Anda di halaman 1dari 109

KARAKTERISTIK EKOLOGI HUTAN TROPIS

PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL


LORE LINDU SULAWESI TENGAH

HARDIANTO MANGOPO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik Ekologi


Hutan Tropis Pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013

Hardianto Mangopo
NIM G353090321
RINGKASAN

HARDIANTO MANGOPO. Karakteristik Ekologi Hutan Tropis


Pegunungan di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh
IBNUL QAYIM dan SULISTIJORINI

Ekosistem hutan tropis pegunungan menutupi sekitar 21 persen hutan tropis


dunia. Ekosistem ini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dan memiliki
fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air habitat berbagai
tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah. Penelitian ini bertujuan untuk
1) menginventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan, 2) serta mempelajari
komposisi komunitas vegetasi dan struktur hutan pegunungan di Taman Nasional
Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Penelitian ini dilakukan pada tiga tipe hutan pegunungan, yaitu hutan
subpegunungan (900 m dpl) di Watukilo, hutan pegunungan bawah ( 1 500 m dpl)
di Torongkilo, dan hutan pegunungan atas (2 300 m dpl) di Torenali sekitar 1.5
km dari puncak gunung Rorekatimbu. Inventarisasi dan identifikasi jenis
tumbuhan dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012, dengan
ukuran plot pengamatan seluas 40 m x 60 m (0.24 ha) pada setiap tipe hutan yang
dibagi menjadi 24 subplot berukuran 10 m x 10 m untuk pengukuran pohon
(termasuk palm dan paku pohon) dengan diameter setinggi dada (dbh) 10 cm
(pada tinggi 1.3 m). Setiap subplot 10 m x 10 m terdapat subplot berukuran 5 m x
5 m untuk pengukuran pancang (2 cm dbh < 10 cm), dan pengamatan semai
(tinggi 1.5 m) dan tumbuhan bawah dilakukan pada subplot berukuran 2 m x 2 m
yang terdapat dalam setiap subplot 5 m x 5 m.
Total jenis yang dijumpai pada seluruh plot sebanyak 310 jenis, tergolong
dalam 129 marga dan 106 famili. Plot di hutan pegunungan bawah memiliki
jumlah jenis terbanyak (61 jenis pohon, 51 jenis pancang, 57 jenis semai, dan 56
jenis tumbuhan bawah), diikuti hutan subpegunungan dan pegunungan atas. Hasil
analisis indeks keanekaragaman Shannon menunjukkan bahwa seluruh tipe hutan
yang diteliti memiliki keanekaragaman jenis sedang sampai tinggi (2 < H' < 4),
serta memiliki indeks kesamaan Srensen yang rendah (<10%). Seluruh jenis
yang dijumpai, hanya Lithocarpus celebicus (Fagaceae) yang terdapat pada tiga
tipe hutan.
Hutan subpegunungan didominasi jenis Castanopsis buruana (Fagaceae),
Gironniera subaequalis (Cannabaceae), dan Santiria apiculata (Burseraceae),
pancang didominasi C. buruana, S. apiculata, dan Praravinia mindanaensis
(Rubiaceae), semai didominasi Antidesma riparium subsp. riparum
(Phyllanthaceae), Cryptocarya densiflora (Lauraceae), dan S. apiculata, dan
tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.1 (Arecaceae), Ziziphus
angustifolia (Rhamnaceae), dan Dioscorea kingii (Dioscoreaceae). Jenis Platea
excelsa var. borneensis (Icacinaceae), Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae), dan
Magnolia carsonii var. carsonii (Magnoliaceae) merupakan jenis dominan di
hutan pegunungan bawah, pancang didominasi Lophopetalum beccarianum
(Celastraceae), Ardisia forbesii (Primulaceae), dan Cyathea contaminans
(Cyatheaceae), semai didominasi Calophyllum soualattri (Calophyllaceae),
P. excelsa var. borneensis, dan A. forbesii, dan tumbuhan bawah didominasi jenis
Calamus spp. (Arecaceae), sedangkan hutan pegunungan atas didominasi jenis
Phyllocladus hypophylla (Podocarpaceae) diikuti Dacrycarpus steupii
(Podocarpaceae) dan Lthocarpus havilandii (Fagaceae), pancang didominasi
Trimenia papuana (Trimeniaceae), Tasmannia piperita (Winteraceae), dan
Myrsine minutifolia (Primulaceae), semai didominasi M. minutifolia, Q. apoensis
(Paracryphiaceae), dan T. piperita, dan tumbuhan bawah didominasi Sonerilla
pumila (Melastomataceae), Blechnum sp. (Blechnaceae), dan Davalliaceae
non det.
Seluruh tipe hutan yang diteliti juga disusun oleh famili dominan yang
berbeda. Pohon dan pancang didominasi Fagaceae, sedangkan semai dan
tumbuhan bawah masing-masing didominasi Lauraceae dan Arecaceae. Pohon,
pancang, semai, dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah masing-masing
didominasi Icacinaceae, Lauraceae, Calophyllaceae, dan Arecaceae, sedangkan
hutan pegunungan atas masing-masing didominasi Podocarpaceae, Trimeniaceae,
Primulaceae, dan Melastomataceae. Lauraceae merupakan famili dengan jumlah
jenis tertinggi (18 jenis), diikuti Myrtaceae (16 jenis), dan Fagaceae (11 jenis).
Kerapatan pohon mengalami peningkatan dengan bertambahnya ketinggian
tempat. Hutan pegunungan atas memiliki kerapatan pohon dan pancang tertinggi,
diikuti hutan pegunungan bawah, dan hutan subpegunungan, namun berbeda
halnya dengan semai dan tumbuhan bawah. Selain itu, hutan pegunungan atas
memiliki rata-rata tinggi pohon yang lebih rendah dibandingkan dengan dua tipe
hutan lainnya (15 m), sedangkan antara hutan subpegunungan dan pegunungan
bawah memiliki rata-rata tinggi pohon yang hampir sama (20 m).
Individu pohon dengan kelas diameter lebih kecil memiliki kerapatan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan diameter yang lebih besar, khususnya di hutan
subpegunungan dan pegunungan atas. Selain hal tersebut, tidak dijumpai individu
pohon dengan diameter lebih dari 70 cm di hutan pegunungan atas dibandingkan
dengan dua tipe hutan lainnya. Secara keseluruhan, basal area tertinggi dijumpai
di hutan subpegunungan (46.76 m2/ha), diikuti hutan pegunungan bawah (44.42
m2/ha), dan hutan pegunungan atas (38.28 m2/ha).
Kata kunci: Hutan pegunungan, keanekaragaman jenis, komposisi komunitas,
struktur hutan, Sulawesi
SUMMARY

HARDIANTO MANGOPO. Ecological Characteristics of Tropical


Montane Forest in Lore Lindu National Park Central Sulawesi. Supervised by
IBNUL QAYIM and SULISTIJORINI
Tropical montane forest ecosystem making up 21 percent of the total area of
the worlds tropical forest. This ecosystem has high level of species diversity,
constributes positively to the water catchment, and provides an essential habitat
for many endemic and threatened plant and animal species. The objectives of this
research were 1) to determine plant species diversity, 2) to study composition of
vegetation community and tropical montane forest structures.
This study was conducted at three primary forest sites were located in Lore
Lindu National Park, Central Sulawesi. The first site was located in Watukilo at
900 m asl, the second site was in Torongkilo at 1 500 m asl, and the third site was
in Torenali at 2 300 m asl around 1.5 km to peak of Mount Rorekatimbu. All sites
are submontane forest, lower montane forest, and upper montane forest
respectively. Plot-based plant inventory and identification were carried out in the
period of July 2011 to July 2012. Plot size was 40 m x 60 m (0.24 ha) devided up
into a 10 m x 10 m grid. All trees of diameter at breast height (dbh) 10 cm (at 1.3
m). Within each of the 10 m x 10 m, one 5 m x 5 m-sized subplot was surveyed
(0.06 ha per plot) to study saplings (2 cm dbh < 10 cm), and one 2 m x 2 m-
sized subplot (0.024 ha) to additionaly study understorey vegetation in each of the
5 m x 5 m subplot.
We recorded a total 310 plant species belonging to 129 genera and 106
families in all forest types. Lower montane forest has the highest species richness
(61 tree species, 51 sapling species, 57 seedling species, and 56 understorey plant
species), followed by submontane forest and upper montane forest. Shannon
diversity index showed that all forest types in this study has moderate to high in
species diversity (2 < H' < 4), and has low similarity in species composition with
the similarity <10% (Srensen index). Among the species recorded, only one
species that found in all three forest types, i.e. Lithocarpus celebicus (Fagaceae).
In submontane forest, the most dominant tree species were Castanopsis
buruana (Fagaceae), Gironniera subaequalis (Cannabaceae) and Santiria
apiculata (Burseraceae), while the most dominant saplings were C. buruana, S.
apiculata and Praravinia mindanaensis (Rubiaceae). For seedlings and
understorey, the most dominant species were Antidesma riparium subsp. riparum
(Phyllanthaceae) and Calamus sp.1 (Arecaceae), respectively. In lower montane
forest, the most dominant tree species were Platea excelsa var. borneensis
(Icacinaceae), Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae) and Magnolia carsonii var.
carsonii (Magnoliaceae), while the most dominant saplings were Lophopetalum
beccarianum (Celastraceae), Ardisia forbesii (Primulaceae) and Cyathea
contaminans (Cyatheaceae). For seedlings and understorey, the most dominant
species were Calophyllum soualattri (Calophyllaceae) and Calamus sp.5,
respectively. In upper montane forest, the most dominant tree species were
Phyllocladus hypophylla (Podocarpaceae), Dacrycarpus steupii (Podocarpaceae)
and Lithocarpus havilandii (Fagaceae), while the most dominant saplings were
Trimenia papuana (Trimeniaceae), Tasmannia piperita (Winteraceae) and
Myrsine minutifolia (Primulaceae). For seedlings and understorey, the most
dominant species were Myrsine minutifolia (Primulaceae) and Sonerilla pumila
(Melastomataceae), respectively.
There was major differences of community composition at the family level
among all three forest types. Trees and saplings in submontane was dominated by
Fagaceae. Seedlings and understorey plants were dominated by Lauraceae and
Arecaceae. Trees, sapling, seedlings, and understorey plants in lower montane
forest were dominated by Icacinaceae, Lauraceae, Calophyllaceae and Arecaceae
respectively, while upper montane forest Podocarpaceae was the most dominant
family, whereas saplings, seedlings, and understorey dominated by Trimeniaceae,
Primulaceae and Melastomataceae respectively. Lauraceae has highest number of
species (18 species), followed by Myrtaceae (16 species), and Fagaceae (11
species).
Tree density increased with increasing elevation. Upper montane forest had
highest tree density, followed by lower montane and submontane forest. The
difference was found in the average tree height, escpecially in upper montane
that had lowest tree height (15 m), however submontane and lower montane forest
had similar average tree height (20 m).
Trees with smaller stem diameter had higher density than trees with larger
stem diameter, especially in submontane and upper montane forest. Moreover,
there were no trees more than 70 cm stem diameter in upper montane forest than
two others forest types. The highest basal area of stem found in submontane
(46.76 m2/ha), followed by lower montane forest (44.42 m2/ha), and upper
montane forest (38.28 m2/ha).
Keywords: Community composition, forest structure, montane forest, species
diversity, Sulawesi
Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK EKOLOGI HUTAN TROPIS
PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LUNDU SULAWESI TENGAH

HARDIANTO MANGOPO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, MSc
Judul Tesis : Karakteristik Ekologi Hutan Tropis Pegunungan di Taman
Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah
Nama : Hardianto Mangopo
NIM : G353090321

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Ibnul Qayim Dr Ir Sulistijorini, MSi


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Biologi Tumbuhan

Dr Ir Miftahudin, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 17 Januari 2013 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah ekologi tumbuhan, dengan judul Karakteristik Ekologi
Hutan Tropis Pegunungan di Sulawesi Tengah. Penelitian ini dibiayai oleh
German Research Foundation (DFG) melalui proyek Environment and Land Use
Change (ELUC) yang merupakan kerjasama penelitian antara Universitas
Gttingen Jerman dan Universitas Tadulako Palu.
Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan pada
bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012 di Taman Nasional Lore Lindu,
Sulawesi Tengah. Dengan diselesaikannya karya ilmiah ini, penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing atas
konstribusinya terhadap karya ilmiah ini.
Penelitian ini terlaksana berkat kerjasama penelitian antara Universitas
Tadulako dan Universitas Gttingen yang dibiayai oleh German Research
Foundation (DFG) mulai dari penelitian pengumpulan data di lapangan dan
identifikasi spesimen tumbuhan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih atas bantuan dan dukungan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan
informasi tentang eksosistem hutan pegunungan, khususnya di Sulawesi Tengah,
dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, serta perkembangan ilmu pengetahun.

Bogor, Januari 2013

Hardianto Mangopo
UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan berkat dukungan


dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Dr Ir Ibnul Qayim, selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir Sulistijorini,
MSi selaku anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan mengarahkan penulis, sejak penelitian sampai dengan
penulisan tesis ini.
2. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB beserta staf atas pelayanan akademik yang
telah diberikan sejak masuk hingga akhir studi.
3. Dr Ir Miftahudin, MSi, selaku Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan atas
bantuan dan arahannya.
4. Kepala dan staff Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah
di Palu, atas bantuan dan fasilitasnya selama penelitian.
5. Dr Aiyen Tjoa dari Universitas Tadulako Palu, Dr Sri Sudarmiyati
Tjitrosoedirdjo, MSc dari Institut Pertanian Bogor, dan Prof Dr Christoph
Leuschner, serta Dr Heike Culmsee dari Universitas Gttingen, atas
bantuannya selama penelitian.
6. Dr Max van Balgooy dan Dr F. Adema, atas bantuan identifikasi spesimen
tumbuhan.
7. Fabian Brambach, Mathias Faber, Rikson P. Tiranda, Firdaus, dan Sahar
Sabir, serta asisten lokal atas kerjasamanya yang baik selama pelaksanaan
penelitian.
8. Rekan-rekan Angkatan 2009 di Program Studi Biologi Tumbuhan atas
kebersamaan dan kerjasamanya sejak awal perkuliahan sampai akhir studi.
9. Ibundaku tercinta (Hamidja) dan kakakku tersayang (Fatmawati Mangopo
dan Hadyanti Mangopo), serta seluruh keluarga yang turut memberi bantuan
dan motivasi.
10. Teman-teman di Pondok Tana Doang dan Asrama Mahasiswa Sulawesi
Tengah atas semua bantuannya, serta seluruh pihak yang turut membantu baik
secara langsung maupun tidak langsung.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Taman Nasional Lore Lindu 3
Hutan Tropis Pegunungan 4
Struktur dan Komposisi Hutan 7
Keanekaragaman Jenis 8
3 KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN HUTAN TROPIS
PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU
9
SULAWESI TENGAH
Abstrak 9
Abstract 9
Pendahuluan 9
Bahan dan Metode 10
Hasil 15
Pembahasan 27
Simpulan 29
4 KOMPOSISI DAN STRUKTUR HUTAN TROPIS PEGUNUNGAN
DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH 31
Abstrak 31
Abstract 31
Pendahuluan 32
Bahan dan Metode 32
Hasil 35
Pembahasan 48
Simpulan 52
5 PEMBAHASAN UMUM 55
6 SIMPULAN DAN SARAN 59
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 67
RIWAYAT HIDUP 93
DAFTAR TABEL

Halaman
2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis
pegunungan di Indonesia 6
3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di
TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah 11
3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang
dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan 15
3.3 Daftar jenis pohon, pancang, dan semai serta distribusinya pada
tiga plot penelitian 17
3.4 Daftar jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta serta
distribusinya pada tiga plot penelitian 21
3.5 Jumlah jenis masing-masing suku pohon, pancang, dan semai pada
tiga tipe hutan pegunungan 25
3.6 Jumlah jenis masing-masing suku tumbuhan bawah pada tiga tipe
hutan pegunungan 26
4.1 Kelas penutupan yang dimodifikasi dari Daubenmire (1959) dan
Wildi (2010) 34
4.2 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan jenis (indeks Srensen)
antara tiga tipe hutan pegunungan 35
4.3 Sepuluh jenis pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 37
4.4 Sepuluh jenis pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 38
4.5 Sepuluh jenis semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 39
4.6 Sepuluh jenis tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan
pegunungan 40
4.7 Struktur hutan pada plot seluas 0.24 ha ( se) pada tiga tipe hutan
pegunungan 43
5.1 Rangkuman hasil yang diperoleh selama penelitian pada plot
seluas 0.24 ha 55
DAFTAR GAMBAR

Halaman
2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah 4
2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa
pegunungan tropis di dunia 5
3.1 Sulawesi dan lokasi penelitian di TN. Lore Lindu, Sulawesi
Tengah 11
3.2 Kondisi hutan pada tiga plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A)
hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan pegunungan atas
(1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas 12
3.3 Bentuk dan ukuran plot penelitian 13
3.4 Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot
penelitian. hutan subpegunungan hutan subpegunungan
hutan subpegunungan 15
3.5 Jumlah jenis pohon, pancang, dan semai di hutan subpegunungan
(HSP), hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan
atas (HPA) 16
3.6 Jumlah jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta 17
3.7 Indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan jenis pohon
(A), pancang (B), semai (C), dan tumbuhan bawah (D) 24
4.1 Persentase jumlah jenis tumbuhan bawah setiap tipe hutan
pegunungan 41
4.2 Suku pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42
4.3 Suku pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42
4.4 Suku semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42
4.5 Suku tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 43
4.6 Kerapatan dan basal area pohon dan pancang ( sd) berdasarkan
kelas diameter antara tiga tipe hutan pegunungan 44
4.7 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan subpegunungan (a) C. buruana,
(b) G. subaequalis, (c) S. apiculata, dan (d) I. petiolaris 45
4.8 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan pegunungan bawah (a) P. excelsa var.
borneensis, (b) Elaeocarpus sp.1, (c) M. carsonii var. carsonii,
dan (d) P.firma 45
4.9 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan pegunungan atas (a) P. hypohylla,
(b) D. steupii, (c) L. havilandii, dan (d) Q. apoensis 46
4.10 Persentase penutupan semai (a), semak (b), herba (c), liana (d),
dan pteridophyta (e) ( sd) antara tiga tipe hutan pegunungan 46
4.11 Persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi ( sd) antara
tiga tipe hutan pegunungan 47
4.12 Pola kekayaan jenis berdasarkan ketinggian tempat 58
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan subpegunungan 69
2 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan subpegunungan 70
3 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan subpegunungan 71
4 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan 72
5 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan
bawah 73
6 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan
bawah 75
7 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan
bawah 77
8 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
pegunungan bawah 79
9 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan atas 81
10 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan
atas 82
11 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan atas 83
12 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
pegunungan atas 84
13 Nilai penting suku (NPS) pohon di hutan subpegunungan (HSP),
hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas (HPA) 85
14 Nilai penting suku (NPS) pancang di hutan subpegunungan
(HSP) 86
15 Nilai penting suku (NPS) semai di hutan subpegunungan (HSP) 87
16 Nilai penting suku (NPS) tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan (HSP) 88
17 Diagram profil hutan subpegunungan di Watukilo (900 m dpl)
pada areal seluas 40 m x 10 m 89
18 Diagram profil hutan pegunungan bawah di Torongkilo
(1 500 m dpl) pada areal seluas 40 m x 10 m 90
19 Diagram profil hutan pegunungan atas di Torenali (2 300 m dpl)
pada areal seluas 40 m x 10 m 91
20 Topografi plot masing-masing tipe hutan pegunungan 92
1

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekosistem hutan tropis pegunungan (tropical montane forest) menutupi


sekitar 21 persen hutan tropis di dunia (Scatena et al. 2010), yang berfungsi
sebagai daerah tangkapan air (Gltenboth et al. 2006; Glatzel 2009), dan habitat
berbagai spesies tumbuhan dan hewan endemik, serta terancam punah (Hostettler
2002). Berdasarkan ketinggian di atas permukaan laut, hutan tropis pegunungan di
dunia secara umum dikelompokkan dalam zona hutan subpegunungan,
pegunungan bawah, pegunungan atas, hutan subalpin (Ashton 2003; Kapelle
2004). Setiap zona memiliki stratifikasi, life-form, struktur, biomassa dan
fisiognomi, termasuk didalamnya arsitektur, pola pertumbuhan, dan karakteristik
daun, juga komposisi jenis yang berbeda (Ashton 2003).
Ekosistem hutan pegunungan di seluruh dunia biasanya memiliki perbedaan
komunitas biologi dan tingkat endemisitas akibat pengaruh topografi dan sejarah
geologi (Gerold 2008). Oleh karena itu, adanya perbedaan tipe hutan merupakan
indikasi adanya perbedaan iklim dan faktor edafik. Altitude, lereng, latitude, curah
hujan dan kelembaban juga memiliki peranan penting dalam formasi komunitas
tumbuhan dan komposisinya (Tarner et al. 1998; Aiba & Kitayama 1999;
Kharkwal et al. 2005; Krner 2007).
Sulawesi merupakan bagian dari wilayah biogeografi Wallacea, dan
termasuk salah satu dari 25 biodiversity hotspots di dunia (Myers et al. 2000;
Brooks et al. 2002; Olson & Dinerstein 2002). Kawasan ini memiliki
keanekaragaman dan endemisitas tumbuhan pada tingkat menengah (Roos et al.
2004) dan sebagai bagian dari wilayah ekologi Asia Tenggara yang belum banyak
diketahui karena jika dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di
Indonesia, jumlah koleksi dari Sulawesi hanya sekitar 25 koleksi per 100 km2
(Cannon et al. 2007).
Tingginya keanekaragaman dan endemitas disebabkan oleh sejarah geologi
yang kompleks (Hall 2009), dan terisolasinya pulau-pulau di kawasan Wallacea
dari paparan Sunda selama periode kuarter (Primarck & Corlett 2006) sehingga
membentuk karakteristik tumbuhan dan hewan dengan komposisi yang unik
(Sodhi et al. 2004; Welzen & Silk 2009). Diperkirakan dari 5 000 jenis tumbuhan
berbunga yang telah dikumpulkan (terdiri lebih dari 2 100 jenis tumbuhan
berkayu), hampir 15 persen diantaranya endemik (Kessler et al. 2002).
Sebagian besar daratan di Sulawesi berada pada ketinggian 500 m dpl dan
sekitar 20 persen terletak di atas 1 000 m dpl (Cannon et al. 2007), beberapa
pegunungan dengan ketinggian lebih dari 3 000 m dpl terletak di Selatan dan
Sulawesi Tengah (Vane-Wright & de Jong 2003). Menurut Cannon et al. (2005)
bahwa secara umum zona hutan pegunungan di Sulawesi terdiri atas hutan
pegunungan bawah (1 500-2 400 m dpl), hutan pegunungan atas (2 400-3 000 m
dpl), dan zona hutan subalpin (>3 000 m dpl). Di Sulawesi Tengah, sebagian
besar hutan pegunungan terletak antara 1 000 - 2 400 m dpl (Culmsee et al. 2011).
Penelitian terkait komunitas vegetasi berdasarkan zona vegetasi pada
ekosistem hutan pegunungan Sulawesi Tengah, khususnya Taman Nasional (TN.)
Lore Lindu belum banyak dilakukan terkait struktur dan komposisinya. Beberapa
penelitian yang pernah dilakukan, antara lain komposisi dan keanekaragaman
2

jenis pohon (Kessler et al. 2005; Gradstein et al. 2007; Culmsee & Pitopang 2009,
Culmsee et al. 2010, 2011), tumbuhan bawah, termasuk paku-pakuan (Schulze et
al. 2004; Ramadhanil et al. 2008; Cicuzza et al. 2010; Kessler et al. 2011;
Willinghfer 2011), dan struktur hutan (Dietz et al. 2007), sebagian besar
dilakukan pada zona hutan subpegunungan dan pegunungan bawah. Selain itu,
penelitian sebagian besar penelitian hanya difokuskan pada jenis-jenis pohon (dbh
10 cm). Oleh karena itu, penelitian secara lebih komprehensif masih sangat
diperlukan untuk mengungkap karakteristik ekologi pada setiap zona hutan
pegunungan di Sulawesi Tengah, sebagai upaya perlindungan dan pelestarian
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:


1. Bagaimana keanekaragaman jenis vegetasi di hutan pegunungan TN. Lore
Lindu, Sulawesi Tengah?
2. Bagaimana komposisi komunitas vegetasi di hutan pegunungan di TN. Lore
Lindu, Sulawesi Tengah?
3. Bagaimana struktur hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Menginventarisasi keanekaragaman jenis vegetasi hutan pegunungan.
2. Mempelajari komposisi komunitas vegetasi penyusun hutan pegunungan.
3. Mempelajari struktur tegakan hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi
Tengah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data tambahan tentang


ekosistem hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah sebagai salah
satu kawasan konservasi terbesar di Sulawesi, serta informasi kepada pihak-pihak
terkait dalam upaya pengelolaan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan
ekosistemnya.
3

2. TINJAUAN PUSTAKA

Taman Nasional Lore Lindu

Letak dan Luas


Taman Nasional Lore Lindu secara resmi dikukuhkan oleh sebagai taman
nasional pada tanggal 23 Juni 1999 berdasarkan SK. Menhutbun No. 464/Kpts-
II/1999 dengan luas kawasan 217.991,18 ha, sedangkan untuk pengelolaannya,
sejak tanggal 1 Februari 2007 diserahkan kepada Balai Besar TN. Lore Lindu
berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007
(TNC/BTNLL 2002). Taman Nasional Lore Lindu juga ditunjuk oleh UNESCO
sebagai salah satu dari tujuh cagar biosfer di Indonesia pada tahun 1977 dan
selanjutnya ditetapkan pada tahun 1993 (http://www.mab-
indonesia.org/cagar.php).
Secara geografis, Taman Nasional Lore Lindu terletak antara 119o58'
120o16' Bujur Timur dan 01o8 01o3' Lintang Selatan, dan secara secara
administratif terletak di wilayah Kabupaten Poso dan Sigi. Bagian utara, taman
nasional ini berbatasan dengan dataran lembah Palu dan Palolo, sebelah selatan
berbatasan dengan dataran lembah Bada, sebelah timur berbatasan dengan dataran
lembah Napu dan sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lariang dan dataran
lembah Kulawi (TNC/BTNLL 2002).

Karakteristik Ekologi
Taman Nasional Lore Lindu memiliki topografi yang bervariasi mulai dari
datar, landai agak curam, curam hingga sangat curam, dengan kawasan hutan
pegunungan yang tersebar antara ketinggian 500 sampai dengan 2 600 m dpl
(Erasmi et al. 2004). Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson,
bagian utara kawasan TN. Lore Lindu memiliki tipe iklim C/D dengan curah
hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm per tahun; bagian timur
bertipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm per tahun; dan
bagian barat bertipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 1200 mm per tahun
(TNC/BTNLL 2002). Secara umum, rata-rata suhu udara di kawasan ini berkisar
antara 25-26oC, dengan rata-rata curah hujan di atas 2500 mm per tahun dan dan
memiliki kelembapan yang tinggi (85-95%) (Whitten et al. 1987).
Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan asam
seperti gneisses, shists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap erosi.
Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan dengan
bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metaforik dan granit. Sedangkan di
bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial.
Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfik dan granit. Jenis tanah
di kawasan TN. Lore Lindu juga bervariasi, dari entisol, inseptisol, alfisol dan
sebagian kecil ultisol (TNC/BTNLL 2002).
Cannon et al. (2005) melaporkan bahwa tipe hutan di TN. Lore Lindu
tersebar dari hutan daratan rendah sampai hutan pegunungan atas. Sebagian besar
kawasan hutan dalam kondisi baik (Cannon et al. 2007) (Gambar 2.1), dengan
kekayaan jenis pohon dapat yang hampir sama jika dibandingkan dengan
Kalimantan dan kawasan hutan lain di Sulawesi (Culmsee & Pitopang 2009).
4

Gambar 2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah


(dimodifikasi dari Cannon et al. 2007).

Hutan Tropis Pegunungan

Pola geografis zonasi vegetasi, komposisi floristik, dan struktur hutan hujan
tropis pegunungan ditemukan pada sepanjang gradien garis lintang (latitude) di
Asia selatan dan timur (Ohsawa 1991). Hutan tropis pegunungan terletak pada
ketinggian yang berkisar antara 500 dan 4 000 m dpl pada tiga wilayah tropis
(Afrika, Amerika dan Asia) (Gambar 2.2), namun ada beberapa wilayah di dunia,
khususnya pulau-pulau vulkanik kemungkinan berada pada ketinggian 300 m dpl
(Kapelle 2004).
Secara umum, hutan hujan tropis pegunungan di daerah khatulistiwa
(equator) terdapat pada ketinggian di atas 1 000 m dpl yang dibagi ke dalam
empat tipe, yaitu hutan subpegunungan (submontane forest) hutan pegunungan
bawah (lower montane forests), hutan pegunungan atas (upper montane forests),
dan hutan subalpine (subalpine forests) (Ohsawa 1991; Kapelle 2004; Gltenboth
et al. 2006; Moore & Garant 2008). Komposisi dan struktur hutan pegunungan
memiliki perbedaan dengan hutan dataran rendah akibat adanya faktor pembatas,
antara lain curah hujan, berkurannya fotosintesis akibat kurangnya radiasi
matahari, rendahnya evapotranspirasi, paparan angin kencang, dan terbatasnya
unsur hara (Kapelle 2004).
5

Gambar 2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa


pegunungan tropis di dunia (dimodifikasi dari Kapelle 2004).

Iklim
Menurut Krner (2007), terdapat empat perubahan atmosfer utama yang
berhubungan dengan ketinggian, yaitu: 1) penurunan tekanan atmosfer total dan
tekanan parsial dari semua gas atmosfer (O2 dan CO2), 2) penurunan suhu
atmosfer, yang berimplikasi pada kelembaban, 3) meningkatkan radiasi di bawah
langit tak berawan, baik radiasi matahari sebagai radiasi termal yang masuk dan
keluar pada malam hari, dan 4) fraksi radiasi ultraviolet lebih tinggi yang
diberikan setiap radiasi matahari total. Sehubungan dengan meningkatnya
ketinggian, iklim diurnal khas daerah tropis terjadi penurunan tekanan udara dan
suhu, pengurangan evapotranspirasi, dan meningkatnya awan, kabut dan intensitas
radiasi ultraviolet. Perubahan ini berkorelasi dengan, antara lain berkurangnya
ketinggian pohon dan pohon-pohon emergen, ukuran daun, dan peningkatan
scleromorfi dan epifit (Gerold 2008).
Hutan tropis pegunungan memiliki curah hujan yang tinggi (Ashton 2003),
dengan curah hujan rata-rata tahun lebih dari 2 000 mm per tahun (Aiba &
Kitayama 1999; Kessler et al. 2005; Gomez-Peralta et al. 2008; Richter 2008).
Pada ketinggian di atas 2 000 m dpl suhu udara dapat mencapai kurang dari 10 C
pada malam hari, dengan suhu harian rata-rata 15-20C (Gltenboth et al. 2006).
Laju perubahan suhu terhadap ketinggian secara umum diketahui sekitar 0.6 C
per 100 m, tetapi hal ini tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan awan,
waktu, dan jumlah uap air di udara (Whitten et al. 1987).
6

Tanah
Tanah pegunungan mengalami perubahan dengan bertambahnya ketinggian,
dimana tanah menjadi lebih asam dan miskin hara. Hal ini lebih disebabkan oleh
lambatnya dekomposisi bahan organik. Perbedaan komposisi batuan batuan dan
iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan,
termasuk juga kelerengan dan penutupan vegetasi (Whitten et al. 1987).
Menurut Gltenboth et al. (2006), perbedaan komposisi batuan induk dan
iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan,
juga kelerengan dan penutupan vegetasi. Karakteristik tanah di hutan tropis
pegunungan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya ketinggian,
yaitu: 1) keasaman tanah semakin tinggi, 2) berkurangnya unsur hara, 3)
berkurangnya kelimpahan organisme tanah, 4) struktur dan tekstur tanah kurang
baik, 5) akumulasi gambut lebih sering pada daerah yang lebih lembab, 6) proses
dekomposisi dan pelapukan rendah, 7) erosi dan pencucian hara sering terjadi,
terutama pada daerah-daerah dengan kelerengan yang terjal atau dengan
penutupan vegetasi yang kurang, 8) tanah miskin hara akibat sering terjadi
pencucian, dan 9) defisiensi kalsium banyak ditemukan pada tanah pegunungan.

Vegetasi
Hutan pada ketinggian di bawah 1 000 m dpl memiliki karakteristik vegetasi
yang hampir sama dengan hutan dataran rendah. Dengan bertambahnya
ketinggian, pohon-pohon menjadi lebih pendek, dan berdiameter kecil, serta epifit
seperti anggrek menjadi lebih melimpah (Whitten et al. 1987).
Vegetasi hutan tropis pegunungan dibagi dalam beberapa zonasi
berdasarkan ketinggian tempat. Ashton (2003) dan Gltenboth et al. (2006)
mengelompokkan zonasi vegetasi hutan tropis pegunungan (Tabel 2.1), sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis pegunungan di
Indonesia (dimodifikasi dari Ashton 2003; Gltenboth et al. 2006)
Zonasi vegetasi Karakteristik vegetasi
Kurang dari 1 200 m dpl Memiliki karakter vegetasi yang hampir sama
dengan di hutan hujan dataran rendah.
Hutan pegunungan bawah Pohon cenderung lebih pendek (15-33 m);
(level terendah) diameter pohon kurang besar; banyak epifit;
1 200-1 800 m dpl sekitar 280-586 jenis pohon diameter 10 cm
per ha.
Hutan pegunungan bawah Memiliki kelimpahan lumut yang tinggi;
(level tertinggi) kanopi pohon lebih seragam.
Hutan pegunungan atas Pohon lebih pendek (1.5-18 m); daun kecil
1 800-3 000 m dpl dan tebal; sekitar 1 500 pohon kecil per ha;
terdapat banyak lichen, lumut, bakteri, dan
fungi pada daun.
Hutan subalpine Pohon-pohon lebih pendek dibandingan
sekitar 2 000- >3 000 m dpl dengan hutan pegunungan atas (1.5-9 m),
didominasi oleh semak, herba dan rumput,
memiliki kelimpahan epifit yang tinggi.
7

Menurut Gerold (2008), berkurangnya tinggi pohon berdasarkan ketinggian


disebabkan oleh: 1) kurangnya udara di pegunungan, mengurangi serapan hara
dan air; 2) menurunnya irradiasi dan suhu, serta meningkatnya tutupan awan dan
kelembaban, berdampak pada transpirasi dan aktivitas fotosintesis; 3)
meningkatnya radiasi UV-B menyebabkan kerusakan fotosintesis; 4) tanah
kekurangan oksigen karena tingginya kandungan air; 5) tingginya serapan
aluminium (Al) dan konsentrasi senyawa fenolik dalam bahan organik tanah.

Struktur dan Komposisi Hutan

Hutan dapat dideskripsi berdasarkan komposisi, fungsi, dan strukturnya


(Franklin et al. 1981). Komposisi hutan merupakan kumpulan organisme (hidup
dan tidak hidup) yang terdapat di dalam hutan yang sering digambarkan menurut
kehadiran atau dominansi jenis, dan seringkali menggunakan deskripsi relatif
(seperti indeks keanekaragaman). Fungsi hutan mengacu pada tipe dan tingkat
proses (misalnya produksi karbon) dan interaksi antara komponen biotik dan
abiotik hutan. Meskipun menarik untuk dipelajari, fungsi hutan jarang digunakan
untuk menggambarkan struktur tegakan karena tidak bisa terlihat secara langsung.
Sebaliknya, struktur hutan adalah karakteristik dan penataan secara fisik, dan
mudah terlihat (Stone & Porter 1998).
Pengetahuan tentang struktur dan komposisi floristik hutan sangat penting
untuk mengetahui dinamika hutan, interaksi antara tumbuhan dan hewan, siklus
nutrisi (Nadkarni 1999). Unsur utama dari struktur adalah bentuk pertumbuhan,
stratifikasi, dan penutupan. Struktur vegetasi hutan dalam ekologi tumbuhan
dibagi dalam lima tingkatan, yaitu fisiognomi tumbuhan, struktur biomassa,
struktur bentuk tumbuh, struktur floristik, dan struktur tegakan (Mueller-Dumbois
& Ellenberg 1974). Menurut Spies (1998), komponen penting dari struktur hutan,
meliputi 1) distribusi ukuran/umur pohon, 2) distribusi vertikal, 3) distribusi tajuk
horizontal, dan 4) pohon mati (dead wood).
Menurut Whitmore (1984), tegakan hutan biasanya digambarkan melalui
diagram profil. Diagram ini merupakan suatu sketsa semua pohon pada areal
yang biasanya berukuran panjang 60 meter dan lebar 7.5 meter. Profil diagram
biasanya hanya dibatasi pada pohon dewasa dari siklus pertumbuhan hutan,
namun seringkali pohon yang masih dalam fase pertumbuhan juga dimasukkan.
Susunan tumbuhan secara vertikal biasanya dikenal dengan istilah
stratifikasi atau pelapisan tajuk. Stratifikasi terjadi karena dua hal penting yang
dimiliki atau dialami oleh tumbuhan dalam persekutuan hidupnya dengan
tumbuhan lain, yaitu (1) akibat adanya persaingan antar tumbuhan dan (2) akibat
sifat toleransi jenis pohon terhadap intensitas radiasi matahari (Indriyanto 1998).
Stratifikasi di hutan hujan tropis dataran rendah terdiri atas lima stratum,
yaitu statum A-E. Stratum A lapisan tajuk (kanopi) hutan paling atas yang
dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk
pohon pada stratum tersebut tidak bersentuhan ke arah horizontal dengan tajuk
pohon lainnya dalam stratum yang sama. Statum B merupakan lapisan tajuk kedua
dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Stratum C
merupakan tegakan terendah dari pohon yang tingginya 4-20 m. Stratum D terdiri
atas lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis tumbuhan semak dan perdu yang
tingginya 1-4 m, dan Stratum E adalah lapisan tajuk yang dibentuk oleh jenis
8

tumbuhan penutup tanah dan semai yang tingginya 0-1 m (Whitmore 1984). Pada
hutan tropis pegunungan, stratifikasi hutan sebagian besar hanya mencapai
stratum B, dan terus terjadi penurunan tinggi pohon seiring dengan ketinggian
(Holzman 2008; Gerold 2008).
Komposisi floristik, struktur dan fungsi hutan hujan tropis pegunungan
ditentukan oleh faktor-faktor abiotik dan biotik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perbedaan stratifikasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas
terutama disebabkan oleh radiasi iklim yang berbeda. Pada hutan pegunungan atas
dan subalpine terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan kondisi terus
jenuh, keasaman tanah dan pencucian hara yang tinggi (Gerold 2008).

Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis (species diversity) banyak digunakan untuk


merepresentasikan keanekaragaman ekologi, namun hal ini bukan merupakan
satu-satunya ukuran. Lebar relung (niche) dan keanekaragaman habitat (habitat
diversity) juga merupakan komponen utama dalam keanekaragaman ekologi
(Hamilton 2005). Secara umum, terdapat dua pendekatan untuk mengukur
keanekaragaman jenis, yaitu kekayaan jenis (species richness), dan kemerataan
jenis (species evenness) yang mengarah pada kelimpahan jenis (species
abundance) seperti jumlah individu, biomass, penutupan, dan sebagainya (Lugwig
& Reynolds 1988; Hamilton 2005)
Terdapat beberapa indeks yang digunakan untuk mengukur keanekaragaman
jenis, yaitu indeks kekayaan (richness indices), indeks kemerataan (evennes
indices), dan indeks keanekaragaman (diversity indices). Indeks kekayaan yang
digunakan, antara lain indeks Margalef, indeks Menhinick; indeks kemerataan,
seperti indeks Pielou, indeks Hill; dan indeks keanekaragaman merupakan
kombinasi antara keduanya, seperti indeks Shannon, dan indeks Simpson (Ludwig
& Reynolds 1988; Maguran 2004; Laps 2005).
Menurut Stohlgren (2007), secara umum telah diketahui bahwa
keanekaragaman jenis dipengaruhi oleh: 1) perbedaan latitude; 2) stres; 3)
perbedaan produktivitas; 4) perbedaan altitude; 5) heterogenitas; 6) fertilisasi
jangka panjang; 7) area; 8) umur substrat; 9) evolusi, endemisitas, dan efek lag;
10) jarang gangguan yang besar; dan 11) adanya gangguan kecil namun sering
terjadi.
9

3. KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN HUTAN


TROPIS PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LINDU SULAWESI TENGAH

Abstrak

Pulau Sulawesi telah menjadi kawasan konservasi penting secara global,


namun studi keanekaragaman jenis tumbuhan di pulau ini masih sangat terbatas
khususnya di areal hutan pegunungan. Tujuan dari penelitian ini adalah
mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan pegunungan di
TN. Lore Lindu. Inventarisasi jenis tumbuhan, meliputi pohon (dbh 10 cm),
pancang (2 cm dbh < 10 cm), semai dan tumbuhan bawah, termasuk
pteridophyta dilakukan pada tiga plot kuadrat (masing-masing 0.24 ha) di hutan
pegunungan pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl (hutan
subpegunungan sampai hutan pegunungan atas). Dijumpai sebanyak 310 jenis
tumbuhan (129 marga, 106 suku) termasuk 121 jenis tumbuhan bawah. Hutan
pegunungan bawah memiliki kekayaan jenis tertinggi (150 jenis), diikuti hutan
subpegunungan (98 jenis), dan hutan pegunungan atas (82 jenis). Indeks Shannon
(H) menunjukkan bahwa seluruh plot penelitian memiliki keanekaragaman jenis
sedang sampai tinggi (2 < H' < 4) untuk semua kategori (pohon, pancang, semai
dan tumbuhan bawah).
Kata kunci: hutan pegunungan, keanekaragaman tumbuhan, Lore Lindu, Sulawesi

Abstract

The island of Sulawesi has been highlighted as a globally important


conservation area, but detailed study of plant species diversity in this island still
limited especially in montane primary forest. The aim of this study was to
determine plant species diversity of tropical montane forest in Lore Lindu
National Park. Inventory of plant species comprises of trees (dbh 10 cm),
saplings (2 cm dbh < 10 cm), seedlings and understorey plant, including
pteridophyta were conducted on three plots (each 0.24 ha) in montane primary
forest at 900 m, 1 500 m, and 2 300 m asl (sub-montane to upper montane forest)
Lore Lindu National Park, Central Sulawesi. Out of 310 plant spesies (129 genera,
106 families) including 121 species of understorey plants. Lower montane forest
has high species richness (150 species), followed by submontane forest (98
species), and upper montane forest (82 species). The value of Shannon diversity
index (H') in three study plots were medium to high (2< H' <4) for all categories
(trees, saplings, seedlings, and understorey plant).
Key words: Lore Lindu, montane forest, plant diversity, Sulawesi

Pendahuluan

Eksosistem hutan tropis memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang paling


tinggi (Jacob 1988), dan kawasan Malesia dianggap sebagai kawasan dengan
keanekaragaman jenis tertinggi di dunia yang memiliki lebih dari 40 000 jenis
10

tumbuhan berpembuluh (vascular plants) (Bass et al. 1990; Roos 1993). Salah
satu gambaran yang paling mencolok adalah perbedaan floristik dari pulau-pulau
di kawasan ini yang disebabkan oleh sejarah geologi dan palaeoekologi masa
lampau (Lohman et al. 2011).
Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea yang terletak di
antara garis biogeografi Wallaceae dan Weber (van Welzen 2011) dan antara
daratan Laurasia dan Gondwana (Primarck & Corlett 2006) memiliki kekayaan
jenis pada tingkat menengah (Roos et al. 2004). Cannon et al. (2007)
mengungkapkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan jumlah koleksi
tumbuhan yang sangat rendah (kurang dari 25 koleksi per 100 km2) jika
dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia dan kurangnya studi
taksonomi (Cannon et al. 2007). Selain itu, Sulawesi memiliki geologi yang
kompleks, dan isolasi yang sangat lama telah memungkinkan terjadinya evolusi
sehingga menghasilkan tumbuhan dan hewan yang khas, dengan tingkat
endemisitas yang tinggi (Roos et al. 2004; Cannon et al. 2007). Diperkirakan dari
terdapat sekitar 5 000 jenis tumbuhan berpembuluh, termasuk lebih dari 2 100
jenis tumbuhan berkayu dan hampir 15% merupakan endemik di Sulawesi
(Whitten et al. 1987; Kessler et al. 2002).
Penelitian terkait keanekaragaman jenis tumbuhan khususnya di hutan
pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah masih sangat terbatas.
Keanekaragaman jenis tumbuhan hubungannya dengan perubahan ketinggian
hanya diketahui dari hasil penelitian Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al.
2011; Stiegel et al. 2011; Willinghfer et al. 2011), sehingga penelitian ini
ditujukan untuk mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan antara hutan
subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas.

Bahan dan Metode

Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada tiga lokasi di kawasan hutan primer TN. Lore
Lindu, Sulawesi Tengah, pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m di atas
permukaan laut (dpl) (Gambar 3.1). Ketiga lokasi penelitian masing-masing
termasuk dalam zona hutan subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan
pegunungan atas (Cannon et al. 2005). Kondisi hutan pada tiga lokasi penelitian
ini telah dikelompokkan ke dalam hutan primer dengan kondisi baik (Cannon et
al. 2007) (Gambar 2.1). Karakteristik masing-masing lokasi penelitian disajikan
pada Tabel 2.1. Hutan pegunungan atas dalam penelitian ini memiliki kelimpahan
lumut yang tinggi dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya (Gambar 3.2)
11

Gambar 3.1 Sulawesi dan lokasi penelitian di TN. Lore Lindu,


Sulawesi Tengah.

Tabel 3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di
TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Tipe hutan
Karakteristik
HSP HPB HPA
Ketinggian (m dpl) 900 1 500 2 300
Lokasi Watukilo Torongkilo Torenali
Koordinat 0161.5' S 0141.5' S 0128.6' S
GC-WGS 84 12007.4' E 12027.9' E 12031.2' E
Kemiringan (o) 0-10 0-10 0-10
Arah plot W 280o N W 290o N E 140o S
Batuan induk Granit Metamorfik Granit
Curah hujan
(mm/tahun) 1 782 1 959 2 129
Suhu (oC) 25.5 21.0 14.1
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas
12

A B C

Gambar 3.2 Kondisi hutan pada tiga di plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A) hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan
pegunungan bawah (1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas (2 300 m dpl).
13

Pengumpulan data vegetasi


Inventarisasi jenis tumbuhan dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai dengan
Juli 2012 menggunakan plot penelitian dengan metoda kuadrat (Mueller-Dumbois
& Ellenberg 1974). Pada setiap tipe hutan pegunungan dibuat plot berukuran 40 m
x 60 m (0.24 ha) (Culmsee et al. 2011). Setiap plot dibagi menjadi 24 subplot,
masing-masing berukuran 10 m x 10 m untuk pengumpulan data pohon (termasuk
palem dan paku pohon) dengan diameter setinggi dada (dbh) 10 cm (dbh diukur
pada tinggi 1.3 m), dan pengumpulan data pancang (2 cm dbh <10 cm)
dilakukan dalam subplot 5 m x 5 m (0.06 ha) yang terdapat pada setiap subplot
10 m x 10 m, sedangkan data semai dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana,
dan paku-pakuan) di lakukan pada subplot berukuran 2 m x 2 m (0.096 ha) yang
terdapat pada setiap subplot 5 m x 5 m (Gambar 3.3).
Setiap individu pohon dan pancang ditandai menggunakan label permanen
dan dilakukan pencatatan nama jenis dan suku (jika diketahui) serta karakter
morfologi, antara lain kulit batang dan getah (jika ada). Contoh daun, bunga dan
buah (jika ada) dari jenis tumbuhan yang dijumpai di plot penelitian, dikoleksi
untuk diidentifikasi dan koleksi herbarium.

Gambar 3.3 Bentuk dan ukuran plot penelitian (subplot 10 m


x 10 m = untuk pengumpulan data pohon (dbh
10 cm); subplot 5 m x 5 m = untuk
pengumpulan data pancang (2 cm dbh < 10
cm); dan subplot 2 m x 2 m = untuk
pengumpulan data semai dan tumbuhan bawah).
14

Identifikasi jenis tumbuhan


Identifikasi dilakukan pada 310 jenis tumbuhan, meliputi pohon dan
pancang, semai, dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan)
yang dijumpai dalam plot penelitian, serta koleksi tambahan bagi jenis yang
memiliki bunga dan/atau buah. Setiap koleksi spesimen dibuat duplikat untuk
disimpan di Herbarium Celebense Palu (CEB), Gttingen (GOET), Bogoriense
(BO), dan Leiden (L). Identifikasi jenis menggunakan koleksi di Herbarium
Bogoriense, Herbarium Gettingen, dan Herbarium Leiden sebagai referensi,
dengan sistem tata nama (nomenclature) jenis mengikuti International Plant
Name Index (IPNI) (2012). Spesimen yang tidak dapat diidentifikasi (non det.)
sampai marga atau jenis, seperti Myrtaceae, Arecaceae, dan beberapa suku lain
dipisahkan berdasarkan karakter morfologi.

Analisis data
Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan dihitung berdasarkan indeks
kekayaan jenis (species richness index), indeks keanekaragaman jenis (species
diversity index), dan indeks kemerataan jenis (species evenness index) (Magurran
2004) dengan formula, sebagai berikut:
Indeks kekayaan jenis dihitung menggunakan indeks Margalef (Margalef
index):
( S 1 )
DMg
ln N
dimana:
S = Jumlah jenis yang teramati
N = Jumlah total individu yang teramati
Indeks keanekaragaman jenis dihitung menggunakan indeks Shannon
(Shannon index):
s
Ni
H' Pi ln Pi ; Pi
i 1 N
dimana:
s = Jumlah jenis
Ni = Nilai penting jenis
N = Nilai penting seluruh jenis

Indeks kemerataan jenis dihitung dengan menggunakan indeks Pielou


(Pielou index):

H'
E
ln ( S )
dimana:
H' = Indeks keanekaragaman Shannon
S = Jumlah jenis
15

Hasil

Kekayaan jenis
Hasil penelitian pada tiga plot berdasarkan tipe hutan, dengan luas masing-
masing 0.24 ha, dijumpai sebanyak 117 jenis pohon dan 96 jenis pancang, 116
jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah, meliputi semak, herba, liana, dan
paku-pakuan. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan (129
marga dan 106 suku) (Tabel 3.2). Lebih dari 65% dari spesimen yang dikoleksi,
dapat identifikasi sampai pada tingkat jenis, 20% pada tingkat marga, 5% pada
tingkat suku, dan 2% tidak teridentifikasi.
Tabel 3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang
dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan
Jumlah
Tipe hutan
Jenis Marga Suku
Hutan subpegunungan 98 69 49
Hutan pegunungan bawah 150 97 52
Hutan pegunungan Atas 82 57 44
Total 310 129 106
Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot berdasarkan luas
area yang diamati (Gambar 3.4), menunjukkan bahwa jumlah total jenis pohon
dan pancang di hutan subpegunungan dan pegunungan atas memiliki jumlah yang
sama pada area seluas 0.12 ha di hutan pegunungan bawah. Terlihat juga bahwa
jumlah jenis di plot hutan pegunungan bawah masih terus mengalami peningkatan
pada luas area 0.24 ha.

100
90
80
70
Jumlah jenis

60
50
40
30
20
10
0
0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24 0.28
Luas area (ha)

Gambar 3.4 Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada


tiga plot penelitian. hutan subpegunungan ,
hutan pegunungan bawah , hutan
pegunungan atas
16

Setiap tipe hutan yang diteliti memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang
bervariasi. Kekayaan jenis tertinggi dijumpai di hutan pegunungan bawah, diikuti
hutan subpegunungan, dan terendah di hutan pegunungan atas. Jika ditinjau
berdasarkan tingkat pertumbuhan, hutan pegunungan bawah memiliki jumlah
jenis pohon, pancang, dan semai tertinggi, masing-masing 61, 50, dan 57 jenis,
sedangkan hutan pegunungan atas memiliki jumlah jenis pohon dan semai
terendah (29 dan 31 jenis). Perbedaan terlihat pada jumlah jenis pancang, dimana
hutan subpegununan memiliki jumlah jenis terendah (27 jenis).
Setiap tipe hutan memperlihatkan penurunan jenis dari pohon ke pancang
dan meningkat kembali pada jenis semai. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak
13 dan 15 jenis tambahan untuk pancang dan semai di hutan subpegunungan; 21
dan 20 jenis pancang dan semai di hutan pegunungan bawah, dan 7 dan 12 jenis
tambahan masing-masing untuk pancang dan semai di hutan pegunungan atas
(Gambar 3.5).

120 Pohon (DBH 10 cm)


Pancang (2 cm DBH < 10 cm)
Semai
100
Total

80
Jumlah jenis

60

40

20

0
HSP
1 HPB
2 HPA
3

Tipe hutan

Gambar 3.5 Jumlah jenis pohon, pancang, dan semai di hutan
subpegunungan (HSP), hutan pegunungan bawah
(HPB), dan hutan pegunungan atas (HPA).

Hutan pegunungan bawah juga memiliki kekayaan jenis tertinggi untuk


tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan) dibandingkan dua tipe
hutan lainnya. Jumlah jenis herba dan liana terendah dijumpai di hutan
pegunungan atas, sedangkan jenis paku-pakuan terendah dijumpai di hutan
subpegunungan. Perbedaan lainnya terlihat pada jenis semak yang hanya dijumpai
di hutan pegunungan bawah (Gambar 3.6).
17

Semak
60
Herba
Liana
50 Pteridophyta
Total
40
Jumlah jenis

30

20

10

0
HSP
1 HPB
2 HPA
3
Tipe hutan
Gambar 3.6 Jumlah jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta.
Hutan subpegunungan (HSP), hutan pegunungan
bawah (HPB) bawah, hutan pegunungan atas (HPA)

Gambar 3.6 juga memperlihatkan jumlah jenis tertinggi di hutan


subpegunungan dijumpai pada kelompok liana. Berbeda halnya dengan di hutan
pegunungan bawah, dimana jumlah jenis tertinggi dijumpai pada kelompok herba
dan paku-pakuan dengan jumlah yang sama. Sedangkan di hutan pegunungan
atas, jumlah jenis tertinggi dijumpai pada kelompok paku-pakuan.
Jenis-jenis tumbuhan yang dijumpai dan distribusinya pada masing-masing
tipe hutan yang diteliti disajikan pada Tabel 3.3 dan 3.4, sebagai berikut:
Tabel 3.3 Daftar jenis pohon, pancang, dan semai dan distribusinya pada tiga plot
penelitian
Distribusi
No. Jenis HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Adoxaceae
1 Viburnum sambucinum Bl. +
Anacardiaceae
2 Mangifera foetida Lour. +
Annonaceae
3 Mitrephora macrocarpa (Miq.) Weerasooriya & +
R.M.K.Saunders
4 Phaeanthus ebracteolatus (Presl.) Merr. + +
5 Annonaceae non det 1 +
6 Annonaceae non det 2 +
Apocynaceae
7 Alstonia spectabilis R.Br. + +
8 Tabernaemontana sphaerocarpa Bl. +
Aquifoliaceae
9 Ilex cymosa Blume + + +
10 Ilex celebensis Capit. + +
Araliaceae
11 Polyscias nodosa (Bl.) Seem. + + +
Arecaceae
12 Areca vestiaria Giseke + + +
13 Areca sp. + +
18

Lanjutan Tabel 3.3


Distribusi
No. Jenis HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
14 Arenga undulatifolia Merr. +
15 Pinanga caesia Blume + +
16 Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. + +
Burseraceae
17 Canarium balsamiferum Willd. + +
18 Santiria apiculata A.W.Benn. + + +
Calophyllaceae
19 Calophyllum soualattri Burm.f. + + + +
Cannabaceae
20 Gironniera subaequalis Planch. + +
Cardiophyllaceae
21 Citronella suaveolens (Bl.) Howard +
Celastraceae
22 Lophopetalum beccarianum Pierre + + +
Clusiaceae
23 Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. + +
24 Garcinia lateriflora Bl. + + +
25 Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz +
Cunnoniaceae
26 Weinmannia sp. +
Cyatheaceae
27 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) Hopel + + +
28 Cyathea sp. +
Daphniphyllaceae
29 Daphniphyllum gracile Gage +
Dicksoniaceae
30 Dicksonia blumei (Kunze) Moore + + + +
Elaeocarpaceae
31 Elaeocarpus macropus Warb. ex R.Knuth subsp. thenui + +
Coode
32 Elaeocarpus angustifolius Blume +
33 Elaeocarpus multiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. + + +
34 Elaeocarpus sp.1 + + +
35 Elaeocarpus musseri Coode + + +
36 Elaeocarpus erdinii Coode + + +
37 Elaeocarpus steupii Coode + +
38 Elaeocarpus teysmannii Koord. & Valeton + +
39 Elaeocarpus trichopetalus Merr. & Quisumb. +
40 Elaeocarpus sp.2 +
Ericaceae
41 Vaccinium laurifolium Miq. + + +
42 Vaccinium sp.1 +
43 Vaccinium sp.2 +
44 Rhododendron kochii Stein + + +
45 Rhododendron sp. +
Escalloniaceae
46 Polyosma integrifolia Bl. +
47 Polyosma sp.1 +
48 Polyosma sp.2 + +
Euphorbiaceae
49 Macaranga costulata Pax & K.Hoffm. +
50 Homalanthus populneus (Geiseler) Pax +
51 Macaranga allorobinsonii Whitmore + +
52 Trigonopleura malayana Hook.f. + +
Fabaceae
53 Archidendron havilandii (Ridley) L.C. Nielsen + +
54 Archidendron clyperia (Jack) I.C. Nielsen + +
55 Lithocarpus elegans (Bl.) Hatus. ex Soepadmo + +
56 Lithocarpus glutinosus (Bl.) Soepadmo + + +
57 Lithocarpus caudatifolius (Merr.) Rehder +
58 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder + + + + +
59 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett + + +
60 Lithocarpus indutus Rehder +
61 Lithocarpus luteus Soepadmo + +
62 Lithocarpus sp.1 +
63 Lithocarpus sp.2 +
64 Castanopsis buruana Miq. + +
65 Trigonobalanus verticillata Forman +
Gentianaceae
66 Fagraea sp. + +
67 Fagraea racemosa Jack +
68 Fagraea blumei G.Don +
Gnetaceae
69 Gnetum gnemon L. + + +
19

Lanjutan Tabel 3.3


Distribusi
No. Jenis HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Ixonanthaceae
70 Ixonanthes petiolaris Bl. +
Icacinaceae
71 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine) Sleum. + + +
72 Platea latifolia Bl. +
Lamiaceae
73 Callicarpa longifolia Lam. +
Lauraceae
74 Alseodaphne oblanceolata (Merr.) Kosterm + +
75 Cinnamomum subaveniopsis Kosterm. + + +
76 Cryptocarya crassinerviopsis Kosterm. +
77 Cryptocarya densiflora Bl. + + +
78 Cryptocarya microcos Kosterm. + +
79 Cryptocarya sp. + +
80 Endiandra sulavesiana Kosterm. + +
81 Lindera novoguineensis Kosterm. +
82 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. + +
83 Litsea firma Hook.f +
84 Litsea grandis Hook.f. + +
85 Litsea lancifolia (Roxb. ex Ness) Benth. & Hook.f. Ex +
Villar
86 Litsea timoriana Span. +
87 Litsea formanii Kosterm. + +
88 Litsea furfuracea (Ness) Kosterm. +
89 Litsea ferruginea Blume + +
90 Neolitsea javanica (Bl.) Backer + + + + +
91 Persea rimosa Zoll. ex Meissn. +
Malvaceae
92 Sterculia insularis R.Br. +
Magnoliaceae
93 Magnolia candollii (Bl.) H. Keng var. candollii + +
94 Magnolia carsonii Dandy ex Noot. var. carsonii +
Melastomataceae
95 Memecyon paniculatum Jack +
Meliaceae
96 Aglaia angustifolia (Miq.) Miq. + +
97 Aglaia sp.1 + +
98 Dysoxylum alliaceum (Blume) Blume +
99 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. + + +
100 Dysoxylum sp. + +
Moraceae
101 Artocarpus teysmannii Miq. ssp. teysmannii + +
102 Ficus sp.1 +
103 Ficus crassiramea (Miq.) Miq. +
104 Ficus sp.2 +
105 Ficus sp.3 + +
106 Ficus sp.4 +
107 Ficus sp.5 +
108 Ficus hispida L.f. +
109 Ficus subulata Blume +
110 Ficus virgata Reinw. ex Blume + +
111 Ficus sp.6 +
Myristicaceae
112 Horsfieldia costulata (Miq.) Warb. + + +
Myrtaceae
113 Leptospermum recurvum Hook.f. +
114 Syzygium acuminatissimum (Blume) DC. + +
115 Syzygium benjaminum Diels + +
116 Syzygium sp.1 +
117 Syzygium sp.2 + + +
118 Syzygium sp.3 + + +
119 Syzygium sp.4 +
120 Syzygium sp.5 + +
121 Syzygium sp.6 + + +
122 Syzygium sp.7 + + +
123 Syzygium sp.8 +
124 Syzygium sp.9 + +
125 Syzygium sp.10 +
126 Syzygium sp.11 +
127 Syzygium sp.12 +
128 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott + + +
Oleaceae
129 Chionanthus pluriflorus (Knobl.) Kiew + + +
130 Chionanthus polygamus (Roxb.) Kiew + + +
20

Lanjutan Tabel 3.3


Distribusi
No. Jenis HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
131 Oleaceae non det +
Pandaceae
132 Pandanus sarasinorum Warb. + +
Paracryphiaceae
133 Quintinia apoensis Schltr. + + +
134 Sphenostemon papuanum (Lauterb.) Steenis & +
Erdtman
Pentaphylacaceae
135 Adinandra celebica Koord +
136 Adinandra sp.1 +
137 Adinandra sp.2 +
138 Ternstroemia sp. + + +
Phyllanthaceae
139 Antidesma riparium Airy Shaw ssp. riparium + +
140 Antidesma sp. +
141 Aporosa lucida (Miq.) Airy Shaw +
Podocarpaceae
142 Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. + + +
143 Dacrycarpus steupii (Wasscher) de Laub. + +
144 Phyllocladus hypophylla Hook.f. + + +
145 Podocarpus neriifolius D.Don + + +
146 Podocarpus pilgeri Foxw. +
Primulaceae
147 Ardisia copelandii Mez. +
148 Ardisia elliptica Thunb. +
149 Ardisia forbesii S.Moore + +
150 Ardisia sp. +
151 Myrsine involucrata (Mez) Pipoly + +
152 Myrsine minutifolia (Knoester, Wijn & Sleumer ) + + +
Pipoly
153 Myrsine sp. +
Proteaceae
154 Helicia celebica Sleumer + +
155 Macadamia hildebrandii Steenis + +
Rosaceae
156 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol. ) Kalkman + + + + + +
157 Prunus arborea ( Blume ) Kalkman var. arborea + +
Rubiaceae
158 Lasianthus biflorus (Blume) M.G.Gangop. & Chakrab. +
159 Lasianthus lucidus Blume +
160 Lasianthus reticulatus Blume +
161 Lasianthus rhinocerotis Blume +
162 Praravinia mindanaensis (Elmer) Bremek. + +
163 Psychotria celebica Miq. + + +
164 Psychotria malayana Jack + + +
165 Psychotria sp. +
166 Timonius stipulosus Valeton +
167 Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume) Korth. + +
Rutaceae
168 Acronychia pedunculata (L.) Miq. + + + + +
169 Acronychia trifoliolata Zoll. & Mor. + + +
170 Melicope confusa (Merr.) P.S. Liu + +
171 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. + + +
Sabiaceae
172 Meliosma sumatrana (Jack) Walp. + +
Sapindaceae
173 Acer laurinum Hassk. ex Miq. + +
174 Guioa hirsuta Welzen + +
175 Dictyoneura acuminata Blume +
176 Sapaindaceae non det + +
Sapotaceae
177 Palaquium obovatum (Griff.) Engl. var. orientale + +
H.J.Lam
178 Planchonella chartacea (F.Muell. Ex Benth.) H.J.Lam +
179 Pouteria firma (Miq.) Baehni + +
Simaroubaceae
180 Ailanthus sp. +
Salicaceae
181 Homalium foetidum Kurz. +
Staphyleaceae
182 Turpinia sphaerocarpa Hassk. +
Symplocaceae
183 Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.Moore + +
184 Symplocos sp.1 +
21

Lanjutan Tabel 3.3


Distribusi
No. Jenis HSP HPB HPA
1 2 3 1 2 3 1 2 3
185 Symplocos sp.2 +
186 Symplocos sp.3
187 Symplocos sp.4 +
Trimeniaceae
188 Trimenia papuana Ridley + + +
Winteraceae
189 Tasmannia piperita Miers + +
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas;
1: pohon (dbh 10 cm); 2: pancang (2 cm dbh <10 cm); 3: semai; (+) = lokasi distribusi.

Tabel 3.4 Daftar jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta serta distribusinya
pada tiga plot penelitian
Distribusi
No. Jenis Kelompok
HSP HPB HPA
Alangiaceae
1 Alangium sp. + liana
Annonaceae
2 Fissistigma sp. + liana
Apocynaceae
3 Alyxia celebica DC. Middleton + liana
Araceae
4 Araceae non det 1 + herba
5 Anadendrum latifolium Hook.f + herba
6 Araceae non det 2 + herba
7 Araceae non det 3 + herba
8 Colocasia sp. + herba
9 Homalomena humilis var. major (Hassk.) Furtado + herba
10 Pothos sp. + herba
11 Raphidophora sp.1 + herba
12 Raphidophora sp.2 + herba
13 Raphidophora sp.3 + herba
Araliaceae
14 Schefflera serrata (Miq.) R.Vig. + herba
15 Schefflera sp. + herba
Arecaceae
16 Calamus sp.1 + herba
17 Calamus ornatus var. ornatus + herba
18 Calamus zollingeri Becc. + liana
19 Calamus sp.2 + herba
20 Calamus sp.3 + herba
21 Calamus sp.4 + herba
22 Calamus sp.5 + liana
23 Calamus sp.6 + liana
24 Calamus sp.7 + liana
25 Calamus sp.8 + liana
26 Korthalsia celebica Becc. + liana
Aristolochiaceae
27 Aristolochiaceae non det + liana
Asclepiadaceae
28 Hoya medium leaf + herba
29 Hoya mirophylla Schltr + herba
Aspleniaceae
30 Asplenium nidus L. + pteridophyta
31 Asplenium sp.1 + pteridophyta
32 Asplenium sp.3 + pteridophyta
33 Asplenium sp.4 + pteridophyta
34 Asplenium sp.2 + pteridophyta
35 Alsophilla sp. + pteridophyta
36 Aspleniaceae non det 1 + pteridophyta
37 Aspleniaceae non det 2 + pteridophyta
38 Asplenium sp.5 + pteridophyta
39 Asplenium sp.6 + pteridophyta
40 Asplenium sp.7 + pteridophyta
41 Asplenium polyodon G. Forst. + pteridophyta
42 Pyroscia sp. + pteridophyta
43 Asplenium sp.8 + pteridophyta
44 Asplenium sp.9 + pteridophyta
Asteraceae
45 Asteraceae non det + herba
Blechnaceae
46 Blechnum sp. + pteridophyta
22

Lanjutan Tabel 3.4


Distribusi
No. Jenis Kelompok
HSP HPB HPA
Chloranthaceae
47 Chloranthus elatior Link + semak
Cucurbitaceae
48 Trichosanthes sp. + herba
Cyatheaceae
49 Alsophila celebica (Blume) Mett. + pteridophyta
Davalliaceae
50 Davalliaceae non det + pteridophyta
Dennstaedtiaceae
51 Lindsaea sp.1 + pteridophyta
52 Lindsaea sp.2 + pteridophyta
53 Lindsaea sp.3 + pteridophyta
54 Lindsaea sp.4 + pteridophyta
55 Lindsaea sp.5 + pteridophyta
56 Lindsaea sp.6 + pteridophyta
57 Dennstaedtiaceae non det + pteridophyta
Dioscoreaceae
58 Dioscorea sp. + herba
59 Dioscorea kingii R.Knuth + herba
Fabaceae
60 Desmodium megaphyllum Zoll. + liana
Gesneriaceae
61 Aeschynanthus sp.1 + herba
62 Aeschynanthus sp.2 + herba
63 Gesneriaceae non det 1 + herba
64 Gesneriaceae non det 2 + herba
65 Aeschynanthus burttii Mendum + liana
66 Agalmyla brownii (Koord.) B.L. Burtt + herba
Grammitidaceae
67 Grammitis sp. + pteridophyta
Hydrangeaceae
68 Dichroa febrifuga Lour. + semak
Hymenophyllaceae
69 Hymenophyllum sp. + pteridophyta
70 Hymenophyllum cavillare Desv. + pteridophyta
Lomariopsidaceae
71 Elaphoglossum sp. + pteridophyta
Lycopodiaceae
72 Huperzia sp. + pteridophyta
Maratheaceae
73 Ptisania sylvatica (Blume) Murdock. + pteridophyta
Melastomataceae
74 Medinilla sp. + liana
75 Sonerila pumila + herba
76 Melastomataceae non det + herba
Menispermaceae
77 Tinomiscium petiolare Hook. f. & Thomson + liana
Moraceae
78 Ficus sp. + liana
Oleandraceae
79 Oleandra neriiformis Cav. + pteridophyta
Ophioglossaceae
80 Helminthostachys sp. + pteridophyta
Orchidaceae
81 Anoectochilus sp. + + herba
82 Arundina sp. + herba
83 Bulbophyllum sp. + herba
84 Goodyera lanceolate Ridl. + herba
Pandanaceae
85 Freycinetia distigmata B.C. Stone + + liana
86 Freycinetia ciliris Martelli + liana
87 Freycinetia inermis Ridl. + liana
88 Freycinetia sp.1 + liana
89 Freycinetia sp.2 + liana
Piperaceae
90 Piper canicum Blume + herba
91 Piper sp.1 + + herba
92 Piper sp.2 + herba
93 Piper sp.3 + herba
94 Piper sp.4 + herba
Poaceae
95 Dinochloa barbata S.Dransf. + liana
96 Racemobambos hirsuta Holttum + liana
97 Poaceae non det + + herba
Polypodiaceae
23

Lanjutan Tabel 3.4


Distribusi
No. Jenis Kelompok
HSP HPB HPA
98 Selliguea sp.1 + pteridophyta
99 Microsorum sp.1 + pteridophyta
100 Selliguea sp.2 + pteridophyta
101 Selliguea sp3 + pteridophyta
102 Polypodiaceae non det + pteridophyta
Primulaceae
103 Labisia pumila ( Blume) Mez var. lanceolata + herba
Rhamnaceae
104 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex Steenis + liana
Rubiaceae
105 Psychotria laxiflora + herba
106 Rubiaceae non det + herba
Salicaceae
107 Salicaceae non det + liana
Smilacaceae
108 Smilax perfoliata Lour. + + liana
109 Smilax sp. + liana
Thelypteridaceae
110 Thelypteridaceae non det + pteridophyta
111 Thelypteridaceae non det + pteridophyta
Urticaceae
112 Elatostema acuminatum (Poir.) Brogn + herba
Vitaceae
113 Cayratia corniculata (Benth.) Gagnep. + + herba
Woodsiaceae
114 Diplazium sp.2 + pteridophyta
115 Diplazium sp.1 + pteridophyta
Zingiberaceae
116 Alpinia manostachys Valeton + herba
117 Alpinia sp. + herba
non det.
118 non det 3 + liana
119 non det 2 + liana
120 non det 1 + liana
121 non det 4 + herba
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas.

Indeks keanekaragaman jenis


Indeks kekayaan Margalef (Dmg), keanekaragaman Shannon (H'), dan
kemerataan Pielou (E) disajikan pada Gambar 3.7. Hutan pegunungan bawah
memiliki indeks kekayaan Margalef yang lebih tinggi untuk semua kategori,
diikuti hutan subpegunungan, dan hutan pegunungan atas. Indeks kekayaan
Shannon tertinggi diperoleh pada kategori pohon, diikuti pancang, dan tumbuhan
bawah di hutan pegunungan bawah, sedangkan indeks keanekaragaman Shannon
tertinggi pada kategori semai diperoleh di hutan subpegunungan). Indeks
kemerataan Pielou menunjukkan pola yang sama dengan indeks keanekaragaman
Shannon, dengan berkisar antara 0.71 sampai dengan 0.90.
Indeks keanekaragaman Shannon kategori pohon bervariasi dari 2.72
(pegunungan atas) sampai 3.68 (pegunungan bawah), pada kategori pancang dari
2.61 (subpegunungan) sampai 3.53 (pegunungan bawah), kategori semai dari 2.94
(pegunungan atas) sampai 3.23 (subpegunungan), dan tumbuhan bawah dari 2.51
(pegunungan atas) sampai 3.54 (pegunungan bawah).
24

Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)


Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)
Hutan pegunungan atas (Torenali, 2300 m)
15.0

11.9

10.66
10.22
12.0
Indeks Margalef

8.48
9.0

6.91
5.96

6.2
5.18

5.14

4.93
4.90

4.77
6.0

3.0

0.0
A B C D
3.68

4.0
3.53

3.48
3.23
3.13
2.94
Indeks Shannon

2.85
2.85

2.72

2.70
2.61

3.0

2.0 2.51

1.0

0.0
A B C D
0.90
0.89

1.0
0.88

0.86
0.82

0.82
0.81

0.81

0.79
0.77

0.71
0.70

0.8
Indeks Pielou

0.6

0.4

0.2

0.0
A B C D
Kategori
Gambar 3.7 Indeks kekayaan, keaneakaragaman, dan
kemerataan jenis pohon (A), pancang (B),
semai (C), dan tumbuhan bawah (D) antara
tiga tipe hutan pegunungan.
25

Kekayaan jenis berdasarkan suku


Suku dengan jumlah jenis tertinggi dijumpai pada Lauraceae (18 jenis),
diikuti Myrtaceae (16 jenis), Fagaceae (11 jenis), Moraceae (11 jenis),
Elaeocarpaceae, dan Rubiaceae (10 jenis) pada kategori pohon, pancang, dan
semai (Tabel 6), sedangkan pada tumbuhan bawah diperoleh pada suku
Aspleniaceae (18 jenis), diikuti Arecaceae (11 jenis), dan Araceae (10 jenis)
masing-masing untuk kelompok paku-pakuan, liana, dan herba (Tabel 3.5).
Jenis pohon dominan pada masing-masing tipe hutan (hutan
subpegunungan, pegunungan bawah, dan pegunungan atas), yaitu Castanopsis
buruana (Fag.), Platea excelsa var. borneensis (Icacin.), dan Phyllocladus
hypophylla (Podoc.); jenis pancang, yaitu C. buruana, Lophopetalum
beccarianum (Celast.), dan Trimenia papuana (Trimen.); jenis semai, yaitu
Antidesma riparium subsp. riparium (Phyllanth.), dan Calophyllum soualattri
(Caloph.); dan jenis tumbuhan bawah, yaitu Calamus sp.1, Calamus sp.5 (Arec.),
dan Sonerila pumila (Melast.).
Tabel 3.5 Jumlah jenis masing-masing suku pohon, pancang, dan semai pada
tiga tipe hutan pegunungan
Jumlah jenis
No. Suku
HSP HPB HPA Total
1 Lauraceae 6 12 3 18
2 Myrtaceae 2 5 10 16
3 Fagaceae 6 5 2 11
4 Moraceae 3 7 2 11
5 Elaeocarpaceae 3 7 2 10
6 Rubiaceae 4 6 1 10
7 Primulaceae 0 4 3 7
8 Meliaceae 2 3 0 5
9 Arecaceae 3 3 1 5
10 Podocarpaceae 1 1 4 5
11 Ericaceae 0 0 5 5
12 Euphorbiaceae 1 2 1 4
13 Rutaceae 2 2 1 4
14 Sapindaceae 3 2 0 4
15 Annonaceae 1 3 0 4
16 Pentaphyllacaceae 0 1 3 4
17 Symplocaceae 1 2 1 4
18 Sapotaceae 2 1 0 3
19 Oleaceae 2 3 0 3
20 Gentianaceae 1 1 1 3
21 Escalloniaceae 1 2 0 3
22 Clusiaceae 1 2 0 3
23 Phyllanthaceae 1 2 0 3
24 Burseraceae 1 1 0 2
25 Rosaceae 1 1 1 2
26 Icacinaceae 0 2 0 2
27 Magnoliaceae 0 2 0 2
28 Proteaceae 0 2 0 2
29 Cyatheaceae 0 1 1 2
30 Aquifoliaceae 0 1 1 2
26

Lanjutan Tabel 3.5


Jumlah jenis
No. Suku
HSP HPB HPA Total
31 Apocynaceae 0 2 0 2
32 Fabaceae 1 2 0 2
33 Paracryphiaceae 0 0 2 2
34 Ixonanthaceae 1 0 0 1
35 Cannabaceae 1 0 0 1
36 Gnetaceae 1 0 0 1
37 Myristicaceae 1 0 0 1
38 Anacardiaceae 1 0 0 1
39 Calophyllaceae 1 1 0 1
40 Pandanaceae 0 1 0 1
41 Celastraceae 0 1 0 1
42 Cunoniaceae 0 1 0 1
43 Malvaceae 0 1 0 1
44 Simaroubaceae 0 1 0 1
45 Dicksoniaceae 1 1 0 1
46 Araliaceae 0 1 0 1
47 Trimeniaceae 0 0 1 1
48 Melastomataceae 1 0 0 1
49 Cardiophyllaceae 0 1 0 1
50 Staphyleaceae 0 1 0 1
51 Adoxaceae 0 1 0 1
52 Sabiaceae 0 1 0 1
53 Salicaceae 0 1 0 1
54 Winteraceae 0 0 1 1
55 Daphniphyllaceae 0 0 1 1
56 Lamiaceae 0 1 0 1
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas
Tabel 3.6 Jumlah jenis masing-masing suku tumbuhan bawah pada tiga tipe
hutan pegunungan
Jumlah jenis
No. Suku
HSP HPB HPA Total
1 Aspleniaceae 4 7 0 15
2 Arecaceae 6 4 1 11
3 Araceae 5 8 0 10
4 Dennstaedtiaceae 3 4 0 7
5 Gesneriaceae 1 2 3 6
6 Pandanaceae 1 3 2 5
7 Piperaceae 1 4 1 5
8 Polypodiaceae 0 3 2 5
9 Orchidaceae 1 2 2 4
10 Melastomataceae 1 1 1 3
11 Poaceae 2 1 1 3
12 Araliaceae 0 0 2 2
13 Asclepiadaceae 0 0 2 2
14 Dioscoreaceae 2 0 0 2
15 Hymenophyllaeae 0 0 2 2
16 Rubiaceae 0 1 1 2
17 Smilacaceae 1 1 1 2
18 Thelypteridaceae 1 0 1 2
27

Lanjutan Tabel 3.6


Jumlah jenis
No. Suku
HSP HPB HPA Total
19 Vitaceae 1 1 0 2
20 Woodsiaceae 1 1 0 2
21 Zingiberaceae 0 1 1 2
22 Alangiaceae 0 1 0 1
23 Annonaceae 0 1 0 1
24 Apocynaceae 0 1 0 1
25 Aristolochiaceae 0 1 0 1
26 Asteraceae 0 0 1 1
27 Blechnaceae 0 0 1 1
28 Chloranthaceae 0 1 0 1
29 Cucurbitaceae 0 1 0 1
30 Cyatheaceae 0 1 0 1
31 Davalliaceae 0 0 1 1
32 Fabaceae 1 0 0 1
33 Grammitidaceae 0 0 1 1
34 Hydrangeaceae 0 1 0 1
35 Lomariopsidaceae 0 0 0 1
36 Lycopodiaceae 0 0 0 1
37 Maratheaceae 1 0 0 1
38 Menispermaceae 1 0 0 1
39 Moraceae 0 1 0 1
40 Oleandraceae 0 0 1 1
41 Ophioglossaceae 0 1 0 1
42 Primulaceae 1 0 0 1
43 Rhamnaceae 1 0 0 1
44 Salicaceae 1 0 0 1
45 Urticaceae 0 1 0 1
46 non det. 0 3 1 4
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas

Pembahasan
Inventarisasi jenis pada empat kategori, yaitu pohon, pancang, semai, dan
tumbuhan bawah yang meliputi semak, herba, liana, dan paku-pakuan di kawasan
hutan pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah diperoleh bahwa hutan
pegunungan bawah di Torongkilo (1 500 m dpl) memiliki kekayaan jenis yang
tinggi untuk semua kategori, diikuti hutan subpegunungan di Watukilo (900 m
dpl) dan terendah di hutan pegunungan atas di Torenali (2 300 m dpl).
Kekayaan jenis pohon yang diperoleh di hutan subpegunungan dalam
penelitian ini (29 sampai 61 jenis) lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh Wright et al. (1997) di Papua Nugini, Hamman et al. (1999) di
Filippina, serta Kessler et al. (2005), dan Culmsee dan Pitopang (2009) di
kawasan TN. Lore Lindu sebanyak 92 sampai dengan 228 jenis. Namun,
kekayaan jenis pohon yang diperoleh di hutan pegunungan bawah (61 jenis)
hampir sama jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Gradstein et al.
(2007), Culmsee dan Pitopang (2009), dan Culmsee et al. (2011) di kawasan yang
sama, serta Yamada (1975) di G. Gede Pangrango Jawa Barat sebanyak 30 sampai
dengan 60 jenis.
28

Tumbuhan bawah, khususnya herba dan paku-pakuan yang diperoleh dalam


penelitian ini tergolong sangat rendah (14 sampai 36 jenis) jika dibandingkan
dengan hasil yang diperoleh Poulsen dan Pedry (1995) di Bukit Belalong,
Kalimantan pada ketinggian 1 100 m dpl (42 sampai 134 jenis), serta Cicuzza et
al. (2010) di hutan subpegunungan (1 000 m dpl) dan hutan pegunungan bawah
(1 400 m dpl) di TN. Lore Lindu, sebanyak 265 sampai 512 jenis. Rendahnya
kekayaan jenis yang ditemukan dalam penelitian ini kemungkinan lebih
disebabkan oleh perbedaan metodologi yang digunakan, terutama karena luas area
pengamatan yang relatif lebih kecil.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa kekayaan jenis pohon tidak
mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya ketinggian tempat. Hasil
yang sama juga dilaporkan Cicuzza et al. (2010) untuk kelompok herba. Berbeda
dengan hasil penelitian, antara lain Aiba dan Kitayama (1999), Culmsee dan
Pitopang (2009), dan Homeier et al. (2010), yang melaporkan bahwa kekayaan
jenis mengalami penurunan dengan meningkatnya ketinggian tempat di atas
permukaan laut. Hasil ini memperkuat simpulan Gentry (1988) dan Grytenes dan
Vertas (2002) bahwa kekayaan jenis pohon cenderung mengalami peningkatan
pada ketinggian antara 100 m dan 1 500 m, antara ketinggian 1 500 m dan 2 300
m terlihat sedikit penurunan, dan penurunan kekayaan jenis akan tampak jelas
pada ketinggian lebih dari 2 500 m dpl.
Berbeda halnya dengan pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah
khususnya kelompok herba, jenis paku-pakuan justru mengalami peningkatan
seiring dengan meningkatnya ketinggian seperti yang dilaporkan Kessler et al.
2011, dan kelompok liana cenderung mengalami penurunan kekayaan jenis
(Parthasaranthy et al. 2003). Menurut Pausas dan Austin (2001) dan Brown et al.
(2007) bahwa kekayaan jenis dipengaruhi oleh: 1) faktor geografi, dalam hal ini
imigrasi merupakan hal yang paling berpengaruh, 2) faktor biologi, berupa
persaingan, pemangsaan, patogen, parasit dan hervibora serta fasilitas, dan 3)
faktor lingkungan, berupa perbedaan sumberdaya, antara lain air atau unsur hara,
dan perbedaan kondisi, antara lain suhu dan pH. Homeier et al. (2010)
mengungkapkan bahwa rendahnya kekayaan jenis di hutan pegunungan atas,
kemungkinan lebih disebabkan oleh suhu udara yang rendah dan curah hujan yang
tinggi. Konsekuensi dari dua faktor tersebut adalah terjadinya pencucian unsur
hara, meningkatnya genangan air, lambatnya mineralisasi hara, dan berkurangnya
bahan organik.
Terlepas dari adanya perbedaan kondisi lingkungan, tingginya kekayaan
jenis yang dijumpai di hutan pegunungan bawah pada ketinggian 1 500 m, lebih
disebabkan tidak adanya jenis yang sangat dominan dan tingginya presentase jenis
yang hanya memiliki satu dan dan individu. Sebagai contoh, di hutan
subpegunungan dan hutan pegunungan atas yang masing-masing didominasi jenis
C. buruana dan P. hypohylla dengan INP mencapai 86.97% dan 70.2% (Bab 4).
Menurut Davidar et al. (2005), Wang (2007), dan Sasaki & Lauenroth (2011),
hilangnya jenis dominan dapat mengurangi persaingan dalam persaingan
sumberdaya yang terbatas, dan meningkatkan keanekaragaman. Barbour et al.
(1987) mengungkapkan bahwa adakalanya kekayaan jenis berkorelasi positif
dengan keanekaragaman jenis, namun kondisi lingkungan pada setiap lokasi
penelitian bersifat heterogen, sehingga penurunan kekayaan jenis dapat disertai
dengan peningkatan keanekaragaman.
29

Hasil analisis indeks keanekaragaman Shannon, secara keseluruhan ketiga


tipe hutan pegunungan dan kategori memiliki keanekaragaman sedang sampai
tinggi (2.51 H' 3.68) berdasarkan klasifikasi Barbour et al. (1987). Indeks
keanekargaman jenis tertinggi diperoleh pada kategori pohon, pancang dan
tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah, dan terendah di hutan pegunungan
atas. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak adanya perbedaan
keanekaragaman jenis seiring dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hasil
yang sama juga dijumpai Setiadi (2005) di Nusa Tenggara Timur. Menurut Sagar
et al. (2003), keanekaragaman jenis sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat
lain, terutama karena variasi biogeografi, habitat, dan gangguan.

Simpulan

Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan pegunungan
yang tergolong dalam 129 marga dan 106 suku, meliputi 117 jenis pohon, 96 jenis
pancang, 116 jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah.
Terdapat perbedaan jumlah jenis tumbuhan pada setiap tipe hutan yang
diteliti. Hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis tertinggi dan terendah di
hutan subpegunungan.
31

4. KOMPOSISI DAN STRUKTUR HUTAN TROPIS


PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LINDU SULAWESI TENGAH

Abstrak
Ekosistem hutan pegunungan meliputi sekitar 21 persen dari total area hutan
tropis dunia. Ekosistem ini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dan
memiliki fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air, dan habitat
berbagai jenis tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah. Tujuan dari
penelitian ini adalah mempelajari komposisi komunitas vegetasi dan struktur
hutan pegunungan di TN. Lore Lindu. Pengumpulan data vegetasi, meliputi pohon
(dbh 10 cm), pancang (2 cm dbh <10 cm), semai, dan tumbuhan bawah pada
tiga plot kuadrat (masing-masing 0.24 ha) tipe hutan pegunungan pada ketinggian
900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl (hutan subpegunungan sampai hutan
pegunungan atas). Setiap tipe hutan disusun oleh jenis dominan yang berbeda (Ss
<10%). Sebanyak 310 jenis tumbuhan, hanya satu jenis yang dijumpai pada tiga
tipe hutan yang diteliti, 15 jenis di hutan subpegunungan dan pegunungan bawah,
dan dua jenis di hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas. Fagaceae
merupakan suku dominan utama di hutan subpegunungan (39.8% dari total basal
area), sama halnya dengan hutan pegunungan atas yang dominasi Podocarpaceae,
sedangkan di hutan pegunungan bawah didominasi Icacinaceae, namun dengan
basal area yang rendah (16.5%). Kerapatan individu pohon dan pancang tertinggi
diperoleh di hutan pegunungan atas, dan terendah di hutan subpegunungan,
namun berbeda halnya dengan semai dan tumbuhan bawah.
Kata kunci: hutan pegunungan, komposisi komunitas, Lore Lindu, struktur hutan,
Sulawesi

Abstract
Tropical montane forests ecosystem making up 21 percent of the total area
of the worlds tropical forests. This ecosystem has high level of species diversity,
contributes positively to the catchment water yield, and an essential habitat for
many endemic and threatened plant and animal species. Inventory of vegetation
communities, comprises of trees (dbh 10 cm) and saplings (2 cm dbh <10 cm),
seedlings and understorey plants were conducted on three quadrat plots (each 0.24
ha) in montane forest at 900 m, 1 500 m, and 2 300 m asl. Each site has different
species (Ss <10%). Out of 310 plant species, only one species was found at all
forest types, 15 species were found at submontane and lower montane forest, and
two species at lower montane and upper montane forest. In submontane forest,
Fagaceae were overall important (occupying 39.8% of the total basal area), similar
to upper montane that dominated by Podocarpace. Lower montane forest,
Icacinaceae is the most important family but has less basal area (16.5%). Upper
montane forest has higher density of trees and saplings, followed by lower
montane and submontane forest, but seedlings and understorey vegetation has
different pattern.
Keywords: community composition, forest structure, Lore Lindu, montane forest,
Sulawesi.
32

Pendahuluan

Ekosistem hutan pegunungan memiliki peranan penting, antara lain sebagai


daerah tangkapan air (Gltenboth et al. 2006), dan habitat berbagai jenis
tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah (Hostettler 2002). Eksosistem
hutan ini termasuk salah satu ekosistem yang sangat terancam dengan luas area
yang semakin menurun (Doumenge et al. 1995). Sebagai akibat deforestasi,
Sulawesi kehilangan sekitar 80% hutan primer, dan saat ini tersisa hanya sekitar
20% yang tersebar di pegunungan dan areal konservasi (Cannon et al. 2007).
Sulawesi merupakan bagian dari wilayah biogeografi Wallaceae, salah satu
biodiversity hotspots di Palaeotropik (Myers et al. 2000; Sodhi et al. 2004). Hasil
survei keanekaragaman jenis dan endemisitas tumbuhan pada lima pulau besar di
kawasan Malesia, menempatkan Sulawesi pada tingkat menengah (Roos et al.
2004). Cannon et al. (2007) mengungkapkan bahwa hal ini berkaitan dengan
rendahnya jumlah koleksi tumbuhan yang dari pulau ini dibandingkan dengan
pulau-pulau lain di Indonesia, serta terbatasnya studi taksonomi.
Penelitian terkait hutan tropis pegunungan di Sulawesi masih sangat
terbatas. Komposisi jenis vegetasi dan struktur hutan tropis pegunungan di
Sulawesi Tengah, khususnya di TN. Lore Lindu hubungannya dengan perubahan
ketinggian hanya diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan Culmsee &
Pitopang (2009), Culmsee et al (2010; 2011), pada ketinggian 1 050 m, 1 400 m,
1 800 m, dan 2 400 m dpl. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mempelajari
komposisi komunitas vegetasi dan struktur hutan subpegunungan, pegunungan
bawah, dan pegunungan atas pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl.

Bahan dan Metode

Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan primer TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah, masing-masing di Watukilo (S 0161.5', E 12007.4'),
Torongkilo (S 0141.5', E 12027.9'), dan Torenali (S 0128.6', E 12031.2').
Peta lokasi dan letak plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Ketiga plot penelitian masing-masing berada pada zona hutan
subpegunungan pada ketinggian 900 m dpl di Watukilo, hutan pegunungan bawah
pada ketinggian 1 500 m dpl di Torongkilo, dan hutan pegunungan atas pada
ketinggian 2 300 m dpl di Torenali, yang dipilih pada areal dengan kondisi
topografi cukup yang datar dan belum ada tanda-tanda aktivitas manusia. Menurut
Cannon et al. (2007), kondisi hutan di lokasi penelitian tergolong dalam hutan
primer dengan kondisi baik. Karakteristik dan topografi masing-masing plot
penelitian disajikan pada Tabel 3.1 dan Lampiran 20.

Pengumpulan data vegetasi


Pengamatan vegetasi dilakukan pada plot penelitian dengan menggunakan
metoda kuadrat (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974). Pada setiap tipe hutan
pegunungan dibuat plot berukuran 40 m x 60 m (0.24 ha) (Culmsee et al. 2011).
Setiap plot dibagi dalam 24 subplot, masing-masing berukuran 10 m x 10 m untuk
pengumpulan data pohon (termasuk palem dan paku pohon) dengan diameter
33

setinggi dada (dbh) 10 cm yang diukur pada tinggi 1.3 m. Pengumpulan data
pancang (2 cm dbh <10 cm) dilakukan pada subplot berukuran 5 m x 5 m yang
terdapat dalam setiap subplot 10 m x 10 m, sedangkan data semai (tinggi total
1.5 m) dan tumbuhan bawah (termasuk paku-pakuan) dilakukan dalam subplot
berukuran 2 m x 2 m yang terdapat dalam setiap subplot 5 m x 5 m. Bentuk dan
ukuran plot penelitian disajikan pada Gambar 3.3. Diameter pohon dan pancang
diukur menggunakan pita diameter (diameter tape), dan tingginya diukur
menggunakan vertex III dengan transpoder T3/60 (Harglf, Lngsele, Sweden).
Setiap individu pohon dan pancang ditandai menggunakan label permanen,
dan dilakukan pencatatan nama jenis dan suku (jika diketahui) serta karakter
morfologi, antara lain kulit batang dan getah (jika ada). Contoh daun, bunga dan
buah (jika ada) dikoleksi sebanyak tujuh duplikat untuk kepentingan identifikasi
dan koleksi herbarium yang disimpan di Herbarium Celebense (CEB), Herbarium
Bogoriense (BO), Herbarium Gttingen (GOET), dan Herbarium Leiden (L).

Identifikasi jenis tumbuhan


Identifikasi dilakukan pada 310 jenis tumbuhan, meliputi pohon dan
pancang, semai, dan tumbuhan bawah (semak, herba, liana, dan paku-pakuan)
yang dijumpai dalam plot penelitian. Identifikasi jenis dilakukan menggunakan
buku identifikasi, antara lain Flora Malesiana, dan Flora of Java, serta koleksi
spesimen tumbuhan di Herbarium Bogoriense, Herbarium Gettingen, dan
Herbarium Leiden sebagai referensi, dengan sistem tata nama (nomenclature)
jenis mengikuti International Plant Name Index (IPNI) (2012). Spesimen yang
tidak terdentifikasi sampai tingkat marga atau jenis, seperti Myrtaceae, Arecaceae,
dan beberapa suku lain dipisahkan berdasarkan karakter morfologi.

Analisis data
Setiap jenis tumbuhan dihitung nilai kerapatan (K), kerapatan relatif (KR),
frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dominasi (D), dominasi relatif (DR), basal
area (BA), dan indeks nilai penting (INP) menggunakan formula (Cox 1996),
sebagai berikut:
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan =
Luas plot
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan relatif (%) = x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Frekuensi = x 100%
Jumlah seluruh plot

Frekuensi suatu jenis


Frekuensi relatif (%) = x 100%
Frekuensi seluruh jenis

Basal area suatu jenis 1


Dominasi = ; Basal area = 4 (dbh)2
Luas plot
Dominasi suatu jenis
Dominasi relatif (%) = x 100%
Dominasi seluruh jenis
34

Dominasi setiap jenis pohon dan pancang diperoleh dari perbandingan basal
area dan luas plot, sedangkan untuk semai dan tumbuhan bawah iperoleh dari
perbandingan persentase penutupan dan luas plot contoh (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Kelas penutupan yang dimodifikasi dari Daubenmire (1959) dan
Wildi (2010)
Kelas penutupan Kisaran penutupan (%) Nilai tengah (%)
1 0.0 0.5 0.25
2 0.5 1.5 1.00
3 1.5 3.0 2.25
4 3.0 5.0 4.00
5 5.0 12.5 8.75
6 12.5 25.0 18.75
7 25.0 50.0 37.50
8 50.0 75.0 62.50
9 75.0 100.0 87.50

Perhitungan penutupan:
% penutupan jenis A = ( subplot kelas penutupan 1 * 0.25%
+ subplot kelas penutupan 2 * 1.00%
+ subplot kelas penutupan 3 * 2.25%
+ subplot kelas penutupan 4 * 4.00%
+ subplot kelas penutupan 5 * 8.75%
+ subplot kelas penutupan 6 * 18.75%
+ subplot kelas penutupan 7 * 37.50%
+ subplot kelas penutupan 8 * 62.50%
+ subplot kelas penutupan 9 * 87.50% jumlah total subplot

Indeks nilai penting (INP) untuk setiap jenis tumbuhan diperoleh dari
penjumlahan kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif
(DR).
Selain nilai penting jenis, dilakukan pula perhitungan nilai penting suku
(NPS) berdasarkan formula (Mori et al. 1983), sebagai berikut:
Jumlah jenis suatu suku
Keanekaragaman relatif (%) = x 100%
Jumlah total jenis
Jumlah individu suatu suku
Kerapatan relatif (%) = x 100%
Jumlah total individu
Jumlah basal area suatu suku
Dominasi relatif (%) = x 100%
Jumlah total basal area
Nilai penting setiap suku diperoleh dari penjumlahan keanekaragaman
relatif, kerapatan relatif, dan dominasi relatif.
Kesamaan jenis antara setiap tipe hutan yang diteliti dihitung menggunakan
indeks Srensen berdasarkan formula (Wildi 2010), sebagai berikut:
35

2a
Ss =
2a + b + c

dimana:
Ss = Indeks kesamaan Srensen
a = Jumlah jenis yang sama terdapat pada plot 1 dan 2
b = Jumlah jenis yang hanya terdapat pada plot 1
c = Jumlah jenis yang hanya terdapat pada plot 2
Diameter pancang dan pohon dikelompokkan dalam sembilan kelas
diameter, terdiri dari kelas diameter 2.0-9.9 cm, 10.0-19.9 cm, 20.0-29.9 cm, 30.0-
39.9 cm, 40.0-49.9 cm, 50.0-59.9 cm, 60.0-69.9 cm, 70.0-79.9 cm, 80 cm untuk
mengetahui tipe regenerasi setiap tipe hutan yang diteliti. Selain itu, dilakukan
pula perhitungan persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi, terdiri dari
kelas tinggi <10.0 m, 10.0-19.9 m, 20.0-29.9 m, 30.0-39.9 cm, dan 40 m.

Hasil

Komposisi komunitas
Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 129 marga
dan 106 suku, masing-masing 117 jenis pohon, 96 jenis pancang, 116 jenis semai,
dan 121 jenis tumbuhan bawah pada seluruh tipe hutan yang diteliti. Jumlah jenis
dan suku tertinggi diperoleh di hutan pegunungan bawah pada ketinggian 1 500 m
dpl, dan terendah di hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m dpl (Bab 3).
Hasil analisis kesamaan jenis Srensen antara tiga tipe hutan pada setiap
kategori (pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah) diperoleh indeks
kesamaan jenis dengan nilai berkisar dari 0.000 sampai 0.086 (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan jenis (indeks
Srensen) antara tiga tipe hutan pegunungan
Indeks kesamaan
Tipe hutan HSP HPB HPA
Pohon
HSP 0.085 0.008
HPB 0.915 0.044
HPA 0.992 0.956
Pancang
HSP 0.080 0.000
HPB 0.092 0.052
HPA 1.000 0.948
Semai
HSP 0.062 0.000
HPB 0.938 0.023
HPA 1.000 0.977
Tumbuhan bawah
HSP 0.086 0.000
HPB 0.914 0.000
HPA 1.000 1.000
Indeks ketidaksamaan
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan
pegunungan atas.
36

Secara keseluruhan, ketiga tipe hutan yang diteliti hanya disusun oleh satu
jenis yang sama, yaitu L. celebicus (Fagaceae), 15 jenis yang sama antara hutan
subpegunungan dan pegunungan bawah, yaitu Elaeocarpus erdinii
(Elaeocarpaceae), L. celebicus, Archidendron clyperia (Fabaceae), Cryptocarya
densiflora (Lauraceae), Chionanthus pluriflorus, C. polygamus (Oleaceae),
Podocarpus neriifolius (Podocarpaceae), Prunus grisea (Rosaceae), Psychotria
malayana (Rubiaceae), Acronychia pedunculata (Rutaceae), Acer laurinum
(Sapindaceae), Anoestochilus sp. (Orchidaceae), Piper sp.1 (Piperac.), Smilax
perfoliata (Smilaxaceae), dan Cayratia corniculata (Vitaceae), dan dua jenis yang
sama antara hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas, yaitu Neolitsea
javanica (Lauraceae) dan L. celebicus.
Sepuluh jenis pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah dominan
penyusun tiga tipe hutan pegunungan disajikan pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6.
Jenis pohon di hutan subpegunungan di Watukilo di dominasi C. buruana
(Fagaceae) dengan nilai penting sebesar 23.3% dari total INP. Jenis dominan
lainnya, yaitu Gironniera subaequalis (Cannabaceae) dan Santiria apiculata
(Burseraceae). Jenis C. buruana juga masih merupakan jenis dominan utama pada
kategori pancang (26.9% dari total INP), diikuti S. apiculata, dan Gnetum gnemon
(Gnetaceae). Semai didominasi jenis A. riparium subsp. riparium
(Phyllanthaceae), diikuti Cryptocarya densiflora, dan Litsea formanii (Lauraceae),
sedangkan jenis tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.1 (Arecaceae),
Ziziphus angustifolius (Rhamnaceae), dan Dioscorea kingii (Dioscoreaceae)
(Lampiran 1, 2, 3, dan 4).
Hutan pegunungan bawah di Torongkilo didominasi jenis P. excelsa var.
borneensis (Icacin.) dengan nilai penting 12.9% dari total INP, diikuti
Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae), dan Magnolia carsonii var. carsonii
(Magnoliaceae) pada kategori pohon, sedangkan kategori pancang didominasi
jenis L. beccarianum, Ardisia forbesii (Primulaceae), dan Cyathea contaminans
(Cyath.). Kategori semai didominasi jenis C. soualattri (Calophyllaceae), diikuti
P. excelsa var. borneensis, dan A. forbesii, dan kategori tumbuhan bawah
didominasi jenis Calamus sp.5, C. zollingeri, dan Calamus sp.6 (Arecaceae)
(Lampiran 5, 6, 7, dan 8).
Hutan pegunungan atas di Torenali didominasi jenis P. hypophylla
(Podocarpaceae), dengan nilai penting 23.4% dari total INP, diikuti Dacrycarpus
steupii (Podocarpaceae), dan Lithocarpus havilandii (Fagaceae) pada kategori
pohon, sedangkan pancang didominasi jenis T. papuana (Trimeniaceae),
Tasmannia piperita (Winteraceae), dan Myrsine minutifolia (Primulaceae). Semai
didominasi jenis M. minutifolia, diikuti Quintinia apoensis (Parachrypiaceae), dan
Areca sp. (Arecaceae), dan kategori tumbuhan bawah didominasi jenis S. pumila
(Melast.) , Blechnum sp. (Blechnaceae), dan Davalliaceae non det. (Lampiran 9,
10, 11, dan 12)
37

Tabel 4.3 Sepuluh jenis pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan

No. Jenis KR FR DR INP

Hutan subpegunungan (900 m dpl)


1 Castanopsis buruana Miq. 24.84 13.92 31.08 69.83
2 Gironniera subaequalis Planch. 9.80 9.57 5.67 25.04
3 Santiria apiculata A.W.Benn. 11.11 9.57 4.15 24.83
4 Ixonanthes petiolaris Bl. 3.92 5.22 15.31 24.45
5 Trigonopleura malayana Hook.f. 6.54 8.7 5.31 20.54
6 Gnetum gnemon L. 7.19 8.7 1.77 17.66
7 Litsea formanii Kosterm. 3.27 4.35 9.92 17.54
8 Trigonobalanus verticillata Forman 3.92 2.61 6.36 12.89
9 Syzygium sp.3 3.27 4.35 1.94 9.56
10 Artocarpus teysmannii Miq. subsp.
teysmannii 1.96 2.61 4.78 9.35
Jenis lain (23 jenis) 154.2 30.45 13.69 68.3
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunungan bawah (1 500 m dpl)
1 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine)
Sleum. 14.19 10.42 14.03 38.64
2 Elaeocarpus sp.1 4.52 4.17 9.47 18.15
3 Magnolia carsonii Dandy ex Noot. var.
carsonii 2.58 2.08 12.14 16.80
4 Pouteria firma (Miq.) Baehni 3.87 4.17 5.59 13.63
5 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. 4.52 4.86 2.12 11.49
6 Calophyllum soulattri Burm. f. 3.23 3.47 4.02 10.72
7 Pandanus sarasinorum Warb. 3.87 4.17 0.97 9.01
8 Syzygium acuminatissimum (Blume) 1.94 1.39 5.14 8.47
9 Platea latifolia Bl. 3.23 2.78 2.42 8.43
10 Syzygium sp.2 1.94 2.08 3.92 7.93
Jenis lain (51 jenis) 56.28 60.30 40.18 156.74
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunungan atas (2 300 m dpl)
1 Phyllocladus hypophylla Hook.f. 23.42 14.03 32.75 70.20
2 Dacrycarpus steupii (Wasscher) 10.81 9.76 19.33 39.90
3 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett 6.76 7.93 12.73 27.41
4 Quintinia apoensis Schltr. 8.11 8.54 4.49 21.13
5 Trimenia papuana Ridley 7.21 6.10 2.62 15.93
6 Syzygium sp.5 5.86 5.49 4.24 15.59
7 Neolitsea javanica (Bl.) Backer 5.41 6.71 1.48 13.59
8 Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. 3.60 4.27 5.16 13.03
9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott 4.95 6.10 1.89 12.95
10 Elaeocarpus steupii Coode 4.05 4.27 2.29 10.62
Jenis lainnya (19 jenis) 19.80 26.84 13.01 59.65
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
a
KR: kerapatan relatif (%); FR: frekuensi relatif (%); DR: dominasi relatif (%); INP: indeks nilai
penting (%).
38

Tabel 4.4 Sepuluh jenis pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan

No. Jenis KR FR DR INP

Hutan subpegunungan (900 m dpl)


1 Castanopsis buruana Miq. 34.58 7.94 38.08 80.59
2 Santiria apiculata A.W.Benn. 11.21 15.87 7.21 34.30
3 Praravinia mindanaensis (Elmer)
Bremek. 13.08 14.29 5.45 32.82
4 Gnetum gnemon L. 6.54 9.52 10.00 26.07
5 Horsfieldia costulata (Miq.) Warb. 4.67 4.76 6.26 15.69
6 Gironniera subaequalis Planch. 3.74 6.35 4.39 14.48
7 Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. 2.80 3.17 7.66 13.64
8 Lindera novoguineensis Kosterm. 3.74 4.76 4.69 13.19
9 Syzygium sp.3 2.80 4.76 3.23 10.79
10 Lithocarpus elegans (Bl.) Hatus. ex
Soepadmo 1.87 3.17 0.54 5.58
Jenis lain (15 jenis) 14.89 25.43 12.53 52.86
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunugan bawah (1 500 m dpl)
1 Lophopetalum beccarianum Pierre 10.74 10.19 10.46 31.39
2 Ardisia forbesii S.Moore 8.26 7.41 5.28 20.95
3 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.) 4.13 3.70 10.68 18.52
4 Calophyllum soualattri Burm. f. 7.44 4.63 5.51 17.58
5 Dicksonia blumei (Kunze) Moore 4.13 4.63 8.35 17.11
6 Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume) 6.61 5.56 3.46 15.63
7 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine) 4.96 5.56 2.98 13.50
8 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. 3.31 3.70 3.59 10.60
9 Macadamia hildebrandii Steenis 2.48 2.78 5.30 10.56
10 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. 1.65 1.85 4.77 8.27
Jenis lain (40 jenis) 43.88 47.32 35.61 127.61
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunungan atas (2 300 m dpl)
1 Trimenia papuana Ridley 18.91 15.45 22.17 56.52
2 Tasmannia piperita Miers 18.91 12.20 11.87 42.97
3 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer) Pipoly 5.97 8.13 8.29 22.39
4 Myrsine involucrata (Mez) Pipoly 7.46 8.13 6.69 22.28
5 Quintinia apoensis Schltr. 7.46 8.13 6.18 21.78
6 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett 6.97 6.50 7.75 21.22
7 Phyllocladus hypophylla Hook.f. 6.47 7.32 6.03 19.81
8 Neolitsea javanica (Bl.) Backer 6.47 7.32 5.85 19.64
9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott 3.98 4.88 5.50 14.36
10 Psychotria celebica Miq. 3.98 3.25 4.05 11.28
Jenis lain (17 jenis) 13.48 18.67 15.64 47.76
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
a
KR: kerapatan relatif (%); FR: frekuensi relatif (%); DR: dominasi relatif (%); INP: indeks nilai
penting (%).
39

Tabel 4.5 Sepuluh jenis semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan

No. Jenis KR FR DR INP

Hutan subpegunungan (900 m dpl)


1 Antidesma riparium Airy Shaw subsp.
riparium 9.19 6.29 16.36 31.84
2 Cryptocarya densiflora Blume 15.19 10.06 3.01 28.27
3 Santiria apiculata A.W.Benn. 9.89 8.81 6.85 25.55
4 Calophyllum soualattri Burm.f. 0.71 1.26 15.00 16.97
5 Annonaceae non det 1 0.71 1.26 14.83 16.79
6 Litsea formanii Kosterm. 8.13 6.92 0.83 15.87
7 Archidendron clypearia (Jack)
I.C.Nielsen 3.89 3.14 6.50 13.53
8 Litsea fulva (Blume) VILLAR 5.65 5.66 0.53 11.85
9 Cryptocarya microcos Kosterm. 6.36 4.40 0.59 11.35
10 Dictyoneura acuminata Blume 2.47 3.14 5.67 11.29
Jenis lain (29 jenis) 37.78 49.07 29.86 116.68
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunugan bawah (1 500 m dpl)
1 Calophyllum soualattri Burm.f. 40.92 8.00 12.15 61.07
2 Platea excelsa Blume 9.08 8.45 5.42 22.94
3 Ardisia forbesii S.Moore 4.88 6.23 9.44 20.54
4 Syzygium sp.7 8.67 9.34 2.32 20.33
5 Lasianthus rhinocerotis Blume 2.98 3.56 13.51 20.05
6 Lasianthus biflorus (Blume)
M.G.Gangop. & Chakrab. 3.52 3.56 10.75 17.83
7 Syzygium sp.2 7.05 6.23 2.94 16.21
8 Areca vestiaria Giseke 3.12 7.11 4.77 15.00
9 Pandanus sarasinorum Warb. 1.63 3.11 7.48 12.22
10 Podocarpus neriifolius D.Don 1.90 4.45 2.91 9.26
Jenis lain (47 jenis) 16.25 39.87 28.33 84.61
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunungan atas (2 300 m dpl)
1 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer) Pipoly 25.57 10.95 15.59 52.10
2 Quintinia apoensis (Elmer) Schltr. 7.01 5.97 18.87 31.85
3 Tasmannia piperita (Hook. f.) Miers 9.28 6.97 8.08 24.32
4 Areca sp. 4.52 6.97 10.31 21.80
5 Psychotria celebica Miq. 7.01 7.96 6.80 21.77
6 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett 2.94 3.48 9.22 15.64
7 Dacrycarpusimbricatus (Blume) 3.62 4.48 6.08 14.18
8 Acronychia trifoliata Zoll. & Moritzi 3.17 4.98 4.42 12.56
9 Podocarpus pilgeri Foxw. 2.04 3.48 5.66 11.17
10 Phyllocladus hypophyllus Hook.f. 5.66 4.48 1.00 11.13
Jenis lain (21 jenis) 29.19 40.33 13.99 83.42
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
a
KR: kerapatan relatif (%); FR: frekuensi relatif (%); DR: dominasi relatif (%); INP: indeks nilai
penting (%).
40

Tabel 4.6 Sepuluh jenis tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan
pegunungan

No. Jenis KR FR DR INP

Hutan subpegunungan (900 m dpl)


1 Calamus sp.1 18.32 12.66 41.22 72.20
2 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex Steenis 12.31 8.86 18.47 39.64
3 Dioscorea kingii R.Knuth 10.81 5.70 2.58 19.09
4 Desmodium megaphyllum Zoll. 7.81 10.13 1.07 19.01
5 Asplenium sp.1 9.91 3.80 2.92 16.63
6 Dinochloa barbata S.Dransf. 5.41 5.70 4.97 16.07
7 Diplazium sp.2 5.11 5.70 2.73 13.53
8 Smilax perfoliata Lour. 5.41 6.33 1.32 13.05
9 Araceae non det 3 3.30 6.33 0.63 10.27
10 Thelypteridaceae non det 3 1.20 1.90 5.12 8.22
Jenis lain (27 jenis) 20.40 32.89 18.96 72.27
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunugan bawah (1 500 m dpl)
1 Calamus sp.5 9.20 8.57 28.82 46.59
2 Calamus zollingeri Becc. 5.17 5.10 22.77 33.05
3 Calamus sp.6 2.87 2.65 10.91 16.43
4 Elatostema acuminatum (Poir.) Brogn 6.32 3.47 3.42 13.21
5 Psychotria laxiflora 5.17 5.10 1.04 11.31
6 Smilax perfoliata Lour 5.17 4.29 1.19 10.65
7 Chloranthus elatior Link 5.17 2.65 2.87 10.69
8 non det 3 4.02 5.10 0.80 9.92
9 Piper sp.3 4.02 3.47 1.59 9.08
10 Freycinetia distigmata B.C. Stone 4.60 0.82 3.03 8.44
Jenis lain (46 jenis) 48.12 58.86 23.63 130.60
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Hutan pegunungan atas (2 300 m dpl)
1 Sonerila pumila 64.76 12.24 6.65 83.66
2 Blechnum sp. 8.59 11.73 30.44 50.77
3 Davalliaceae non det 3.85 5.61 21.35 30.82
4 Alpinia sp. 2.17 5.10 22.86 30.14
5 Aeschynanthus burttii Mendum 2.37 6.63 7.81 16.82
6 Selliguea sp.2 2.76 8.16 2.51 13.44
7 Hoya mirophylla Schltr 1.68 6.63 0.62 8.93
8 Thelypteridaceae non det 2 1.58 5.61 0.89 8.08
9 Agalmyla brownii (Koord.) B.L. Burtt 1.78 5.10 0.50 7.38
10 Freycinetia sp.1 1.18 4.08 1.43 6.70
Jenis lain (24 jenis) 9.30 29.07 4.92 43.3
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
a
KR: kerapatan relatif (%); FR: frekuensi relatif (%); DR: dominasi relatif (%); INP: indeks nilai
penting (%).
41

Ditinjau dari segi persentase jumlah jenis tumbuhan bawah, jenis herba
lebih banyak di jumpai di hutan pegunungan atas (35.29%) dan terendah di hutan
pegunungan bawah (33.93%). Persentase jenis liana tertinggi dijumpai di hutan
subpegunungan (37.84%) dan terendah di hutan pegunungan atas (17.65%),
berbeda halnya dengan kelompok paku-pakuan dimana jumlah jenis tertinggi di
jumpai di hutan pegunungan atas (47.06%) dan terendah di hutan subpegunungan
(27.03%), sedangkan kelompok semak hanya dijumpai di hutan pegunungan
bawah (Gambar 4.1).

Hutan subpegunungan Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan atas


(900 m dpl) paku-
(1 500 m dpl) (2 300 m dpl)
pakuan paku-
paku- semak 33,93% pakuan
semak semak
pakuan 0.00% 47.06%
3.57% 0.00%
27.03%

herba
herba 35.29%
35.13%

herba
33.93%

liana liana liana


37.84% 28.57% 17.65%

Gambar 4.1 Persentase jumlah jenis tumbuhan bawah setiap tipe hutan
pegunungan.

Suku dominan pada tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah disajikan pada Gambar 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Berdasarkan suku
penyusun, dijumpai tujuh suku dominan yang sama pada seluruh tipe hutan yang
diteliti, yaitu Fagaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Rubiaeae, Rutaceae, Arecaceae,
dan Aspleniaceae. Pohon di hutan subpegunungan lebih didominasi Fagaceae
diikuti Lauraceae dan Ixonanthaceae. Pancang didominasi suku Fagaceae,
Rubiaceae, dan Arecaceae, sedangkan semai didominasi Lauraceae,
Phyllanthaceae, dan Rubiaceae. Kategori tumbuhan bawah didominasi Arecaceae,
diikuti Rhamnaceae, dan Aspleniaceae (Lampiran 13, 14, dan 15).
Hutan pegunungan bawah didominasi suku Icacinaceae, Myrtaceae, dan
Elaeocarpaceae pada kategori pohon, dan pancang didominasi Lauraceae,
Elaeocarpaceae, dan Celastraceae, sedangkan semai didominasi Calophyllaceae,
Rubiaceae, dan Myrtaceae. Sama halnya dengan tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan, pada tipe hutan ini juga didominasi Arecaceae, diikuti
Aspleniaceae, dan Rubiaceae (Lampiran 13, 14, dan 15).
Hutan pegunungan atas didominasi Podocarpaceae, diikuti Myrtaceae, dan
Fagaceae pada kategori pohon, dan pancang didominasi Trimeniaceae, Myrtaceae,
dan Primulaceae, sedangkan semai didominasi Primulaceae, Podocarpaceae, dan
Paracryphiaceae. Kategori tumbuhan bawah didominasi suku Melastomataceae,
diikuti Aspleniaceae, dan Polypodiaceae (Lampiran 13, 14, dan 15).
Fagaceae, Lauraceae, dan Myrtaceae merupakan suku pohon dominan
penyusun tiga tipe hutan yang diteliti, sedangkan Rubiaceae dijumpai dominan
namun hanya pada kategori pancang dan semai. Suku tumbuhan bawah yang
dijumpai dominan pada tiga tipe hutan adalah Aspleniaceae dari kelompok paku-
pakuan, sedangkan Arecaceae (Calamus spp.) juga ditemukan pada tiga tipe hutan
namun hanya dominan di hutan subpegunungan dan hutan pegunungan bawah.
42

105.4
120
Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)

95.0
Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)
100 87.0 Hutan pegunungan atas (Torenali, 2300 m)
Nilai Penting Suku (%)

80

60

44.9
42.9
40.9

40.2
37.2
30.1

40

25.9

25.5
22.3
20.2

19.6
18.5

18.3

16.0
15.9
14.9

14.8
14.4
14.4

13.3
12.9

12.0

11.1

10.8

10.7
10.4
10.3

10.0
20

8.2

8.0
6.3
5.0

4.0
2.8

Suku

Gambar 4.2 Suku pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.
88.4

87.3
100
Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)
Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)
Nilai Penting Suku (%)

80 Hutan pegunungan atas (Torenali, 2300 m)

53.6
60
44.8

41.7

40.9
34.5
32.8

29.9
27.6

40
27.0

26.1
25.8

23.2

22.7
22.4

20.5

20.4
17.8

17.4
16.8

15.8
14.9

15.0

14.5

13.3
12.1
12.1

11.9
11.7

11.6
10.9

10.7

20
6.8

6.7
4.4
3.0

3.0

Suku

Gambar 4.3 Suku pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.

80 Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)


69.8

Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)


58.2
58.5
Nilai Penting Suku (%)

atas (Torenali, 2300 m)


Hutan pegunungan bawah
54.9
50.4
50.1

60
42.4
33.7

32.8

40
29.0
28.0

24.5

20.6
19.2

18.2

18.1
18.0

18.1
16.3
17.0

16.7
15.0

16.0
15.4
13.7

12.9

13.7
12.4
12.1

11.6
11.1

10.9

20
10.0

9.6
7.1
6.9

6.6
5.2
3.8

3.3
2.3

2.3

2.1
1.9

Suku

Gambar 4.4 Suku semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.
43

Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)

92.0
Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)

90.0
100
Hutan pegunungan atas (Torenali, 2300 m)

76.1
Nilai Penting Suku (%)
80

62.5
60

43.7
42.2
33.5

28.3

27.4
27.4
40

26.9
21.5
21.2

21.1
20.2

19.2

16.8

16.4

16.0
13.2

12.0
11.6

11.5

11.5
10.5
20

9.9

9.8
9.5

9.5
9.4

9.0

8.4
8.1

7.9
6.8

6.8
4.1
3.4

3.4
3.3

3.3
3.2

3.1

3.1
2.7

2.7
0

Suku

Gambar 4.5 Suku tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.

Struktur hutan
Struktur hutan pada tiga tipe hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Struktur hutan pada plot seluas 0.24 ha ( se) pada tiga tipe hutan
pegunungan
Tipe hutan
Parameter struktur
HSP HPB HPA
Jumlah individu pohon (0.24 ha) 153 155 222
Jumlah individu pancang (0.06 ha) 107 121 201
Jumlah individu semai (0.01 ha) 285 738 442
Jumlah individu tumbuhan bawah (0.01 ha) 333 177 1 013
Jumlah individu gymnosperm
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 11 4 84
Jumlah individu angiosperm
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 142 145 137
Jumlah individu paku pohon
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 0 6 1
Kerapatan pohon (ind/ha) 638 646 925
Kerapatan pancang (ind/ha) 1 783 2 017 3 350
Kerapatan semai (ind/ha) 29 688 76 875 46 042
Kerapatan tumbuhan bawah (ind/ha) 34 688 18 438 105 521
Rata-rata tinggi pohon (dbh 10 cm) (m) 20.9 0.7 20.5 0.7 15.5 0.4
Rata-rata tinggi angiosperm (dbh 10 cm) (m) 20.9 0.7 20.6 0.7 14.2 0.5
Rata-rata tinggi gymnosperm (dbh 10 cm) (m) 14.8 1.6 18.9 3.4 17.5 0.6
Rata-rata tinggi paku pohon (dbh 10) cm (m) 0 8.0 0.5 (5.5)
Rata-rata diameter pohon (cm) 25.5 1.4 23.3 1.2 21.9 0.8
Basal area pohon (m/ha) 46.75 38.28 44.42
Basal area pancang (m/ha) 3.95 3.71 5.49
Penutupan semai (%) 18.37 42.08 22.83
Penutupan tumbuhan bawah (%) 22.27 12.56 28.05
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas.
44

Tabel 4.7 memperlihatkan bahwa kerapatan individu pohon, pancang, dan


tumbuhan bawah tertingi dijumpai di hutan pegunungan atas, sedangkan
kerapatan semai tertinggi ditemukan di hutan pegunungan bawah. Persentase
penutupan semai juga terlihat tinggi di hutan pegunungan bawah, namun memiliki
persentase penutupan tumbuhan bawah yang rendah.
Selain itu, hutan pegunungan bawah memiliki jumlah individu paku pohon
(tree fern) tertinggi dan tidak dijumpai di hutan subpegunungan pada areal seluas
0.24 ha, namun jumlah individu angiosperm terlihat sangat tinggi di hutan
pegunungan atas dibandingkan dua tipe hutan lainnya. Perbedaan juga terlihat
pada rata-rata tinggi pohon yang lebih rendah di hutan pegunungan atas,
dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya.
Hutan pegunungan bawah memiliki rata-rata diameter pohon yang lebih
tinggi dibandingkan dengan hutan pegunungan atas, namun basal area terlihat
tinggi di hutan pegunungan atas dibandingkan dengan hutan pegunungan atas.
Perbedaan kerapatan dan basal area pohon dan pancang berdasarkan kelas
diameter dapat dilihat pada Gambar 4.6.
3500 Hutan subpegunungan 3500 3500
Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan atas
(900 m dpl) (1 500 m dpl) (2 300 m dpl)
Kerapatan (ind/ha)

3000 3000 3000

2500 2500 2500

2000 2000 2000

1500 1500 1500

1000 1000 1000

500 500 500

0 0 0
10-

20-

30-

40-

50-

60-

70-
2-9.9

10-19.9

20-29.9

30-39.9

40-49.9

50-59.9

60-69.9

70-79.9
2-9.9

10-19.9

20-29.9

30-39.9

40-49.9

50-59.9

60-69.9

70-79.9

80
80

2-9.9

80
12.0 12.0 12.0

10.0 10.0 10.0


Basal area (m/ha)

8.0 8.0 8.0

6.0 6.0 6.0

4.0 4.0 4.0

2.0 2.0 2.0

0.0 0.0 0.0


2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

Kelas diameter (cm)

Gambar 4.6 Kerapatan dan basal area pohon dan pancang ( sd)
berdasarkan kelas diameter antara tiga tipe hutan
pegunungan.

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa individu pohon dengan diameter lebih


kecil memiliki kerapatan lebih tinggi dibandingkan dengan pohon berdiameter
lebih besar, khususnya di hutan subpegunungan dan pegunungan atas, sedangkan
di hutan pegunungan bawah juga terlihat penurunan kerapatan namun kembali
meningkat pada kelas diameter 50 cm sampai lebih dari 70 cm. Selain itu, tidak
dijumpai pohon dengan diameter lebih dari 70 cm, dibandingkan dengan tipe
hutan lainnya. Namun, secara keseluruhan kerapatan individu pohon pada setiap
45

tipe hutan termasuk dalam bentuk tipe J-terbalik atau membentuk grafik tegakan
tidak seumur.
Basal area pohon tertinggi di hutan subpegunungan dijumpai pada kelas
diameter 30 cm sampai dengan 39.9 cm sebesar 21.4% dari total basal area, di
hutan pegunungan bawah ditemukan pada kelas diameter 60 cm sampai dengan
lebih dari 70 cm (21.0% dari total basal area), sedangkan kelas diameter 20 cm
sampai dengan 39.9 cm di hutan pegunungan atas sebesar 20.8% dari total basal
area.
Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis dominan pada
setiap tipe hutan yang diteliti (Gambar 4.7, 4.8, dan 4.9) menunjukkan bahwa
sebagian besar (9 jenis) termasuk dalam tipe J-terbalik, yaitu C. buruana, G.
subaequalis, S. apiculata, P. excelsa var. borneensis, Elaeocarpus sp.1, P.
hypophylla, D. steupii, L. havilandii, dan Q. apoensis), namun jenis S. apiculata
dan Q. apoensis tidak dijumpai pada kelas diameter 30 cm. Jenis I. petiolaris dan
M. carsonii var. carsonii termasuk dalam tipe emergen, sedangkan jenis P. firma
termasuk dalam tipe sporadis.
700 70 250 10
a b c d
600 60
200 8
Kerapatan (ind/ha)

500 50

400 40 150 6

300 30
100 4
200 20
50 2
100 10

0 0 0 0
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

Kelas diameter (cm)

Gambar 4.7 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon
dominan di hutan subpegunungan. (a) C. buruana,
(b) G. subaequalis, (c) S. apiculata, dan (d). I. petiolaris.

14 16
120 25
a b 12
c 14 d
100
20
Kerapatan (ind/ha)

12
10
80 10
15 8
60 8
6
10 6
40 4
4
20 5
2 2
0 0 0 0
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
2-9.9

80

10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
2-9.9
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9

80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

80

Kelas diameter (cm)

Gambar 4.8 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon
dominan di hutan pegunungan bawah. (a) P. excelsa var. borneensis,
(b) Elaeocarpus sp.1, (c) M. carsonii var. carsonii, dan (d) P. firma.
46

250 70 250 300


a b c d
60 250
200 200
Kerapatan (ind/ha)

50
200
150 150
40
150
100 30 100
100
20
50 50
10 50

0 0 0 0
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9

2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80

80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
Kelas diameter (cm)

Gambar 4.9 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon
dominan di hutan pegunungan atas. (a) P. hypophylla, (b) D. steupii,
(c) L. havilandii, dan (d) Q. apoensis.

Hutan subpegunungan memiliki kerapatan individu dan persentase


penutupan tertinggi pada kelompok liana dan terendah di hutan pegunungan atas,
berbeda dengan kelompok paku-pakuan, sedangkan semai, semak dan herba
ditemukan tinggi di hutan pegunungan bawah (Gambar 4.10).

Hutan subpegunungan
100000 Hutan pegunungan bawah
100000 Hutan pegunungan atas
100000
(900 m dpl) (1 500 m dpl) (2 300 m dpl)
Kerapatan (ind/ha)

80000 80000 80000

60000 60000 60000

40000 40000 40000

20000 20000 20000

0 0 0
a b c d e a b c d e a b c d e

50.0 50.0 50

40.0 40.0 40
Penutupan (%)

30.0 30.0 30

20.0 20.0 20

10.0 10.0 10

0.0 0.0 0
a b c d e a b c d e a b c d e
Kategori

Gambar 4.10 Kerapatan dan persentase penutupan semai (a), semak


(b), herba (c), liana (d), dan paku-pakuan (e) ( sd)
antara tiga tipe hutan pegunungan.
47

Kelas tinggi berdasarkan persentase jumlah individu (Gambar 4.11) terlihat


bahwa hutan subpegunungan memiliki persentase jumlah individu yang lebih
tinggi pada kelas tinggi lebih dari 30 meter, dan terendah di hutan pegunungan
atas, sedangkan hutan pegunungan atas memiliki persentase jumlah individu yang
lebih tinggi pada kelas tinggi kurang dari 10 meter (56.1%), dan 99% individu
terdapat pada kelas tinggi kurang dari 30 meter, serta tidak ditemukan individu
pohon pada kelas tinggi lebih dari 40 meter.
100 100 100
Hutan subpegunungan Hutan pegunungan bawah Hutan pegunungan atas
(900 m dpl) (1 500 m dpl) (2 300 m dpl)
80 80 80
Jumlah individu (%)

60 56.2
60 60
44.9
40.8
40 40 40 33.6
30.4
26.4
22.5
19.2
20 20 20
6.9 9.5
2.7 3.6 2.5 0.7
0 0 0
10-19.9

20-29.9

30-39.9

40
<10

10-19.9

20-29.9

30-39.9

40
<10

<10

10-19.9

20-29.9

30-39.9

40
Kelas tinggi (m)

Gambar 4.11 Persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi ( sd)


antara tiga tipe hutan pegunungan.

Profil diagram tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu (Lampiran 17,
18, dan 19) memperlihatkan bahwa lapisan tajuk utama (tinggi >30 m) di hutan
subpegunungan ditempati jenis-jenis, antara lain C. buruana, T. malayana
(Euphorbiaceae), I. petiolaris, L. formanii, Planchonella chartacea, T. verticillata
(Fagaceae), dan A. teysmanii subs. teysmanii. Lapisan tajuk kedua (20 m < tinggi
30 m) ditempati jenis-jenis, antara lain G. subaequalis, G. gnemon, S. apiculata,
C. densiflora, Litsea timoriana, Chionanthus polygamus, dan Palaquium
obovatum. Lapisan tajuk ketiga (4 m tinggi <20 m) ditempati jenis-jenis, antara
lain Cryptocarya microcos, S. apiculata, G. subaequalis, Polyosma integrifolia,
G. gnemon. Lapisan tajuk keempat (1 m tinggi <4 m) ditempati jenis-jenis,
antara lain P. mindanaensis, D. blumei, dan A. riparium subsp. riparium,
sedangkan beberapa jenis-jenis semai dan tumbuhan bawah, antara lain beberapa
jenis-jenis liana (Calamus spp.), herba, dan paku-pakuan menempati lapisan tajuk
kelima (tinggi <1 m).
Hutan pegunungan bawah ditempati jenis-jenis, antara lain C. soualattri,
Elaeocarpus sp1., P. latifolia, M. carsonii var. carsonii, Ficus sp., Ficus
crassiramea, Syzygium sp., S. acuminatissimum, M. hildebrandii, Prunus grisea,
dan P. firma menempati lapisan tajuk utama. Lapisan tajuk kedua ditempati jenis-
jenis, antara lain Platea excelsa var. borneensis, Lithocarpus luteus, Ilex
celebensis, T. tetrandra, Litsea ochracea, dan Syzygium sp. Lapisan tajuk ketiga
ditempati jenis-jenis, antara lain Phaeanthus ebracteolatus, T. tetrandra, Ilex
celebensis, Polyscias nodosa, Tabernaemontana sphaerocarpa, Garcinia
lateriflora, Pinanga caesea, L. beccarianum, P. sarasinorum, C. contaminans,
dan D. blumei. Lapisan tajuk keempat di hutan pegunungan ditempati jenis-jenis,
48

antara lain C. contaminans, D. blumei, P. sarasinorum, Urophyllum arboreum,


Lasianthus lucidus, dan L. biflorus, sedangkan beberapa jenis-jenis semai dan
tumbuhan bawah, antara lain beberapa jenis-jenis semak, liana (Calamus spp.),
herba, dan paku-pakuan menempati lapisan tajuk kelima (tinggi <1 m).
Berbeda dengan dua tipe hutan lainnya, lapisan tajuk utama di hutan
pegunungan atas di Torenali hanya ditempati jenis P. hypophylla dan Lithocarpus
havilandii. Lapisan tajuk kedua ditempati jenis-jenis, antara lain D. steupii, D.
imbricatus, Syzygium sp., Q. apoensis, dan Prunus arborea. Lapisan tajuk ketiga
ditempati jenis-jenis, antara lain A. trifoliolata, D. imbricatus, Adinandra sp., Q.
apoensis, X. angustifolia, dan N. javanica. Lapisan tajuk keempat ditempati jenis-
jenis, antara lain Vaccinium lauriflorum, Rhododendron sp., M. involucrata, dan
T. piperita, sedangkan lapisan tajuk kelima ditempati jenis-jenis herba, antara lain
S. pumila, Alpinia sp., dan paku-pakuan.

Pembahasan

Komposisi Komunitas
Hutan pegunungan yang diteliti pada ketinggian 900 m dpl (hutan
subpegunungan), 1 500 m dpl (hutan pegunungan bawah), dan 2 300 m dpl (hutan
pegunungan atas) disusun oleh jenis pohon, pancang, semai, maupun tumbuhan
bawah dominan yang berbeda. Hal tersebut juga diperkuat hasil analisis indeks
kesamaan dengan nilai kurang dari <10% atau tergolong dalam kategori rendah
(Crabs 1978). Hasil ini memperkuat simpulan Aiba dan Kitayama 1999; Ashton
2003; Culmsee et al. 2010 bahwa komposisi komunitas vegetasi, akan mengalami
perubahan dengan bertambahnya ketinggian tempat.
Berdasarkan nilai penting suku, pohon di hutan subpegunungan sangat
didominasi oleh suku Fagacae (C. buruana, Lithocarpus spp. dan T. verticillata)
serta Lauraceae. Hasil yang sama juga dilaporkan Culmsee dan Pitopang (2009)
dan Culmsee et al. (2010). Fagaceae juga dijumpai sangat dominan pada kategori
pancang, dan mengalami penurunan pada kategori semai. Menurut Manos &
Stanford (2001), dominansi Fagaceae merupakan fenomena yang umum di
kawasan Malesia serta di belahan bumi bagian utara (northern hemisphere).
Jenis pohon dan pancang di hutan subpegunungan didominasi jenis C
buruana, namun jenis ini tidak dijumpai lagi di hutan pegunungan bawah dan
pegunungan atas. Menurut Soepadmo (1972), jenis ini tumbuh di hutan primer
atau maupun hutan sekunder di hutan perbukitan sampai pada ketinggian lebih
dari 1 000 m dengan wilayah distribusi di Kalimantan (Sabah), Sulawesi dan
Maluku. Lemmens et al. (1995) mengungkapkan bahwa jenis-jenis dari marga
Castanopsis dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, kecuali pada tanah kapur
(limestone) dan jarang toleran pada iklim musiman.
Soepadmo (1972) dan Lemmens et al. (1995) melaporkan bahwa marga
Castanopsis terdiri dari dua jenis di Sulawesi, yaitu C. acuminatissima dan C.
buruana, namun sebaran jenis C. buruana di Sulawesi Tengah belum pernah
dilaporkan sebelumnya (Kessler et al. 2002; Kessler et al. 2005; Gradstein et al.
2007; Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010; 2011).
Selain C. buruana, tipe hutan ini juga disusun oleh jenis empat jenis dari
marga Lithocarpus (L. celebicus, L. elegans, L. glutinosus, dan Lithocarpus sp.)
dan T. verticillata. Gradstein et al. (2007) dan Culmsee et al. (2009) melaporkan
49

bahwa L. celebicus merupakan salah satu dari beberapa jenis dominan penyusun
hutan subpegunungan di TN. Lore Lindu. Jenis ini juga dijumpai di hutan
pegunungan bawah dan pegunungan atas dalam penelitian ini, sedangkan T.
verticillata belum pernah dilaporkan sebelumnya di kawasan ini.
Meskipun jenis C. buruana dijumpai sangat dominan pada kategori pohon
dan pancang, namun jenis ini tidak ditemukan pada kategori semai. Berbeda
dengan hasil penelitian Lestari (2010) di Cagar Alam Lamedai, Kolaka, Sulawesi
Tenggara yang menemukan tingginya kelimpahan semai jenis ini dengan INP
mencapai 31.5%. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat toleransi jenis
terhadap naungan (Bustamante & Simonetti 2000) karena sebagian besar wilayah
di plot penelitian ini tertutupi tajuk pohon, sehingga cahaya matahari tidak sampai
ke lantai hutan, atau dapat juga disebabkan oleh angin serta pemangsaan biji oleh
predator seperti hewan vertebrata dan insekta seperti semut yang membawa biji
jauh dari pohon inang (Willson & Traveset 2000). Oleh karena itu, tingginya
dominansi jenis C. buruana khususnya pada kategori pohon dan pancang karena
jenis ini mampu berkembang biak secara vegetatif melalui batang bawah (multi-
stemmed sprouts). Berdasarkan hal tersebut, Tredici (2001) mengungkapkan
bahwa tingginya dominansi jenis yang dapat berkembang biak secara vegetatif
akan berdampak pada kurangnya jumlah semai.
Suku Icacinaceae merupakan suku dominan di hutan pegunungan bawah
pada ketinggian 1 500 m dpl yang disusun oleh dua jenis dari marga Platea (jenis
P. excelsa var. borneensi dan P. latifolia), namun dominasi Icacinaceae di tipe
hutan ini lebih dua kali lebih rendah jika dibandingkan Fagaceae di hutan
subpegunungan (900 m), sedangkan Fagaceae dijumpai tidak cukup dominan di
tipe hutan ini yang hanya disusun jenis Lithocarpus spp. Dominasi Icacinaceae di
kawasan ini belum pernah dilaporkan sebelumnya (Kessler et al. 2005; Gradstein
et al. 2007; Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011), namun
Culmsee & Pitopang (2009) melaporkan bahwa suku Icacinaceae merupakan jenis
penyusun hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, namun bukan
merupakan suku dominan.
Hutan subpegunungan bawah yang diteliti didominasi jenis P. excelsa var.
borneensis, namun dominansi jenis ini lebih rendah dibandingkan C. buruana di
hutan subpegunungan. Jenis ini juga cukup dominan pada kategori pancang dan
semai, namun jenis L. beccarianum dan C. soualattri merupakan jenis dominan
utama masing-masing pada kategori pancang dan semai. Selain itu, tidak dijumpai
jenis dari marga Castanopsis, namun beberapa individu C. acuminatissima dapat
dijumpai di luar plot penelitian. Berbeda dengan hasil penelitian Culmsee &
Pitopang (2009) pada tipe hutan yang sama pada ketinggian 1 400 m dpl yang
lebih didominasi jenis C. acuminatissima.
Menurut Sleumer (1971) bahwa jenis P. excelsa var. borneensis tumbuh di
hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan pada ketinggian 2 000 m dpl, dan
pada tanah-tanah yang lembab dan relatif datar. Jenis ini juga cukup dominan
pada kategori pancang, dan memiliki kelimpahan individu semai yang tinggi.
Lebih lanjut Sleumer (1971) melaporkan bahwa selain di Sulawesi, jenis ini juga
tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Kalimantan,
Filipina, Maluku, Papua Nugini, dan New Britania.
Suku Podocarpaceae merupakan suku dominan di hutan pegunungan atas
dengan basal area 57.2% dari total basal area pada kategori pohon menggantikan
50

Fagaceae di hutan subpegunungan. Podocarpaceae pada tipe hutan ini terdiri dari
jenis P. hypophylla, D. steupii, dan D. imbricatus, serta jenis Podocarpus pilgerii
yang hanya dijumpai pada kategori semai. Suku dominan lainnya adalah
Myrtaceae dan Lauraceae. Hasil yang sama juga dilaporkan Culmsee et al. (2011)
pada ketinggian 2 500 m dpl di kawasan yang sama. Satu jenis lainnya dari suku
ini, yaitu Podocarpus neriifolius juga dijumpai di hutan subpegunungan dan
pegunungan bawah. Podocarpaceae juga dilaporkan dominan pada hutan
pegunungan di Kalimantan dan Papua Nugini (Aiba & Kitayama 1999; Johns et
al. 2007). Menurut Morley (2011) bahwa Podocarpaceae merupakan komponen
penting di hutan tropis basah dan sebelah bumi bagian selatan (southern
hemisphere) yang berpusat di Australia, Amerika Selatan dan Malesia.
Jenis P. hypophylla merupakan jenis penyusun utama dari suku
Podocarpaceae di hutan pegunungan atas menggantikan C. buruana di hutan
subpegunungan dengan basal area yang sama (14.5 m2/ha). Dua jenis lain dari
suku ini juga dijumpai cukup dominan, yaitu D. steupii dan D. imbricatus.
Namun, dominansi jenis ini digantikan oleh jenis T. papuana pada kategori
pancang, dan jenis M. minutifolia pada kategori semai. Hasil yang sama
dilaporkan Culmsee et al. (2011) pada ketinggian 2 400 m dpl. Menurut Kitayama
et al. (2011), dominansi yang tinggi pada jenis-jenis dari suku Podocarpaceae
khususnya P. hypophylla dan Dacrycarpus spp. di hutan pegunungan atas diduga
karena suhu udara yang rendah serta kondisi tanah yang miskin hara akibat
lambatnya proses dekomposisi.
Jenis T. papuana merupakan jenis dominan untuk tingkat pancang, juga
merupakan salah satu jenis yang dapat berkembang secara vegetatif seperti halnya
C. buruana di hutan subpegunungan, dengan jumlah semai ditemukan cukup
melimpah. Hasil penelitian diperoleh bahwa jenis ini hanya menempati lapisan
tajuk ketiga, seperti halnya M. minutifolia yang dominan pada kategori semai.
Menurut Philipson (1986) bahwa jenis T. papuana merupakan semak atau pohon
dengan tinggi dapat mencapai 20 meter atau lebih dengan wilayah penyebaran di
hutan pegunungan Sulawesi Tengah, Maluku (pulau Seram dan Bacan) dan Papua
Nugini) pada ketinggian 1 000 m sampai dengan 2 700 m dpl.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pohon di kawasan hutan TN. Lore
Lindu yang pernah dilakukan, hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m
dpl memiliki kemiripan pada tiga suku dominan utama dengan hutan pada
ketinggian 2 400 m dpl, dan hutan subpegunungan pada ketinggian 900 m dpl
memiliki kemiripan dengan hutan pada ketinggian 1 050 m dpl, khususnya pada
dua suku dominan utama, sedangkan hutan pada ketinggian 1 500 m dpl memiliki
kemiripan dengan hutan pada ketinggian 1 400 m dpl, khususnya pada suku
dominan kedua dan ketiga. Selain itu, Fagaceae dijumpai tersebar di seluruh tipe
hutan pada ketinggian 900 m dpl sampai dengan 2 400 m dpl, namun Lauraceae
hanya dijumpai dominan pada hutan subpegunungan, sedangkan Myrtaceae pada
hutan pegunungan bawah sampai pegunungan atas (Culmsee & Pitopang 2009;
Culmsee et al. 2010 dan 2011). Secara umum, Culmsee et al (2011)
mengungkapkan bahwa secara biogeografi, hutan pegunungan atas di Sulawesi
memiliki kemiripan dengan Papuasia/Malesia bagian selatan yang kemungkinan
disebabkan oleh pernah bersatunya daratan ini dimasa lampau.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan pegunungan di Sulawesi
memiliki perbedaan komposisi jenis pohon dengan hutan pegunungan di Jawa,
51

khususnya di kawasan G. Gede Pangrango, Jawa Barat yang lebih didominasi


jenis Schima wallichii spp. noronhae (Theaceae) sampai pada ketinggian 2 300 m
dpl (Yamada 1975; 1977), Hasil berbeda juga dilaporkan Aiba dan Kitayama
(1999) di G. Kinabalu, Kalimantan bahwa hutan pada ketinggian di atas 700 m
dpl telah didominasi Myrtaceae (Leptospermum, Syzygium, dan Tristaniopsis) dan
Podocarpaceae (Dacrycarpus dan Dacrydium).
Liana merupakan komponen utama penyusun hutan subpegunungan dan
hutan pegunungan bawah di TN. Lore Lindu yang disusun oleh jenis-jenis rotan
dari marga Calamus (Arecaceae) dengan persentase penutupan masing-masing
72.5 dan 62.6 dari total penutupan, sedangkan di hutan pegunungan atas dominasi
liana berkurang yang lebih didominasi oleh jenis-jenis herba dan paku-pakuan.
Schnitzer dan Bongers (2002) dan Siebert (2005) mengungkapkan bahwa liana
merupakan penting hutan tropis yang menutupi lantai hutan atau kanopi jika
memanjat.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dominansi liana mengalami
penurunan seiring bertambahnya ketinggian. Hasil yang sama juga dilaporkan
Schnitzer & Bongers (2002). Ramadhanil et al. (2008) juga melaporkan bahwa
hutan subpegunungan di TN. Lore Lindu pada kategori tumbuhan bawah lebih
didominasi jenis-jenis liana khususnya rotan di bandingkan kelompok herba dan
paku-pakuan. Hal tersebut lebih disebabkan oleh faktor curah hujan, kesuburan
tanah, dan gangguan (Balfour & Bond 1993). Menurut Siebert (2005) bahwa
tingginya kelimpahan rotan kemungkinan juga disebabkan oleh tinggi kanopi
pohon, dimana kanopi yang lebih tinggi memiliki kelimpahan yang lebih
dibandingkan dengan yang lebih rendah.
Stiegel et al. (2011) yang melakukan penelitian di TN. Lore Lindu pada
ketinggian yang berbeda melaporkan bahwa komposisi dan kelimpahan rotan
mencapai titik maksimum pada ketinggian pada ketinggian sekitar 1 000 m dpl.
Hal yang sama ditemukan dalam penelitian ini, bahwa jenis-jenis rotan penyusun
mengalami penurunan dari segi jumlah jenis, dimana hanya dijumpai satu jenis
(Calamus sp.) di hutan pegunungan atas.
Berbeda halnya dengan kelompok liana, pada kelompok herba dijumpai
melimpah di hutan pegunungan atas dengan persentase penutupan masing-masing
54.5% dari total penutupan. Begitupula dengan kelompok paku-pakuan, walaupun
memiliki persentase penutupan yang sama dengan liana namun memiliki jumlah
jenis yang lebih banyak. Poulsen dan Pendry (2005) mengungkapkan bahwa
terjadinya kelimpahan yang tinggi untuk kelompok herba di hutan pegunungan
karena kondisinya yang lebih basah.

Struktur hutan
Selain memiliki perbedaan komposisi komunitas vegetasi, hutan
pegunungan di TN. Lore Lindu yang diteliti juga berbeda ditinjau dari struktur
hutannya. Kerapatan individu pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan
bertambahnya ketinggian. Hasil yang yang sama juga diperoleh Culmsee et al.
(2010) pada ketinggian 1 050 m, 1 400 m, 1 800, dan 2 400 m dpl. Slik et al.
(2010) mengungkapkan bahwa kerapatan individu berkorelasi positif dengan suhu
udara serta input energi, namun pola berbeda diperoleh pada kategori semai dan
tumbuhan bawah. Selain itu, jumlah individu gymnosperm (dbh 10 cm) di hutan
pegunungan atas yang diperoleh dalam penelitian ini (84 individu) lebih banyak
52

jika dibandingkan hasil penelitian Culmsee et al. (2011) pada tipe hutan yang
sama (60 individu), namun lebih rendah dari segi jumlah paku pohon
(dbh 10 cm).
Kerapatan individu pohon sebesar 638 individu per ha di hutan
subpegunungan (900 m dpl) yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan beberapa penelitian di kawasan hutan yang sama, antara lain
478 dan 508 individu per ha pada ketinggian 1 050 m dan 1 400 m dpl (Culmsee
et al. 2010), 543 individu per ha pada ketinggian 1 100 m dpl (Kessler et al.
2005). Basal area pohon yang diperoleh pada tiga tipe hutan, hampir sama dengan
hasil yang diperoleh Gradstein et al. (2007), Culmsee dan Pitopang 2009,
Culmsee et al. (2010; 2011) antara 35.4 dan 56.7 m2/ha, namun lebih rendah
dengan hasil yang diperoleh Kessler et al. (2007) sebesar 139.8 m2/ha pada
ketinggian 1 100 m dpl di TN. Lore Lindu. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa
hutan subpegunungan memiliki basal area pohon dan pancang tertinggi
dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya. Tingginya basal area di tipe hutan ini
lebih disebabkan oleh banyak individu pohon yang memiliki diameter 30 cm
sampai dengan 39.9 cm.
Hasil penelitian ini diperoleh adanya kemiripan rata-rata tinggi pohon antara
hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, namun tinggi pohon mengalami
penurunan di hutan pegunungan atas. Adanya kemiripan rata-rata tinggi pohon di
hutan subpegunungan dan pegunungan bawah lebih disebabkan masih terdapatnya
beberapa jenis vegetasi sekunder seperti Elaeocarpus spp. (Sosef et al. 1998) yang
dengan tinggi total mencapai lebih dari 40 meter.
Meningkatnya kerapatan individu pohon seiring dengan bertambahnya
ketinggian serta berkurangnya diameter dan tinggi pohon telah banyak dilaporkan,
antara lain Aiba dan Kitayama (1999) di Gunung Kinabalu, Kalimantan, Lovett et
al. (2006) di Tanzania, Homeier et al. (2010) di hutan pegunungan Ekuador,
Culmsee et al. (2010) di TN. Lore Lindu, dan Hernandes et al. (2012) di
Venezuella. Homeier et al. (2010) bahwa berkurangnya pertumbuhan pohon
seiring dengan bertambahnya ketinggian disebabkan oleh berkurangnya suhu
udara, serta kurangnya unsur hara.
Kerapatan individu pohon dan pancang berdasarkan kelas diameter pada
tiga tipe hutan termasuk dalam tipe J-terbalik, yang berarti bahwa kelas diameter
yang lebih kecil memiliki jumlah individu yang lebih banyak dan semakin
berkurang dengan bertambahnya diameter (Ohsawa 1991).

Simpulan

Terdapat perbedaan komposisi komunitas vegetasi dominan antara tiga tipe


hutan yang diteliti. Antara hutan subpegunungan dan pegunungan atas hanya
disusun satu jenis yang sama, dua jenis yang sama antara hutan pegunungan
bawah dan pegunungan atas, sedangkan antara antara hutan subpegunungan dan
pegunungan bawah disusun 15 jenis yang sama.
Kerapatan pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan
bertambahnya ketinggian tempat. Kerapatan tertinggi diperoleh di hutan
subpegunungan dan terendah di hutan pegunungan atas, namun berbeda halnya
pada kategori semai dan tumbuhan bawah.
53

Basal area pohon tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan (46.76 m2/ha),


diikuti hutan pegunungan atas (44.42 m2/ha), dan terendah di hutan pegunungan
bawah (38.28 m2/ha), sedangkan persen penutupan semai dan tumbuhan bawah
tertinggi diperoleh di hutan pegununungan bawah dan hutan pegunungan atas,
masing-masing 42.08% dan 28.05% dan terendah di hutan subpegunungan dan
pegunungan atas bawah masing-masing 18.37% dan 12.56%.
54
57

5. PEMBAHASAN UMUM

Hutan tropis pegunungan merupakan ekosistem yang memiliki fungsi


penting secara ekologis sangat penting. Keberadaan hutan pegunungan di
Sulawesi saat ini menjadi sangat penting dalam upaya konservasi
keanekaragaman hayati, mengingat kawasan hutan dataran rendah di pulau ini
yang terus mengalami degradasi akibat aktivitas perambahan hutan (illegal
loging), pembukaan areal perkebunan skala besar, serta aktivitas pertambangan.
Hasil survei keanekaragaman tumbuhan di Sulawesi dan pulau-pulau besar
laiinya di Indonesia berdasarkan spesimen yang tersimpan di Herbarium Leiden,
Sulawesi memiliki keanekaragaman dan endemisitas tumbuhan pada tingkat
menengah (Roos et al. 2004), terdapat sekitar 5 000 jenis tumbuhan berbunga, dan
15% diantaranya endemik Sulawesi (Whitten et al. 1987; Roos et al. 2004),
namun penelitian botani yang dilakukan di pulau ini masih sangat kurang.
Diperkirakan hanya terdapat 25 koleksi per 100 km2 (Cannon et al. 2007).
Secara global, luas hutan tropis pegunungan diperkirakan 3 257 275 km 2
atau sekitar 21 persen dari luas hutan tropis dunia (Scatena et al. 2010), namun
belum banyak dipelajari dari segi struktur dan komposisinya (Homeier et al.
2010). Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menginventarisasi
keanekaragaman tumbuhan, serta mempelajari komposisi dan struktur hutan
pegunungan sebagai data dasar dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati
dan ekosistemnya.
Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah dipilih sebagai lokasi
penelitian karena Taman Nasional ini merupakan kawasan konservasi terbesar di
pulau Sulawesi dengan luas 217 991.18 ha, dan telah ditetapkan oleh UNESCO
sebagai Cagar Biosfer pada tahun 1977. TN, serta telah ditetapkan oleh
Pemerintah Indonesia sebagai World Heritage Site. Kawasan ini memiliki nilai
konservasi tinggi, dan sebagai daerah tangkapan air bagi lima sungai utama di
Sulawesi Tengah. Selain itu, kawasan hutan di TN. Lore Lindu merupakan habitat
225 jenis burung (78 endemik Sulawesi), 77 jenis mamalia, 26 reptil endemik
(TNC/BTNLL 2002).
Penelitian ini mengkaji beberapa aspek, meliputi: keanekaragaman jenis
tumbuhan di hutan pegunungan (Bab 3), serta komposisi komunitas dan struktur
hutan pegunungan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah (Bab 4). Rangkuman
hasil dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 5.1, sebagai berikut:
Tabel 5.1 Rangkuman hasil yang diperoleh selama penelitian pada plot penelitian
seluas 0.24 ha
Tipe hutan
Parameter
HSP HPB HPA
Jumlah jenis Pohon 33 61 29
Jumlah jenis pancang 25 50 27
Jumlah jenis semai 39 57 31
Jumlah jenis tumbuhan bawah 37 56 34
Jumlah marga pohon 22 45 22
Jumlah marga pancang 24 40 18
Jumlah marga semai 31 31 26
Jumlah marga tumbuhan bawah 22 40 27
Jumlah suku pohon 18 34 18
56

Lanjutan Tabel 5.1


Tipe hutan
Parameter
HSP HPB HPA
Jumlah suku pancang 17 32 14
Jumlah suku semai 26 26 19
Jumlah suku tumbuhan bawah 21 31 24
Indeks kekayaan Margalef 5.96; 5.14; 11.9; 10.22; 5.18; 4.90; 4.93;
(pohon; pancang; semai; 6.91; 6.20 8.48; 10.66 4.77
tumbuhan bawah)
Indeks keanekaragaman Shannon 2.85; 2.61; 3.68; 3.53; 3.13; 2.72; 2.70; 2.94;
(pohon; pancang; semai; 3.23; 2.85 3.48 2.51
tumbuhan bawah)
Indeks kemerataan Pielou 0.82; 0.81; 0.89; 0.90; 0.77; 0.81; 0.81; 0.70;
(pohon; pancang; semai; 0.88; 0.79 0.86 0.71
tumbuhan bawah)
INP tertinggi (pohon, pancang, C. buruana P. excelsa var. P. hypophylla
semai, tumbuhan bawah) (%) (69.83), borneensis (70.20),
C. buruana (38.64), T. papuana
(80.59), L. beccarianum (56.52),
A. riparium (31.39), M. minutifolia
subsp. C. soualattri (52.10),
riparium (61.07), S. pumila
(31.84), Calamus sp.5 (83.66)
Calamus sp.1 (46.59)
(72.20)
NPS tertinggi (pohon, pancang, Fagaceae Icacinaceae Podocarpaceae
semai, tumbuhan bawah) (%) (86.97), (37.15), (105.42),
Fagaceae Lauraceae Trimeniaceae
(88.40), (32.84), (44.78),
Lauraceae Calophyllaceae Primulaceae
(50.05), (54.94), (58.53),
Arecaceae Arecaceae Melastomataceae
(91.98) (90.01) (76.06)
Persentase jenis tumbuhan semak (0.00), semak (3.57), semak (0.00),
bawah herba (35.13), herba (33.93), herba (35.29),
liana (37.84), liana (28.57), liana (17.65),
paku-pakuan paku-pakuan paku-pakuan
(27.03) (33.93) (47.06)
Jumlah individu pohon
(0.24 ha) 153 155 222
Jumlah individu pancang
(0.06 ha) 107 121 201
Jumlah individu semai
(0.01 ha) 285 738 442
Jumlah individu tumbuhan
bawah (0.01 ha) 333 177 1 013
Jumlah individu angiosperm
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 11 4 84
Jumlah individu gymnosperm
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 142 145 137
Jumlah individu paku pohon
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 0 6 1
Kerapatan Pohon (ind/ha) 638 646 925
57

Lanjutan Tabel 5.1


Tipe hutan
Parameter
HSP HPB HPA
Kerapatan pancang (ind/ha) 1 783 2 017 3 350
Kerapatan semai (ind/ha) 29 688 76 875 46 042
Kerapatan tumbuhan bawah
(ind/ha) 34 688 18 438 105 521
Rata-rata tinggi pohon
(dbh 10 cm) (m) 20.9 0.7 20.5 0.7 15.5 0.4
Rata-rata tinggi angiosperm
(dbh 10 cm) (m) 20.9 0.7 20.6 0.7 14.2 0.5
Rata-rata tinggi gymnosperm
(dbh 10 cm) (m) 14.8 1.6 18.9 3.4 17.5 0.6
Rata-rata tinggi paku pohon
(dbh 10) cm (m) 0 8.0 0.5 (5.5)
Rata-rata diameter pohon (cm) 25.5 1.4 23.3 1.2 21.9 0.8
Basal area pohon (m/ha) 46.75 38.28 44.42
Basal area pancang (m/ha) 3.95 3.71 5.49
Penutupan semai (%) 18.37 42.08 22.83
Penutupan tumbuhan bawah (%) 22.27 12.56 28.05
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas; INP:
indeks nilai penting; NPS: nilai penting suku.

Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa kekayaan dan


keanekaragaman jenis tumbuhan mengalami penurunan dengan bertambahnya
ketinggian tempat (Bab 3). Tingginya keanekaragaman jenis di hutan
subpegunungan yang diteliti tidak hanya didominasi oleh satu jenis, seperti pada
dua tipe hutan lainnya. Selain itu, areal hutan di plot penelitian ini kemungkinan
masih dalam tahap perkembangan, karena jenis dominan utama (P. excelsa var.
borneensis) yang dijumpai dalam penelitian ini bukan merupakan jenis yang
menempati lapisan tajuk utama berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya di
kawasan TN. Lore Lindu (Kessler et al. 2005; Gradstein et al. 2007; Culmsee &
Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011). Sleumer (1971) melaporkan
bahwa jenis ini memiliki tinggi maksimal kurang dari 40 meter.
Menurut Barbour et al. (1987) bahwa indeks keanekaragaman jenis
merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas plot yang
diamati dan semakin banyak jenis yang dijumpai, maka nilai indeks
keanekaragaman jenis cenderung akan semakin tinggi. Nilai indeks
keanekagaman yang relatif rendah umum dijumpai pada komunitas yang telah
mecapai klimaks. Indeks keanekaragaman Shannon menunjukkan bahwa
keanekaragaman jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan yang diteliti tergolong
sedang sampai tinggi (Barbour et al. 1987) (Bab 3).
Terlepas dari faktor di atas, McCain dan Grytnes (2010) mengungkapkan
bahwa terdapat empat pola kekayaan jenis hubungannya dengan ketinggian
tempat, yaitu 1) menurun (decreasing), 2) kekayaan jenis tinggi dan selanjutnya
menurun (low plateau), 3) seperti pola kedua tapi terdapat puncak kekayaan jenis
pada ketinggian menengah (low plateau with a mid-elevational peak), dan 4)
kekayaan jenis tertinggi pada ketinggian menengah (mid-elevational peak)
(Gambar 5.1). Berdasarkan hal tersebut, pola kekayaan jenis yang ditemukan
dalam penelitian ini mengikuti pola yang keempat, dimana kekayaan jenis
tumbuhan sebagian besar mengikuti pola ini (McCain 2005).
58

Gambar 5.1 Pola kekayaan jenis berdasarkan ketinggian


tempat (McCain & Grytnes 2010).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa adanya perbedaan komposisi
komunitas tumbuhan (Bab 4), pada setiap tipe hutan pegunungan, baik pada
tingkat jenis (spesies) maupun pada tingkat suku. Hasil ini memperkuat simpulan
beberapa penelitian sebelumnya di kawasan hutan yang sama (Culmsee &
Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011).
Perbedaan tidak hanya terlihat pada komposisi komunitas tumbuhannya,
namun perbedaan juga terlihat jika ditinjau dari struktur hutannya (Bab 4), antara
lain kerapatan dan diameter pohon dan pancang. Perbedaan tinggi pohon hanya
jelas terlihat di hutan pegunungan atas sedangkan antara hutan subpegunungan
dan pegunungan bawah tidak jelas terlihat adanya perbedaan. Hal tersebut
kemungkinan lebih disebabkan oleh faktor iklim, khususnya suhu udara yang
sangat rendah di hutan pegunungan atas dibandingkan dengan dua tipe hutan
lainnya.
59

6. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 129 marga dan
106 famili, meliputi 117 jenis pohon, 96 jenis pancang, 116 jenis semai, dan
121 jenis tumbuhan bawah.
2. Terdapat perbedaan jumlah jenis tumbuhan pada setiap tipe hutan yang diteliti.
Hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis tertinggi dan terendah di
hutan subpegunungan.
3. Terdapat perbedaan komposisi komunitas vegetasi dominan antara tiga tipe
hutan yang diteliti. Antara hutan subpegunungan dan pegunungan atas hanya
disusun satu jenis yang sama, dua jenis yang sama antara hutan pegunungan
bawah dan pegunungan atas, sedangkan antara antara hutan subpegunungan
dan pegunungan bawah disusun 15 jenis yang sama.
4. Kerapatan pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan bertambahnya
ketinggian tempat. Kerapatan tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan dan
terendah di hutan pegunungan atas, namun berbeda halnya pada kategori
semai dan tumbuhan bawah.
5. Basal area pohon tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan (46.76 m2/ha),
diikuti hutan pegunungan atas (44.42 m2/ha), dan terendah di hutan
pegunungan bawah (38.28 m2/ha), sedangkan persen penutupan semai dan
tumbuhan bawah tertinggi diperoleh di hutan pegununungan bawah dan hutan
pegunungan atas, masing-masing 42.08% dan 28.05% dan terendah di hutan
subpegunungan dan pegunungan atas bawah masing-masing 18.37% dan
12.56%.

Saran

Sebagian besar kawasan hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah


merupakan hutan pegunungan, yang memiliki peranan penting bagi upaya
konservasi beberapa tumbuhan dan hewan endemik dan memiliki persebaran
terbatas, serta sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitar maupun di luar
kawasan tersebut. Oleh karena itu, menjaga dan melestarikannya merupakan hal
yang mutlak dilakukan untuk terpeliharanya ekosistem yang ada.
Hal tersebut dapat terwujud jika terdapat kerjasama seluruh pihak, baik
pihak Balai Besar TN. Lore Lindu Sulawesi Tengah, masyarakat sekitar kawasan
dan luar kawasan, serta berbagai pihak terkait.
60
61

DAFTAR PUSTAKA

Aiba SI, Kitayama K. 1999. Structure, composition and species diversity in an


altitude-substrate matrix of rain forest tree communities on Mount Kinabalu,
Borneo. Plant Ecol 140:139-157.
Ashton PS. 2003. Floristic zonation of tree communities on wet tropical
mountains revisited. Perspect Plant Ecol Evol System 6:87104.
Baas P, Kalkman K, Geesink R. 1990. The Plant Diversity of Malesia. Kluwer,
Dordrecht, The Netherlands.
Balfour DA, Bond WJ. 1993. Factors limiting climber distribution and abundance
in a southern African forest. J Ecol 81:93-99.
Barbour GM, Burk JK, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York
(US): The Benjamin Cummings.
Brooks TM et al. 2002. Habitat loss and extinction in the hotspots of biodiversity.
Conserv Biol 16:909-923.
Brown RL, Jacobs LA, Peet RK. 2007. Species richness: small scale. New York
(GB): Encyclopedia Life Sci hlm 1-8.
Bustamante RO, Simonetti JA. 2000. Seed predation and seeding recruitment in
plants: the effect of the distance between parents. Plant Ecol 147:173-183.
Cannon CH, Summers M, Harting JR, Kessler PJA. 2007. Developing
conservation priorities base on forest type, condition, and threats in poorly
known ecoregion: Sulawesi, Indonesia. Biotropica 39:747-759.
Cannon C, Harting J, Salim A, Summers M. 2005. The vegetation of Sulawesi:
Coarse filter analysis. The Nature Conservancy, Texas Tech University.
Cicuzza D, Kessler M, Pitopang R, Tjitrosoedirdjo SS, Gradstein SR. 2007.
Terrestrial herb communities of tropical submontane and tropical montane
forests in Central Sulawesi, Indonesia. Di dalam: Tscharntke T, Leuschner C,
Veldkamp E, Faust H, Guhardja E, Bidin A, Editor. Tropical Rainforests and
Agroforests Under Global Change: Ecological and Socio-Economic
Valuations. Berlin (DE): Springer. hlm 377-387.
Cox GW. 1996. Laboratory Manual of General Ecology. Dobuque (US):
WC Brown.
Crabs CJ. 1978. Ecology The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance. New York (US): Harper & Row.
Culmsee H, Pitopang R. 2009. Tree diversity in sub-montane and lower montane
primary rain forest in Central Sulawesi. Blumea 54:119-123.
Culmsee H, Leuschner C, Moser G, Pitopang R. 2010. Forest aboveground
biomassa along an elevational transect in Sulawesi, Indonesia, and the role of
Fagaceae in tropical montane rain forest. J Biogeo 37:960-974.
Culmsee H, Pitopang R. Mangopo H, Sabir S. 2011. Tree diversity and
phytogeographical patterns of tropical high mountain rain forests in Central
Sulawesi, Indonesia. Bio Conserv 20:1103-1123.
Davidar P, Puyravaud JP, Leigh EG Jr. 2005. Changes in rain forest tree diversity,
dominance and rarity across a seasonality gradient in the Western Ghats, India.
J Biogeogr 32:493-501.
Daubenmire R. 1959. A canopy-coverage method of vegetational analysis.
Northwest Sci 33:42-64.
62

Dietz J, Hlscher D, Leuschner C, Malik A, Amir A. Forest Structure as


Influenced by Different Types of Community Forestry in A Lower Montane
Rainforest of Central Sulawesi, Indonesia. 2007. Di dalam: Tscharntke T,
Leuschner C, Zeller M, Guhardja E, Bidin A, editor. Stability of Tropical
Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic, and Social Constraits of
Land Use and Conservation. Berlin (DE): Springer. hlm 131-146.
Doumenge CD, Gilmour M, Perez R, Blockhus J. 1995. Tropical Montane Cloud
Forest. Conservation Status and Management Issues. Di dalam: Hamilton LS,
Juvik JO, Scatena FN, editor. Tropical Montane Cloud Forest. Ecological
Studies. New York (US): Springer-Verlag. hlm 24-37.
Erasmi S, Twele A, Ardiansyah M, Malik, Kappas M. 2004. Mapping
deforestation and land cover convension at the rainforest margin in Central
Sulawesi, Indonesia. EARSeL eProceedings 3, 3/2004.
Franklin JF et al. 1981. Ecological Characteristics of Old-Growth Douglas Fir-
Forest. General Technical Report PNW-118. Portland: USDA, For Serv.
Gentry AH. 1988. Changes in plant community diversity and floristic composition
on environmental and geographical gradients. Ann Missouri Bot Gard 75:1-34.
Gerold G. 2008. Soil, Climate, Vegetation of tropical montane forest - a case
study from the Yungas, Bolivia. Di dalam: Gradstein SR, Homeier J, Gansert
D, editor. The Tropical Montane Forests: Pattern and Processes in A
Biodiversity Hotspot. Gttingen (DE): Universittsverlag. hlm 137-162.
Glatzel G. 2009. Mountain forests in changing world-an epiloge. Mountain
Research and Development 29:188-190.
Gomez-Peralta D, Oberbauer SF, Mc Clain ME, Philippi TE. 2008. Rainfall and
cloud-water interception in tropical montane forests in the eastern Andes of
Central Peru. Forest Ecol Manag 255:1315-1325.
Gltenboth F, Langenberger G, Widmann P. 2006. Mountain forest. Di dalam:
Gltenboth F, Timotius KH, Paciencia PM, Margraf J, editor. Ecology of
Insular Southeast Asia. Amsterdam (NL): Elsevier. hlm 401-413.
Gradstein SR, Kessler M, Pitopang R. 2007. Tree species diversity relative to
human land uses in tropical rain forest margin in Central Sulawesi. Di dalam:
Tscharntke T, Leuschner C, Zeller M, Guhardja E, Bidin A, editor. Stability of
Tropical Rainforest Margins: Linking Ecological, Economic and Social
Constraints of Land Use and Conservation. Berlin (DE): Springer.
hml 319-332.
Grytnes JA, Vertaas OR. 2002. Species richnees and altiitude: a comparison
between null model and interpolated plant species richnees along the
Himalayan altitudinal gradient, Nepal. Am Nat 159:294-304.
Hall R. 2009. Southeast Asias changing palaeogeography. Blumea 54:148-161.
Hamilton AJ. 2005. Species diversity of biodiversity?. J Environ Manag
75:89-92.
Hamman A, Barbon EB, Curio E, Madulid DA. 1999. A botanical inventory of a
submontane tropical rainforest on Negros Island, Philippines. Biodiv Conserv
8:1017-1031.
Hernndes L, Dezzeo N, Sanoja E, Salazar L, Castellanos H. 2010. Tree diversity,
forest structure, and productivity along altitudinal gradient in Venezuelan
Guayana Shield. Rev Biol Trop 60:11-33.
Holzman BA. 2008. Tropical Forest Bioma. London (GB): Greenwood Pr.
63

Homeier J, Breckle SW, Gnter S, Rollenbeck, Leuschner C. 2010. Tree diversity,


forest structure and productivity along altitudinal and topographical gradients
in a species-rich Ecuadorian montane rain forest. Biotropica 42:140-148.
Hostettler S. 2002. Tropical montane cloud forest: a challenge for conservation.
Bois et Torets des Tropiques 274:19-31.
Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Jacobs M. 1988. The Tropical Rainforest. A First encounter. Berlin, Tokyo:
Springer-Verlag.
Johns RT, Shea GA, Vink W, Puradyatmika P. 2007. Montane vegetation of
Papua. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua.
Singapore (SG): Periplus. hlm 9771024.
Kapelle M. 2004. Tropical Montane Forests. Di dalam: Burley J, Evans J,
Youngquist JA, editor. Encyclopedia of Forest Sciences. UK (GB): Elsevier
Academic Pr.
Kessler M, Hofmann S, Krmer T, Cicuzza D, Kluge J. 2011. The impact of
sterile populations on the perception of elevational richness patterns in ferns.
Ecography 34:123-131.
Kessler M, Kessler PJA, Gradstein SR, Bach K, Schmull M, Pitopang R. 2005.
Tree diversity in primary forest and different land use system in Central
Sulawesi, Indonesia. Bio Conserv 14:574-560.
Kessler PJA, Bos MM, Daza SECS, Kop A, Willemse LPM, Pitopang R,
Gradstein SR. 2002. A Checklist of Woody Plants of Sulawesi, Indonesia.
Blumea 14:1-160.
Kharkwal G, Mehrotra P, Rawat YS, Pangtey YPS. 2005 Phytodiversity and
growth form in relation to altitudinal gradient in the Central Himalayan
(Kumaun) region of India. Curr Sci 89:873-878.
Kitayama K, Aiba S, Ushio M, Seino T, Fujiki Y. 2011. The Ecology of
Podocarps in Tropical Montane Forests of Borneo: Distribution, Population
Dynamics, and Soil Mutrient Acquisition. Di dalam: Turner BL, Cernusak LA,
editor. Ecology of The Podocarpaceae in Tropical Forest. Washington DC
(US): Smithsonian Institution Scholary Pr. hlm 101-118.
Krner C. 2007. The use of altitude in ecological research. TREE 22:569-574.
Laps J. 2005. Diversity and Ecosystem Function. Di dalam: van der Maarel E,
editor. Vegetation Ecology. UK (GB): Wiley-Blackwell. hlm 199-237.
Lemmens RHMJ, Soerianegara I, Wong WC. 1995. Plant Resources of South-
East Asia No. 5(2). Timber Trees: Minor commercial timbers. Leiden (NL):
Backhuys Pr.
Lestari DA. 2010. Vegetation analysis of ground cover in Lamedai Nature
Reserve, Kolaka-Southeast Sulawesi. Berk Penel Hayati Edisi Khusus
5F:21-24.
Lohman DJ et al. 2011. Biogeography of the Indo-Australian Archipelago. Annu
Rev Ecol Evol Syst 42:205-226.
Lovett JC, Marshall AR, Cait J. 2006. Changes in tropical forest vegetation along
an altitudinal gradient in the Udzungwa Mountain National Park, Tanzania. Afr
J Ecol 44:478-490.
Ludwig JA, Reynolds JF. 1998. Statistical Ecology: A Primer on Methods and
Computing. New York (US): J Wiley.
Magurran AE. 2004. Measuring Biological Diversity. UK (GB): Blackwell.
64

Manos PS, Stanford AM. 2001. The historical biogeography of Fagaceae: tracking
the Tertiary history of temperate and subtropical forests on the Northern
Hemisphere. Int J Plant Sci 162:S77S93.
McCain CM. 2005. Elevational gradients in diversity of small mammals. Ecol
88:76-86.
McCain CM, Grytnes JA. 2010. Elevational gradients in species richness. Di
dalam: McCain CM, Grytnes JA, editor. Encyclopedia of Life Sciences.
Chichester (GB): J Wiley.
Moore PD, Garratt R. 2008. Tropical Forest (Ecosystem). New York (US): Facts
on File.
Mori SA, Boom BM, Carvalino AM, Santos D. 1983. The ecological importance
of Myrtaceae in eastern Brazilian wet forests. Biotropica 5:68-70.
Morley RJ. 2011. Dispersal and paleoecology of tropical Podocarps. Di dalam:
Turner BL, Cernusak LA, editor. Ecology of The Podocarpaceae in Tropical
Forest. Washington DC (US): Smithsonian Institution Scholary Pr. hlm 21-42.
Mueller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology.
New York (US): J Wiley.
Myers N, Mittermeier CG, da Fonseca GAB, Kent J. 2000. Biodiversity hotspots
for conservation priorities. Nature 403:553-569.
Nadkarni NM, Matelson TJ, Haber WA. 1995. Structural characteristics and
floristic composition of a Neotropical cloud forest, Monteverde, Costa Rica. J
Trop Ecol 27:107-110.
Ohsawa M. 1991. Structural comparison of tropical montane rain forest along
latitudinal and altitudinal gradients in south and east Asia. Vegetatio 97:1-10.
Olson DM, Dinerstein E. 2002. The global 200: priority ecoregions for global
conservation. Ann Missouri Bot Gard 89:199-224.
Parthasaranthy N, Muthuramkumar, Reddy MS. 2003. Patterns of liana diversity
in tropical evergreen forests of peninsular India. Forest Ecol Manag 190:15-31.
Pausas JG, Austin MP. 2001. Patterns of plant species richness in relation to
different environments: an appraisal. J Vegetation Sci 12:153-166.
Philipson WR. Trimeniaceae. Flora Malesiana, series 1, 10:327-333.
Poulsen, Pedry. 1995. Inventories of ground herbs at three altitudes on Bukit
Belalong, Brunei, Borneo. Biodiv Conserv 4:745-757.
Primarck R, Corlett R. 2006. Tropical Rain Forest: An Ecological and
Biogeography Comparison. Malden (US): Blackwell.
Ramadhanil, Tjirosoedirdjo SS, Setiadi D. 2008. Structure and composition of
understory plant assemblages of six land use types in the Lore Lindu National
Park, Central Sulawesi, Indonesia. Bangladesh J Plant Taxon 15:1-12.
Richter M. 2011. Tropical mountain forests-distribution and general features. Di
dalam: Gradstein SR, Homeier J, Gansert, editor. The Tropical Mountain
Forests. Gttingen (DE): Universittsverlag Gttingen. hlm 7-24.
Roos MC, Kessler PJA, Gradstein SR, Bass P. 2004. Species diversity and
endemism of five major Malesian island: diversity-area relationship. J
Biogeogr 31:1893-1908.
Roos MC. 1993. State of affairs regarding Flora Malesiana: progress in revision
and publication schedule.
65

Sagar R, Raghubanshi AS, Singh JS. 2003. Tree species composition, dispersion
and diverisity along a disturbance gradient in a dry tropical forest region of
India. Forest Ecol Manag 186:61-71.
Sasaki T, Laurenroth WK. 2011. Dominant species, rather than diversity,
regulates temporal stability of plant communities. Oecologia. doi
10.1007/s00442-011-1916-1.
Scatena FN, Bruijnzeel LA, Bubb P, Das S. 2010. Setting the stage. Di dalam:
Bruinjnzeel LA, Scatena FN, Hamilton LS, editor. Tropical Montane Cloud
Forests: Science for Conservation and Management. UK (GB): Cambridge
Univ Pr.
Schnitzer SA, Bongers F. 2002. The ecology of lianas and their role in forest.
TREE 5.
Setiadi D. 2005. Keanekaragaman spesies tingkat pohon di Taman Wisata Alam
Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Biodiversitas 6:118-122.
Siebert SF. 2005. The abundance and distribution of rattan over an elevation
gradient in Sulawesi, Indonesia. Forest Ecol Manag 210:143-158.
Sleumer H. 1971. Icacinaceae. Flora Malesiana, series 1, 6:1-87.
Slik JWF et al. 2010. Environmental correlates of tree biomass, basal area, wood
specific gravity and stem density gradients in Borneos tropical forest. Global
Ecol Biogeogr 19:50-60.
Sodhi NS, Koh LP, Brook BW, Ng PKL. 2004. Southeast Asian biodiversity: an
impending disaster. TREE 19:654-660.
Soepadmo E. 1972. Fagaceae. Flora Malesiana, series 1, 7:265-403.
Sosef MSM, Hong LT, Prawirohatmodjo S. 1998. Plant Resources of South-East
Asia No 5(3). Timber trees: Lesserknown timber. Leiden (NL): Blackhuys.
Spies TA. 1998. Forest structure: a key to the ecosystem. Northwest Sci 72:34-39.
Stiegel S, Kessler M, Getto D, Thonhofer J, Siebert SF. 2011. Elevational pattern
of species richness and density of rattan palms (Arecaceae: Calamoidea) in
Central Sulawesi, Indonesia. Biodiv Conserv 20:1987-2005.
Stohlgren TJ. 2007. Measuring Plant Diversity. New York (US): Oxford Univ Pr.
Stone JN, Porter JL. 1998. What is forest stand structure and how to measure it?.
Northwest Sci 72:25-26.
Tarner EVJ, Vitousek PM, Cuevas E. 1998. Experimental investigation of nutrient
limitation of forest growth on wet tropical mountains. Ecol 79:10-22.
TNC/BTNLL. 2002. Lore Lindu National Park. Draft Management Plant 2002-
2007. Palu (ID): Directoral Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
and Nature Conservancy.
Tredici PD. 2001. Sprouting in temperate trees: a morphological and ecological
review. Botanical Rev 67:121-140.
van Welzen PC, Parnell JAN, Slik JWF. 2011. Wallaces line and plant
distributions: two or three phytogeographical areas and where to group Java?.
Bio J Linnean Society 103:531-545.
van Welzen PC, Slik JWF. 2009. Pattern in species richness and composition of
plant families in Malay Archipelago. Blumea 54:166-171.
Vane-Wright RI, de Jong R. 2003. The Butterflies of Sulawesi: Annotated
Checklist for A Critical Island Fauna. Leiden (NL): Zool Verh Leiden.
66

Wang CT, Long RJ, Wang QJ, Ding LM, Wang MP. 2007. Effects of altitude on
plant-species diversity and productivity in an alpine meadow, QinghaiTibetan
plateau. Australian J Bot 55:110-117.
Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. London (GB): Oxford
Univ Pr.
Whitten JA, Mustafa M, Henderson GS. 1987. Ekologi Sulawesi. Tjitrosoepomo
G, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: The
Ecology of Sulawesi.
Wildi O. 2010. Data Analysis in Vegetation Ecology. UK (GB): J Wiley.
Willinghfer S, Cicuzza D, Kessler M. 2011. Elevational diversity of terrestrial
rainforest herbs: when the whole is less than the sum of its parts. Plant Ecol.
doi 10.1007/s11258-011-9986-z.
Willson MF, Traveset A. 2009. The ecology of seed dispersal. Di dalam: Fenner
M, editor. Seed: The Ecology of Regeneration in Plant Communities, 2nd
Edition. CAB International. hlm 85-110.
Wright DD, Jessen JH, Burke P, de Silva Garza HG. 1997. Tree and liana
enumeration and diversity on a one-hectare plot in Papua New Guinea.
Biotropica 29:250-260.
Yamada I. 1975. Forest ecological studies of the montane forest of Mt.
Pangrango, West Java. I. Statification and floristic composition of the montane
forest near Cibodas. Southeast Asian Studies 13:402-426.
Yamada I. 1977. Forest ecological studies of the montane forest of Mt.
Pangrango, West Java. IV. Floristic composition along the altitude. South East
Asian Studies 15:402-426.
67

LAMPIRAN
68
69

Lampiran 1 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan subpegunungan


No. Jenis Suku INP (%)
1 Castanopsis buruana Miq. Fagaceae 69.83
2 Gironniera subaequalis Planch. Cannabaceae 25.04
3 Santiria apiculata A.W.Benn. Burseraceae 24.83
4 Ixonanthes petiolaris Bl. Ixonanthaceae 24.45
5 Trigonopleura malayana Hook.f. Euphorbiaceae 20.54
6 Gnetum gnemon L. Gnetaceae 17.66
7 Litsea formanii Kosterm. Lauraceae 17.54
8 Trigonobalanus verticillata Forman Fagaceae 12.89
9 Syzygium sp.3 Myrtaceae 9.56
10 Artocarpus teysmannii Miq. subsp.
teysmannii Moraceae 9.35
11 Cryptocarya densiflora Bl. Lauraceae 7.72
12 Lithocarpus elegans (Bl.) Hatus. ex
Soepadmo Fagaceae 5.38
13 Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. Arecaceae 5.03
14 Horsfieldia costulata (Miq.) Warb. Myristicaceae 5.02
15 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol. )
Kalkman Rosaceae 4.97
16 Palaquium obovatum (Griff.) Engl. var.
orientale H.J.Lam Sapotaceae 4.31
17 Litsea firma Hook.f Lauraceae 3.74
18 Cryptocarya microcos Kosterm. Lauraceae 3.32
19 Ficus sp.3 Moraceae 2.50
20 Syzygium sp.4 Myrtaceae 2.50
21 Chionanthus polygamus (Roxb.) Kiew Oleaceae 2.43
22 Planchonella chartacea (F.Muell. Ex
Benth.) H.J.Lam Sapotaceae 2.25
23 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 2.11
24 Mangifera foetida Lour. Anacardiaceae 1.90
25 Litsea timoriana Span. Lauraceae 1.85
26 Melicope confusa (Merr.) P.S. Liu Rutaceae 1.80
27 Fagraea racemosa Jack Gentianaceae 1.72
28 Dysoxylum sp. Meliaceae 1.70
29 Aglaia angustifolia (Miq.) Miq. Meliaceae 1.62
30 Cryptocarya sp. Lauraceae 1.62
31 Polyosma integrifolia Bl. Escalloniaceae 1.61
32 Lithocarpus glutinosus (Bl.) Soepadmo Fagaceae 1.61
33 Guioa hirsuta Welzen Sapindaceae 1.59
Jumlah 300.00
70

Lampiran 2 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan subpegunungan


No. Jenis Suku INP (%)
1 Castanopsis buruana Miq. Fagaceae 80.59
2 Santiria apiculata A.W.Benn. Burseraceae 34.30
3 Praravinia mindanaensis (Elmer) Bremek. Rubiaceae 32.82
4 Gnetum gnemon L. Gnetaceae 26.07
5 Horsfieldia costulata (Miq.) Warb. Myristicaceae 15.69
6 Gironniera subaequalis Planch. Cannabaceae 14.48
7 Oncosperma horridum (Griff.) Scheff. Arecaceae 13.64
8 Lindera novoguineensis Kosterm. Lauraceae 13.19
9 Syzygium sp.3 Myrtaceae 10.79
10 Lithocarpus elegans (Bl.) Hatus. ex
Soepadmo Fagaceae 5.58
11 Antidesma riparium Airy Shaw subsp.
riparium Phyllanthaceae 5.35
12 Dicksonia blumei (Kunze) Moore Dicksoniaceae 4.97
13 Chionanthus pluriflorus (Knobl.) Kiew Oleaceae 4.24
14 Areca vestiaria Giseke Arecaceae 4.19
15 Memecyon paniculatum Jack Melastomataceae 3.80
16 Pinanga caesia Bl. Arecaceae 3.49
17 Prunus grisea (Blume ex Mll.Berol. )
Kalkman Rosaceae 3.38
18 Acer laurinum Hassk. ex Miq. Sapindaceae 3.35
19 Melicope confusa (Merr.) P.S. Liu Rutaceae 3.19
20 Cryptocarya densiflora Bl. Lauraceae 2.93
21 Podocarpus neriifolius D.Don Podocarpaceae 2.93
22 Lithocarpus glutinosus (Bl.) Soepadmo Fagaceae 2.93
23 Guioa hirsuta Welzen Sapindaceae 2.76
24 Psychotria malayana Jack Rubiaceae 2.68
25 Acronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 2.67
Jumlah 300.00
71

Lampiran 3 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan subpegunungan


No. Jenis Suku INP (%)
1 Antidesma riparium Airy Shaw subsp.
riparium Phyllanthaceae 31.84
2 Cryptocarya densiflora Blume Lauraceae 28.27
3 Santiria apiculata A.W.Benn. Burseraceae 25.55
4 Calophyllum soualattri Burm.f. Calophyllaceae 16.97
5 Annonaceae non det 1 Annonaceae 16.79
6 Litsea formanii Kosterm. Lauraceae 15.87
7 Archidendron clypearia (Jack) I.C.Nielsen Fabaceae 13.53
8 Litsea fulva (Blume) VILLAR Lauraceae 11.85
9 Cryptocarya microcos Kosterm. Lauraceae 11.35
10 Dictyoneura acuminata Blume Sapindaceae 11.29
11 Praravinia mindanaensis (Elmer) Bremek. Rubiaceae 10.88
12 Gnetum gnemon L. Gnetaceae 10.75
13 Chionanthus polygamus (Roxb.) Kiew Oleaceae 10.43
14 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol. )
Kalkman Rosaceae 9.59
15 Lithocarpus glutinosus (Bl.) Soepadmo Fagaceae 8.49
16 Palaquium obovatum (Griff.) Engl. Sapotaceae 7.84
17 Syzygium sp.3 Myrtaceae 7.51
18 Symplocos sp.2 Symplocaceae 5.56
19 Acronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 5.07
20 Elaeocarpus multiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. Elaeocarpaceae 4.70
21 Lasianthus reticulatus Blume Rubiaceae 4.46
22 Psycothria malayana Jack Rubiaceae 3.30
23 Ficus hispida L.f. Moraceae 3.12
24 Lithocarpus sp.2 Fagaceae 3.05
25 Aglaia angustifolia (Miq.) Miq. Meliaceae 3.05
26 Elaeocarpus erdinii Coode Elaeocarpaceae 2.26
27 Psycothria sp. Rubiaceae 2.22
28 Areca vestiaria Giseke Arecaceae 2.08
29 Chionanthuspluriflorus (Knobl.) Kiew Oleaceae 1.39
30 Ixonanthes petiolaris Bl. Ixonanthaceae 1.39
31 Horsfieldia costulata (Miq.) Warb. Myristicaceae 1.22
32 Elaeocarpus sp.2 Elaeocarpaceae 1.04
33 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 1.04
34 Trigonopleura malayana Hook.f. Euphorbiaceae 1.04
35 Gironniera subaequalis Planch. Cannabaceae 1.04
36 Meliaceae non det Meliaceae 1.04
37 Ficus sp.3 Moraceae 1.04
38 Artocarpus teysmannii Miq. subsp.
teysmannii Moraceae 1.04
39 Garcinia dulcis (Roxb.) Kurz Clusiaceae 1.04
Jumlah 300.00
72

Lampiran 4 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan


subpegunungan
No. Jenis Suku INP (%)
1 Calamus sp.1 Arecaceae 72.20
2 Ziziphus angustifolia (Miq.) Hatus. ex
Steenis Rhamnaceae 39.64
3 Dioscorea kingii R.Knuth Smilacaceae 19.09
4 Desmodium megaphyllum Zoll. Fabaceae 19.01
5 Asplenium sp.1 Aspleniaceae 16.63
6 Dinochloa barbata S.Dransf. Poaceae 16.07
7 Diplazium sp.2 Woodsiaceae 13.53
8 Smilax perfoliata Lour. Smilacaceae 13.05
9 Araceae non det 3 Araceae 10.27
10 Thelypteridaceae non det 3 Thelypteridaceae 8.22
11 Calamus sp.4 Arecaceae 7.91
12 Labisia pumila ( Blume) Mez var.
lanceolata Primulaceae 6.44
13 Korthalsia celebica Becc. Arecaceae 5.19
14 Calamus sp.3 Arecaceae 5.05
15 Ptisania sylvatica (Blume) Murdock. Maratheaceae 4.59
16 Piper sp.1 Piperaceae 4.53
17 Tinomiscium petiolare Hook. f. & Thomson Menispermaceae 4.37
18 Asplenium sp.4 Aspleniaceae 4.08
19 Poaceae non det Poaceae 2.95
20 Calamus ornatus var. ornatus Arecaceae 2.64
21 Asplenium sp.2 Aspleniaceae 2.50
22 Calamus sp.2 Arecaceae 2.41
23 Anadendrum latifolium Hook.f Araceae 2.01
24 Lindsaea sp.1 Lindsaeaceae 1.96
25 Melastomataceae non det Melastomataceae 1.96
26 Anoectochilus sp. Orchidaceae 1.96
27 Araceae non det 1 Araceae 1.92
28 Araceae non det 2 Araceae 0.98
29 Raphidophora sp.1 Araceae 0.98
30 Asplenium sp.3 Aspleniaceae 0.98
31 Dioscorea sp Dioscoreaceae 0.98
32 Lindsaea sp.2 Lindsaeaceae 0.98
33 Lindsaea sp.3 Lindsaeaceae 0.98
34 Aeschynanthus sp.1 Gesneriaceae 0.98
35 Freycinetia distigmata B.C. Stone Pandanaceae 0.98
36 Salicaceae non det Salicaceae 0.98
37 Cayratia corniculata (Benth.) Gagnep. Vitaceae 0.98
Jumlah 300.00
73

Lampiran 5 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan bawah
No. Jenis Suku INP (%)
1 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine)
Sleum. Icacinaceae 38.64
2 Elaeocarpus sp.1 Elaeocarpaceae 18.15
3 Magnolia carsonii Dandy ex Noot. var.
carsonii Magnoliaceae 16.80
4 Pouteria firma (Miq.) Baehni Sapotaceae 13.63
5 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. Rutaceae 11.49
6 Calophyllum soulattri Burm. f. Calophyllaceae 10.72
7 Pandanus sarasinorum Warb. Pandanaceae 9.01
8 Syzygium acuminatissimum (Blume) DC. Myrtaceae 8.47
9 Platea latifolia Bl. Icacinaceae 8.43
10 Syzygium sp.2 Myrtaceae 7.93
11 Syzygium sp.7 Myrtaceae 7.69
12 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.)
Hopel Cyatheaceae 7.54
13 Macadamia hildebrandii Steenis Proteaceae 7.48
14 Podocarpus neriifolius D.Don Podocarpaceae 7.39
15 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol.)
Kalkman Rosaceae 6.94
16 Ficus sp.1 Moraceae 6.81
17 Lithocarpus sp.1 Fagaceae 6.41
18 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 6.37
19 Ilex celebensis Capit. Aquifoliaceae 6.31
20 Macaranga allorobinsonii Whitmore Euphorbiaceae 6.12
21 Ficus crassiramea (Miq.) Miq. Moraceae 4.42
22 Lithocarpus luteus Soepadmo Fagaceae 3.64
23 Elaeocarpus musseri Coode Elaeocarpaceae 3.61
24 Elaeocarpus erdinii Coode Elaeocarpaceae 3.33
25 Chionanthus polygamus (Roxb.) Kiew Oleaceae 3.33
26 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. Lauraceae 3.32
27 Polyosma sp.2 Escalloniaceae 3.19
28 Persea rimosa Zoll. ex Meisn. Lauraceae 3.03
29 Ternstroemia sp. Primulaceae 2.99
30 Magnolia candollii (Bl.) H. Keng var.
candollii Magnoliaceae 2.99
31 Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae 2.98
32 Garcinia lateriflora Bl. Clusiaceae 2.45
33 Weinmannia sp. Cunoniaceae 2.23
34 Syzygium sp.1 Myrtaceae 2.17
35 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 2.03
36 Mitrephora macrocarpa (Miq.)
Weerasooriya & R.M.K.Saunders Annonaceae 1.99
37 Canarium balsamiferum Willd. Burseraceae 1.90
38 Ficus sp.4 Moraceae 1.83
39 Cinnamomum subaveniopsis Kosterm. Lauraceae 1.78
40 Litsea grandis Hook.f. Lauraceae 1.77
41 Chionanthus pluriflorus (Knobl.) Kiew Oleaceae 1.73
42 Helicia celebica Sleumer Proteaceae 1.71
43 Alstonia spectabilis R.Br. Apocynaceae 1.67
44 Sterculia insularis R.Br. Malvaceae 1.67
74

Lanjutan Lampiran 5
No. Jenis Suku INP (%)
45 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. Meliaceae 1.65
46 Ailanthus sp. Simaroubaceae 1.64
47 Archidendron havilandii (Ridley) L.C.
Nielsen Fabaceae 1.63
48 Dysoxylum alliaceum (Blume) Blume Meliaceae 1.61
49 Acronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 1.60
50 Endiandra sulavesiana Kosterm. Lauraceae 1.56
51 Cryptocarya densiflora Bl. Lauraceae 1.52
52 Elaeocarpus multiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. Elaeocarpaceae 1.52
53 Phaeanthus ebracteolatus (Presl.) Merr. Annonaceae 1.51
54 Ardisia sp. Primulaceae 1.50
55 Garcinia lateriflora Bl. Clusiaceae 1.49
56 Acer laurinum Hassk. ex Miq. Sapindaceae 1.47
57 Sapindaceae not det Sapindaceae 1.45
58 Pinanga caesia Blume Arecaceae 1.45
59 Dicksonia blumei (Kunze) Moore Dicksoniaceae 1.45
60 Tabernaemontana sphaerocarpa Bl. Apocynaceae 1.44
61 Polyscias nodosa (Bl.) Seem. Araliaceae 1.43
Jumlah 300.00
75

Lampiran 6 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan bawah
No. Jenis Suku INP (%)
1 Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae 31.39
2 Ardisia forbesii S.Moore Primulaceae 20.95
3 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.)
Hopel Cyatheaceae 18.52
4 Calophyllum soualattri Burm. f. Calophyllaceae 17.58
5 Dicksonia blumei (Kunze) Moore Dicksoniaceae 17.11
6 Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume)
Korth. Rubiaceae 15.63
7 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine)
Sleum. Icacinaceae 13.50
8 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. Rutaceae 10.60
9 Macadamia hildebrandii Steenis Proteaceae 10.56
10 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. Lauraceae 8.27
11 Syzygium sp.7 Myrtaceae 8.26
12 Antidesma sp. Phyllanthaceae 7.51
13 Myrsine sp. Primulaceae 6.97
14 Phaeanthus ebracteolatus (Presl.) Merr. Annonaceae 6.63
15 Elaeocarpus multiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. Elaeocarpaceae 6.46
16 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 5.31
17 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol.)
Kalkman Rosaceae 5.03
18 Cryptocarya microcos Kosterm. Lauraceae 4.95
19 Elaeocarpus trichopetalus Elaeocarpaceae 4.87
20 Ternstroemia sp. Pentaphylacaceae 4.74
21 Polyosma sp.1 Escalloniaceae 4.42
22 Elaeocarpus musseri Coode Elaeocarpaceae 4.23
23 Syzygium sp.2 Myrtaceae 3.96
24 Cryptocarya crassinerviopsis Kosterm. Lauraceae 3.88
25 Macaranga costulata Pax & K.Hoffm. Euphorbiaceae 2.98
26 Alstonia spectabilis R.Br. Apocynaceae 2.82
27 Elaeocarpus sp.1 Elaeocarpaceae 2.82
28 Citronella suaveolens (Bl.) Howard Cardiopteridaceae 2.67
29 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. Meliaceae 2.53
30 Weinmannia sp. Cunoniaceae 2.50
31 Lithocarpus caudatifolius (Merr.) Rehder Fagaceae 2.47
32 Helicia celebica Sleumer Proteaceae 2.47
33 Aglaia sp. Meliaceae 2.37
34 Ilex celebensis Capit. Aquifoliaceae 2.26
35 Litsea lancifolia (Roxb. ex Ness) Benth. &
Hook.f. Ex Villar Lauraceae 2.26
36 Alseodaphne oblanceolata (Merr.) Kosterm Lauraceae 2.21
37 Ficus sp.2 Moraceae 2.18
38 Turpinia sphaerocarpa Hassk. Staphyleaceae 2.18
39 Elaeocarpus erdinii Coode Elaeocarpaceae 2.16
40 Lithocarpus indutus Rehder Fagaceae 2.14
41 Cinnamomum subaveniopsis Kosterm. Lauraceae 2.14
42 Polyscias nodosa (Bl.) Seem. Araliaceae 2.11
43 Viburnum sambucinum Bl. Adoxaceae 1.97
44 Canarium balsamiferum Willd. Burseraceae 1.96
45 Polyosma sp. Escalloniaceae 1.94
76

Lanjutan Lampiran 6
No. Jenis Suku INP (%)
46 Elaeocarpus macropus Warb. ex R.Knuth
subsp. thenui Coode Elaeocarpaceae 1.92
47 Meliosma sumatrana (Jack) Walp. Sabiaceae 1.92
48 Acronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 1.89
49 Sapindaceae non det Sapindaceae 1.89
50 Symplocos cochinchinensis (Lour.)
S.Moore Symplocaceae 1.89
Jumlah 300.00
77

Lampiran 7 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan bawah

No. Jenis Suku INP (%)


1 Calophyllum soualattri Burm.f. Calophyllaceae 61.07
2 Platea excelsa Blume Icacinaceae 22.94
3 Ardisia forbesii S.Moore Primulaceae 20.54
4 Syzygium sp.7 Myrtaceae 20.33
5 Lasianthus rhinocerotis Blume Rubiaceae 20.05
6 Lasianthus biflorus (Blume) M.G.Gangop.
& Chakrab. Rubiaceae 17.83
7 Syzygium sp.2 Myrtaceae 16.21
8 Areca vestiaria Giseke Arecaceae 15.00
9 Pandanus sarasinorum Warb. Pandanaceae 12.22
10 Podocarpus neriifolius D.Don Podocarpaceae 9.26
11 Pouteria firma (Miq.) Baehni Sapotaceae 6.46
12 Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume)
Korth. Rubiaceae 5.52
13 Elaeocarpus sp.1 Elaeocarpaceae 5.12
14 Lasianthus lucidus Blume Rubiaceae 4.87
15 Dicksonia blumei (Kunze) Moore Dicksoniaceae 4.58
16 Syzygium acuminatissimum (Blume) DC. Myrtaceae 4.06
17 Meliosma sumatrana (Jack) Walp. Sabiaceae 3.02
18 Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae 2.85
19 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. Rutaceae 2.84
20 Elaeocarpus musseri Coode Elaeocarpaceae 2.79
21 Garcinia parvifolia (Miq.) Miq. Clusiaceae 2.65
22 Lithocarpus luteus Soepadmo Fagaceae 2.51
23 Timonius stipulosus Valeton Rubiaceae 2.51
24 Aglaia sp.1 Meliaceae 2.09
25 Aporosa lucida (Miq.) Airy Shaw Phyllanthaceae 1.90
26 Cryptocarya sp. Lauraceae 1.90
27 Magnolia candollii (Bl.) H. Keng var.
candollii Magnoliaceae 1.90
28 Macaranga allorobinsonii Whitmore Euphorbiaceae 1.81
29 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.)
Copel. Cyatheaceae 1.62
30 Ficus subulata Blume Moraceae 1.56
31 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol. )
Kalkman Rosaceae 1.50
32 Polyscias nodosa (Blume) Seem. Araliaceae 1.48
33 Ficus virgata Reinw. ex Blume Moraceae 1.48
34 Psychotria malayana Jack Rubiaceae 1.42
35 Annonaceae non det 2 Annonaceae 0.99
36 Elaeocarpus takolensis Coode Elaeocarpaceae 0.99
37 Oleaceae non det Oleaceae 0.95
38 Elaeocarpus angustifolius Blume Elaeocarpaceae 0.82
39 Archidendron clypearia (Jack) I.C.Nielsen Fabaceae 0.82
40 Callicarpa longifolia Lam. Lamiaceae 0.81
41 Litsea grandis (Nees) Hook. f. Lauraceae 0.68
42 Endiandra sulavesiana Kosterm. Lauraceae 0.68
43 Ternstroemia sp. Pentaphyllacaceae 0.68
44 Ardisia copelandii Mez. Primulaceae 0.68
78

Lanjutan Lampiran 7
No. Jenis Suku INP (%)
45 Achronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 0.68
46 Homalium foetidum Benth. Salicaceae 0.68
47 Arenga undulatifolia Becc. Arecaceae 0.61
48 Garcinia lateriflora Bl. Clusiaceae 0.61
49 Elaeocarpus macropus Warb. ex R.Knuth 0.61
subsp. thenui Coode Elaeocarpaceae
50 Fagraea blumei G.Don Gentianaceae 0.61
51 Litsea furfuracea (Ness) Kosterm. Lauraceae 0.61
52 Alseodaphne oblanceolata (Merr.)
Kosterm. Lauraceae 0.61
53 Cinnamomum subavenium Miq. Lauraceae 0.61
54 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. Meliaceae 0.61
55 Ficus sp.6 Moraceae 0.61
56 Symplocos cochichinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 0.61
57 Symplocos sp.4 Symplocaceae 0.61
Jumlah 300.00
79

Lampiran 8 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan


pegunungan bawah
No. Jenis Suku INP (%)
1 Calamus sp.5 Arecaceae 46.59
2 Calamus zollingeri Becc. Arecaceae 33.05
3 Calamus sp.6 Arecaceae 16.43
4 Elatostema acuminatum (Poir.) Brogn Urticaceae 13.21
5 Psychotria laxiflora Rubiaceae 11.31
6 Smilax perfoliata Lour Smilacaceae 10.65
7 Chloranthus elatior Link Chloranthaceae 10.69
8 non det 3 non det 3 9.92
9 Piper sp.3 Piperaceae 9.08
10 Freycinetia distigmata B.C. Stone Pandanaceae 8.44
11 Dinochloa barbata S. Dransf. Poaceae 8.51
12 Raphidophora sp.2 Araceae 7.84
13 Lindsaea sp.6 Dennstaedtiaceae 7.22
14 Cayratia corniculata (Benth.) Gagnep Vitaceae 6.66
15 Calamus sp.7 Arecaceae 6.08
16 Gesneriaceae non det 1 Gesneriaceae 5.17
17 Freycinetia ciliris Martelli Pandanaceae 5.17
18 Microsorum sp. Polypodiaceae 4.93
19 Colocasia sp. Araceae 4.62
20 Dichroa febrifuga Lour. Hydrangeaceae 4.42
21 Lindsaea sp.4 Dennstaedtiaceae 3.75
22 Dennstaedtiaceae non det Dennstaedtiaceae 3.52
23 Piper sp.2 Piperaceae 3.52
24 non det 1 non det 1 3.50
25 Aristolochiaceae non det Aristolochiaceae 3.18
26 non det 2 non det 2 2.94
27 Asplenium sp.5 Aspleniaceae 2.76
28 Homalomena humilis var. major (Hassk.)
Furtado Araceae 2.28
29 Aspleniaceae non det 2 Aspleniaceae 2.28
30 Medinilla sp. Melastomataceae 2.28
31 Alsophilla sp. Cyatheaceae 2.19
32 Alsophilla celebica (Blume) Mett. Cyatheaceae 2.19
33 Goodyera lanceolate Ridl. Orchidaceae 2.05
34 Fissistigma sp. Annonaceae 1.71
35 Pothos sp. Araceae 1.71
36 Freycinetia inermis Ridl. Pandanaceae 1.71
37 Diplazium sp.1 Woodsiaceae 1.71
38 Alpinia manostachys Valeton Zingiberaceae 1.71
39 Alyxia celebica DC. Middleton Apocynaceae 1.47
40 Raphidophora sp.3 Araceae 1.47
41 Asplenium nidus L. Aspleniaceae 1.47
42 Aspleniaceae non det 1 Aspleniaceae 1.47
43 Asplenium sp.6 Aspleniaceae 1.47
44 Asplenium sp.7 Aspleniaceae 1.47
45 Trichosanthes sp. Cucurbitaceae 1.47
46 Lindsaea sp.5 Dennstaedtiaceae 1.47
47 non det 5 non det 5 1.47
48 Aeschynanthus sp.2 Gesneriaceae 1.47
80

Lanjutan Lampiran 8
No. Jenis Suku INP (%)
49 Ficus sp. Moraceae 1.47
50 Helminthostachys Ophioglossaceae 1.47
51 Anoestochilus sp. Orchidaceae 1.47
52 Piper canicum Blume Piperaceae 1.47
53 Piper sp.1 Piperaceae 1.47
54 Selliguea sp.1 Polypodiaceae 1.47
55 Selliguea sp.3 Polypodiaceae 1.47
Jumlah 300.00
81

Lampiran 9 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Phyllocladus hypophylla Hook.f. Podocarpaceae 70.20
2 Dacrycarpus steupii (Wasscher) de Laub. Podocarpaceae 39.90
3 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett Fagaceae 27.41
4 Quintinia apoensis Schltr. Paracryphiaceae 21.13
5 Trimenia papuana Ridley Trimeniaceae 15.93
6 Syzygium sp.5 Myrtaceae 15.59
7 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 13.59
8 Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. Podocarpaceae 13.03
9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott Myrtaceae 12.95
10 Elaeocarpus steupii Coode Elaeocarpaceae 10.62
11 Acronychia trifoliolata Zoll. & Mor. Rutaceae 8.99
12 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 7.37
13 Adinandra sp.1 Pentaphyllacaceae 6.36
14 Prunus arborea (Blume) Kalkman var.
arborea Rosaceae 5.38
15 Fagraea sp. Gentianaceae 3.64
16 Elaeocarpus teysmannii Koord. & Valeton Elaeocarpaceae 3.39
17 Cyathea sp. Cyatheaceae 3.28
18 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 3.00
19 Syzygium benjaminum Diels Myrtaceae 2.71
20 Leptospermum recurvum Hook.f. Myrtaceae 2.45
21 Symplocos sp.1 Symplocaceae 2.40
22 Areca sp. Arecaceae 2.31
23 Syzygium sp.6 Myrtaceae 1.32
24 Syzygium sp.9 Myrtaceae 1.25
25 Rhododendron kochii Stein Ericaceae 1.18
26 Vaccinium laurifolium Miq. Ericaceae 1.17
27 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer ) Pipoly Primulaceae 1.16
28 Psychotria celebica Miq. Rubiaceae 1.15
29 Adinandra sp.2 Pentaphyllacaceae 1.14
Jumlah 300.00
82

Lampiran 10 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Trimenia papuana Ridley Trimeniaceae 56.52
2 Tasmannia piperita Miers Winteraceae 42.97
3 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer) Pipoly Primulaceae 22.39
4 Myrsine involucrata (Mez) Pipoly Primulaceae 22.28
5 Quintinia apoensis Schltr. Paracryphiaceae 21.78
6 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett Fagaceae 21.22
7 Phyllocladus hypophylla Hook.f. Podocarpaceae 19.81
8 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 19.64
9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott Myrtaceae 14.36
10 Psychotria celebica Miq. Rubiaceae 11.28
11 Adinandra sp.1 Pentaphyllacaceae 7.88
12 Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. Podocarpaceae 5.64
13 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 5.27
14 Dacrycarpus steupii (Wasscher) de Laub. Podocarpaceae 3.95
15 Vaccinium laurifolium Miq. Ericaceae 3.15
16 Syzygium sp.6 Myrtaceae 2.95
17 Rhododendron kochii Stein Ericaceae 2.58
18 Syzygium sp.9 Myrtaceae 2.06
19 Syzygium sp.5 Myrtaceae 2.03
20 Syzygium sp.8 Myrtaceae 1.79
21 Syzygium sp.10 Myrtaceae 1.69
22 Acronychia trifoliolata Zoll. & Mor. Rutaceae 1.54
23 Litsea ferruginea Blume Lauraceae 1.50
24 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 1.46
25 Ficus sp.5 Moraceae 1.44
26 Rhododendron sp. Ericaceae 1.42
27 Syzygium benjaminum Diels Myrtaceae 1.41
Jumlah 300.00
83

Lampiran 11 Indeks Nilai Penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer) Pipoly Primulaceae 52.10
2 Quintinia apoensis (Elmer) Schltr. Paracryphiaceae 31.85
3 Tasmannia piperita (Hook. f.) Miers Winteraceae 24.32
4 Areca sp. Arecaceae 21.80
5 Psychotria celebica Miq. Rubiaceae 21.77
6 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett Fagaceae 15.64
7 Dacrycarpusimbricatus (Blume) de Laub. Podocarpaceae 14.18
8 Acronychia trifoliata Zoll. & Moritzi Rutaceae 12.56
9 Podocarpus pilgeri Foxw. Podocarpaceae 11.17
10 Phyllocladus hypophyllus Hook.f. Podocarpaceae 11.13
11 Myrsine involucrata (Mez.) Pipoly Primulaceae 8.72
12 Elaeocarpus trichopetalus Merr. &
Quisumb. Elaeocarpaceae 7.80
13 Syzygium sp.11 Myrtaceae 7.58
14 Prunus arborea (Blume) Kalkman var.
arborea Rosaceae 6.99
15 Trimenia papuana Ridl. Trimeniaceae 6.24
16 Xanthomyrtusangustifolia A.J. Scott Myrtaceae 5.97
17 Elaeocarpus teysmannii Koord. & Valeton Elaeocarpaceae 5.90
18 Adinandra celebica Koord Pentaphylacaceae 5.52
19 Litsea ferruginea Blume Lauraceae 5.47
20 Ardisia elliptica Thunb. Primulaceae 4.45
21 Ficus virgata Reinw. ex Blume Moraceae 3.95
22 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 3.69
23 Vaccinium laurifolium Miq. Ericaceae 3.05
24 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 1.54
25 Rhododendron kochii Stein Ericaceae 1.14
26 Vaccinium sp.1 Ericaceae 1.00
27 Daphniphyllum gracile Gage Daphniphyllaceae 0.91
28 Vaccinium sp.2 Ericaceae 0.91
29 Syzygium sp.12 Myrtaceae 0.91
30 Sphenostemon papuanum (Lauterb.) Steenis
& Erdtman Paracryphiaceae 0.91
31 Homalanthus populneus (Geiseler) Pax Euphorbiaceae 0.77
Jumlah 300.00
84

Lampiran 12 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan


pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Sonerila pumila Melastomataceae 83.66
2 Blechnum sp. Blechnaceae 50.77
3 Davalliaceae non det Davalliaceae 30.82
4 Alpinia sp. Zingiberaceae 30.14
5 Aeschynanthus burttii Mendum Gesneriaceae 16.82
6 Selliguea sp.2 Polypodiaceae 13.44
7 Hoya mirophylla Schltr Asclepiadaceae 8.93
8 Thelypteridaceae non det 2 Thelypteridaceae 8.08
9 Agalmyla brownii (Koord.) B.L. Burtt Gesneriaceae 7.38
10 Freycinetia sp.1 Pandanaceae 6.70
11 Schefflera sp.1 Araliaceae 5.16
12 Elaphoglossum sp. Lomariopsidaceae 4.65
13 Polypodiaceae non det 4 Polypodiaceae 3.89
14 Oleandra neriiformis Cav. Oleandraceae 3.33
15 Bulbophyllum sp. Orchidaceae 3.12
16 Freycinetia sp.2 Pandanaceae 2.35
17 Arundina sp. Orchidaceae 2.34
18 non det 4 non det 4 1.90
19 Smilax sp. Smilacaceae 1.70
20 Hymenophyllum sp. Hymenophyllaceae 1.49
21 Schefflera serrata (Miq.) R.Vig. Araliaceae 1.41
22 Piper sp.4 Piperaceae 1.39
23 Calamus sp Arecaceae 1.30
24 Asplenium sp.8 Aspleniaceae 1.30
25 Grammitis sp. Grammitidaceae 1.30
26 Asplenium sp.9 Aspleniaceae 1.06
27 Pyroscia sp. Aspleniaceae 0.85
28 Asplenium polyodon G. Forst Aspleniaceae 0.76
29 Huperzia sp. Lycopodiaceae 0.75
30 Hoya sp. Asclepiadaceae 0.65
31 Asteraceae non det Asteraceae 0.65
32 Gesneriaceae non det Gesneriaceae 0.65
33 Hymenophyllum cavillare Desv. Hymenophyllaceae 0.65
34 Rubiaceae non det Rubiaceae 0.65
Jumlah 300.00
85

Lampiran 13 Nilai penting suku (NPS) pohon di hutan subpegunungan (HSP),


hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan atas (HPA)
NPS (%)
No. Suku
HSP HPB HPA
1 Fagaceae 86.97 14.39 30.10
2 Lauraceae 40.93 20.24 10.33
3 Ixonanthaceae 22.26 0.00 0.00
4 Cannabaceae 18.51 0.00 0.00
5 Burseraceae 18.29 2.84 0.00
6 Euphorbiaceae 14.87 4.98 0.00
7 Moraceae 14.44 15.89 0.00
8 Myrtaceae 12.91 25.87 42.92
9 Gnetaceae 11.99 0.00 0.00
10 Sapotaceae 10.01 11.10 0.00
11 Meliaceae 7.64 5.15 0.00
12 Rosaceae 6.26 5.80 6.39
13 Arecaceae 5.45 2.39 4.53
14 Myristicaceae 5.44 0.00 0.00
15 Oleaceae 4.59 6.26 0.00
16 Anacardiaceae 4.06 0.00 0.00
17 Rutaceae 3.96 10.82 8.17
18 Gentianaceae 3.88 0.00 5.26
19 Escalloniaceae 3.77 3.44 0.00
20 Sapindaceae 3.75 4.81 0.00
21 Icacinaceae 0.00 37.15 0.00
22 Elaeocarpaceae 0.00 25.53 14.81
23 Magnoliaceae 0.00 19.59 0.00
24 Proteaceae 0.00 10.38 0.00
25 Calophyllaceae 0.00 8.88 0.00
26 Pandanaceae 0.00 6.48 0.00
27 Podocarpaceae 0.00 6.25 105.42
28 Clusiaceae 0.00 5.83 0.00
29 Cyatheaceae 0.00 5.71 6.12
30 Primulaceae 0.00 5.69 4.00
31 Annonaceae 0.00 5.39 0.00
32 Aquifoliaceae 0.00 5.17 5.23
33 Apocynaceae 0.00 5.00 0.00
34 Celastraceae 0.00 3.23 0.00
35 Cunoniaceae 0.00 3.18 0.00
36 Malvaceae 0.00 2.62 0.00
37 Simaroubaceae 0.00 2.59 0.00
38 Fabaceae 0.00 2.58 0.00
39 Dicksoniaceae 0.00 2.39 0.00
40 Araliaceae 0.00 2.38 0.00
41 Paracryphiaceae 0.00 0.00 16.04
42 Trimeniaceae 0.00 0.00 13.28
43 Pentaphyllacaceae 0.00 0.00 10.74
44 Ericaceae 0.00 0.00 8.03
45 Symplocaceae 0.00 0.00 4.63
46 Rubiaceae 0.00 0.00 3.99
Jumlah 300.00 300.00 300.00
86

Lampiran 14 Nilai penting suku (NPS) pancang di hutan subpegunungan (HSP),


hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan atas (HPA)
NPS (%)
No. Suku
HSP HPB HPA
1 Fagaceae 88.40 6.75 25.77
2 Rubiaceae 27.63 12.08 11.73
3 Arecaceae 26.97 0.00 0.00
4 Burseraceae 22.43 3.03 0.00
5 Gnetaceae 20.54 0.00 0.00
6 Lauraceae 17.77 32.84 20.41
7 Myristicaceae 14.93 0.00 0.00
8 Cannabaceae 12.13 0.00 0.00
9 Sapindaceae 10.94 2.97 0.00
10 Rutaceae 10.69 11.87 4.43
11 Myrtaceae 10.03 11.59 41.65
12 Dicksoniaceae 7.38 14.48 0.00
13 Oleaceae 6.65 0.00 0.00
14 Melastomataceae 6.21 0.00 0.00
15 Phyllanthaceae 6.18 7.66 0.00
16 Rosaceae 5.80 5.18 0.00
17 Podocarpaceae 5.34 0.00 29.94
18 Elaeocarpaceae 0.00 26.14 0.00
19 Celastraceae 0.00 23.20 0.00
20 Primulaceae 0.00 22.65 35.82
21 Cyatheaceae 0.00 16.81 0.00
22 Calophyllaceae 0.00 14.95 0.00
23 Proteaceae 0.00 13.32 0.00
24 Icacinaceae 0.00 9.94 0.00
25 Escalloniaceae 0.00 8.51 0.00
26 Meliaceae 0.00 7.05 0.00
27 Annonaceae 0.00 5.86 0.00
28 Pentaphyllacaceae 0.00 5.81 9.15
29 Euphorbiaceae 0.00 4.05 0.00
30 Apocynaceae 0.00 3.89 0.00
31 Cardiophyllaceae 0.00 3.74 0.00
32 Cunoniaceae 0.00 3.57 0.00
33 Aquifoliaceae 0.00 3.34 4.35
34 Moraceae 0.00 3.26 4.33
35 Staphyleaceae 0.00 3.26 0.00
36 Araliaceae 0.00 3.19 0.00
37 Adoxaceae 0.00 3.05 0.00
38 Sabiaceae 0.00 3.00 0.00
39 Symplocaceae 0.00 2.97 0.00
40 Trimeniaceae 0.00 0.00 44.78
41 Winteraceae 0.00 0.00 34.48
42 Paracryphiaceae 0.00 0.00 17.35
43 Ericaceae 0.00 0.00 15.82
Jumlah 300.00 300.00 300.00
87

Lampiran 15 Nilai penting suku (NPS) semai di hutan subpegunungan (HSP),


hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan atas (HPA)
NPS (%)
No. Suku
HSP HPB HPA
1 Lauraceae 50.05 12.05 9.98
2 Phyllanthaceae 27.97 1.92 0.00
3 Rubiaceae 24.52 50.42 17.04
4 Burseraceae 19.17 0.00 0.00
5 Calophyllaceae 18.20 54.94 0.00
6 Annonaceae 18.02 2.30 0.00
7 Fagaceae 15.02 3.82 15.39
8 Oleaceae 13.65 2.27 0.00
9 Fabaceae 12.85 2.13 0.00
10 Elaeocarpaceae 11.08 12.44 13.69
11 Sapindaceae 10.62 0.00 0.00
12 Moraceae 9.55 7.14 5.19
13 Gnetaceae 8.18 0.00 0.00
14 Symplocaceae 8.16 3.83 0.00
15 Meliaceae 7.83 4.87 0.00
16 Rosaceae 7.66 2.36 6.24
17 Myrtaceae 6.85 29.02 16.68
18 Sapotaceae 6.54 5.55 0.00
19 Rutaceae 5.68 0.00 0.00
20 Arecaceae 3.32 11.57 18.06
21 non det 3 3.26 0.00 0.00
22 Myristicaceae 3.09 0.00 0.00
23 Putranjivaceae 2.91 0.00 0.00
24 Cannabaceae 2.91 0.00 0.00
25 Clusiaceae 2.91 5.88 0.00
26 Primulaceae 0.00 18.08 58.53
27 Icacinaceae 0.00 16.27 0.00
28 Pandanaceae 0.00 10.86 0.00
29 Podocarpaceae 0.00 6.57 33.73
30 Dicksoniaceae 0.00 5.89 0.00
31 Rutaceae 0.00 4.81 10.8
32 Celastraceae 0.00 3.27 0.00
33 Sabiaceae 0.00 3.00 0.00
34 Cyatheaceae 0.00 2.93 0.00
35 Araliaceae 0.00 2.79 0.00
36 Euphorbiaceae 0.00 2.68 3.50
37 Magnoliaceae 0.00 2.32 0.00
38 Lamiaceae 0.00 2.12 0.00
39 Pentaphyllacaceae 0.00 1.99 6.76
40 Salicaceae 0.00 1.99 0.00
41 Gentianaceae 0.00 1.92 0.00
42 Paracryphiaceae 0.00 0.00 32.75
43 Winteraceae 0.00 0.00 20.58
44 Ericaceae 0.00 0.00 16.02
45 Trimeniaceae 0.00 0.00 6.48
46 Aquifoliaceae 0.00 0.00 4.93
47 Daphniphyllaceae 0.00 0.00 3.64
Jumlah 300.00 300.00 300.00
88

Lampiran 16 Nilai penting suku (NPS) tumbuhan bawah di hutan


subpegunungan, pegunungan bawah dan pegunungan atas
NPS (%)
No. Suku
HSP HPB HPA
1 Arecaceae 91.98 90.01 3.22
2 Rhamnaceae 33.48 0.00 0.00
3 Aspleniaceae 27.41 21.22 13.20
4 Araceae 20.18 21.13 0.00
5 Dioscoreaceae 19.15 0.00 0.00
6 Poaceae 16.83 6.82 0.00
7 Fabaceae 11.58 0.00 0.00
8 Woodsiaceae 10.54 2.73 0.00
9 Dennstaedtiaceae 9.50 15.65 0.00
10 Smilacaceae 9.42 8.14 3.43
11 Thelypteridaceae 9.02 0.00 4.14
12 Maratheaceae 6.66 0.00 0.00
13 Primulaceae 5.97 0.00 0.00
14 Piperaceae 4.70 15.99 3.32
15 Menispermaceae 4.55 0.00 0.00
16 Melastomataceae 3.40 3.30 76.06
17 Orchidaceae 3.40 5.51 7.80
18 Gesneriaceae 3.05 6.77 21.54
19 Pandanaceae 3.05 16.41 9.87
20 Salicaceae 3.05 0.00 0.00
21 Vitaceae 3.05 5.00 0.00
22 Urticaceae 0.00 11.52 0.00
23 Chloranthaceae 0.00 9.78 0.00
24 Polypodiaceae 0.00 8.98 11.47
25 Rubiaceae 0.00 7.97 3.59
26 Non det.3 0.00 6.57 0.00
27 Hydrangeaceae 0.00 5.40 0.00
28 Non det.1 0.00 3.64 0.00
29 Aristolochiaceae 0.00 3.39 0.00
30 Cyatheaceae 0.00 3.16 0.00
31 Non det.2 0.00 3.13 0.00
32 Annonaceae 0.00 2.73 0.00
33 Zingiberaceae 0.00 2.73 27.43
34 Apocynaceae 0.00 2.47 0.00
35 Cucurbitaceae 0.00 2.47 0.00
36 Euphorbiaceae 0.00 2.47 0.00
37 Moraceae 0.00 2.47 0.00
38 Ophioglossaceae 0.00 2.47 0.00
39 Blechnaceae 0.00 0.00 42.21
40 Davalliaceae 0.00 0.00 28.25
41 Asclepiadaceae 0.00 0.00 8.36
42 Araliaceae 0.00 0.00 7.90
43 Hymenophyllaceae 0.00 0.00 6.10
44 Lomariopsidaceae 0.00 0.00 4.55
45 Oleandraceae 0.00 0.00 4.25
46 Non det. 4 0.00 0.00 3.84
47 Grammitidaceae 0.00 0.00 3.22
48 Lycopodiaceae 0.00 0.00 3.18
49 Asteraceae 0.00 0.00 3.08
Jumlah 300.00 300.00 300.00
89

Lampiran 17 Digram profil hutan subpegunungan di Watukilo

Diagram profil hutan subpegunungan di Watukilo (900 m dpl) TN.


Lore Lindu, Sulawesi Tengah pada areal seluas 40 m x 10 m (C.b,
Castanopsis buruana; C.m, Cryptocarya microcos; G.s, Gironniera
subaequalis; H.c, Horsfieldia costulata; I.p, Ixonanthes petiolaris;
L.f, Litsea formanii; Lt, Litsea firma; P.c, Planchonella chartacea;
P.m, Praravinia mindanaensis; S.a, Santiria apiculata; Sy, Syzygium
sp.; T.m, Trigonopleura malayana; T.v, Trigonobalanus
verticillata).
90

Lampiran 18 Digram profil hutan subpegunungan di Torongkilo

Diagram profil hutan pegunungan bawah di Torongkilo (1 500 m dpl)


TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah pada areal seluas 40 m x 10 m (A.f,
Ardisia forbesii; A.o, Alseodaphne oblanceolata; A.v, Ailanthus
velutinosus; C.c, Cyathea contaminans; C.d, Cryptocarya densiflora;
C.m, Cryptocarya microcos; C.s, Calophyllum soualattri; D.a,
Dysoxylum alliaceum; E.e, Elaeocarpus erdinii; El, Elaeocarpus sp.;
E.t, Elaeocarpus trichopetalus; I.c, Ilex celebensis; L.b, Lophopetalum
beccarianum; L.o, Litsea ochracea; Lt, Lithocarpus sp.; M.c,
Magnolia candolii var. candolii; M.h, Macadamia hildenbrandii; My,
Myrsine sp.; P.e, Platea excelsa var. borneensis; P.f, Pouteria firma;
P.g, Prunus grisea; Ph, Phaeanthus ebracteolatus; P.n, Podocarpus
neriifolius; Po, Polyosma sp.; P.r, Persea rimosa; P.s, Pandanus
sarasinorum; S.a, Syzygium acuminatissimum; S.c, Symplocos
cochinchinensis; Sy, Syzygium sp.; T.t, Tetractomia tetrandra; U.a,
Urophyllum arboreum).
91

Lampiran 19 Digram profil hutan subpegunungan di Torenali

Diagram profil hutan pegunungan atas di Torenali (2 300 m dpl) TN.


Lore Lindu, Sulawesi Tengah pada areal seluas 40 m x 10 m (Ad,
Adinandra sp.; Ar, Areca sp.; A.t, Acronychia trifoliolata; Cy,
Cyathea sp.; D.s, Dacrycarpus steupii; E.s, Elaeocarpus steupii; E.t,
Elaeocarpus teysmanii; Fg, Fagraea sp; I.c, Ilex cymosa; L.c,
Lithocarpus celebicus; L.h, Lithocarpus havilandii; M.m, Myrsine
minutifolia; M.i, Myrsine involucrata; N.j, Neolitsea javanica; P.a,
Prunus arborea; P.h, Phyllocladus hypophylla; Q.a, Quintinia
apoensis; Sm, Symplocos sp.; Sy, Syzygium sp.; T.p, Tasmannia
piperita; Tr, Trimenia papuana; X.a, Xanthomyrthus angustifolia).
92

Lampiran 20 Topografi plot masing-masing tipe hutan pegunungan

Hutan subpegunungan
U
10-12
8-10
6-8
4-6
2-4
0-2
-2-0

Hutan pegunungan bawah

U
6-8
4-6
2-4
0-2
-2-0
-4--2
-6--4
-8--6

Hutan pegunungan atas

U 3-4
2-3
1-2
0-1
-1-0
-2--1
-3--2
-4--3
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Popidolon pada tanggal 7 September 1981 dari ayah


Hamarun K. Mangopo (Alm.) dan ibu Hamidja Lamuni. Penulis merupakan putra
bungsu dari tiga bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi
Manajemen Hutan, Universitas Tadulako Palu, lulus pada tahun 2004. Penulis
melanjutkan studi di Program Studi Biologi Tumbuhan, Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai