Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
1
dilakukan oleh kapal ikan asing yang secara illegal masuk ke dalam wilayah perairan Indonesia,
dan melakukan penangkapan ikan tanpa adanya surat izin dari pemerintah. Luasnya wilayah
perairan Indonesia dan lemahnya pengawasan dari pihak berwenang inilah yang membuat
nelayan asing memanfaatkan kelemahan itu untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah
perairan Indonesia. Selain itu, praktik illegal fishing juga menyebabkan kerugian yaitu kerusakan
ekosistem laut, dimana kerusakan terumbu karang ini disebakan oleh penagkapan ikan secara
illegal dengan cara pengeboman dan menggunakan alat tangkap yang dilarang. Penangkapam
ikan-ikan dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat kurang baik bagi ikan-
ikan yang ditangkap maupun untuk karang yang terdapat disekitar lokasi penangkapan.
Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang
menimbulkan dampak yang sangat besar selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar juga
menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran. kegiatan ini termasuk dalam
tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
pasal 9 yaitu setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penagkapan dan/ atau alat bantu pengkapan ikan yang mengganggu keberlangsungan sumber
daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Pemberantasan illegal fishing dengan menggunakan aturan hukum UU No. 31 Tahun 2004
yang telah dirubah menjadi UU No.34 Tahun 2009 tentang Perikanan dan di rubah lagi menjadi
UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Dengan perubahan undang-undang tersebut
diharapkan mampu mengatasi mafia illegal fishing dalam rangka menyelamatkan kekayaan
negara dan ekosistem laut. Pemberantasan illegal fishing menggunakan instrumen tersebut telah
mengatur pemidanaan terhadap para pelakunya, pada dasarnya pemidanaan dapat diartikan
sebagai penjatuhan pidana oleh hakim yang merupakan realisasi dari ketentuan pidana dalam
undang-undang yang merupakan sesuatu yang abstrak. Sejauh ini pemberantasan kegiatan illegal
fishing terkait dengan pelanggaran penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak
belum optimal. Peran hukum khususnya hukum pidana sangat dibutuhkan untuk menjadi media
pengawasan dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat mengganggu keseimbangan
ekosistem, kelestarian sumber daya ikan serta pengelolaan lingkungan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan hukum bagi tindak pidana illegal fishing?
2. Bagaimana upaya Pemerintah dalam menegakan hukum bagi tindak pidana Illegal Fishing?
3. Faktor apa yang menjadi penghambat penegakan hukum yang tidak optimal?
4. Bagaimana upaya KKP dalam memberantas illegal fishing?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengaturan hukum bagi tindak pidana illegal fishing.
2. Mengetahui upaya pemerintah dalam memberantas tindak pidana illegal fishing.
3. Mengetahui faktor yang menjadi penghambat dalam memberantas tindak pidana illegal
fishing.
2
4. Mengetahui upaya yang dilakukan oleh KKP dalam menegakan hukum.
3
BAB II
4
DEL menjadi Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) melalui Keputusan
Presiden Nomor 147 Tahun 1999 tanggal 1 Desember 1999.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah terjadi perombakan susunan kabinet setelah
Sidang Tahunan MPR tahun 2000, dan terjadi perubahan nomenklatur DELP menjadi
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sesuai Keputusan Presiden Nomor 165
Tahun 2000 tanggal 23 November 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Wewenang,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen.
Kemudian berubah menjadi Kementrian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 47 tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian
Negara, maka Nomenklatur Departemen Kelautan dan Perikanan menjadi Kementerian
Kelautan dan Perikanan, sedangkan struktur organisasi pada Kementerian Kelautan dan
Perikanan tidak mengalami perubahan.
Tugas dan Fungsi Kementrian Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan, dan Perikanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan di
bidang kelautan, dan perikanan dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam melaksanakan tugas, Kementerian
Kelautan, dan Perikanan menyelenggarakan fungsi:
1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang kelautan, dan
perikanan
2. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Kelautan, dan Perikanan
3. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Kelautan, dan
Perikanan
4. pelaksanaan bimbingan teknis, dan supervisi atas pelaksanaan urusan Kementerian
Kelautan, dan Perikanan di daerah
5. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala nasional
B. Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah Berdirinya
Sejarah berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya
ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil
Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK
merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang
muncul di abad ke-20. Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam
rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA)
menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan
5
Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat.DPR dan Pemerintah kemudian membuat
Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui
pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh
Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316).Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 hakim konstitusi untuk pertama kalinya
yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana
Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah
pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut
ketentuan UUD 1945.
2. Alasan Pembentukan MK
ide pembentukan MK menjadi diskursus penting. Krisis konstitusional biasanya
menyertai perubahan menuju rezim demokrasi, dalam proses perubahan itulah MK
dibentuk. Pelanggaran demi pelanggaran terhadap konstitusi, dalam perspektif demokrasi,
selain membuat konstitusi bernilai semantik, juga mengarah pada pengingkaran terhadap
prinsip kedaulatan rakyat.
Dalam perkembangannya, ide pembentukan MK dilandasi upaya serius memberikan
perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan
konstitusi sebagai grundnorm atau highest norm, yang artinya segala peraturan
perundang-undangan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan apa yang
sudah diatur dalam konstitusi. Konstitusi merupakan bentuk pelimpahan kedaulatan rakyat
(the sovereignity of the people) kepada negara, melalui konstitusi rakyat membuat
statement kerelaan pemberian sebagian hak-haknya kepada negara. Oleh karena itu,
konstitusi harus dikawal dan dijaga. Sebab, semua bentuk penyimpangan, baik oleh
pemegang kekuasaan maupun aturan hukum di bawah konstitusi terhadap konstitusi,
merupakan wujud nyata pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat.
Apabila ditelaah lebih lanjut, pembentukan MK didorong dan dipengaruhi oleh kondisi
faktual yang terjadi pada saat itu. Pertama, sebagai konsekuensi dari perwujudan negara
hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan
menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai
dengan ketentuan UUD yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan
lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang. Kedua, pasca
Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah relasi kekuasaan
6
dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip
checks and balances. Jumlah lembaga negara dan segenap ketentuannya yang membuat
potensi besar terjadinya sengketa antarlembaga negara. Sementara itu, perubahan
paradigma supremasi MPR ke supremasi konstitusi, membuat tidak ada lagi lembaga
tertinggi negara yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh
karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Ketiga,
kasus pemakzulan (impeachment) Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR pada Sidang
Istimewa MPR pada 2001, mengilhami pemikiran untuk mencari mekanisme hukum yang
digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden agar tidak
semata-mata didasarkan alasan politis semata. Untuk itu, disepakati perlunya lembaga
hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.
Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian
konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai
pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah
Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945
itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama Mahkamah Konstitusi
dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.
3. Wewenang Mahkamah Konstitusi
Wewenang mahkamah konstitusi menurut UUD 1945, yaitu :
1) Wewenang mahkamah konstitusi untuk mengadilai pada tingakat pertama dan
terakhir yang dalam putusannya bersifat final.
2) Wewenang mahkamah konstitusi untuk menguji UU tehadap UUD 1945.
3) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.
4) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik.
5) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus perselisihan yang terjadi atas hasil
dari proses pemilu yang berlangsung.
6) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memberi putusan atas pendapat DPR
(Dewan Perwakilan Rakyat) mengenai dugaan pelanggaran Presiden atau Wakil
Presiden menurut UUD.
Secara khusus wewenang mahkmah konstitusi diatur dalam UU mahkamah konstitusi
pasal 10, yaitu :
1) Wewenang mahkamah konstitusi untuk menguji UU terhadap UUD 1945.
2) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
3) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik.
7
4) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memutus perselisihan yang terjadi akibat
hasil dari pemilihan umum.
5) Wewenang mahkamah konstitusi untuk memberi putusan atas pendapat dari DPR
mengenai presiden atau wakil presiden yang diduga melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, penyuapan, korupsi, tindak pidana berat
lainnya atau perbuatan tercela, dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden atau
wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
2.2. PEMBAHASAN
A. Pengaturan Hukum terhadap tindak pidana illegal fishing
Secara subtansial, perubahan yang signifikan pada Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009
dibandingkan dengan Undang-Undang RI No. 31 tahun 2004 yang terdahulu, adalah penekanan
pada ketentuan sanksi pidana berat terhadap kapal asing yang melakukan tindak pidana
pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Sejarah lahirnya Undang-Undang RI No.
45 Tahun 2009 ini ada tersirat bahwa undang-undang terdahulu dirubah karena terdapat
kekurangan. Beberapa hal yang dapat kita cermati tentang perubahan-perubahan substansial
antara undang-undang nomor 31 Tahun 2004 dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009
antara lain pada: 1) Hal pembatasan penangkapankapal penangkap ikan berbendera asing tidak
diperbolehkan menangkap ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia tanpa memiliki Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI) yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. 2) Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 93 tidak menyebutkan secara jelas
mengenai Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), melainkan Wilayah Pengelolaan Perikanan
Republik Indonesia. Melalui Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009, penyebutan Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia sudah sangat tegas dan jelas. Penegasan itu dapat dilihat pada Bab XV
Ketentuan Pidana Pasal 93 ayat (2) menyatakan, Setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI
yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua
puluh milyar rupiah). 3) Hal Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan yang di emban TNI-AL
dan Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kewenangan besar bagi TNI-AL
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diberikan
Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009 untuk mencegah dan memberantas pencurian ikan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) perairan Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik
Indonesia merupakan salah satunya tugas berat yang harus dilaksanakan. Dalam melaksanakan
fungsi dan tugasnya, penyidik dan pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa
pembakaran dan atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. 4) Putusan perampasan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam
8
dan/atau yang dihasilkan dari Tindak Pidana Pencurian Ikan. Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan digunakan untuk menempatkan benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau
yang dihasilkan dari tindak pidana pencurian ikan menjadi rampasan melalui putusan pengadilan.
5) Peran serta masyarakat diperlukan. Selain TNI-AL dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Penegak Hukum lainnya, Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
juga diikutsertakan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana pencurian ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.6) Tidak mementingkan
unsur kesengajaan. Tindak pidana pencurian ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan dalam beberapa pasal Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang
memang sebenarnya tidak mempunyai niat melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.7) Penggunaan sistem pidana, penggunaan sistem pidana penjara
terhadap pelaku tindak pidana pencurian ikan oleh nelayan asing di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI) Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia tidak diberlakukan.
Penahanan pun tidak boleh dilakukan oleh penyidik. Ketika ditangkap di Tempat Kejadian
Perkara, selanjutnya tersangka di bawa untuk diproses dengan membuat Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Setelah selesai diperiksa, tersangka harus secepatnya dipulangkan ke negara
asalnya tanpa ditahan terlebih dahulu. 8) Persamaan Hukuman Bagi Percobaan dan Tindak
Pidana sesuai Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang RI
No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tindak pidana
selesai dengan pelaku tindak pidana percobaan. Tindak Pidana Pencurian Ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI ) adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek
yang sangat besar yaitu merugikan Negara lebih kurang 30 trilyun rupiah per tahun.
B. Upaya dalam Penegakan Hukum untuk memberantas Illegal Fishing
illegal fishing ini merupakan persoalan multi-actors dalam konteks melibatkan banyak
pihak (masyarakat nelayan, pemerintah dan pelaku perikanan); multi-level karena
melibatkan juga aktor global (asing) khususnya yang terkait dengan konflik fishing
ground, kerjasama multi-lateral di level sub-regional maupun regional; dan multi-mode
khususnya yang terkait dengan regulasi peraturan, law enforcement, hingga penyediaan
fasilitas dan prasarana pengawasan.Dengan mempertimbangkan efek ganda yang
ditimbulkan dari persoalan illegal fishing seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
pemerintah harus melaksanakan dua strategi secara simultan, yaitu strategi ke dalam
9
(internal strategy) dan strategi keluar (external strategy). Tiga strategi dalam upaya
pemberantasan Illegal fishing sebagai berikut:
a) Pertama, pembenahan sistem hukum dan peradilan perikanan. Lemahnya produk
hukum serta rendah mental penegak hukum dilaut merupakan masalah utama
dalam penanganan illegal fishing di Indonesia. Akan tetapi dengan disahkannya
Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009 tentang perikanan, maka diharapkan
penegakan hukum di laut dapat dilakukan. Dalam UU perikanan ini sanksi yang
diberikan terhadap pelaku illegal fishing cukup berat.
b) Kedua, peningkatan aparatur penegak hukum dengan cara pengembangan dan
penguatan kamampuan pengawasan (penegakan hukum) dilaut, dapat dilakukan
melalui beberapa hal yaitu: (a) pemberlakuan sistem MCS (Monitoring, Control
and Surveillance) di mana salah satunya adalah dengan menggunakan VMS (Vessel
Monitoring Systems) seperti yang direkomendasikan pula oleh FAO.Secara
sederhana sistem ini terdiri dari sistem basis data yang berbasis pada sistem
informasi geografis (SIG), sehingga operator VMS dapat memantau seluruh posisi
kapal di wilayah perairan tertentu. Dengan demikian keberadaan kapal penangkap
ikan asing dapat segera diidentifikasi untuk dapat diambil tindakan selanjutnya. (b)
Memberdayakan dan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan organisasi
pengawasan yang berada di masyarakat (community-based monitoring). Dengan
upaya peningkatan kesadaran akan pentingnya sumberdaya perikanan dan kelautan
bagi kehidupan mereka dan kelestarian ekosistem, diharapkan nelayan lokal dapat
mengawasi daerah penangkapannya dari upaya-upaya destruktif maupun illegal
fishing. Sistem pengawasan berbasis masyarakat ini pun dilakukan di negara-
negara maju. Jepang misalnya, telah lama menerapkan sistem ini khususnya yang
terkait dengan implementasi gyogyou ken (fishing right) bagi komunitas
perikanan tertentu. Dengan ujung tombak gyogyou kumiai (fisheries
cooperative), komunitas perikanan lokal mengawasi daerah penangkapannya dari
illegal fishing. (c) Pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pengawasan secara
bertahap sesuai dengan prioritas dan kebutuhan. (d) Meningkatkan koordinasi dan
kerjasama dengan instansi lintas sektor yang terkait dalam bidang pengawasan.
c) Ketiga, penyempurnaan sistem dan mekanisme perizinan perikanan tangkap.
Jumlah kapal penangkapan ikan yang diizinkan beroperasi di suatu daerah
penangkapan ikan tidak melebihi jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (80%
MSY) agar usaha perikanan tangkap dapat berlangsung secara menguntungkan dan
lestari. Selain itu secara bertahap tidak ada lagi izin penangkapan bagi Kapal ikan
10
asing di perairan ZEEI. Dan yang paling penting adalah prosedur pengurusan
perizinan secara transparan dan cepat. Khusus untuk mengatasi masalah kapal Ikan
asing yang melakukan IUU Fishing, strategi yang dapat dilakukan adalah
moratorium bagi kapal penangkap ikan asing. Pemberian ijin terhadap kapal asing
untuk beroperasi di wilayah perairan Indonesia bukanlah strategi legalisasi kapal
asing ilegal, namun justru merupakan salah satu exit strategy dari persoalan illegal
fishing. Karena pemberian ijin tersebut bukan tanpa syarat. Salah satunya adalah
bahwa kapal asing tersebut diharuskan untuk mendaratkan ikannya di wilayah
perairan Indonesia dan negara pemilik kapal asing tersebut harus bersedia turut
berkontribusi dalam pengembangan fasilitas perikanan di pusat-pusat pendaratan
ikan di wilayah Indonesia.
Sedangkan strategi keluar (external strategy) terkait dengan pentingnya kerjasama regional
maupun international khususnya yang terkait dengan negara tetangga. Dengan meningkatkan
peran ini ada 2 manfaat sekaligus yang diperoleh.
1) Pertama, Indonesia dapat meminta negara lain untuk memberlakukan sangsi bagi kapal
yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia seperti yang diuraikan di atas.
Dengan menerapkan kebijakan anti IUU fishing secara regional, upaya pencurian ikan oleh
kapal asing dapat ditekan serendah mungkin. Hal ini misalnya telah dilakukan dalam
bentuk Joint Commission Sub Committee of Fisheries Cooperation antara Indonesia
dengan Thailand dan Filipina guna membahas isu-isu perikanan dan delimitasi batas ZEE
antar negara. Kerjasama ini juga dapat diterapkan dalam konteks untuk menekan biaya
operasional MCS sehingga joint operation untuk VMS misalnya dapat dilakukan.
2) Kedua, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi perikanan internasional, maka
secara tidak langsung Indonesia telah menghentikan praktek non-member fishing yang
dilakukan sehingga produk perikanan Indonesia relatif dapat diterima oleh pasar
internasional. Pada masa lalu, keengganan pemerintah Indonesia bergabung ke dalam
organisasi perikanan regional/internasional lebih disebabkan oleh adanya kewajiban
membayar member fee. Namun di saat kecenderungan global akan pentingnya
memberantas praktek IUU fishing ini terus meningkat, upaya pencegahan melalui
organisasi internasional ini tetap perlu dilakukan secara gradual
C. Faktor yang menghambat penegakan hukum
Suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya merupakan
perbuatan yang dicela dan dilarang untuk dilakukan sebab dapat merugikan kepentingan
umum. Mengenai faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum dalam mencegah
maupun mengatasi illegal fishing meliputi hukum itu sendiri (substansi hukum), aparat
11
hukum (struktural), sarana prasarana, masyarakat dan kebudayaan. Faktor penghambat
tersebut antara lain:
a) Hambatan yang berkaitan dengan substansi hukum.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU RI No. 31 tahun 2004 yang telah dirubah
menjadi UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan secra yuridis formal terdapat tiga
instansi yang diberi wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
perikanan diwilayah perairan laut Indonesia yaitu Perwira TNI Angkatan laut,
Penyidik Kepolisian NKRI, dan penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.
b) Hambatan yang berkaitan dengan sumber daya manusia aparat penegak hukum.
Terdapat beberapa kelemahan yang melekat kepada aparat penegak hukum selaku
individu dan kelembagaan, yakni:Aspek intelektual yang mendorong dan
melahirkan profesionalisme (khususnya dalam penegakan hukum) patut
dipertanyakan serta belum mampu mengikuti perkembangan hukum dan peraturan
perundang-undangan yang cenderung dinamis, motivasi dan kesejahteraan aparat
penegak hukum masih rendah, sehingga tidak akan mampu memberikan arah
pengabdian yang jelas, dedikasi sebagai bobot pengabdian terasa semakin menipis,
oleh karena itu pandangan tentang keamanan nasional perlu digalakkan dalam
rangka berpikir secara komprehensif integral, artinya bahwa penegakan hukum dan
menjaga keamanan di laut menjadi tugas bersama. Sebagaimana diketahui bahwa
prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari
penegakan hukum di laut mempunyai ciri dan cara yang khas serta mempunyai
beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan
karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula
kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, selian itu hampir
semua tindak pidana diwilayah perairan laut merupakan tindak pidana yang
terorganisir, sehingga diperluakan keterampilan hukum yang mumpuni dan
professional dalam mengungkapnya.
c) Hambatan yang berkaitan dengan fasilitas dan sarana penegak hukum.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian
besar wilayahnya berbentuk perairan,dimana Indonesia, dimana total luas wilayah
indonesia adalah 7.9 juta km yang terdiri dari 1.8 juta km wilayah daratan dan 3.2
juta km wilayah laut teritorial serta 2.9 juta km laut perairan Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE), dengan demikian total wilayah perairan Indonesia adalah 77%
dari seluruh luas Indonesia, atau tiga kali luas wilayah daratan Indonesia. Bahwa
jumlah kapal yang dimiliki TNI Angkatan Laut, Polri dan kapal pengawas
12
perikanan untuk melaksanakan pengawasan di laut tidak sebanding dengan luas
wilayah perairan yang harus diawasi yang membentang dari sabang sampai
marauke. Keadaan ini menjadi semakin berat bagi aparat di laut, sebab sarana
patroli yang kondisinya terbatas, dimana sistem pendorongan, bangunan kapal,
peralatan navigasi dan komunikasi yang kurang memadai karena faktor usia serta
profesionalisme pengawaknya.
d) Hambatan yang berkaitan dengan prosedur penanganan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Indonesia yang
dikenal dengan KUHAP, menganut sistem spesialisasi, differensiasi dan
Kompartemensasi, yaitu membedakan dan menerapkan pembagian kewenangan
kepada masing-masing institusi dengan cara memisahkan secara tegas tugas dan
wewenang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan serta
pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada
sistem peradilan pidana terpadu. Oleh karena itu keberhasilan proses peradilan,
ditentukan oleh bekerjanya sistem peardilan pidana, dimana tidak berfungsinya
salah satu subsistem akan mengganggu bekerjanya subsistem paradilan pidana
yang lain, yang pada akhirnya menghambat bekerjanya proses peradilan pidana.
Dalam pemberantasan illegal fishing, terkait dengan wewenang masing-masing
institusi yang secara yuridis formal diberi kewenangan untuk melakukan
penyidikan, terlihat belum adanya sinergi antar institusi, meskipun telah dibentuk
forum atau badan koordinasi seperti badan koordinasi keamanan laut. Keadaan
yang demikian ini terlihat dalam pelaksanaan operasi keamanan di laut yang lebih
sering dilaksanakan sendiri-sendiri oleh masing-masing instansi,
13
f) Menerapkan ketentuan-ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan.
Sedangkan upaya Hard structures terdiri dari:
a) Mengimplementasikan MCS secara konsisten
b) Melaksanakan pemeriksaan kapal perikanan.
c) Membangun infrastruktur pengawasan
d) Menggalang kerjasama dengan instansi penegak hukum terkait, termasuk
kerjasama pertukaran data dan informasi antar instansi terkait.
e) Operasi gabungan pengawasan di laut dengan institusi-institusi terkait.
14
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Perubahan Undang-Undang RI No. 45 tahun 2009 dibandingkan dengan Undang-
Undang RI No. 31 tahun 2004 yang terdahulu, adalah penekanan pada ketentuan sanksi
pidana berat terhadap kapal asing yang melakukan tindak pidana pencurian ikan di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia
Upaya penegakan hukum dalam illegal fishing ada dua strategi secara simultan, yaitu
strategi ke dalam (internal strategy) dan strategi keluar (external strategy). Yang
termasuk strategi ke dalam yaitu: 1. Pembenahan sistem hukum dan peradilan perikanan;
2. Peningkatan aparatur penegak hukum dnegan cara pengembangan dan penguatan
kemampuan pengawasan; 3. Penyempurnaan sistem dan mekanisme perizinan perikanan
tangkap; 4. Peningkatan sarana prasarana. Sedangkan yang termasuk strategi keluar
(external strategy) terkait dengan pentingnya kerjasama regional maupun international.
faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum dalam mencegah maupun mengatasi
illegal fishing meliputi hukum itu sendiri (substansi hukum), aparat hukum (struktural),
sarana prasarana, masyarakat dan kebudayaan.
Untuk menangani permasalahan IUU KKP sendiri menggunakan 2 cara yaitu
dengan soft structure dan hard structures
3.2. Saran
Perlu dilakukan peningkatan kemampuan kompetensi Sumber Daya Manusia
khususnya ditingkat penuntutan dan pengadilan.
Perlu adanya koordinasi terhadap intasipengawasan wilayah perairan sehingga
dapat meminimalisir tindak pidana illegal fishing di perairan Indonesia.
Disarankan kepada aparat penegak hukum agar penjatuhan sanksi terhadap
pelaku tindak pidana illegal fishing bisa memberikan efek jera bagi pelaku.
3.3.
15
DAFTAR PUSTAKA
Simbolo, Marhaeni. 2010. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
16
LAMPIRAN
17
18
3. Lampiran foto KKL di Mahkamah Konstitusi
19