyai kewajiban lagi.
C. Pentingnya Konsiliasi
Konsiliasi terbukti paling berguna untuk sengketa-sengketa mengenai hukum, tapi para
pihak menginginkan kompromi yang sama. Sengketa jenis ini ialah sengketa antara Italian
Republic dan Holy See, konsiliasi akan muncul untuk menawarkan suatu alternatif yang jelas.
Pertama, cara konsiliasi itu diatur melalui dialog dengan dan antara pihak-pihak tidak terdapat
resiko konsiliasi yang memberikan akibat yang sangat mengejutkan pihak-pihak, seperti yang
kadang terjadi dalam acara pemeriksaan hukum. Kedua, proposal komisi tidak mengikat dan jika
tidak dapat diterima , boleh di tolak. Komisi konsiliasi pada daerah landas kontinen antara
Islandia dan Jan Mayen 1981, komisi ini telah membuat rekomendasi tertentu untuk bagian batas
daerah khusus kedua belah pihak. Dalam praktek konsiliasi yang umum, cukup mendapat tempat
sederhana di antara prosedur yang terdapat dalam negara, dan kasus Jan Mayen kebetulan
merupakan peringatan akan nilainya. Seperti penyelidikan, proses yang mengembangkan
konsiliasi, konsiliasi dapat diterima dalam semua kebutuhan dan memperlihatkan kelebihan yang
berasal dari struktur keterlibatan pihak luar dalam menyelesaikan sengketa internasional.
Tidak ada satupun ketentuan dalam UU no.30 tahun 1999 yang mengatur tentang hal ini.
Perkataan konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat kita
temukan dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 dan alinea ke-9 PENJELASAN UMUM UU no.30
tahun 1999. Konsiliasi memiliki makna perdamaian layaknya negosiasi, perbedaanya konsiliasi
merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang peradilan dilaksanakan.
Arbitrase sebagai suatu bentuk kelembagaan dapat juga memberikan konsultasi dalam
bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya tidak
terbatas pada para pihak dalam perjanjian.
E. ARBITRASE
Istilah arbitrase berasal dari kata Arbitrare (bahasa Latin) yang berarti kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan.
Arbitrase yaitu penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase. Artinya, penyelesaian atau
pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para
pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang
mereka pilih atau mereka tunjuk.
Berdasarkan UU no. 30 tahun 1999 Pasal 1 (1), yakni cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa semua peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Demikian pula
halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih tetap berlaku,
karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru sesuai dengan Peraturan Peralihan
UUD 1945 tersebut.
Ketentuan mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705
RBG yang menyatakan bahwa :
Jika orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus
oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku
bagi orang Eropah. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan pengadilan yang berlaku bagi
Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata
yang diatur dalam RV.
1. Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
Setelah Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan Penyelesaian perkara
diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit atau arbitrase tetap diperbolehkan.
F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing
Jikalau di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan
cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang putusannya
mengikat kedua belah pihak.
G. UU No. 5/1968
Selanjutnya dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh
Mahkamah Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di keluarkan.
J. UU No. 30/1999
Sebagai ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka pemerintah
mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada
tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga
arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan
internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal
615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan
demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan
yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian dengan jalan ini memiliki berbagai kelebihan dan kekurangan yang
dijelaskan sebagai berikut. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase adalah cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Dalam Pasal 53 Undang-undang terkait
dinyatakan pula bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang
mengikat dari Lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Lembaga
arbitrase disini adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan
putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa. Arbitrase
disini dapat berupa, klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat
oleh para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
oleh para pihak setelah timbul sengketa. Berikut di bawah ini penjelasan mengenai kelebihan dan
kelemahan dari penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalan arbitrase.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang memiliki pengalaman dan latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, secara jujur dan adil;
4. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan
tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui prosedur sederhana dan
langsung dapat dilaksanakan.
1. Putusan arbitrase sangat tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan
yang memuaskan kepada kedua belah pihak. Karena walaupun arbiter adalah seorang ahli,
namun belum tentu dapat memuaskan para pihak;
2. Tidak terikat dengan putusan arbitrase sebelumnya, atau tidak mengenal legal precedence.
Oleh karenanya, bisa saja terjadi putusan arbitrase yang berlawanan dan bertolak belakang;
3. Pengakuan dan pelaksanaan atau eksekusi putusan arbitrase bergantung pada pengakuan dan
kepercayaan terhadap lembaga arbitrase itu sendiri;
4. Proses arbitrase ini akan memakan waktu, tenaga serta biaya yang lebih mahal, jika ada salah
satu pihak yang belum puas dan masih ingin memperkarakan putusan arbitrase.
Litigasi :proses penyelesaian sengketamelalui Jalur Pengadilan Waktu lama, Mahal, Kurang
Jujur, Kurang Netral, Pertikaian ADR :proses penyelesaian sengketa di luar Jalur Pengadilan
Murah, Hubungan baik, Sukarela, Sesuai kebutuhan, Rahasia netral, Non judicial/luwes Cepat.