HARDIANTO MANGOPO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Hardianto Mangopo
NIM G353090321
RINGKASAN
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTERISTIK EKOLOGI HUTAN TROPIS
PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL
LORE LUNDU SULAWESI TENGAH
HARDIANTO MANGOPO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, MSc
Judul Tesis : Karakteristik Ekologi Hutan Tropis Pegunungan di Taman
Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah
Nama : Hardianto Mangopo
NIM : G353090321
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian ini adalah ekologi tumbuhan, dengan judul Karakteristik Ekologi
Hutan Tropis Pegunungan di Sulawesi Tengah. Penelitian ini dibiayai oleh
German Research Foundation (DFG) melalui proyek Environment and Land Use
Change (ELUC) yang merupakan kerjasama penelitian antara Universitas
Gttingen Jerman dan Universitas Tadulako Palu.
Karya ilmiah ini merupakan hasil dari penelitian yang dilaksanakan pada
bulan Juli 2011 sampai dengan Juli 2012 di Taman Nasional Lore Lindu,
Sulawesi Tengah. Dengan diselesaikannya karya ilmiah ini, penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing atas
konstribusinya terhadap karya ilmiah ini.
Penelitian ini terlaksana berkat kerjasama penelitian antara Universitas
Tadulako dan Universitas Gttingen yang dibiayai oleh German Research
Foundation (DFG) mulai dari penelitian pengumpulan data di lapangan dan
identifikasi spesimen tumbuhan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih atas bantuan dan dukungan ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan
informasi tentang eksosistem hutan pegunungan, khususnya di Sulawesi Tengah,
dan dapat bermanfaat bagi semua pihak, serta perkembangan ilmu pengetahun.
Hardianto Mangopo
UCAPAN TERIMA KASIH
Halaman
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Taman Nasional Lore Lindu 3
Hutan Tropis Pegunungan 4
Struktur dan Komposisi Hutan 7
Keanekaragaman Jenis 8
3 KEANEKARAGAMAN JENIS TUMBUHAN HUTAN TROPIS
PEGUNUNGAN DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU
9
SULAWESI TENGAH
Abstrak 9
Abstract 9
Pendahuluan 9
Bahan dan Metode 10
Hasil 15
Pembahasan 27
Simpulan 29
4 KOMPOSISI DAN STRUKTUR HUTAN TROPIS PEGUNUNGAN
DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU SULAWESI TENGAH 31
Abstrak 31
Abstract 31
Pendahuluan 32
Bahan dan Metode 32
Hasil 35
Pembahasan 48
Simpulan 52
5 PEMBAHASAN UMUM 55
6 SIMPULAN DAN SARAN 59
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 67
RIWAYAT HIDUP 93
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis
pegunungan di Indonesia 6
3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di
TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah 11
3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang
dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan 15
3.3 Daftar jenis pohon, pancang, dan semai serta distribusinya pada
tiga plot penelitian 17
3.4 Daftar jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta serta
distribusinya pada tiga plot penelitian 21
3.5 Jumlah jenis masing-masing suku pohon, pancang, dan semai pada
tiga tipe hutan pegunungan 25
3.6 Jumlah jenis masing-masing suku tumbuhan bawah pada tiga tipe
hutan pegunungan 26
4.1 Kelas penutupan yang dimodifikasi dari Daubenmire (1959) dan
Wildi (2010) 34
4.2 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan jenis (indeks Srensen)
antara tiga tipe hutan pegunungan 35
4.3 Sepuluh jenis pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 37
4.4 Sepuluh jenis pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 38
4.5 Sepuluh jenis semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 39
4.6 Sepuluh jenis tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan
pegunungan 40
4.7 Struktur hutan pada plot seluas 0.24 ha ( se) pada tiga tipe hutan
pegunungan 43
5.1 Rangkuman hasil yang diperoleh selama penelitian pada plot
seluas 0.24 ha 55
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Kondisi hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah 4
2.2 Zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian pada beberapa
pegunungan tropis di dunia 5
3.1 Sulawesi dan lokasi penelitian di TN. Lore Lindu, Sulawesi
Tengah 11
3.2 Kondisi hutan pada tiga plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A)
hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan pegunungan atas
(1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas 12
3.3 Bentuk dan ukuran plot penelitian 13
3.4 Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot
penelitian. hutan subpegunungan hutan subpegunungan
hutan subpegunungan 15
3.5 Jumlah jenis pohon, pancang, dan semai di hutan subpegunungan
(HSP), hutan pegunungan bawah (HPB), dan hutan pegunungan
atas (HPA) 16
3.6 Jumlah jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta 17
3.7 Indeks kekayaan, keanekaragaman, dan kemerataan jenis pohon
(A), pancang (B), semai (C), dan tumbuhan bawah (D) 24
4.1 Persentase jumlah jenis tumbuhan bawah setiap tipe hutan
pegunungan 41
4.2 Suku pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42
4.3 Suku pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42
4.4 Suku semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 42
4.5 Suku tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan 43
4.6 Kerapatan dan basal area pohon dan pancang ( sd) berdasarkan
kelas diameter antara tiga tipe hutan pegunungan 44
4.7 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan subpegunungan (a) C. buruana,
(b) G. subaequalis, (c) S. apiculata, dan (d) I. petiolaris 45
4.8 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan pegunungan bawah (a) P. excelsa var.
borneensis, (b) Elaeocarpus sp.1, (c) M. carsonii var. carsonii,
dan (d) P.firma 45
4.9 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis
pohon dominan di hutan pegunungan atas (a) P. hypohylla,
(b) D. steupii, (c) L. havilandii, dan (d) Q. apoensis 46
4.10 Persentase penutupan semai (a), semak (b), herba (c), liana (d),
dan pteridophyta (e) ( sd) antara tiga tipe hutan pegunungan 46
4.11 Persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi ( sd) antara
tiga tipe hutan pegunungan 47
4.12 Pola kekayaan jenis berdasarkan ketinggian tempat 58
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan subpegunungan 69
2 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan subpegunungan 70
3 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan subpegunungan 71
4 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan 72
5 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan
bawah 73
6 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan
bawah 75
7 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan
bawah 77
8 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
pegunungan bawah 79
9 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan atas 81
10 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan
atas 82
11 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan atas 83
12 Indeks nilai penting (INP) jenis tumbuhan bawah di hutan
pegunungan atas 84
13 Nilai penting suku (NPS) pohon di hutan subpegunungan (HSP),
hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas (HPA) 85
14 Nilai penting suku (NPS) pancang di hutan subpegunungan
(HSP) 86
15 Nilai penting suku (NPS) semai di hutan subpegunungan (HSP) 87
16 Nilai penting suku (NPS) tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan (HSP) 88
17 Diagram profil hutan subpegunungan di Watukilo (900 m dpl)
pada areal seluas 40 m x 10 m 89
18 Diagram profil hutan pegunungan bawah di Torongkilo
(1 500 m dpl) pada areal seluas 40 m x 10 m 90
19 Diagram profil hutan pegunungan atas di Torenali (2 300 m dpl)
pada areal seluas 40 m x 10 m 91
20 Topografi plot masing-masing tipe hutan pegunungan 92
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
jenis pohon (Kessler et al. 2005; Gradstein et al. 2007; Culmsee & Pitopang 2009,
Culmsee et al. 2010, 2011), tumbuhan bawah, termasuk paku-pakuan (Schulze et
al. 2004; Ramadhanil et al. 2008; Cicuzza et al. 2010; Kessler et al. 2011;
Willinghfer 2011), dan struktur hutan (Dietz et al. 2007), sebagian besar
dilakukan pada zona hutan subpegunungan dan pegunungan bawah. Selain itu,
penelitian sebagian besar penelitian hanya difokuskan pada jenis-jenis pohon (dbh
10 cm). Oleh karena itu, penelitian secara lebih komprehensif masih sangat
diperlukan untuk mengungkap karakteristik ekologi pada setiap zona hutan
pegunungan di Sulawesi Tengah, sebagai upaya perlindungan dan pelestarian
keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
2. TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Ekologi
Taman Nasional Lore Lindu memiliki topografi yang bervariasi mulai dari
datar, landai agak curam, curam hingga sangat curam, dengan kawasan hutan
pegunungan yang tersebar antara ketinggian 500 sampai dengan 2 600 m dpl
(Erasmi et al. 2004). Menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Fergusson,
bagian utara kawasan TN. Lore Lindu memiliki tipe iklim C/D dengan curah
hujan rata-rata tahunan berkisar antara 855-1200 mm per tahun; bagian timur
bertipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 344-1400 mm per tahun; dan
bagian barat bertipe iklim A dengan curah hujan rata-rata 1200 mm per tahun
(TNC/BTNLL 2002). Secara umum, rata-rata suhu udara di kawasan ini berkisar
antara 25-26oC, dengan rata-rata curah hujan di atas 2500 mm per tahun dan dan
memiliki kelembapan yang tinggi (85-95%) (Whitten et al. 1987).
Lapisan tanah di daerah pegunungan umumnya berasal dari batuan asam
seperti gneisses, shists dan granit yang memiliki sifat peka terhadap erosi.
Formasi lakustrin banyak ditemukan pada danau di bagian timur kawasan dengan
bahan endapan dari campuran batuan sedimen, metaforik dan granit. Sedangkan di
bagian barat ditemukan formasi aluvium yang umumnya berbentuk kipas aluvial.
Sumber bahan aluvial ini berasal dari batuan metamorfik dan granit. Jenis tanah
di kawasan TN. Lore Lindu juga bervariasi, dari entisol, inseptisol, alfisol dan
sebagian kecil ultisol (TNC/BTNLL 2002).
Cannon et al. (2005) melaporkan bahwa tipe hutan di TN. Lore Lindu
tersebar dari hutan daratan rendah sampai hutan pegunungan atas. Sebagian besar
kawasan hutan dalam kondisi baik (Cannon et al. 2007) (Gambar 2.1), dengan
kekayaan jenis pohon dapat yang hampir sama jika dibandingkan dengan
Kalimantan dan kawasan hutan lain di Sulawesi (Culmsee & Pitopang 2009).
4
Pola geografis zonasi vegetasi, komposisi floristik, dan struktur hutan hujan
tropis pegunungan ditemukan pada sepanjang gradien garis lintang (latitude) di
Asia selatan dan timur (Ohsawa 1991). Hutan tropis pegunungan terletak pada
ketinggian yang berkisar antara 500 dan 4 000 m dpl pada tiga wilayah tropis
(Afrika, Amerika dan Asia) (Gambar 2.2), namun ada beberapa wilayah di dunia,
khususnya pulau-pulau vulkanik kemungkinan berada pada ketinggian 300 m dpl
(Kapelle 2004).
Secara umum, hutan hujan tropis pegunungan di daerah khatulistiwa
(equator) terdapat pada ketinggian di atas 1 000 m dpl yang dibagi ke dalam
empat tipe, yaitu hutan subpegunungan (submontane forest) hutan pegunungan
bawah (lower montane forests), hutan pegunungan atas (upper montane forests),
dan hutan subalpine (subalpine forests) (Ohsawa 1991; Kapelle 2004; Gltenboth
et al. 2006; Moore & Garant 2008). Komposisi dan struktur hutan pegunungan
memiliki perbedaan dengan hutan dataran rendah akibat adanya faktor pembatas,
antara lain curah hujan, berkurannya fotosintesis akibat kurangnya radiasi
matahari, rendahnya evapotranspirasi, paparan angin kencang, dan terbatasnya
unsur hara (Kapelle 2004).
5
Iklim
Menurut Krner (2007), terdapat empat perubahan atmosfer utama yang
berhubungan dengan ketinggian, yaitu: 1) penurunan tekanan atmosfer total dan
tekanan parsial dari semua gas atmosfer (O2 dan CO2), 2) penurunan suhu
atmosfer, yang berimplikasi pada kelembaban, 3) meningkatkan radiasi di bawah
langit tak berawan, baik radiasi matahari sebagai radiasi termal yang masuk dan
keluar pada malam hari, dan 4) fraksi radiasi ultraviolet lebih tinggi yang
diberikan setiap radiasi matahari total. Sehubungan dengan meningkatnya
ketinggian, iklim diurnal khas daerah tropis terjadi penurunan tekanan udara dan
suhu, pengurangan evapotranspirasi, dan meningkatnya awan, kabut dan intensitas
radiasi ultraviolet. Perubahan ini berkorelasi dengan, antara lain berkurangnya
ketinggian pohon dan pohon-pohon emergen, ukuran daun, dan peningkatan
scleromorfi dan epifit (Gerold 2008).
Hutan tropis pegunungan memiliki curah hujan yang tinggi (Ashton 2003),
dengan curah hujan rata-rata tahun lebih dari 2 000 mm per tahun (Aiba &
Kitayama 1999; Kessler et al. 2005; Gomez-Peralta et al. 2008; Richter 2008).
Pada ketinggian di atas 2 000 m dpl suhu udara dapat mencapai kurang dari 10 C
pada malam hari, dengan suhu harian rata-rata 15-20C (Gltenboth et al. 2006).
Laju perubahan suhu terhadap ketinggian secara umum diketahui sekitar 0.6 C
per 100 m, tetapi hal ini tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan awan,
waktu, dan jumlah uap air di udara (Whitten et al. 1987).
6
Tanah
Tanah pegunungan mengalami perubahan dengan bertambahnya ketinggian,
dimana tanah menjadi lebih asam dan miskin hara. Hal ini lebih disebabkan oleh
lambatnya dekomposisi bahan organik. Perbedaan komposisi batuan batuan dan
iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan,
termasuk juga kelerengan dan penutupan vegetasi (Whitten et al. 1987).
Menurut Gltenboth et al. (2006), perbedaan komposisi batuan induk dan
iklim merupakan faktor utama yang mempengaruhi formasi tanah di pegunungan,
juga kelerengan dan penutupan vegetasi. Karakteristik tanah di hutan tropis
pegunungan mengalami perubahan seiring dengan bertambahnya ketinggian,
yaitu: 1) keasaman tanah semakin tinggi, 2) berkurangnya unsur hara, 3)
berkurangnya kelimpahan organisme tanah, 4) struktur dan tekstur tanah kurang
baik, 5) akumulasi gambut lebih sering pada daerah yang lebih lembab, 6) proses
dekomposisi dan pelapukan rendah, 7) erosi dan pencucian hara sering terjadi,
terutama pada daerah-daerah dengan kelerengan yang terjal atau dengan
penutupan vegetasi yang kurang, 8) tanah miskin hara akibat sering terjadi
pencucian, dan 9) defisiensi kalsium banyak ditemukan pada tanah pegunungan.
Vegetasi
Hutan pada ketinggian di bawah 1 000 m dpl memiliki karakteristik vegetasi
yang hampir sama dengan hutan dataran rendah. Dengan bertambahnya
ketinggian, pohon-pohon menjadi lebih pendek, dan berdiameter kecil, serta epifit
seperti anggrek menjadi lebih melimpah (Whitten et al. 1987).
Vegetasi hutan tropis pegunungan dibagi dalam beberapa zonasi
berdasarkan ketinggian tempat. Ashton (2003) dan Gltenboth et al. (2006)
mengelompokkan zonasi vegetasi hutan tropis pegunungan (Tabel 2.1), sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Karakteristik umum zonasi vegetasi hutan hujan tropis pegunungan di
Indonesia (dimodifikasi dari Ashton 2003; Gltenboth et al. 2006)
Zonasi vegetasi Karakteristik vegetasi
Kurang dari 1 200 m dpl Memiliki karakter vegetasi yang hampir sama
dengan di hutan hujan dataran rendah.
Hutan pegunungan bawah Pohon cenderung lebih pendek (15-33 m);
(level terendah) diameter pohon kurang besar; banyak epifit;
1 200-1 800 m dpl sekitar 280-586 jenis pohon diameter 10 cm
per ha.
Hutan pegunungan bawah Memiliki kelimpahan lumut yang tinggi;
(level tertinggi) kanopi pohon lebih seragam.
Hutan pegunungan atas Pohon lebih pendek (1.5-18 m); daun kecil
1 800-3 000 m dpl dan tebal; sekitar 1 500 pohon kecil per ha;
terdapat banyak lichen, lumut, bakteri, dan
fungi pada daun.
Hutan subalpine Pohon-pohon lebih pendek dibandingan
sekitar 2 000- >3 000 m dpl dengan hutan pegunungan atas (1.5-9 m),
didominasi oleh semak, herba dan rumput,
memiliki kelimpahan epifit yang tinggi.
7
tumbuhan penutup tanah dan semai yang tingginya 0-1 m (Whitmore 1984). Pada
hutan tropis pegunungan, stratifikasi hutan sebagian besar hanya mencapai
stratum B, dan terus terjadi penurunan tinggi pohon seiring dengan ketinggian
(Holzman 2008; Gerold 2008).
Komposisi floristik, struktur dan fungsi hutan hujan tropis pegunungan
ditentukan oleh faktor-faktor abiotik dan biotik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perbedaan stratifikasi hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas
terutama disebabkan oleh radiasi iklim yang berbeda. Pada hutan pegunungan atas
dan subalpine terjadi peningkatan curah hujan yang menyebabkan kondisi terus
jenuh, keasaman tanah dan pencucian hara yang tinggi (Gerold 2008).
Keanekaragaman Jenis
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
tumbuhan berpembuluh (vascular plants) (Bass et al. 1990; Roos 1993). Salah
satu gambaran yang paling mencolok adalah perbedaan floristik dari pulau-pulau
di kawasan ini yang disebabkan oleh sejarah geologi dan palaeoekologi masa
lampau (Lohman et al. 2011).
Sulawesi merupakan pulau terbesar di kawasan Wallacea yang terletak di
antara garis biogeografi Wallaceae dan Weber (van Welzen 2011) dan antara
daratan Laurasia dan Gondwana (Primarck & Corlett 2006) memiliki kekayaan
jenis pada tingkat menengah (Roos et al. 2004). Cannon et al. (2007)
mengungkapkan bahwa hal ini kemungkinan disebabkan jumlah koleksi
tumbuhan yang sangat rendah (kurang dari 25 koleksi per 100 km2) jika
dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia dan kurangnya studi
taksonomi (Cannon et al. 2007). Selain itu, Sulawesi memiliki geologi yang
kompleks, dan isolasi yang sangat lama telah memungkinkan terjadinya evolusi
sehingga menghasilkan tumbuhan dan hewan yang khas, dengan tingkat
endemisitas yang tinggi (Roos et al. 2004; Cannon et al. 2007). Diperkirakan dari
terdapat sekitar 5 000 jenis tumbuhan berpembuluh, termasuk lebih dari 2 100
jenis tumbuhan berkayu dan hampir 15% merupakan endemik di Sulawesi
(Whitten et al. 1987; Kessler et al. 2002).
Penelitian terkait keanekaragaman jenis tumbuhan khususnya di hutan
pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah masih sangat terbatas.
Keanekaragaman jenis tumbuhan hubungannya dengan perubahan ketinggian
hanya diketahui dari hasil penelitian Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al.
2011; Stiegel et al. 2011; Willinghfer et al. 2011), sehingga penelitian ini
ditujukan untuk mempelajari keanekaragaman jenis tumbuhan antara hutan
subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan pegunungan atas.
Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan pada tiga lokasi di kawasan hutan primer TN. Lore
Lindu, Sulawesi Tengah, pada ketinggian 900 m, 1 500 m, dan 2 300 m di atas
permukaan laut (dpl) (Gambar 3.1). Ketiga lokasi penelitian masing-masing
termasuk dalam zona hutan subpegunungan, hutan pegunungan bawah, dan hutan
pegunungan atas (Cannon et al. 2005). Kondisi hutan pada tiga lokasi penelitian
ini telah dikelompokkan ke dalam hutan primer dengan kondisi baik (Cannon et
al. 2007) (Gambar 2.1). Karakteristik masing-masing lokasi penelitian disajikan
pada Tabel 2.1. Hutan pegunungan atas dalam penelitian ini memiliki kelimpahan
lumut yang tinggi dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya (Gambar 3.2)
11
Tabel 3.1 Lokasi dan karakteristik tiga tipe hutan pegunungan yang diteliti di
TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
Tipe hutan
Karakteristik
HSP HPB HPA
Ketinggian (m dpl) 900 1 500 2 300
Lokasi Watukilo Torongkilo Torenali
Koordinat 0161.5' S 0141.5' S 0128.6' S
GC-WGS 84 12007.4' E 12027.9' E 12031.2' E
Kemiringan (o) 0-10 0-10 0-10
Arah plot W 280o N W 290o N E 140o S
Batuan induk Granit Metamorfik Granit
Curah hujan
(mm/tahun) 1 782 1 959 2 129
Suhu (oC) 25.5 21.0 14.1
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas
12
A B C
Gambar 3.2 Kondisi hutan pada tiga di plot penelitian di TN. Lore Lindu. (A) hutan subpegunungan (900 m dpl), (B) hutan
pegunungan bawah (1 500 m dpl), (C) hutan pegunungan atas (2 300 m dpl).
13
Analisis data
Nilai keanekaragaman jenis tumbuhan dihitung berdasarkan indeks
kekayaan jenis (species richness index), indeks keanekaragaman jenis (species
diversity index), dan indeks kemerataan jenis (species evenness index) (Magurran
2004) dengan formula, sebagai berikut:
Indeks kekayaan jenis dihitung menggunakan indeks Margalef (Margalef
index):
( S 1 )
DMg
ln N
dimana:
S = Jumlah jenis yang teramati
N = Jumlah total individu yang teramati
Indeks keanekaragaman jenis dihitung menggunakan indeks Shannon
(Shannon index):
s
Ni
H' Pi ln Pi ; Pi
i 1 N
dimana:
s = Jumlah jenis
Ni = Nilai penting jenis
N = Nilai penting seluruh jenis
H'
E
ln ( S )
dimana:
H' = Indeks keanekaragaman Shannon
S = Jumlah jenis
15
Hasil
Kekayaan jenis
Hasil penelitian pada tiga plot berdasarkan tipe hutan, dengan luas masing-
masing 0.24 ha, dijumpai sebanyak 117 jenis pohon dan 96 jenis pancang, 116
jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah, meliputi semak, herba, liana, dan
paku-pakuan. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan (129
marga dan 106 suku) (Tabel 3.2). Lebih dari 65% dari spesimen yang dikoleksi,
dapat identifikasi sampai pada tingkat jenis, 20% pada tingkat marga, 5% pada
tingkat suku, dan 2% tidak teridentifikasi.
Tabel 3.2 Jumlah jenis, marga, dan suku seluruh jenis tumbuhan yang
dijumpai pada setiap tipe hutan pegunungan
Jumlah
Tipe hutan
Jenis Marga Suku
Hutan subpegunungan 98 69 49
Hutan pegunungan bawah 150 97 52
Hutan pegunungan Atas 82 57 44
Total 310 129 106
Kurva kumulatif jenis pohon dan pancang pada tiga plot berdasarkan luas
area yang diamati (Gambar 3.4), menunjukkan bahwa jumlah total jenis pohon
dan pancang di hutan subpegunungan dan pegunungan atas memiliki jumlah yang
sama pada area seluas 0.12 ha di hutan pegunungan bawah. Terlihat juga bahwa
jumlah jenis di plot hutan pegunungan bawah masih terus mengalami peningkatan
pada luas area 0.24 ha.
100
90
80
70
Jumlah jenis
60
50
40
30
20
10
0
0 0.04 0.08 0.12 0.16 0.2 0.24 0.28
Luas area (ha)
Setiap tipe hutan yang diteliti memiliki kekayaan jenis tumbuhan yang
bervariasi. Kekayaan jenis tertinggi dijumpai di hutan pegunungan bawah, diikuti
hutan subpegunungan, dan terendah di hutan pegunungan atas. Jika ditinjau
berdasarkan tingkat pertumbuhan, hutan pegunungan bawah memiliki jumlah
jenis pohon, pancang, dan semai tertinggi, masing-masing 61, 50, dan 57 jenis,
sedangkan hutan pegunungan atas memiliki jumlah jenis pohon dan semai
terendah (29 dan 31 jenis). Perbedaan terlihat pada jumlah jenis pancang, dimana
hutan subpegununan memiliki jumlah jenis terendah (27 jenis).
Setiap tipe hutan memperlihatkan penurunan jenis dari pohon ke pancang
dan meningkat kembali pada jenis semai. Secara keseluruhan, dijumpai sebanyak
13 dan 15 jenis tambahan untuk pancang dan semai di hutan subpegunungan; 21
dan 20 jenis pancang dan semai di hutan pegunungan bawah, dan 7 dan 12 jenis
tambahan masing-masing untuk pancang dan semai di hutan pegunungan atas
(Gambar 3.5).
80
Jumlah jenis
60
40
20
0
HSP
1 HPB
2 HPA
3
Tipe hutan
Gambar 3.5 Jumlah jenis pohon, pancang, dan semai di hutan
subpegunungan (HSP), hutan pegunungan bawah
(HPB), dan hutan pegunungan atas (HPA).
Semak
60
Herba
Liana
50 Pteridophyta
Total
40
Jumlah jenis
30
20
10
0
HSP
1 HPB
2 HPA
3
Tipe hutan
Gambar 3.6 Jumlah jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta.
Hutan subpegunungan (HSP), hutan pegunungan
bawah (HPB) bawah, hutan pegunungan atas (HPA)
Tabel 3.4 Daftar jenis semak, herba, liana, dan pteridophyta serta distribusinya
pada tiga plot penelitian
Distribusi
No. Jenis Kelompok
HSP HPB HPA
Alangiaceae
1 Alangium sp. + liana
Annonaceae
2 Fissistigma sp. + liana
Apocynaceae
3 Alyxia celebica DC. Middleton + liana
Araceae
4 Araceae non det 1 + herba
5 Anadendrum latifolium Hook.f + herba
6 Araceae non det 2 + herba
7 Araceae non det 3 + herba
8 Colocasia sp. + herba
9 Homalomena humilis var. major (Hassk.) Furtado + herba
10 Pothos sp. + herba
11 Raphidophora sp.1 + herba
12 Raphidophora sp.2 + herba
13 Raphidophora sp.3 + herba
Araliaceae
14 Schefflera serrata (Miq.) R.Vig. + herba
15 Schefflera sp. + herba
Arecaceae
16 Calamus sp.1 + herba
17 Calamus ornatus var. ornatus + herba
18 Calamus zollingeri Becc. + liana
19 Calamus sp.2 + herba
20 Calamus sp.3 + herba
21 Calamus sp.4 + herba
22 Calamus sp.5 + liana
23 Calamus sp.6 + liana
24 Calamus sp.7 + liana
25 Calamus sp.8 + liana
26 Korthalsia celebica Becc. + liana
Aristolochiaceae
27 Aristolochiaceae non det + liana
Asclepiadaceae
28 Hoya medium leaf + herba
29 Hoya mirophylla Schltr + herba
Aspleniaceae
30 Asplenium nidus L. + pteridophyta
31 Asplenium sp.1 + pteridophyta
32 Asplenium sp.3 + pteridophyta
33 Asplenium sp.4 + pteridophyta
34 Asplenium sp.2 + pteridophyta
35 Alsophilla sp. + pteridophyta
36 Aspleniaceae non det 1 + pteridophyta
37 Aspleniaceae non det 2 + pteridophyta
38 Asplenium sp.5 + pteridophyta
39 Asplenium sp.6 + pteridophyta
40 Asplenium sp.7 + pteridophyta
41 Asplenium polyodon G. Forst. + pteridophyta
42 Pyroscia sp. + pteridophyta
43 Asplenium sp.8 + pteridophyta
44 Asplenium sp.9 + pteridophyta
Asteraceae
45 Asteraceae non det + herba
Blechnaceae
46 Blechnum sp. + pteridophyta
22
11.9
10.66
10.22
12.0
Indeks Margalef
8.48
9.0
6.91
5.96
6.2
5.18
5.14
4.93
4.90
4.77
6.0
3.0
0.0
A B C D
3.68
4.0
3.53
3.48
3.23
3.13
2.94
Indeks Shannon
2.85
2.85
2.72
2.70
2.61
3.0
2.0 2.51
1.0
0.0
A B C D
0.90
0.89
1.0
0.88
0.86
0.82
0.82
0.81
0.81
0.79
0.77
0.71
0.70
0.8
Indeks Pielou
0.6
0.4
0.2
0.0
A B C D
Kategori
Gambar 3.7 Indeks kekayaan, keaneakaragaman, dan
kemerataan jenis pohon (A), pancang (B),
semai (C), dan tumbuhan bawah (D) antara
tiga tipe hutan pegunungan.
25
Pembahasan
Inventarisasi jenis pada empat kategori, yaitu pohon, pancang, semai, dan
tumbuhan bawah yang meliputi semak, herba, liana, dan paku-pakuan di kawasan
hutan pegunungan TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah diperoleh bahwa hutan
pegunungan bawah di Torongkilo (1 500 m dpl) memiliki kekayaan jenis yang
tinggi untuk semua kategori, diikuti hutan subpegunungan di Watukilo (900 m
dpl) dan terendah di hutan pegunungan atas di Torenali (2 300 m dpl).
Kekayaan jenis pohon yang diperoleh di hutan subpegunungan dalam
penelitian ini (29 sampai 61 jenis) lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh Wright et al. (1997) di Papua Nugini, Hamman et al. (1999) di
Filippina, serta Kessler et al. (2005), dan Culmsee dan Pitopang (2009) di
kawasan TN. Lore Lindu sebanyak 92 sampai dengan 228 jenis. Namun,
kekayaan jenis pohon yang diperoleh di hutan pegunungan bawah (61 jenis)
hampir sama jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Gradstein et al.
(2007), Culmsee dan Pitopang (2009), dan Culmsee et al. (2011) di kawasan yang
sama, serta Yamada (1975) di G. Gede Pangrango Jawa Barat sebanyak 30 sampai
dengan 60 jenis.
28
Simpulan
Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan pada tiga tipe hutan pegunungan
yang tergolong dalam 129 marga dan 106 suku, meliputi 117 jenis pohon, 96 jenis
pancang, 116 jenis semai, dan 121 jenis tumbuhan bawah.
Terdapat perbedaan jumlah jenis tumbuhan pada setiap tipe hutan yang
diteliti. Hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis tertinggi dan terendah di
hutan subpegunungan.
31
Abstrak
Ekosistem hutan pegunungan meliputi sekitar 21 persen dari total area hutan
tropis dunia. Ekosistem ini memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dan
memiliki fungsi ekologis, antara lain sebagai daerah tangkapan air, dan habitat
berbagai jenis tumbuhan dan hewan endemik dan terancam punah. Tujuan dari
penelitian ini adalah mempelajari komposisi komunitas vegetasi dan struktur
hutan pegunungan di TN. Lore Lindu. Pengumpulan data vegetasi, meliputi pohon
(dbh 10 cm), pancang (2 cm dbh <10 cm), semai, dan tumbuhan bawah pada
tiga plot kuadrat (masing-masing 0.24 ha) tipe hutan pegunungan pada ketinggian
900 m, 1 500 m, dan 2 300 m dpl (hutan subpegunungan sampai hutan
pegunungan atas). Setiap tipe hutan disusun oleh jenis dominan yang berbeda (Ss
<10%). Sebanyak 310 jenis tumbuhan, hanya satu jenis yang dijumpai pada tiga
tipe hutan yang diteliti, 15 jenis di hutan subpegunungan dan pegunungan bawah,
dan dua jenis di hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas. Fagaceae
merupakan suku dominan utama di hutan subpegunungan (39.8% dari total basal
area), sama halnya dengan hutan pegunungan atas yang dominasi Podocarpaceae,
sedangkan di hutan pegunungan bawah didominasi Icacinaceae, namun dengan
basal area yang rendah (16.5%). Kerapatan individu pohon dan pancang tertinggi
diperoleh di hutan pegunungan atas, dan terendah di hutan subpegunungan,
namun berbeda halnya dengan semai dan tumbuhan bawah.
Kata kunci: hutan pegunungan, komposisi komunitas, Lore Lindu, struktur hutan,
Sulawesi
Abstract
Tropical montane forests ecosystem making up 21 percent of the total area
of the worlds tropical forests. This ecosystem has high level of species diversity,
contributes positively to the catchment water yield, and an essential habitat for
many endemic and threatened plant and animal species. Inventory of vegetation
communities, comprises of trees (dbh 10 cm) and saplings (2 cm dbh <10 cm),
seedlings and understorey plants were conducted on three quadrat plots (each 0.24
ha) in montane forest at 900 m, 1 500 m, and 2 300 m asl. Each site has different
species (Ss <10%). Out of 310 plant species, only one species was found at all
forest types, 15 species were found at submontane and lower montane forest, and
two species at lower montane and upper montane forest. In submontane forest,
Fagaceae were overall important (occupying 39.8% of the total basal area), similar
to upper montane that dominated by Podocarpace. Lower montane forest,
Icacinaceae is the most important family but has less basal area (16.5%). Upper
montane forest has higher density of trees and saplings, followed by lower
montane and submontane forest, but seedlings and understorey vegetation has
different pattern.
Keywords: community composition, forest structure, Lore Lindu, montane forest,
Sulawesi.
32
Pendahuluan
Lokasi penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan primer TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah, masing-masing di Watukilo (S 0161.5', E 12007.4'),
Torongkilo (S 0141.5', E 12027.9'), dan Torenali (S 0128.6', E 12031.2').
Peta lokasi dan letak plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Ketiga plot penelitian masing-masing berada pada zona hutan
subpegunungan pada ketinggian 900 m dpl di Watukilo, hutan pegunungan bawah
pada ketinggian 1 500 m dpl di Torongkilo, dan hutan pegunungan atas pada
ketinggian 2 300 m dpl di Torenali, yang dipilih pada areal dengan kondisi
topografi cukup yang datar dan belum ada tanda-tanda aktivitas manusia. Menurut
Cannon et al. (2007), kondisi hutan di lokasi penelitian tergolong dalam hutan
primer dengan kondisi baik. Karakteristik dan topografi masing-masing plot
penelitian disajikan pada Tabel 3.1 dan Lampiran 20.
setinggi dada (dbh) 10 cm yang diukur pada tinggi 1.3 m. Pengumpulan data
pancang (2 cm dbh <10 cm) dilakukan pada subplot berukuran 5 m x 5 m yang
terdapat dalam setiap subplot 10 m x 10 m, sedangkan data semai (tinggi total
1.5 m) dan tumbuhan bawah (termasuk paku-pakuan) dilakukan dalam subplot
berukuran 2 m x 2 m yang terdapat dalam setiap subplot 5 m x 5 m. Bentuk dan
ukuran plot penelitian disajikan pada Gambar 3.3. Diameter pohon dan pancang
diukur menggunakan pita diameter (diameter tape), dan tingginya diukur
menggunakan vertex III dengan transpoder T3/60 (Harglf, Lngsele, Sweden).
Setiap individu pohon dan pancang ditandai menggunakan label permanen,
dan dilakukan pencatatan nama jenis dan suku (jika diketahui) serta karakter
morfologi, antara lain kulit batang dan getah (jika ada). Contoh daun, bunga dan
buah (jika ada) dikoleksi sebanyak tujuh duplikat untuk kepentingan identifikasi
dan koleksi herbarium yang disimpan di Herbarium Celebense (CEB), Herbarium
Bogoriense (BO), Herbarium Gttingen (GOET), dan Herbarium Leiden (L).
Analisis data
Setiap jenis tumbuhan dihitung nilai kerapatan (K), kerapatan relatif (KR),
frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dominasi (D), dominasi relatif (DR), basal
area (BA), dan indeks nilai penting (INP) menggunakan formula (Cox 1996),
sebagai berikut:
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan =
Luas plot
Kerapatan suatu jenis
Kerapatan relatif (%) = x 100%
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah plot ditemukannya suatu jenis
Frekuensi = x 100%
Jumlah seluruh plot
Dominasi setiap jenis pohon dan pancang diperoleh dari perbandingan basal
area dan luas plot, sedangkan untuk semai dan tumbuhan bawah iperoleh dari
perbandingan persentase penutupan dan luas plot contoh (Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Kelas penutupan yang dimodifikasi dari Daubenmire (1959) dan
Wildi (2010)
Kelas penutupan Kisaran penutupan (%) Nilai tengah (%)
1 0.0 0.5 0.25
2 0.5 1.5 1.00
3 1.5 3.0 2.25
4 3.0 5.0 4.00
5 5.0 12.5 8.75
6 12.5 25.0 18.75
7 25.0 50.0 37.50
8 50.0 75.0 62.50
9 75.0 100.0 87.50
Perhitungan penutupan:
% penutupan jenis A = ( subplot kelas penutupan 1 * 0.25%
+ subplot kelas penutupan 2 * 1.00%
+ subplot kelas penutupan 3 * 2.25%
+ subplot kelas penutupan 4 * 4.00%
+ subplot kelas penutupan 5 * 8.75%
+ subplot kelas penutupan 6 * 18.75%
+ subplot kelas penutupan 7 * 37.50%
+ subplot kelas penutupan 8 * 62.50%
+ subplot kelas penutupan 9 * 87.50% jumlah total subplot
Indeks nilai penting (INP) untuk setiap jenis tumbuhan diperoleh dari
penjumlahan kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominasi relatif
(DR).
Selain nilai penting jenis, dilakukan pula perhitungan nilai penting suku
(NPS) berdasarkan formula (Mori et al. 1983), sebagai berikut:
Jumlah jenis suatu suku
Keanekaragaman relatif (%) = x 100%
Jumlah total jenis
Jumlah individu suatu suku
Kerapatan relatif (%) = x 100%
Jumlah total individu
Jumlah basal area suatu suku
Dominasi relatif (%) = x 100%
Jumlah total basal area
Nilai penting setiap suku diperoleh dari penjumlahan keanekaragaman
relatif, kerapatan relatif, dan dominasi relatif.
Kesamaan jenis antara setiap tipe hutan yang diteliti dihitung menggunakan
indeks Srensen berdasarkan formula (Wildi 2010), sebagai berikut:
35
2a
Ss =
2a + b + c
dimana:
Ss = Indeks kesamaan Srensen
a = Jumlah jenis yang sama terdapat pada plot 1 dan 2
b = Jumlah jenis yang hanya terdapat pada plot 1
c = Jumlah jenis yang hanya terdapat pada plot 2
Diameter pancang dan pohon dikelompokkan dalam sembilan kelas
diameter, terdiri dari kelas diameter 2.0-9.9 cm, 10.0-19.9 cm, 20.0-29.9 cm, 30.0-
39.9 cm, 40.0-49.9 cm, 50.0-59.9 cm, 60.0-69.9 cm, 70.0-79.9 cm, 80 cm untuk
mengetahui tipe regenerasi setiap tipe hutan yang diteliti. Selain itu, dilakukan
pula perhitungan persentase jumlah individu berdasarkan kelas tinggi, terdiri dari
kelas tinggi <10.0 m, 10.0-19.9 m, 20.0-29.9 m, 30.0-39.9 cm, dan 40 m.
Hasil
Komposisi komunitas
Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 129 marga
dan 106 suku, masing-masing 117 jenis pohon, 96 jenis pancang, 116 jenis semai,
dan 121 jenis tumbuhan bawah pada seluruh tipe hutan yang diteliti. Jumlah jenis
dan suku tertinggi diperoleh di hutan pegunungan bawah pada ketinggian 1 500 m
dpl, dan terendah di hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m dpl (Bab 3).
Hasil analisis kesamaan jenis Srensen antara tiga tipe hutan pada setiap
kategori (pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah) diperoleh indeks
kesamaan jenis dengan nilai berkisar dari 0.000 sampai 0.086 (Tabel 4.2).
Tabel 4.2 Indeks kesamaan dan ketidaksamaan jenis (indeks
Srensen) antara tiga tipe hutan pegunungan
Indeks kesamaan
Tipe hutan HSP HPB HPA
Pohon
HSP 0.085 0.008
HPB 0.915 0.044
HPA 0.992 0.956
Pancang
HSP 0.080 0.000
HPB 0.092 0.052
HPA 1.000 0.948
Semai
HSP 0.062 0.000
HPB 0.938 0.023
HPA 1.000 0.977
Tumbuhan bawah
HSP 0.086 0.000
HPB 0.914 0.000
HPA 1.000 1.000
Indeks ketidaksamaan
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan
pegunungan atas.
36
Secara keseluruhan, ketiga tipe hutan yang diteliti hanya disusun oleh satu
jenis yang sama, yaitu L. celebicus (Fagaceae), 15 jenis yang sama antara hutan
subpegunungan dan pegunungan bawah, yaitu Elaeocarpus erdinii
(Elaeocarpaceae), L. celebicus, Archidendron clyperia (Fabaceae), Cryptocarya
densiflora (Lauraceae), Chionanthus pluriflorus, C. polygamus (Oleaceae),
Podocarpus neriifolius (Podocarpaceae), Prunus grisea (Rosaceae), Psychotria
malayana (Rubiaceae), Acronychia pedunculata (Rutaceae), Acer laurinum
(Sapindaceae), Anoestochilus sp. (Orchidaceae), Piper sp.1 (Piperac.), Smilax
perfoliata (Smilaxaceae), dan Cayratia corniculata (Vitaceae), dan dua jenis yang
sama antara hutan pegunungan bawah dan pegunungan atas, yaitu Neolitsea
javanica (Lauraceae) dan L. celebicus.
Sepuluh jenis pohon, pancang, semai, dan tumbuhan bawah dominan
penyusun tiga tipe hutan pegunungan disajikan pada Tabel 4.3, 4.4, 4.5, dan 4.6.
Jenis pohon di hutan subpegunungan di Watukilo di dominasi C. buruana
(Fagaceae) dengan nilai penting sebesar 23.3% dari total INP. Jenis dominan
lainnya, yaitu Gironniera subaequalis (Cannabaceae) dan Santiria apiculata
(Burseraceae). Jenis C. buruana juga masih merupakan jenis dominan utama pada
kategori pancang (26.9% dari total INP), diikuti S. apiculata, dan Gnetum gnemon
(Gnetaceae). Semai didominasi jenis A. riparium subsp. riparium
(Phyllanthaceae), diikuti Cryptocarya densiflora, dan Litsea formanii (Lauraceae),
sedangkan jenis tumbuhan bawah didominasi jenis Calamus sp.1 (Arecaceae),
Ziziphus angustifolius (Rhamnaceae), dan Dioscorea kingii (Dioscoreaceae)
(Lampiran 1, 2, 3, dan 4).
Hutan pegunungan bawah di Torongkilo didominasi jenis P. excelsa var.
borneensis (Icacin.) dengan nilai penting 12.9% dari total INP, diikuti
Elaeocarpus sp.1 (Elaeocarpaceae), dan Magnolia carsonii var. carsonii
(Magnoliaceae) pada kategori pohon, sedangkan kategori pancang didominasi
jenis L. beccarianum, Ardisia forbesii (Primulaceae), dan Cyathea contaminans
(Cyath.). Kategori semai didominasi jenis C. soualattri (Calophyllaceae), diikuti
P. excelsa var. borneensis, dan A. forbesii, dan kategori tumbuhan bawah
didominasi jenis Calamus sp.5, C. zollingeri, dan Calamus sp.6 (Arecaceae)
(Lampiran 5, 6, 7, dan 8).
Hutan pegunungan atas di Torenali didominasi jenis P. hypophylla
(Podocarpaceae), dengan nilai penting 23.4% dari total INP, diikuti Dacrycarpus
steupii (Podocarpaceae), dan Lithocarpus havilandii (Fagaceae) pada kategori
pohon, sedangkan pancang didominasi jenis T. papuana (Trimeniaceae),
Tasmannia piperita (Winteraceae), dan Myrsine minutifolia (Primulaceae). Semai
didominasi jenis M. minutifolia, diikuti Quintinia apoensis (Parachrypiaceae), dan
Areca sp. (Arecaceae), dan kategori tumbuhan bawah didominasi jenis S. pumila
(Melast.) , Blechnum sp. (Blechnaceae), dan Davalliaceae non det. (Lampiran 9,
10, 11, dan 12)
37
Tabel 4.3 Sepuluh jenis pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan
Tabel 4.4 Sepuluh jenis pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan
Tabel 4.5 Sepuluh jenis semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan
Tabel 4.6 Sepuluh jenis tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan
pegunungan
Ditinjau dari segi persentase jumlah jenis tumbuhan bawah, jenis herba
lebih banyak di jumpai di hutan pegunungan atas (35.29%) dan terendah di hutan
pegunungan bawah (33.93%). Persentase jenis liana tertinggi dijumpai di hutan
subpegunungan (37.84%) dan terendah di hutan pegunungan atas (17.65%),
berbeda halnya dengan kelompok paku-pakuan dimana jumlah jenis tertinggi di
jumpai di hutan pegunungan atas (47.06%) dan terendah di hutan subpegunungan
(27.03%), sedangkan kelompok semak hanya dijumpai di hutan pegunungan
bawah (Gambar 4.1).
herba
herba 35.29%
35.13%
herba
33.93%
Gambar 4.1 Persentase jumlah jenis tumbuhan bawah setiap tipe hutan
pegunungan.
Suku dominan pada tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu,
Sulawesi Tengah disajikan pada Gambar 4.2, 4.3, 4.4, dan 4.5. Berdasarkan suku
penyusun, dijumpai tujuh suku dominan yang sama pada seluruh tipe hutan yang
diteliti, yaitu Fagaceae, Myrtaceae, Lauraceae, Rubiaeae, Rutaceae, Arecaceae,
dan Aspleniaceae. Pohon di hutan subpegunungan lebih didominasi Fagaceae
diikuti Lauraceae dan Ixonanthaceae. Pancang didominasi suku Fagaceae,
Rubiaceae, dan Arecaceae, sedangkan semai didominasi Lauraceae,
Phyllanthaceae, dan Rubiaceae. Kategori tumbuhan bawah didominasi Arecaceae,
diikuti Rhamnaceae, dan Aspleniaceae (Lampiran 13, 14, dan 15).
Hutan pegunungan bawah didominasi suku Icacinaceae, Myrtaceae, dan
Elaeocarpaceae pada kategori pohon, dan pancang didominasi Lauraceae,
Elaeocarpaceae, dan Celastraceae, sedangkan semai didominasi Calophyllaceae,
Rubiaceae, dan Myrtaceae. Sama halnya dengan tumbuhan bawah di hutan
subpegunungan, pada tipe hutan ini juga didominasi Arecaceae, diikuti
Aspleniaceae, dan Rubiaceae (Lampiran 13, 14, dan 15).
Hutan pegunungan atas didominasi Podocarpaceae, diikuti Myrtaceae, dan
Fagaceae pada kategori pohon, dan pancang didominasi Trimeniaceae, Myrtaceae,
dan Primulaceae, sedangkan semai didominasi Primulaceae, Podocarpaceae, dan
Paracryphiaceae. Kategori tumbuhan bawah didominasi suku Melastomataceae,
diikuti Aspleniaceae, dan Polypodiaceae (Lampiran 13, 14, dan 15).
Fagaceae, Lauraceae, dan Myrtaceae merupakan suku pohon dominan
penyusun tiga tipe hutan yang diteliti, sedangkan Rubiaceae dijumpai dominan
namun hanya pada kategori pancang dan semai. Suku tumbuhan bawah yang
dijumpai dominan pada tiga tipe hutan adalah Aspleniaceae dari kelompok paku-
pakuan, sedangkan Arecaceae (Calamus spp.) juga ditemukan pada tiga tipe hutan
namun hanya dominan di hutan subpegunungan dan hutan pegunungan bawah.
42
105.4
120
Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)
95.0
Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)
100 87.0 Hutan pegunungan atas (Torenali, 2300 m)
Nilai Penting Suku (%)
80
60
44.9
42.9
40.9
40.2
37.2
30.1
40
25.9
25.5
22.3
20.2
19.6
18.5
18.3
16.0
15.9
14.9
14.8
14.4
14.4
13.3
12.9
12.0
11.1
10.8
10.7
10.4
10.3
10.0
20
8.2
8.0
6.3
5.0
4.0
2.8
Suku
Gambar 4.2 Suku pohon dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.
88.4
87.3
100
Hutan subpegunungan (Watukilo, 900 m)
Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)
Nilai Penting Suku (%)
53.6
60
44.8
41.7
40.9
34.5
32.8
29.9
27.6
40
27.0
26.1
25.8
23.2
22.7
22.4
20.5
20.4
17.8
17.4
16.8
15.8
14.9
15.0
14.5
13.3
12.1
12.1
11.9
11.7
11.6
10.9
10.7
20
6.8
6.7
4.4
3.0
3.0
Suku
Gambar 4.3 Suku pancang dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.
60
42.4
33.7
32.8
40
29.0
28.0
24.5
20.6
19.2
18.2
18.1
18.0
18.1
16.3
17.0
16.7
15.0
16.0
15.4
13.7
12.9
13.7
12.4
12.1
11.6
11.1
10.9
20
10.0
9.6
7.1
6.9
6.6
5.2
3.8
3.3
2.3
2.3
2.1
1.9
Suku
Gambar 4.4 Suku semai dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.
43
92.0
Hutan pegunungan bawah (Torongkilo, 1500 m)
90.0
100
Hutan pegunungan atas (Torenali, 2300 m)
76.1
Nilai Penting Suku (%)
80
62.5
60
43.7
42.2
33.5
28.3
27.4
27.4
40
26.9
21.5
21.2
21.1
20.2
19.2
16.8
16.4
16.0
13.2
12.0
11.6
11.5
11.5
10.5
20
9.9
9.8
9.5
9.5
9.4
9.0
8.4
8.1
7.9
6.8
6.8
4.1
3.4
3.4
3.3
3.3
3.2
3.1
3.1
2.7
2.7
0
Suku
Gambar 4.5 Suku tumbuhan bawah dominan pada tiga tipe hutan pegunungan.
Struktur hutan
Struktur hutan pada tiga tipe hutan di TN. Lore Lindu, Sulawesi Tengah
disajikan pada Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Struktur hutan pada plot seluas 0.24 ha ( se) pada tiga tipe hutan
pegunungan
Tipe hutan
Parameter struktur
HSP HPB HPA
Jumlah individu pohon (0.24 ha) 153 155 222
Jumlah individu pancang (0.06 ha) 107 121 201
Jumlah individu semai (0.01 ha) 285 738 442
Jumlah individu tumbuhan bawah (0.01 ha) 333 177 1 013
Jumlah individu gymnosperm
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 11 4 84
Jumlah individu angiosperm
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 142 145 137
Jumlah individu paku pohon
(dbh 10 cm) (0.24 ha) 0 6 1
Kerapatan pohon (ind/ha) 638 646 925
Kerapatan pancang (ind/ha) 1 783 2 017 3 350
Kerapatan semai (ind/ha) 29 688 76 875 46 042
Kerapatan tumbuhan bawah (ind/ha) 34 688 18 438 105 521
Rata-rata tinggi pohon (dbh 10 cm) (m) 20.9 0.7 20.5 0.7 15.5 0.4
Rata-rata tinggi angiosperm (dbh 10 cm) (m) 20.9 0.7 20.6 0.7 14.2 0.5
Rata-rata tinggi gymnosperm (dbh 10 cm) (m) 14.8 1.6 18.9 3.4 17.5 0.6
Rata-rata tinggi paku pohon (dbh 10) cm (m) 0 8.0 0.5 (5.5)
Rata-rata diameter pohon (cm) 25.5 1.4 23.3 1.2 21.9 0.8
Basal area pohon (m/ha) 46.75 38.28 44.42
Basal area pancang (m/ha) 3.95 3.71 5.49
Penutupan semai (%) 18.37 42.08 22.83
Penutupan tumbuhan bawah (%) 22.27 12.56 28.05
a
HSP: hutan subpegunungan; HPB: hutan pegunungan bawah; HPA: hutan pegunungan atas.
44
0 0 0
10-
20-
30-
40-
50-
60-
70-
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
80
2-9.9
80
12.0 12.0 12.0
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
Gambar 4.6 Kerapatan dan basal area pohon dan pancang ( sd)
berdasarkan kelas diameter antara tiga tipe hutan
pegunungan.
tipe hutan termasuk dalam bentuk tipe J-terbalik atau membentuk grafik tegakan
tidak seumur.
Basal area pohon tertinggi di hutan subpegunungan dijumpai pada kelas
diameter 30 cm sampai dengan 39.9 cm sebesar 21.4% dari total basal area, di
hutan pegunungan bawah ditemukan pada kelas diameter 60 cm sampai dengan
lebih dari 70 cm (21.0% dari total basal area), sedangkan kelas diameter 20 cm
sampai dengan 39.9 cm di hutan pegunungan atas sebesar 20.8% dari total basal
area.
Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis dominan pada
setiap tipe hutan yang diteliti (Gambar 4.7, 4.8, dan 4.9) menunjukkan bahwa
sebagian besar (9 jenis) termasuk dalam tipe J-terbalik, yaitu C. buruana, G.
subaequalis, S. apiculata, P. excelsa var. borneensis, Elaeocarpus sp.1, P.
hypophylla, D. steupii, L. havilandii, dan Q. apoensis), namun jenis S. apiculata
dan Q. apoensis tidak dijumpai pada kelas diameter 30 cm. Jenis I. petiolaris dan
M. carsonii var. carsonii termasuk dalam tipe emergen, sedangkan jenis P. firma
termasuk dalam tipe sporadis.
700 70 250 10
a b c d
600 60
200 8
Kerapatan (ind/ha)
500 50
400 40 150 6
300 30
100 4
200 20
50 2
100 10
0 0 0 0
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
Gambar 4.7 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon
dominan di hutan subpegunungan. (a) C. buruana,
(b) G. subaequalis, (c) S. apiculata, dan (d). I. petiolaris.
14 16
120 25
a b 12
c 14 d
100
20
Kerapatan (ind/ha)
12
10
80 10
15 8
60 8
6
10 6
40 4
4
20 5
2 2
0 0 0 0
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
2-9.9
80
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
2-9.9
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
80
Gambar 4.8 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon
dominan di hutan pegunungan bawah. (a) P. excelsa var. borneensis,
(b) Elaeocarpus sp.1, (c) M. carsonii var. carsonii, dan (d) P. firma.
46
50
200
150 150
40
150
100 30 100
100
20
50 50
10 50
0 0 0 0
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
80
2-9.9
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40-49.9
50-59.9
60-69.9
70-79.9
80
Kelas diameter (cm)
Gambar 4.9 Kerapatan individu berdasarkan kelas diameter empat jenis pohon
dominan di hutan pegunungan atas. (a) P. hypophylla, (b) D. steupii,
(c) L. havilandii, dan (d) Q. apoensis.
Hutan subpegunungan
100000 Hutan pegunungan bawah
100000 Hutan pegunungan atas
100000
(900 m dpl) (1 500 m dpl) (2 300 m dpl)
Kerapatan (ind/ha)
0 0 0
a b c d e a b c d e a b c d e
50.0 50.0 50
40.0 40.0 40
Penutupan (%)
30.0 30.0 30
20.0 20.0 20
10.0 10.0 10
0.0 0.0 0
a b c d e a b c d e a b c d e
Kategori
60 56.2
60 60
44.9
40.8
40 40 40 33.6
30.4
26.4
22.5
19.2
20 20 20
6.9 9.5
2.7 3.6 2.5 0.7
0 0 0
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40
<10
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40
<10
<10
10-19.9
20-29.9
30-39.9
40
Kelas tinggi (m)
Profil diagram tiga tipe hutan pegunungan di TN. Lore Lindu (Lampiran 17,
18, dan 19) memperlihatkan bahwa lapisan tajuk utama (tinggi >30 m) di hutan
subpegunungan ditempati jenis-jenis, antara lain C. buruana, T. malayana
(Euphorbiaceae), I. petiolaris, L. formanii, Planchonella chartacea, T. verticillata
(Fagaceae), dan A. teysmanii subs. teysmanii. Lapisan tajuk kedua (20 m < tinggi
30 m) ditempati jenis-jenis, antara lain G. subaequalis, G. gnemon, S. apiculata,
C. densiflora, Litsea timoriana, Chionanthus polygamus, dan Palaquium
obovatum. Lapisan tajuk ketiga (4 m tinggi <20 m) ditempati jenis-jenis, antara
lain Cryptocarya microcos, S. apiculata, G. subaequalis, Polyosma integrifolia,
G. gnemon. Lapisan tajuk keempat (1 m tinggi <4 m) ditempati jenis-jenis,
antara lain P. mindanaensis, D. blumei, dan A. riparium subsp. riparium,
sedangkan beberapa jenis-jenis semai dan tumbuhan bawah, antara lain beberapa
jenis-jenis liana (Calamus spp.), herba, dan paku-pakuan menempati lapisan tajuk
kelima (tinggi <1 m).
Hutan pegunungan bawah ditempati jenis-jenis, antara lain C. soualattri,
Elaeocarpus sp1., P. latifolia, M. carsonii var. carsonii, Ficus sp., Ficus
crassiramea, Syzygium sp., S. acuminatissimum, M. hildebrandii, Prunus grisea,
dan P. firma menempati lapisan tajuk utama. Lapisan tajuk kedua ditempati jenis-
jenis, antara lain Platea excelsa var. borneensis, Lithocarpus luteus, Ilex
celebensis, T. tetrandra, Litsea ochracea, dan Syzygium sp. Lapisan tajuk ketiga
ditempati jenis-jenis, antara lain Phaeanthus ebracteolatus, T. tetrandra, Ilex
celebensis, Polyscias nodosa, Tabernaemontana sphaerocarpa, Garcinia
lateriflora, Pinanga caesea, L. beccarianum, P. sarasinorum, C. contaminans,
dan D. blumei. Lapisan tajuk keempat di hutan pegunungan ditempati jenis-jenis,
48
Pembahasan
Komposisi Komunitas
Hutan pegunungan yang diteliti pada ketinggian 900 m dpl (hutan
subpegunungan), 1 500 m dpl (hutan pegunungan bawah), dan 2 300 m dpl (hutan
pegunungan atas) disusun oleh jenis pohon, pancang, semai, maupun tumbuhan
bawah dominan yang berbeda. Hal tersebut juga diperkuat hasil analisis indeks
kesamaan dengan nilai kurang dari <10% atau tergolong dalam kategori rendah
(Crabs 1978). Hasil ini memperkuat simpulan Aiba dan Kitayama 1999; Ashton
2003; Culmsee et al. 2010 bahwa komposisi komunitas vegetasi, akan mengalami
perubahan dengan bertambahnya ketinggian tempat.
Berdasarkan nilai penting suku, pohon di hutan subpegunungan sangat
didominasi oleh suku Fagacae (C. buruana, Lithocarpus spp. dan T. verticillata)
serta Lauraceae. Hasil yang sama juga dilaporkan Culmsee dan Pitopang (2009)
dan Culmsee et al. (2010). Fagaceae juga dijumpai sangat dominan pada kategori
pancang, dan mengalami penurunan pada kategori semai. Menurut Manos &
Stanford (2001), dominansi Fagaceae merupakan fenomena yang umum di
kawasan Malesia serta di belahan bumi bagian utara (northern hemisphere).
Jenis pohon dan pancang di hutan subpegunungan didominasi jenis C
buruana, namun jenis ini tidak dijumpai lagi di hutan pegunungan bawah dan
pegunungan atas. Menurut Soepadmo (1972), jenis ini tumbuh di hutan primer
atau maupun hutan sekunder di hutan perbukitan sampai pada ketinggian lebih
dari 1 000 m dengan wilayah distribusi di Kalimantan (Sabah), Sulawesi dan
Maluku. Lemmens et al. (1995) mengungkapkan bahwa jenis-jenis dari marga
Castanopsis dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, kecuali pada tanah kapur
(limestone) dan jarang toleran pada iklim musiman.
Soepadmo (1972) dan Lemmens et al. (1995) melaporkan bahwa marga
Castanopsis terdiri dari dua jenis di Sulawesi, yaitu C. acuminatissima dan C.
buruana, namun sebaran jenis C. buruana di Sulawesi Tengah belum pernah
dilaporkan sebelumnya (Kessler et al. 2002; Kessler et al. 2005; Gradstein et al.
2007; Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010; 2011).
Selain C. buruana, tipe hutan ini juga disusun oleh jenis empat jenis dari
marga Lithocarpus (L. celebicus, L. elegans, L. glutinosus, dan Lithocarpus sp.)
dan T. verticillata. Gradstein et al. (2007) dan Culmsee et al. (2009) melaporkan
49
bahwa L. celebicus merupakan salah satu dari beberapa jenis dominan penyusun
hutan subpegunungan di TN. Lore Lindu. Jenis ini juga dijumpai di hutan
pegunungan bawah dan pegunungan atas dalam penelitian ini, sedangkan T.
verticillata belum pernah dilaporkan sebelumnya di kawasan ini.
Meskipun jenis C. buruana dijumpai sangat dominan pada kategori pohon
dan pancang, namun jenis ini tidak ditemukan pada kategori semai. Berbeda
dengan hasil penelitian Lestari (2010) di Cagar Alam Lamedai, Kolaka, Sulawesi
Tenggara yang menemukan tingginya kelimpahan semai jenis ini dengan INP
mencapai 31.5%. Hal ini diduga disebabkan oleh rendahnya tingkat toleransi jenis
terhadap naungan (Bustamante & Simonetti 2000) karena sebagian besar wilayah
di plot penelitian ini tertutupi tajuk pohon, sehingga cahaya matahari tidak sampai
ke lantai hutan, atau dapat juga disebabkan oleh angin serta pemangsaan biji oleh
predator seperti hewan vertebrata dan insekta seperti semut yang membawa biji
jauh dari pohon inang (Willson & Traveset 2000). Oleh karena itu, tingginya
dominansi jenis C. buruana khususnya pada kategori pohon dan pancang karena
jenis ini mampu berkembang biak secara vegetatif melalui batang bawah (multi-
stemmed sprouts). Berdasarkan hal tersebut, Tredici (2001) mengungkapkan
bahwa tingginya dominansi jenis yang dapat berkembang biak secara vegetatif
akan berdampak pada kurangnya jumlah semai.
Suku Icacinaceae merupakan suku dominan di hutan pegunungan bawah
pada ketinggian 1 500 m dpl yang disusun oleh dua jenis dari marga Platea (jenis
P. excelsa var. borneensi dan P. latifolia), namun dominasi Icacinaceae di tipe
hutan ini lebih dua kali lebih rendah jika dibandingkan Fagaceae di hutan
subpegunungan (900 m), sedangkan Fagaceae dijumpai tidak cukup dominan di
tipe hutan ini yang hanya disusun jenis Lithocarpus spp. Dominasi Icacinaceae di
kawasan ini belum pernah dilaporkan sebelumnya (Kessler et al. 2005; Gradstein
et al. 2007; Culmsee & Pitopang 2009; Culmsee et al. 2010 dan 2011), namun
Culmsee & Pitopang (2009) melaporkan bahwa suku Icacinaceae merupakan jenis
penyusun hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, namun bukan
merupakan suku dominan.
Hutan subpegunungan bawah yang diteliti didominasi jenis P. excelsa var.
borneensis, namun dominansi jenis ini lebih rendah dibandingkan C. buruana di
hutan subpegunungan. Jenis ini juga cukup dominan pada kategori pancang dan
semai, namun jenis L. beccarianum dan C. soualattri merupakan jenis dominan
utama masing-masing pada kategori pancang dan semai. Selain itu, tidak dijumpai
jenis dari marga Castanopsis, namun beberapa individu C. acuminatissima dapat
dijumpai di luar plot penelitian. Berbeda dengan hasil penelitian Culmsee &
Pitopang (2009) pada tipe hutan yang sama pada ketinggian 1 400 m dpl yang
lebih didominasi jenis C. acuminatissima.
Menurut Sleumer (1971) bahwa jenis P. excelsa var. borneensis tumbuh di
hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan pada ketinggian 2 000 m dpl, dan
pada tanah-tanah yang lembab dan relatif datar. Jenis ini juga cukup dominan
pada kategori pancang, dan memiliki kelimpahan individu semai yang tinggi.
Lebih lanjut Sleumer (1971) melaporkan bahwa selain di Sulawesi, jenis ini juga
tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Kalimantan,
Filipina, Maluku, Papua Nugini, dan New Britania.
Suku Podocarpaceae merupakan suku dominan di hutan pegunungan atas
dengan basal area 57.2% dari total basal area pada kategori pohon menggantikan
50
Fagaceae di hutan subpegunungan. Podocarpaceae pada tipe hutan ini terdiri dari
jenis P. hypophylla, D. steupii, dan D. imbricatus, serta jenis Podocarpus pilgerii
yang hanya dijumpai pada kategori semai. Suku dominan lainnya adalah
Myrtaceae dan Lauraceae. Hasil yang sama juga dilaporkan Culmsee et al. (2011)
pada ketinggian 2 500 m dpl di kawasan yang sama. Satu jenis lainnya dari suku
ini, yaitu Podocarpus neriifolius juga dijumpai di hutan subpegunungan dan
pegunungan bawah. Podocarpaceae juga dilaporkan dominan pada hutan
pegunungan di Kalimantan dan Papua Nugini (Aiba & Kitayama 1999; Johns et
al. 2007). Menurut Morley (2011) bahwa Podocarpaceae merupakan komponen
penting di hutan tropis basah dan sebelah bumi bagian selatan (southern
hemisphere) yang berpusat di Australia, Amerika Selatan dan Malesia.
Jenis P. hypophylla merupakan jenis penyusun utama dari suku
Podocarpaceae di hutan pegunungan atas menggantikan C. buruana di hutan
subpegunungan dengan basal area yang sama (14.5 m2/ha). Dua jenis lain dari
suku ini juga dijumpai cukup dominan, yaitu D. steupii dan D. imbricatus.
Namun, dominansi jenis ini digantikan oleh jenis T. papuana pada kategori
pancang, dan jenis M. minutifolia pada kategori semai. Hasil yang sama
dilaporkan Culmsee et al. (2011) pada ketinggian 2 400 m dpl. Menurut Kitayama
et al. (2011), dominansi yang tinggi pada jenis-jenis dari suku Podocarpaceae
khususnya P. hypophylla dan Dacrycarpus spp. di hutan pegunungan atas diduga
karena suhu udara yang rendah serta kondisi tanah yang miskin hara akibat
lambatnya proses dekomposisi.
Jenis T. papuana merupakan jenis dominan untuk tingkat pancang, juga
merupakan salah satu jenis yang dapat berkembang secara vegetatif seperti halnya
C. buruana di hutan subpegunungan, dengan jumlah semai ditemukan cukup
melimpah. Hasil penelitian diperoleh bahwa jenis ini hanya menempati lapisan
tajuk ketiga, seperti halnya M. minutifolia yang dominan pada kategori semai.
Menurut Philipson (1986) bahwa jenis T. papuana merupakan semak atau pohon
dengan tinggi dapat mencapai 20 meter atau lebih dengan wilayah penyebaran di
hutan pegunungan Sulawesi Tengah, Maluku (pulau Seram dan Bacan) dan Papua
Nugini) pada ketinggian 1 000 m sampai dengan 2 700 m dpl.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian pohon di kawasan hutan TN. Lore
Lindu yang pernah dilakukan, hutan pegunungan atas pada ketinggian 2 300 m
dpl memiliki kemiripan pada tiga suku dominan utama dengan hutan pada
ketinggian 2 400 m dpl, dan hutan subpegunungan pada ketinggian 900 m dpl
memiliki kemiripan dengan hutan pada ketinggian 1 050 m dpl, khususnya pada
dua suku dominan utama, sedangkan hutan pada ketinggian 1 500 m dpl memiliki
kemiripan dengan hutan pada ketinggian 1 400 m dpl, khususnya pada suku
dominan kedua dan ketiga. Selain itu, Fagaceae dijumpai tersebar di seluruh tipe
hutan pada ketinggian 900 m dpl sampai dengan 2 400 m dpl, namun Lauraceae
hanya dijumpai dominan pada hutan subpegunungan, sedangkan Myrtaceae pada
hutan pegunungan bawah sampai pegunungan atas (Culmsee & Pitopang 2009;
Culmsee et al. 2010 dan 2011). Secara umum, Culmsee et al (2011)
mengungkapkan bahwa secara biogeografi, hutan pegunungan atas di Sulawesi
memiliki kemiripan dengan Papuasia/Malesia bagian selatan yang kemungkinan
disebabkan oleh pernah bersatunya daratan ini dimasa lampau.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan pegunungan di Sulawesi
memiliki perbedaan komposisi jenis pohon dengan hutan pegunungan di Jawa,
51
Struktur hutan
Selain memiliki perbedaan komposisi komunitas vegetasi, hutan
pegunungan di TN. Lore Lindu yang diteliti juga berbeda ditinjau dari struktur
hutannya. Kerapatan individu pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan
bertambahnya ketinggian. Hasil yang yang sama juga diperoleh Culmsee et al.
(2010) pada ketinggian 1 050 m, 1 400 m, 1 800, dan 2 400 m dpl. Slik et al.
(2010) mengungkapkan bahwa kerapatan individu berkorelasi positif dengan suhu
udara serta input energi, namun pola berbeda diperoleh pada kategori semai dan
tumbuhan bawah. Selain itu, jumlah individu gymnosperm (dbh 10 cm) di hutan
pegunungan atas yang diperoleh dalam penelitian ini (84 individu) lebih banyak
52
jika dibandingkan hasil penelitian Culmsee et al. (2011) pada tipe hutan yang
sama (60 individu), namun lebih rendah dari segi jumlah paku pohon
(dbh 10 cm).
Kerapatan individu pohon sebesar 638 individu per ha di hutan
subpegunungan (900 m dpl) yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi jika
dibandingkan dengan beberapa penelitian di kawasan hutan yang sama, antara lain
478 dan 508 individu per ha pada ketinggian 1 050 m dan 1 400 m dpl (Culmsee
et al. 2010), 543 individu per ha pada ketinggian 1 100 m dpl (Kessler et al.
2005). Basal area pohon yang diperoleh pada tiga tipe hutan, hampir sama dengan
hasil yang diperoleh Gradstein et al. (2007), Culmsee dan Pitopang 2009,
Culmsee et al. (2010; 2011) antara 35.4 dan 56.7 m2/ha, namun lebih rendah
dengan hasil yang diperoleh Kessler et al. (2007) sebesar 139.8 m2/ha pada
ketinggian 1 100 m dpl di TN. Lore Lindu. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa
hutan subpegunungan memiliki basal area pohon dan pancang tertinggi
dibandingkan dengan dua tipe hutan lainnya. Tingginya basal area di tipe hutan ini
lebih disebabkan oleh banyak individu pohon yang memiliki diameter 30 cm
sampai dengan 39.9 cm.
Hasil penelitian ini diperoleh adanya kemiripan rata-rata tinggi pohon antara
hutan subpegunungan dan pegunungan bawah, namun tinggi pohon mengalami
penurunan di hutan pegunungan atas. Adanya kemiripan rata-rata tinggi pohon di
hutan subpegunungan dan pegunungan bawah lebih disebabkan masih terdapatnya
beberapa jenis vegetasi sekunder seperti Elaeocarpus spp. (Sosef et al. 1998) yang
dengan tinggi total mencapai lebih dari 40 meter.
Meningkatnya kerapatan individu pohon seiring dengan bertambahnya
ketinggian serta berkurangnya diameter dan tinggi pohon telah banyak dilaporkan,
antara lain Aiba dan Kitayama (1999) di Gunung Kinabalu, Kalimantan, Lovett et
al. (2006) di Tanzania, Homeier et al. (2010) di hutan pegunungan Ekuador,
Culmsee et al. (2010) di TN. Lore Lindu, dan Hernandes et al. (2012) di
Venezuella. Homeier et al. (2010) bahwa berkurangnya pertumbuhan pohon
seiring dengan bertambahnya ketinggian disebabkan oleh berkurangnya suhu
udara, serta kurangnya unsur hara.
Kerapatan individu pohon dan pancang berdasarkan kelas diameter pada
tiga tipe hutan termasuk dalam tipe J-terbalik, yang berarti bahwa kelas diameter
yang lebih kecil memiliki jumlah individu yang lebih banyak dan semakin
berkurang dengan bertambahnya diameter (Ohsawa 1991).
Simpulan
5. PEMBAHASAN UMUM
Simpulan
1. Dijumpai sebanyak 310 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 129 marga dan
106 famili, meliputi 117 jenis pohon, 96 jenis pancang, 116 jenis semai, dan
121 jenis tumbuhan bawah.
2. Terdapat perbedaan jumlah jenis tumbuhan pada setiap tipe hutan yang diteliti.
Hutan pegunungan bawah memiliki jumlah jenis tertinggi dan terendah di
hutan subpegunungan.
3. Terdapat perbedaan komposisi komunitas vegetasi dominan antara tiga tipe
hutan yang diteliti. Antara hutan subpegunungan dan pegunungan atas hanya
disusun satu jenis yang sama, dua jenis yang sama antara hutan pegunungan
bawah dan pegunungan atas, sedangkan antara antara hutan subpegunungan
dan pegunungan bawah disusun 15 jenis yang sama.
4. Kerapatan pohon dan pancang mengalami peningkatan dengan bertambahnya
ketinggian tempat. Kerapatan tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan dan
terendah di hutan pegunungan atas, namun berbeda halnya pada kategori
semai dan tumbuhan bawah.
5. Basal area pohon tertinggi diperoleh di hutan subpegunungan (46.76 m2/ha),
diikuti hutan pegunungan atas (44.42 m2/ha), dan terendah di hutan
pegunungan bawah (38.28 m2/ha), sedangkan persen penutupan semai dan
tumbuhan bawah tertinggi diperoleh di hutan pegununungan bawah dan hutan
pegunungan atas, masing-masing 42.08% dan 28.05% dan terendah di hutan
subpegunungan dan pegunungan atas bawah masing-masing 18.37% dan
12.56%.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Manos PS, Stanford AM. 2001. The historical biogeography of Fagaceae: tracking
the Tertiary history of temperate and subtropical forests on the Northern
Hemisphere. Int J Plant Sci 162:S77S93.
McCain CM. 2005. Elevational gradients in diversity of small mammals. Ecol
88:76-86.
McCain CM, Grytnes JA. 2010. Elevational gradients in species richness. Di
dalam: McCain CM, Grytnes JA, editor. Encyclopedia of Life Sciences.
Chichester (GB): J Wiley.
Moore PD, Garratt R. 2008. Tropical Forest (Ecosystem). New York (US): Facts
on File.
Mori SA, Boom BM, Carvalino AM, Santos D. 1983. The ecological importance
of Myrtaceae in eastern Brazilian wet forests. Biotropica 5:68-70.
Morley RJ. 2011. Dispersal and paleoecology of tropical Podocarps. Di dalam:
Turner BL, Cernusak LA, editor. Ecology of The Podocarpaceae in Tropical
Forest. Washington DC (US): Smithsonian Institution Scholary Pr. hlm 21-42.
Mueller-Dumbois D, Ellenberg H. 1974. Aim and Methods of Vegetation Ecology.
New York (US): J Wiley.
Myers N, Mittermeier CG, da Fonseca GAB, Kent J. 2000. Biodiversity hotspots
for conservation priorities. Nature 403:553-569.
Nadkarni NM, Matelson TJ, Haber WA. 1995. Structural characteristics and
floristic composition of a Neotropical cloud forest, Monteverde, Costa Rica. J
Trop Ecol 27:107-110.
Ohsawa M. 1991. Structural comparison of tropical montane rain forest along
latitudinal and altitudinal gradients in south and east Asia. Vegetatio 97:1-10.
Olson DM, Dinerstein E. 2002. The global 200: priority ecoregions for global
conservation. Ann Missouri Bot Gard 89:199-224.
Parthasaranthy N, Muthuramkumar, Reddy MS. 2003. Patterns of liana diversity
in tropical evergreen forests of peninsular India. Forest Ecol Manag 190:15-31.
Pausas JG, Austin MP. 2001. Patterns of plant species richness in relation to
different environments: an appraisal. J Vegetation Sci 12:153-166.
Philipson WR. Trimeniaceae. Flora Malesiana, series 1, 10:327-333.
Poulsen, Pedry. 1995. Inventories of ground herbs at three altitudes on Bukit
Belalong, Brunei, Borneo. Biodiv Conserv 4:745-757.
Primarck R, Corlett R. 2006. Tropical Rain Forest: An Ecological and
Biogeography Comparison. Malden (US): Blackwell.
Ramadhanil, Tjirosoedirdjo SS, Setiadi D. 2008. Structure and composition of
understory plant assemblages of six land use types in the Lore Lindu National
Park, Central Sulawesi, Indonesia. Bangladesh J Plant Taxon 15:1-12.
Richter M. 2011. Tropical mountain forests-distribution and general features. Di
dalam: Gradstein SR, Homeier J, Gansert, editor. The Tropical Mountain
Forests. Gttingen (DE): Universittsverlag Gttingen. hlm 7-24.
Roos MC, Kessler PJA, Gradstein SR, Bass P. 2004. Species diversity and
endemism of five major Malesian island: diversity-area relationship. J
Biogeogr 31:1893-1908.
Roos MC. 1993. State of affairs regarding Flora Malesiana: progress in revision
and publication schedule.
65
Sagar R, Raghubanshi AS, Singh JS. 2003. Tree species composition, dispersion
and diverisity along a disturbance gradient in a dry tropical forest region of
India. Forest Ecol Manag 186:61-71.
Sasaki T, Laurenroth WK. 2011. Dominant species, rather than diversity,
regulates temporal stability of plant communities. Oecologia. doi
10.1007/s00442-011-1916-1.
Scatena FN, Bruijnzeel LA, Bubb P, Das S. 2010. Setting the stage. Di dalam:
Bruinjnzeel LA, Scatena FN, Hamilton LS, editor. Tropical Montane Cloud
Forests: Science for Conservation and Management. UK (GB): Cambridge
Univ Pr.
Schnitzer SA, Bongers F. 2002. The ecology of lianas and their role in forest.
TREE 5.
Setiadi D. 2005. Keanekaragaman spesies tingkat pohon di Taman Wisata Alam
Ruteng, Nusa Tenggara Timur. Biodiversitas 6:118-122.
Siebert SF. 2005. The abundance and distribution of rattan over an elevation
gradient in Sulawesi, Indonesia. Forest Ecol Manag 210:143-158.
Sleumer H. 1971. Icacinaceae. Flora Malesiana, series 1, 6:1-87.
Slik JWF et al. 2010. Environmental correlates of tree biomass, basal area, wood
specific gravity and stem density gradients in Borneos tropical forest. Global
Ecol Biogeogr 19:50-60.
Sodhi NS, Koh LP, Brook BW, Ng PKL. 2004. Southeast Asian biodiversity: an
impending disaster. TREE 19:654-660.
Soepadmo E. 1972. Fagaceae. Flora Malesiana, series 1, 7:265-403.
Sosef MSM, Hong LT, Prawirohatmodjo S. 1998. Plant Resources of South-East
Asia No 5(3). Timber trees: Lesserknown timber. Leiden (NL): Blackhuys.
Spies TA. 1998. Forest structure: a key to the ecosystem. Northwest Sci 72:34-39.
Stiegel S, Kessler M, Getto D, Thonhofer J, Siebert SF. 2011. Elevational pattern
of species richness and density of rattan palms (Arecaceae: Calamoidea) in
Central Sulawesi, Indonesia. Biodiv Conserv 20:1987-2005.
Stohlgren TJ. 2007. Measuring Plant Diversity. New York (US): Oxford Univ Pr.
Stone JN, Porter JL. 1998. What is forest stand structure and how to measure it?.
Northwest Sci 72:25-26.
Tarner EVJ, Vitousek PM, Cuevas E. 1998. Experimental investigation of nutrient
limitation of forest growth on wet tropical mountains. Ecol 79:10-22.
TNC/BTNLL. 2002. Lore Lindu National Park. Draft Management Plant 2002-
2007. Palu (ID): Directoral Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
and Nature Conservancy.
Tredici PD. 2001. Sprouting in temperate trees: a morphological and ecological
review. Botanical Rev 67:121-140.
van Welzen PC, Parnell JAN, Slik JWF. 2011. Wallaces line and plant
distributions: two or three phytogeographical areas and where to group Java?.
Bio J Linnean Society 103:531-545.
van Welzen PC, Slik JWF. 2009. Pattern in species richness and composition of
plant families in Malay Archipelago. Blumea 54:166-171.
Vane-Wright RI, de Jong R. 2003. The Butterflies of Sulawesi: Annotated
Checklist for A Critical Island Fauna. Leiden (NL): Zool Verh Leiden.
66
Wang CT, Long RJ, Wang QJ, Ding LM, Wang MP. 2007. Effects of altitude on
plant-species diversity and productivity in an alpine meadow, QinghaiTibetan
plateau. Australian J Bot 55:110-117.
Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. London (GB): Oxford
Univ Pr.
Whitten JA, Mustafa M, Henderson GS. 1987. Ekologi Sulawesi. Tjitrosoepomo
G, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: The
Ecology of Sulawesi.
Wildi O. 2010. Data Analysis in Vegetation Ecology. UK (GB): J Wiley.
Willinghfer S, Cicuzza D, Kessler M. 2011. Elevational diversity of terrestrial
rainforest herbs: when the whole is less than the sum of its parts. Plant Ecol.
doi 10.1007/s11258-011-9986-z.
Willson MF, Traveset A. 2009. The ecology of seed dispersal. Di dalam: Fenner
M, editor. Seed: The Ecology of Regeneration in Plant Communities, 2nd
Edition. CAB International. hlm 85-110.
Wright DD, Jessen JH, Burke P, de Silva Garza HG. 1997. Tree and liana
enumeration and diversity on a one-hectare plot in Papua New Guinea.
Biotropica 29:250-260.
Yamada I. 1975. Forest ecological studies of the montane forest of Mt.
Pangrango, West Java. I. Statification and floristic composition of the montane
forest near Cibodas. Southeast Asian Studies 13:402-426.
Yamada I. 1977. Forest ecological studies of the montane forest of Mt.
Pangrango, West Java. IV. Floristic composition along the altitude. South East
Asian Studies 15:402-426.
67
LAMPIRAN
68
69
Lampiran 5 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan bawah
No. Jenis Suku INP (%)
1 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine)
Sleum. Icacinaceae 38.64
2 Elaeocarpus sp.1 Elaeocarpaceae 18.15
3 Magnolia carsonii Dandy ex Noot. var.
carsonii Magnoliaceae 16.80
4 Pouteria firma (Miq.) Baehni Sapotaceae 13.63
5 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. Rutaceae 11.49
6 Calophyllum soulattri Burm. f. Calophyllaceae 10.72
7 Pandanus sarasinorum Warb. Pandanaceae 9.01
8 Syzygium acuminatissimum (Blume) DC. Myrtaceae 8.47
9 Platea latifolia Bl. Icacinaceae 8.43
10 Syzygium sp.2 Myrtaceae 7.93
11 Syzygium sp.7 Myrtaceae 7.69
12 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.)
Hopel Cyatheaceae 7.54
13 Macadamia hildebrandii Steenis Proteaceae 7.48
14 Podocarpus neriifolius D.Don Podocarpaceae 7.39
15 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol.)
Kalkman Rosaceae 6.94
16 Ficus sp.1 Moraceae 6.81
17 Lithocarpus sp.1 Fagaceae 6.41
18 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 6.37
19 Ilex celebensis Capit. Aquifoliaceae 6.31
20 Macaranga allorobinsonii Whitmore Euphorbiaceae 6.12
21 Ficus crassiramea (Miq.) Miq. Moraceae 4.42
22 Lithocarpus luteus Soepadmo Fagaceae 3.64
23 Elaeocarpus musseri Coode Elaeocarpaceae 3.61
24 Elaeocarpus erdinii Coode Elaeocarpaceae 3.33
25 Chionanthus polygamus (Roxb.) Kiew Oleaceae 3.33
26 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. Lauraceae 3.32
27 Polyosma sp.2 Escalloniaceae 3.19
28 Persea rimosa Zoll. ex Meisn. Lauraceae 3.03
29 Ternstroemia sp. Primulaceae 2.99
30 Magnolia candollii (Bl.) H. Keng var.
candollii Magnoliaceae 2.99
31 Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae 2.98
32 Garcinia lateriflora Bl. Clusiaceae 2.45
33 Weinmannia sp. Cunoniaceae 2.23
34 Syzygium sp.1 Myrtaceae 2.17
35 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 2.03
36 Mitrephora macrocarpa (Miq.)
Weerasooriya & R.M.K.Saunders Annonaceae 1.99
37 Canarium balsamiferum Willd. Burseraceae 1.90
38 Ficus sp.4 Moraceae 1.83
39 Cinnamomum subaveniopsis Kosterm. Lauraceae 1.78
40 Litsea grandis Hook.f. Lauraceae 1.77
41 Chionanthus pluriflorus (Knobl.) Kiew Oleaceae 1.73
42 Helicia celebica Sleumer Proteaceae 1.71
43 Alstonia spectabilis R.Br. Apocynaceae 1.67
44 Sterculia insularis R.Br. Malvaceae 1.67
74
Lanjutan Lampiran 5
No. Jenis Suku INP (%)
45 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. Meliaceae 1.65
46 Ailanthus sp. Simaroubaceae 1.64
47 Archidendron havilandii (Ridley) L.C.
Nielsen Fabaceae 1.63
48 Dysoxylum alliaceum (Blume) Blume Meliaceae 1.61
49 Acronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 1.60
50 Endiandra sulavesiana Kosterm. Lauraceae 1.56
51 Cryptocarya densiflora Bl. Lauraceae 1.52
52 Elaeocarpus multiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. Elaeocarpaceae 1.52
53 Phaeanthus ebracteolatus (Presl.) Merr. Annonaceae 1.51
54 Ardisia sp. Primulaceae 1.50
55 Garcinia lateriflora Bl. Clusiaceae 1.49
56 Acer laurinum Hassk. ex Miq. Sapindaceae 1.47
57 Sapindaceae not det Sapindaceae 1.45
58 Pinanga caesia Blume Arecaceae 1.45
59 Dicksonia blumei (Kunze) Moore Dicksoniaceae 1.45
60 Tabernaemontana sphaerocarpa Bl. Apocynaceae 1.44
61 Polyscias nodosa (Bl.) Seem. Araliaceae 1.43
Jumlah 300.00
75
Lampiran 6 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan bawah
No. Jenis Suku INP (%)
1 Lophopetalum beccarianum Pierre Celastraceae 31.39
2 Ardisia forbesii S.Moore Primulaceae 20.95
3 Cyathea contaminans (Wall. ex Hook.)
Hopel Cyatheaceae 18.52
4 Calophyllum soualattri Burm. f. Calophyllaceae 17.58
5 Dicksonia blumei (Kunze) Moore Dicksoniaceae 17.11
6 Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume)
Korth. Rubiaceae 15.63
7 Platea excelsa Bl. var. borneensis (Heine)
Sleum. Icacinaceae 13.50
8 Tetractomia tetrandra (Roxb.) Merr. Rutaceae 10.60
9 Macadamia hildebrandii Steenis Proteaceae 10.56
10 Litsea ochracea (Bl.) Boerl. Lauraceae 8.27
11 Syzygium sp.7 Myrtaceae 8.26
12 Antidesma sp. Phyllanthaceae 7.51
13 Myrsine sp. Primulaceae 6.97
14 Phaeanthus ebracteolatus (Presl.) Merr. Annonaceae 6.63
15 Elaeocarpus multiflorus (Turcz.) Fern.-Vill. Elaeocarpaceae 6.46
16 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 5.31
17 Prunus grisea ( Blume ex Mll.Berol.)
Kalkman Rosaceae 5.03
18 Cryptocarya microcos Kosterm. Lauraceae 4.95
19 Elaeocarpus trichopetalus Elaeocarpaceae 4.87
20 Ternstroemia sp. Pentaphylacaceae 4.74
21 Polyosma sp.1 Escalloniaceae 4.42
22 Elaeocarpus musseri Coode Elaeocarpaceae 4.23
23 Syzygium sp.2 Myrtaceae 3.96
24 Cryptocarya crassinerviopsis Kosterm. Lauraceae 3.88
25 Macaranga costulata Pax & K.Hoffm. Euphorbiaceae 2.98
26 Alstonia spectabilis R.Br. Apocynaceae 2.82
27 Elaeocarpus sp.1 Elaeocarpaceae 2.82
28 Citronella suaveolens (Bl.) Howard Cardiopteridaceae 2.67
29 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. Meliaceae 2.53
30 Weinmannia sp. Cunoniaceae 2.50
31 Lithocarpus caudatifolius (Merr.) Rehder Fagaceae 2.47
32 Helicia celebica Sleumer Proteaceae 2.47
33 Aglaia sp. Meliaceae 2.37
34 Ilex celebensis Capit. Aquifoliaceae 2.26
35 Litsea lancifolia (Roxb. ex Ness) Benth. &
Hook.f. Ex Villar Lauraceae 2.26
36 Alseodaphne oblanceolata (Merr.) Kosterm Lauraceae 2.21
37 Ficus sp.2 Moraceae 2.18
38 Turpinia sphaerocarpa Hassk. Staphyleaceae 2.18
39 Elaeocarpus erdinii Coode Elaeocarpaceae 2.16
40 Lithocarpus indutus Rehder Fagaceae 2.14
41 Cinnamomum subaveniopsis Kosterm. Lauraceae 2.14
42 Polyscias nodosa (Bl.) Seem. Araliaceae 2.11
43 Viburnum sambucinum Bl. Adoxaceae 1.97
44 Canarium balsamiferum Willd. Burseraceae 1.96
45 Polyosma sp. Escalloniaceae 1.94
76
Lanjutan Lampiran 6
No. Jenis Suku INP (%)
46 Elaeocarpus macropus Warb. ex R.Knuth
subsp. thenui Coode Elaeocarpaceae 1.92
47 Meliosma sumatrana (Jack) Walp. Sabiaceae 1.92
48 Acronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 1.89
49 Sapindaceae non det Sapindaceae 1.89
50 Symplocos cochinchinensis (Lour.)
S.Moore Symplocaceae 1.89
Jumlah 300.00
77
Lampiran 7 Indeks nilai penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan bawah
Lanjutan Lampiran 7
No. Jenis Suku INP (%)
45 Achronychia pedunculata (L.) Miq. Rutaceae 0.68
46 Homalium foetidum Benth. Salicaceae 0.68
47 Arenga undulatifolia Becc. Arecaceae 0.61
48 Garcinia lateriflora Bl. Clusiaceae 0.61
49 Elaeocarpus macropus Warb. ex R.Knuth 0.61
subsp. thenui Coode Elaeocarpaceae
50 Fagraea blumei G.Don Gentianaceae 0.61
51 Litsea furfuracea (Ness) Kosterm. Lauraceae 0.61
52 Alseodaphne oblanceolata (Merr.)
Kosterm. Lauraceae 0.61
53 Cinnamomum subavenium Miq. Lauraceae 0.61
54 Dysoxylum densiflorum (Bl.) Miq. Meliaceae 0.61
55 Ficus sp.6 Moraceae 0.61
56 Symplocos cochichinensis (Lour.) S. Moore Symplocaceae 0.61
57 Symplocos sp.4 Symplocaceae 0.61
Jumlah 300.00
79
Lanjutan Lampiran 8
No. Jenis Suku INP (%)
49 Ficus sp. Moraceae 1.47
50 Helminthostachys Ophioglossaceae 1.47
51 Anoestochilus sp. Orchidaceae 1.47
52 Piper canicum Blume Piperaceae 1.47
53 Piper sp.1 Piperaceae 1.47
54 Selliguea sp.1 Polypodiaceae 1.47
55 Selliguea sp.3 Polypodiaceae 1.47
Jumlah 300.00
81
Lampiran 9 Indeks nilai penting (INP) jenis pohon di hutan pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Phyllocladus hypophylla Hook.f. Podocarpaceae 70.20
2 Dacrycarpus steupii (Wasscher) de Laub. Podocarpaceae 39.90
3 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett Fagaceae 27.41
4 Quintinia apoensis Schltr. Paracryphiaceae 21.13
5 Trimenia papuana Ridley Trimeniaceae 15.93
6 Syzygium sp.5 Myrtaceae 15.59
7 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 13.59
8 Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. Podocarpaceae 13.03
9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott Myrtaceae 12.95
10 Elaeocarpus steupii Coode Elaeocarpaceae 10.62
11 Acronychia trifoliolata Zoll. & Mor. Rutaceae 8.99
12 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 7.37
13 Adinandra sp.1 Pentaphyllacaceae 6.36
14 Prunus arborea (Blume) Kalkman var.
arborea Rosaceae 5.38
15 Fagraea sp. Gentianaceae 3.64
16 Elaeocarpus teysmannii Koord. & Valeton Elaeocarpaceae 3.39
17 Cyathea sp. Cyatheaceae 3.28
18 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 3.00
19 Syzygium benjaminum Diels Myrtaceae 2.71
20 Leptospermum recurvum Hook.f. Myrtaceae 2.45
21 Symplocos sp.1 Symplocaceae 2.40
22 Areca sp. Arecaceae 2.31
23 Syzygium sp.6 Myrtaceae 1.32
24 Syzygium sp.9 Myrtaceae 1.25
25 Rhododendron kochii Stein Ericaceae 1.18
26 Vaccinium laurifolium Miq. Ericaceae 1.17
27 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer ) Pipoly Primulaceae 1.16
28 Psychotria celebica Miq. Rubiaceae 1.15
29 Adinandra sp.2 Pentaphyllacaceae 1.14
Jumlah 300.00
82
Lampiran 10 Indeks nilai penting (INP) jenis pancang di hutan pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Trimenia papuana Ridley Trimeniaceae 56.52
2 Tasmannia piperita Miers Winteraceae 42.97
3 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer) Pipoly Primulaceae 22.39
4 Myrsine involucrata (Mez) Pipoly Primulaceae 22.28
5 Quintinia apoensis Schltr. Paracryphiaceae 21.78
6 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett Fagaceae 21.22
7 Phyllocladus hypophylla Hook.f. Podocarpaceae 19.81
8 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 19.64
9 Xanthomyrtus angustifolia A.J. Scott Myrtaceae 14.36
10 Psychotria celebica Miq. Rubiaceae 11.28
11 Adinandra sp.1 Pentaphyllacaceae 7.88
12 Dacrycarpus imbricatus (Bl.) de Laub. Podocarpaceae 5.64
13 Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehder Fagaceae 5.27
14 Dacrycarpus steupii (Wasscher) de Laub. Podocarpaceae 3.95
15 Vaccinium laurifolium Miq. Ericaceae 3.15
16 Syzygium sp.6 Myrtaceae 2.95
17 Rhododendron kochii Stein Ericaceae 2.58
18 Syzygium sp.9 Myrtaceae 2.06
19 Syzygium sp.5 Myrtaceae 2.03
20 Syzygium sp.8 Myrtaceae 1.79
21 Syzygium sp.10 Myrtaceae 1.69
22 Acronychia trifoliolata Zoll. & Mor. Rutaceae 1.54
23 Litsea ferruginea Blume Lauraceae 1.50
24 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 1.46
25 Ficus sp.5 Moraceae 1.44
26 Rhododendron sp. Ericaceae 1.42
27 Syzygium benjaminum Diels Myrtaceae 1.41
Jumlah 300.00
83
Lampiran 11 Indeks Nilai Penting (INP) jenis semai di hutan pegunungan atas
No. Jenis Suku INP (%)
1 Myrsine minutifolia (Knoester. Wijn &
Sleumer) Pipoly Primulaceae 52.10
2 Quintinia apoensis (Elmer) Schltr. Paracryphiaceae 31.85
3 Tasmannia piperita (Hook. f.) Miers Winteraceae 24.32
4 Areca sp. Arecaceae 21.80
5 Psychotria celebica Miq. Rubiaceae 21.77
6 Lithocarpus havilandii (Stapf) Barnett Fagaceae 15.64
7 Dacrycarpusimbricatus (Blume) de Laub. Podocarpaceae 14.18
8 Acronychia trifoliata Zoll. & Moritzi Rutaceae 12.56
9 Podocarpus pilgeri Foxw. Podocarpaceae 11.17
10 Phyllocladus hypophyllus Hook.f. Podocarpaceae 11.13
11 Myrsine involucrata (Mez.) Pipoly Primulaceae 8.72
12 Elaeocarpus trichopetalus Merr. &
Quisumb. Elaeocarpaceae 7.80
13 Syzygium sp.11 Myrtaceae 7.58
14 Prunus arborea (Blume) Kalkman var.
arborea Rosaceae 6.99
15 Trimenia papuana Ridl. Trimeniaceae 6.24
16 Xanthomyrtusangustifolia A.J. Scott Myrtaceae 5.97
17 Elaeocarpus teysmannii Koord. & Valeton Elaeocarpaceae 5.90
18 Adinandra celebica Koord Pentaphylacaceae 5.52
19 Litsea ferruginea Blume Lauraceae 5.47
20 Ardisia elliptica Thunb. Primulaceae 4.45
21 Ficus virgata Reinw. ex Blume Moraceae 3.95
22 Ilex cymosa Blume Aquifoliaceae 3.69
23 Vaccinium laurifolium Miq. Ericaceae 3.05
24 Neolitsea javanica (Bl.) Backer Lauraceae 1.54
25 Rhododendron kochii Stein Ericaceae 1.14
26 Vaccinium sp.1 Ericaceae 1.00
27 Daphniphyllum gracile Gage Daphniphyllaceae 0.91
28 Vaccinium sp.2 Ericaceae 0.91
29 Syzygium sp.12 Myrtaceae 0.91
30 Sphenostemon papuanum (Lauterb.) Steenis
& Erdtman Paracryphiaceae 0.91
31 Homalanthus populneus (Geiseler) Pax Euphorbiaceae 0.77
Jumlah 300.00
84
Hutan subpegunungan
U
10-12
8-10
6-8
4-6
2-4
0-2
-2-0
U
6-8
4-6
2-4
0-2
-2-0
-4--2
-6--4
-8--6
U 3-4
2-3
1-2
0-1
-1-0
-2--1
-3--2
-4--3
RIWAYAT HIDUP