Anda di halaman 1dari 5

2.3.2.

Tataran Messo

Aspek lain dari New Institutional Economics (NIE) berfokus pada perjanjian yang
dibuat oleh individu-individu tertentu untuk mengatur hubungan mereka. Williamson (1996)
menyebut pengaturan kelembagaan tersebut sebagai tata kelola lembaga (governance
institution) yang digambarkan sebagai Tipologi Organisasi Hybrid (Gambar 2.6.)

Gambar 2.6. - Tipology Organisasi Hybrid

Sumber: Mnard, 2004

Perusahaan, birokrasi, dan organisasi dianggap sebagai sebuah tata kelola


(governance). Dalam tata kelola terjadi transaksi atau interaksi antara individu. Transaksi
dengan pihak luar dipengaruhi oleh lingkungan kelembagaan yang tingkatannya lebih tinggi.
Perubahan pada lingkungan kelembagaan berpengaruh pada transaksi yang terjadi antara
individu dalam tata kelola. Transaksi dalam suatu tata kelola juga dipengaruhi oleh sifat
individu yang cenderung opportunis dan dibatasi rasionalitas yang ada. Williamson (1994)
mengatakan bahwa tata kelola perusahaan berkaitan dengan masalah oportunisme dan
mengurangi risiko penyimpangan kerja agen.

Berkaitan dengan oportunisme dan penyimpangan kinerja agen dalam organisasi,


konsep rent seeking dan opportunistic behavior dapat menjelaskan fenomena ini. Rent seeker
merupakan individu yang menggunakan undang-undang dan peraturan pemerintah untuk
mentransfer kekayaan (sewa) untuk diri mereka sendiri (Johnson 1991:328). Sehubungan
dengan teori kelembagaan, suatu kelembagaan dianggap dapat mempengaruhi keberhasilan
rent seeking. Tullock (1967), Krueger (1974), Posner (1975), Stigler (1971), Peltzman (1976),
Hirshleifer (1976), dan Becker (1983) mengajukan gagasan mengenai teori kepentingan
pribadi (private interest) berkaitan dengan konsep rent seeking. Konsep rent seeking memiliki
analisis penekanan pada insentif bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam kegiatan
mencari sewa. Tullock (1980) menganalogikan model rent seeking sebagai sebuah permainan
lotere. Kelemahan utama dari teori Tullock (1980) adalah pengabaian politik yang tidak
memiliki verisimilitude. Tidak adanya politik merepresentasikan tidak adanya biaya kepada
para pembuat kebijakan sewa. Tollison (1997) menunjukkan bahwa politik seputar keputusan
kebijakan mempengaruhi pola lobi dan hasil rent seeking. Tullock (1980) memperkenalkan
model rente di mana sebuah agen ekonomi mencoba untuk memenangkan hadiah, misalnya
dengan menginvestasikan sumber daya ke dalam sebuah kegiatan rent seeking. Agen
ekonomi melakukannya untuk berinvestasi - semakin besar melakukan investasi, semakin
besar kemungkinan memenangkan hadiah.

Berkaitan dengan kegiatan operasional suatu perusahaan, biaya untuk sewa juga dapat
timbul karena berbagai kendala. Legislator harus membangun koalisi, memperoleh hak
parlemen, mempertahankan citra positif, dan kepentingan pelayanan konstituen. Para
pembuat kebijakan di instansi harus mengikuti aturan prosedural, tunduk kepada pengawasan
kongres, dan penganggaran. Pembuat kebijakan harus meningkatkan efektivitas lobi dan
harus menarik upaya lobi lebih besar di antara pembuat kebijakan. Singkatnya, pembuat
kebijakan memiliki kendala dalam mempengaruhi kebijakan yang mereka desain. Selain itu,
hal ini juga mempengaruhi proses melobi dalam konteks pengeluaran atau expenditures
(Dougan dan Snyder 1993). Persaingan politik di antara para pencari sewa juga
mempengaruhi hasil rent seeking. Kompetisi secara tradisional telah dimodelkan dengan
memvariasikan jumlah agen rent seeker (aktual atau potensial) atau pengeluaran lobi relatif
mereka (Posner 1975; Rogerson 1982; Sun dan Ng 1999).

Peningkatan persaingan politik dapat menurunkan pengeluaran rent seeking,


terkecuali bila nilai relatif cukup besar untuk biaya pembuat kebijakan. Dengan demikian,
rent seeking memiliki implikasi bahwa: (1) politik dapat terlibat dalam permainan pembuat
kebijakan, (2) politik menawarkan alternatif konsep persaingan antara perusahaan, (3) politik
memberikan verisimilitude yang lebih besar terhadap proses politik dan pendekatan yang
lebih masuk akal untuk pertanyaan tentang bagaimana perusahaan mengalokasikan sumber
daya untuk mencari sewa. Sebagai hasilnya, dapat terlihat bahwa konteks politik membantu
untuk menentukan strategi yang akan menggunakan perusahaan.

Terkait dengan perusahaan sebagai suatu organisasi non profit dalam level meso,
organisasi melalui tindakan kolektif melobi perubahan aturan formal yang lebih sesuai
dengan kepentingan organisasi (Nee, 2003). Asosiasi dan pelobi profesional dapat bertindak
sebagai agen mewakili kepentingan individu di level mikro. Dalam pasar yang kompetitif,
tekanan pada perusahaan-perusahaan yang lolos dari proses seleksi memerlukan sebuah
tindakan strategis, berbeda dengan tekanan legitimasi pada orientasi organisasi nonprofit,
yang tergantung pada pemerintah dalam hal sumber daya. Upaya organisasi mendapat
legitimasi sebagai penggerak yang mendorong konformitas dengan aturan kelembagaan dan
praktik melalui pemaksaan, normatif, dan mekanisme.

Legitimasi penting untuk perusahaan sebagai wujud dalam investasi perusahaan


dalam mempromosikan merek-nama pengakuan, reputasi untuk keandalan dan kualitas
layanan atau produk, dan kepatuhan hukum pada negara- yang didorong kepentingan
kelangsungan hidup perusahaan dan profitabilitas di pasar yang kompetitif. Bagi organisasi
nonprofit, legitimasi merupakan modal sosial (social capital) penting yang meningkatkan
peluang untuk mengoptimalkan akses ke sumber daya langka. Baik keduanya, legitimasi
dapat dilihat sebagai kondisi yang memungkinkan organisasi untuk meningkatkan peluang
kelangsungan hidup mereka dan keuntungan yang terjamin di pasar ekonomi dan politik.

Konsep modal sosial memberikan efek positif dalam batasan asosiasi, namun
sekarang ini muncul kelompok yang memiliki hasil yang tidak diinginkan, seperti asosiasi
rent seeking atau perilaku rente. Dalam konteks rent seeking, modal sosial memfasilitasi
koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama para anggota asosiasi. Modal sosial
bukan merupakan pengganti untuk kebijakan publik yang efektif, melainkan menjadi
prasyarat untuk kebijakan publik. Kebijakan yang bijaksana dapat mendorong pembentukan
modal sosial sehingga modal sosial itu sendiri dapat meningkatkan efektivitas tindakan
pemerintah (Putnam, 1993).

Senada dengan Putnam (1993), Coleman (1988) juga mengajukan gagasan mengenai
modal sosial. Coleman (1988) mendefinisikan modal sosial sebagai entitas-entitas yang
berbeda, yang memiliki dua elemen yang sama, terdiri dari beberapa aspek struktur sosial,
dan memfasilitasi tindakan aktor (aktor pribadi maupun perusahaan) dalam struktur
organisasi. Konsep ini memperluas konsep asosiasi vertikal maupun horizontal dan perilaku
antar entitas. Asosiasi vertikal dicirikan oleh hubungan hierarkis dan distribusi kekuasaan
yang tidak merata antara anggota. Pola-pola hubungan tersebutlah yang menghasilkan
keuntungan bagi satu kelompok (rent seeking) dan kendala bagi orang lain.
2.2.2. Daya Saing pada tataran meso (industri atau kelompok industri)

Analisis daya saing pada tingkat industri bermula dari konsep Ricardo tentang
keunggulan komparatif, Hecksher-Ohlin tentang teori perdagangan internasional
(international trade) dan kajian sejumlah pakar maupun lembaga tentang daya saing
industri.1 Porter (1990) menjelaskan:

.. the basic unit of analysis for understanding of national advantage is the industry.
Nations suceed not in isolated industries, however, but in clusters of industries connected
through vertical and horizontal relationships. A nations economy contains a mix of
clusters, whose makeup and sources of competitive advantage (or disadvantage) reflect
the state of the economys development.

Kajian daya saing pada tingkat industri berkembang dalam dua perspektif arus utama.
Pertama, yang memandang agregasi perusahaan dalam suatu sektor industri atau aktivitas
ekonomi tertentu (sebagaimana telah dikenal luas saat ini). Pandangan kedua, meletakkan
industri dengan tekanan sebagai sehimpunan perusahaan dan organisasi dalam konteks
rangkaian mata rantai nilai tambah. Dalam perspektif pertama, daya saing industri
merupakan daya saing rata-rata dari agregasi perusahaan dalam sektor industri tertentu.
Sebagian besar ukuran daya saing pada tingkat perusahaan (profitabilitas, biaya,
produktivitas) dapat dianalisis pada tingkat industri. Pandangan sektoral demikian juga
merupakan pendekatan klasik yang umumnya dipahami dalam menelaah sektor-sektor
ekonomi. Sementara itu dalam perspektif kedua, daya saing lebih dilihat dalam konteks rantai
nilai tambah yang umumnya terjadi lintas sektor.

1 Buckley, P. J. et al, Measures of International Competitiveness: A Critical Survey, Journal of Marketing


Management, 1988): daya saing industri mencakup efisiensi (mencapai sasaran dengan biaya serendah mungkin)
dan efektivitas (memiliki sasaran yang tepat). Pilihan tentang inilah yang sangat menentukan dari sasaran
industri. US Department of Energy: daya saing industri adalah kemampuan perusahaan atau industri dalam
menghadapi tantangan persaingan dari para pesaing asingnya.
OECD, 1996. Industrial Competitiveness: Benchmarking Business Environments in the Global Economy: daya
saing industri adalah kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara atau supranational regions untuk menciptakan
tingkat pendapatan dan pemanfaatan faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mempertahankan keberadaan dalam
persaingan internasional. Pendekatan ini membawa kepada pengukuran yang berfokus pada biaya upah dan
produktivitas tenaga kerja (terkadang hanya pada upah tenaga kerja), dan pandangan bahwa devaluasi
merupakan suatu cara untuk meningkatkan daya saing industri. Pendekatan biaya tenaga kerja relatif (relative
unit labour cost/RULC) dan devaluasi ini banyak mendapatkan kritik mengingat negara-negara tertentu seperti
Jepang dan Jerman Barat dalam kenyataannya mengalami peningkatan RULC maupun pangsa pasar dunia, dan
karena biaya tenaga kerja seringkali tidak lagi menjadi komponen penting biaya total/keseluruhan.

Anda mungkin juga menyukai