Anda di halaman 1dari 2

Nama : Fredrika Natashya

NPM : 2015210085

Menabuh Lesung Saat Gerhana, Haruskah Dilestarikan?


Gerhana matahari merupakan suatu kejadian alam yang langka, dimana ketika gerhana terjadi
siang hari akan berubah menjadi malam bagi jutaan orang, ketika itu posisi bulan tepat berada
antara Bumi dan Matahari, sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya Matahari.

Menurut Romo Rinto, fenomena alam itu sering dikait-kaitkan dengan sesuatu sesuai dengan ciri
orang Jawa. Menurut Romo Rinto, fenomena alam itu sering dikait-kaitkan dengan sesuatu
sesuai dengan ciri orang Jawa. Kisahnya bermula saat para dewa akan membagi air penghidupan
atau tirta amerta. Namun karena tirta amerta terbatas, maka pimpinan dewa membagi rata secara
antre.

"Karena cuma terbatas maka memberinya waton rata (asal rata). Oleh pimpinan dewa disiapkan
untuk ngantri para dewa. lalu meminumkannya menggunakan daun beringin, disendok terus
dimasukkan ke mulut dewa. khasiatnya, para dewa tidak akan mati," tutur Romo Rinto

Karena ingin meminum tirta amerta itu, buto pun mengubah wujud aslinya dengan menyamar
seperti para dewa agar tak ketahuan. Namun setelah antri dan mendapat giliran minum, dewa
matahari Bethoro Suryo memergokinya. Baru sampai segitu langsung dipanah lehernya oleh
Bethoro Suryo," tuturnya.

Buto pun berjanji akan membalas dendam dengan memakan matahari dan bulan. Saat hari
pembalasan tiba, buto memakan matahari atau bulan dengan amarahnya. Saat matahari atau
bulan ditelan buto itulah fenomena gerhana terjadi, lalu warga membunyikan kentongan dan
lesung yang merupakan badan buto agar melepaskan matahari atau bulan yang ditelannya.

"Pas gelap (karena gerhana) mereka memukul lesung dan teriak, 'hoooi buto itu ojo diuntal,
lepehen (raksasa, itu jangan ditelan, muntahkan)'. Karena leher buto cuma segitu, kan tubuhnya
jatuh di bumi, ya akhirnya lepas lagi matahari atau bulannya. Itu mitos gerhana matahari dan
bulan karena dulu masih bodo (bodoh) jadi tidak ada yang bantah," kata Romo Rinto.

Bila ada gerhana, orang beramai-ramai memukul lesung agar Kala Rahu melepaskan Batara
Surya (matahari) atau Batara Candra (bulan). Ada pun tirta amreta atau pawitra diserahkan
kepalda Batara Wisnu agar dijaga dengan baik, kata penulis Ensiklopedi Wayang Purwa

Tradisi menabuh kesung merupakan proses yang sudah berlangsung ratusan tahun, karena cara
itulah yang dapat mengembalikan matahari, bagi masyarakat Jawa. Namun, belakangan tradisi
ini sudah jauh meluntur, dan kalau pun masih ada yang melakukan, kini sudah berubah
esensinya, yakni untuk kepentingan pariwisata.

Di desa-desa sendiri, kini keberadaan lesung juga sudah mulai langka, karena fungsi untuk
menumbuk padi makin terganti oleh adanya heler (penggilingan padi). Berbarengan dengan itu
pula, maka tradisi gejog (menabuh) lesung makin menghilang, dan kehilangan pula
orisinilitasnya.

Terlepas dari mitos dan budaya orang Jawa, faktanya gerhana matahari terjadi ketika
posisi bulan terletak di antara Bumi dan Matahari, sehingga menutup sebagian atau seluruh
cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangan Bulan mampu melindungi cahaya
Matahari sepenuhnya karena Bulan yang berjarak rata-rata jarak 384.400 kilometer dari Bumi
lebih dekat dibandingkan Matahari yang mempunyai jarak rata-rata 149.680.000 kilometer.

Memang tidak ada yang dirugikan saat seseorang mempercayai mitos, namun apakah menabuh
lesung masih harus kita lestarikan ataukah dibiarkan menghilang agar tidak ada yang tersesat
karena mitos?

Anda mungkin juga menyukai