Tataran Messo
Aspek lain dari New Institutional Economics (NIE) berfokus pada perjanjian yang
dibuat oleh individu-individu tertentu untuk mengatur hubungan mereka. Williamson (1996)
menyebut pengaturan kelembagaan tersebut sebagai tata kelola lembaga (governance
institution) yang digambarkan sebagai Tipologi Organisasi Hybrid (Gambar 2.6.)
Berkaitan dengan kegiatan operasional suatu perusahaan, biaya untuk sewa juga dapat
timbul karena berbagai kendala. Legislator harus membangun koalisi, memperoleh hak
parlemen, mempertahankan citra positif, dan kepentingan pelayanan konstituen. Para
pembuat kebijakan di instansi harus mengikuti aturan prosedural, tunduk kepada pengawasan
kongres, dan penganggaran. Pembuat kebijakan harus meningkatkan efektivitas lobi dan
harus menarik upaya lobi lebih besar di antara pembuat kebijakan. Singkatnya, pembuat
kebijakan memiliki kendala dalam mempengaruhi kebijakan yang mereka desain. Selain itu,
hal ini juga mempengaruhi proses melobi dalam konteks pengeluaran atau expenditures
(Dougan dan Snyder 1993). Persaingan politik di antara para pencari sewa juga
mempengaruhi hasil rent seeking. Kompetisi secara tradisional telah dimodelkan dengan
memvariasikan jumlah agen rent seeker (aktual atau potensial) atau pengeluaran lobi relatif
mereka (Posner 1975; Rogerson 1982; Sun dan Ng 1999).
Terkait dengan perusahaan sebagai suatu organisasi non profit dalam level meso,
organisasi melalui tindakan kolektif melobi perubahan aturan formal yang lebih sesuai
dengan kepentingan organisasi (Nee, 2003). Asosiasi dan pelobi profesional dapat bertindak
sebagai agen mewakili kepentingan individu di level mikro. Dalam pasar yang kompetitif,
tekanan pada perusahaan-perusahaan yang lolos dari proses seleksi memerlukan sebuah
tindakan strategis, berbeda dengan tekanan legitimasi pada orientasi organisasi nonprofit,
yang tergantung pada pemerintah dalam hal sumber daya. Upaya organisasi mendapat
legitimasi sebagai penggerak yang mendorong konformitas dengan aturan kelembagaan dan
praktik melalui pemaksaan, normatif, dan mekanisme.
Konsep modal sosial memberikan efek positif dalam batasan asosiasi, namun
sekarang ini muncul kelompok yang memiliki hasil yang tidak diinginkan, seperti asosiasi
rent seeking atau perilaku rente. Dalam konteks rent seeking, modal sosial memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama para anggota asosiasi. Modal sosial
bukan merupakan pengganti untuk kebijakan publik yang efektif, melainkan menjadi
prasyarat untuk kebijakan publik. Kebijakan yang bijaksana dapat mendorong pembentukan
modal sosial sehingga modal sosial itu sendiri dapat meningkatkan efektivitas tindakan
pemerintah (Putnam, 1993).
Senada dengan Putnam (1993), Coleman (1988) juga mengajukan gagasan mengenai
modal sosial. Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial sebagai entitas-entitas yang
berbeda, yang memiliki dua elemen yang sama, terdiri dari beberapa aspek struktur sosial,
dan memfasilitasi tindakan aktor (aktor pribadi maupun perusahaan) dalam struktur
organisasi. Konsep ini memperluas konsep asosiasi vertikal maupun horizontal dan perilaku
antar entitas. Asosiasi vertikal dicirikan oleh hubungan hierarkis dan distribusi kekuasaan
yang tidak merata antara anggota. Pola-pola hubungan tersebutlah yang menghasilkan
keuntungan bagi satu kelompok (rent seeking) dan kendala bagi orang lain.
2.2.2. Daya Saing pada tataran meso (industri atau kelompok industri)
Analisis daya saing pada tingkat industri bermula dari konsep Ricardo tentang
keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin tentang teori perdagangan internasional
(international trade) dan kajian sejumlah pakar maupun lembaga tentang daya saing
industri.1 Porter (1990) menjelaskan:
.. the basic unit of analysis for understanding of national advantage is the industry.
Nations suceed not in isolated industries, however, but in clusters of industries connected
through vertical and horizontal relationships. A nations economy contains a mix of
clusters, whose makeup and sources of competitive advantage (or disadvantage) reflect
the state of the economys development.
Kajian daya saing pada tingkat industri berkembang dalam dua perspektif arus utama.
Pertama, yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu sektor industri atau aktivitas
ekonomi tertentu (sebagaimana telah dikenal luas saat ini). Pandangan kedua, meletakkan
industri dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks
rangkaian mata rantai nilai tambah. Dalam perspektif pertama, daya saing industri
merupakan daya saing rata-rata dari agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu.
Sebagian besar ukuran daya saing pada tingkat perusahaan (profitabilitas, biaya,
produktivitas) dapat dianalisis pada tingkat industri. Pandangan sektoral demikian juga
merupakan pendekatan klasik yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor
ekonomi. Sementara itu dalam perspektif kedua, daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai
nilai tambah yang umumnya terjadi lintas sektor.