Anda di halaman 1dari 9

BAB 3.

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM

Perkembangan Hukum Islam Di Dunia dan Di Indonesia

Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-
tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh
kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka
dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah
satu pijakan bagi umat Islam secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan
dalam mendekatkan dan mengakrabkan bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum
Islam yang diwarnai benturan dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-
kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia
terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu
menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
seketika.

B. Identifikasi Masalah

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Sejarah hukum islam dibagi menjadi beberapa priode. Pembagian priode hukum islam ini yaitu :

1. Pada masa nabi Muhammad saw (610 M 632 M )

2. Pada masa khulafaur rasidin ( 632 M 662 M )

3. Pada masa pembinaan & pembukuan ( abad VII M-X M )

4. Masa kelesuan pemikiran ( abad X M-XIX M )

5. Masa kebangkitan ( XIX M sampai sekarang )


SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Masa Nabi Muhammad (610 M 632 M).

Agama islam sebagai induk hukum islam muncul semenanjung Arab. Daerah yang sangat panas,
penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang begitu keras memberntuk manusia-manusia
yang individualistis serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan berdasarkan garis
Patrilineal, yang saling bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian
adat. Susunan klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya.

Oleh karena itu Nabi Muhammad setelah pindah atau hijrah dari Mekah ke Madinah,dianggap telah
memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu pula diperangi oleh anggota klen asalnya.
Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap
kerasulan Nabi Muhammad.[1]

Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firmanfirman Tuhan yang terdapat dalam al-Quran
dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyuNya Allah
menegaskan posisi Muhammad dalam rangka agama islam, yaitu :

1. Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Q.s.21:107).

2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah RasulNya (Q.s.4:59).

3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.s.4:80).

4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).

Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan hukum itu
terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan, perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah. Dengan
mempergunakan Al Quran sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap
masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.

B. Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M 662 M ).

Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun dan demikian halnya dengan
sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi ututsan Tuhan tidak mungkin tegantikan, tetapi tugas
beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang khalifah
dari kalangan sahabat Nabi.

Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara. Memiliki hak
memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menajaga keamanan dan batas Negara,
menegakkan keadilan dan kebenaran,berusaha agar semua lembaga Negara memisahakan antara yang

baik dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al Quran, mengawaasi jalannya
pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.

Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin
sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh
digenerasi-generasi berikutnya.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan
catatan ayat-ayat Quran yang telah ditulis dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah
kurma dan tulang-tulang unta dan menghimpunnya daam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin
Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah

Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh ijthad Umar adalah menurut (Q.s.5:38)
orang yang mencuri, diancam dengan hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi
kelaparan dalam masyarakat disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri
tersebut tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan
kemaslahatan jiwa masyarakat. Selanjutnya pada pemilihan khalifah,[2]

Usman menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi nepotisme karena kelemahannya.
Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke barat sampai ke Maroko, ke timur
menuju India dan keutara bergerak keraha konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al Quran
standar yang disebut modifikasi al Quran. Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan adalah
Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad.

Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan hukum Islam karena
keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam,
yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.

C. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII-X M)

Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis suci islam,
muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak
faktor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :

a. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal usul, adat istiadat dan
berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau
norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat.

b. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk membangun serta
mengembangkan hukum fiqih Islam.

c. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam
masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir penilaian mengenai baik
buruknya mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-
khamsah.[3]

D. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M).

Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya yang asli tapi hanya
sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi
ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya
untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Quran dan sunah,
tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para
imamnya saja.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam dimasa itu adalah ;

1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru.

2. Ketidakstabilan politik.

3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya kewibawaan


pengendalian perkembangan hukum.

4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian perkembangan hukum Islam pada
periode ini menjadi lesu.[4]

E. Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang ).

Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah bangkit kembali,
timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut yang telah membawa kemunduran hukum islam.
Pada abad ke XIV telah timbul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam
perkembangan hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah
walau pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XVII oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab
yang terkenal dengan gerakan baru di antara gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan
kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam
bukunya. Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali kepada
kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.

Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum Islam, sesungguhnya pada
masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad,
untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh
pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara segar dan baru dalam
dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan
muridnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17
oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang
mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).

Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan
situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman
orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti percetakan, media
massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang
mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya
secara serius.

Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di atas, dilanjutkan
kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan politik. Jamaluddin Al-
Afgani inilah yang memasyhurkan ayat Al-Quran : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib
suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri
(Q.S. Ar-Radu (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk menggerakan kebangkitan ummat Islam yang
pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran
ummat Islam itu pada dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.

Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat terhadap dunia Islam,
maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam dapat maju kembali, maka penyebab utamanya
itu yang dalam hal ini adalah penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka
Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini, yaitu Pan
Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.

Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan Islamisme ini masih relevan
sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk
diterapkan dalam dunia Islam yang nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat dan
mengental ditambah tidak seluruhnya negara-negara muslim negaranya berdasarkan Islam. Penulis
menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani ini adalah relevan pada masanya, namun
demikian masih perlu diterjemahkan ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini. Sebab
menurut penulis persatuan dunia Islam sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu untuk
memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan bersama untuk
saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan adalah
sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia Islam saat ini.

Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh (1849-
1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-
pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di
seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan
Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun
1912. Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yanag diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan
Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan pada
pendirian negara islam internasionalnya.
BAB. 4 HUKUM ISLAM DI INDONESIA

HUKUM ADAT, HUKUM ISLAM, DAN HUKUM BARAT

Di dunia sekurang-kurangnya ada lima item hukum besar yang hidup dan
berkembang. Sistem-sistem hukum tersebut adalah:

1. Sistem Common law (Inggris)


2. Sistem civil law (Romawi)
3. Sistem hukum adat (Asia dan Afrika)
4. Sistem hukum islam
5. Sistem hukum Komunis

Keadaannya

Hukum Adat telah lama berlaku di negara kita. Bila mulai berlakunya tidak dapat
ditentukan dengan pasti, tetapi dapat dikatakan bahwa, jika dibandingkan dengan kedua
sistem hukum lainnya, hukum adatlah yang tertua umurnya. Sebelum tahun 1927 keadaannya
biasa saja, hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia

Bentuknya

Pada dasarnya hukum Adat adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh,
berkembang dan hilang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Pada
waktu ini sedang diadakan usaha-usaha untuk mengangkat hukum adat menjadi hukum
perundang-undangan dan dengan begitu di ikhtiarkan memperoleh bentuk tertulis. Contoh
dapat dilihat pada undang-undang pokok Agraria tahun 1960. Tapi, hukum adat yang telah
menjadi hukum tertulis itu menjadi lain bentuknya dari hukum adat sebelumnya. Ia menjadi
hukum perundang-undangan.

Tujuannya

Tidak ada satu uraian yang terinci dan jelas mengenai tujuan hukum adat. Namun dari
kata-kata yang terdapat dalam masyarakat adat, dapat disimpulkan bahwa hukum adat
bertujuan untuk menyelenggarakan kehidupan masyarakat yang aman, tentram dan sejahtera.

Sumbernya

Mengenai sumber ketiga hukum tersebut, dapat dikategorikan lagi kedalam

1. Sumber pengenal

Menurut Betrand ter Haar, yang menjadi sumber pengenal hukum adat adalah keputusan
penguasa adat. Ini dibantah oleh profesor mohammad koesnoe tersebut. Menurut koesno,
hukum penguasa adat tercermin dari keputusan penguasa itu, memang dijiwai oleh hukum
adat sebagai hukum rakyat, tetapi keputusan penguasa adat belumlah menggambarkan
sepenuhnya hukum adat sebagai hukum rakyat. Oleh karena itu, menurut Koesnoe yang
menjadi sumber pengenal hukum adat ialah apa yang benar-benar terlaksana didalam
pergaulan hukum di dalam masyarakat yang bersangkutan.
2. Sumber Isi

Sumber isi hukum adat adalah kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat adat.
Namun, perlu dicatat, orang sering meragukan adanya homogenitas kesadaran hukum rakyat
indonesia yang tersebar dalam berbagai lingkungan adat di seluruh kepulauan nusantara ini.
Sumber isi hukum islam adalah kemauan Allah berupa wahyu yang kini terdapat dalam
Alquran dan sunnah nabi Muhammad SAW yang sekarang tertulis dalam kitab-kitab hadis.

3. Sumber pengikat

Sumber yang menjadi kekuatannya mengikat orang untuk melaksanakan atau tidak
melanggar hukum tersebut. Sumber pengikat hukun adat adalah rasa malu yang ditimbulkan
oleh karena berfungsinya sistem nilai dalam masyarakat adat yang bersangkutan atau karena
upaya-upaya lain yang pada akhirnya akan mengenai orang yang bersangkutan apabila tidak
mematuhi hukum yang ada.

Strukturnya

Yang dimaksud dengan struktur dalam hubungan pembicaraan ini adalah tumpukan
logis lapisan-lapisan yang ada pada sistem hukum yang bersangkutan.

Dalam hukum adat minang kabau, misalnya ada teori struktur menurut pandangan
ahli-ahli adat setempat. Menurur teori itu, hukum adat atau adat dapat dibedakan dalam :

1. Adat nan sabana adat


Adalah yang tidak dibuat oleh manusia atau nenek moyang manusia, tetapi berasal
dari alam. Adat nan sabana adat merupakan guru bagi kehidupan manusia.
2. Adat pusaka
Adat atau hukum adat positif yang disusun sejak nenek moyang sampai pada angkatan
sekarang . hukum adat positif yang disebut hukum adat pusaka dibedakan dalam 3
kategori (1). adat istiadat (2). Adat nan taradat (3). Adat nan diadatkan.

Lingkup masalah.

Lingkup masalah diatur oleh 3 sistem hukum tersebut berbeda pula. Antara hukum
adat dan hukum barat pada dasarnya terdapat kesamaan ruang lingkup karena keduannya
hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dan penguasa dalam masyarakat.
Ruang lingkup yang diatur dalam hukum islam tidak hanya masalah hubungan antar manusia
dengan manusia lain serta penguasa dalam masyarakat tetapi juga mengatur hubungan antara
manusia dengan Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Pembidangan

Mengenai pembidangan ketiga sistem hukum tersebut dapat dikemukakan hal berikut:
Hukum adat yang mengenal asas-asas kerukunan, kepatutan, keselarasan dalam pergaulan
dan yang bersifat religiomagis, tidak mengenal pembidangan hukum perdata dan hukum
publik seperti halnya dengan hukum barat. Dalam hukum adat tidak ada pemisahan yang
tajam antara kepentingan pribadi (perdata) dengan kepentingan umum (publik).
Hak dan kewajiban

Mengenai hak dan kewajiban, yang akan dibandingkan hanyalah hukum islam dengan
hukum barat. Dalam sistem hukum islam kewajiban lebih diutamakan dari hak sedangkan
hukum barat, hak didahulukan daripada kewajiban.

Norma atau kaidah hukum

Dalam sistem hukum barat yang berasal dari hukum Romawi, dikenal tiga norma atau
kaidah yakni:

1. Impere (perintah)
2. Prohibere (larangan)
3. Permittere (yang dibolehkan)

Dalam sistem hukum Islam ada lima macam kaidah atau norma hukum yang
dirangkum dalam istilah Al-Ahkam Al-Khamsah. Kelima kaidah itu adalah:

1. Fard (kewajiban)
2. Sunnat (anjuran)
3. Jaiz/ mubah/ ibahah (kebolehan)
4. Makruh (celaan)
5. Haram (larangan)

HUBUNGAN HUKUM ADAT DENGAN HUKUM ISLAM

Agar adat dapat dijadikan hukum Islam, beberapa syarat harus dipenuhi. Menurut
Sobhi Mahmassani, syaratsyarat tersebut adalah:

1. Adat itu dapat diterima oleh perasaan dan akal sehat serta diakui oleh pendapat umum
2. Sudah berulang kali terjadi dan telah pula berlaku umum dalam masyarakat yang
bersangkutan
3. Telah ada pada waktu transaksi dilangsungkan
4. Tidak ada persetujuan atau pilihan lain antarkedua belah pihak
5. Tidak bertentangan dengan nas (kata, sebutan yang jelas dalam) Al-Quran dan
sunnah Nabi Muhammad. Atau dengan kata laintidak bertentangan dengan syariat
Islam.

KEDUDUKAN HUKUM ISLAM DALAM TATA HUKUM INDONESIA

Yang dimaksud dengan kedudukan adalah tempat dan keadaan, atau hukum adalah
susunan atau sistem hukum yang berlaku di suatu daerah atau negara tertentu. Dengan
demikian yang akan dilukiskan dalam bagian ini adalah tempat dan keadaan hukum Islam
dalam susunan atau sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Sistem hukum Indonesia, sebagai akibat perkembangan sejarah bersifat majemuk.


Disebut demikian karena sampai sekarang dalam negara Republik Indonesia berlaku
beberapa sistem hukum yang memiliki corak dan susunan sendiri. Yang dimaksud adalah
sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum tersebut
mulai berlaku di Indonesia pada waktu yang berlainan.

HUKUM ISLAM DAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL

Hukum Islam adalah hukum yang bersifat universal, karena ia merupakan bagian dari
agama Islam yang universal sifatnya, yang berlaku bagi orang Islam dimanapun berada.
Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional.

Anda mungkin juga menyukai