Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Penyakit TB Paru


2.1.1 Defenisi Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar menyerang paru paru namun

dapat juga mengenai orang lain (Suryo, 2010).

Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru-

paru. Tuberkulosis dapat juga ditularkan kebagian tubuh lainnya, yaitu meninges,

ginjal, tulang dan nodus limfe ((Brunner & Suddarth dalam Smelzert (2002) dan

Somantri (2007)). Juniadi (2010) dalam Ardiansyah (2012) menyatakan bahwa TB

sebagai suatu infeksi akibat Mycobacterium Tuberculosis yang dapat menyerang

berbagai organ, terutama paru-paru dengan gejala yang sangat bervariasi.

2.1.2 Etiologi

Kuman, Mycobacterium tuberculucis sebagai kuman penyebab Tuberkulusis.

Tuberkulusis pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882, adalah satu

basil yang bersifat tahab asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil

Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculucis berbentuk batang bersifat aerob,

panjangnya 1-4 mikron. Lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Kuman akan tumbuh

optimal pada suhu sekitar 37 yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia,

hasil tuberkulusis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan

10
yang gelap, lembab dan cepat mati terkena sinar matahari langsung (sinar ultraviolet),

dalam jaringan tubuh kuman ini bersifat dormant tertidur lama) selama beberapa

tahun dan dapat kembali aktif jika mekanisme pertahanan tubuh lemah (Alsagaff,

2010)

Kuman TB bersifat aerob dan lambat tumbuh (Holt, 2008). Suhu optimum

pertumbuhannya 37-38 C. Kuman TB Paru cepat mati pada paparan sinar matahari

langsung tetapi dapat bertahan beberapa jam pada tempat yang gelap dan lembab

serta dapat bertahan hidup 8-10 hari pada sputum, kering yang melekat pada debu

(Depkes RI, 2010).

Sumber infeksi yang terpenting adalah dahak penderita TB Paru Positif.

Penularan terjadi melalui percikan dahak (droplet Infection) saat penderita batuk,

berbicara atau meludah (Soediman, 2010). Kuman TB Paru dari percikan tersebut

melayang di udara, jika terhirup oleh orang lain akan masuk kedalam sistem respirasi

dan selanjutnya dapat menyebabkan penyakit pada penderita yang menghirupnya.

Dengan demikian penyakit ini sangat erat kaitannya dengan lingkungan, penyakit TB

Paru dapat terjadi akibat komponen lingkungan yang tidak seimbang (pencemaran

udara). Masalah pencemaran udara dipermukaan bumi sudah ada sejak zaman

pembentukan bumi itu sendiri. Namun dampak bagi kesehatan manusia, tentu dimulai

sejak manusia pertama itu terbentuk. Udara adalah salah satu media transmisi

penularan TB Paru dimana manusia memerlukan oksigen untuk kehidupan. Jadi jika

11
seorang penderita TB Paru BTA(+) membuang dahak di sembarang tempat, maka

kuman TB dalam jumlah besar berada di udara (Achmadi, 2011).

Kemungkinan suatu infeksi berkembang menjadi penyakit, tergantung pada

konsentrasi kuman yang terhirup dan daya tahan tubuh. Sumber penularan adalah

pasien TB Paru BTA(+). Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman

ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Bsekali batuk dapat

menghasilkan sekitar 3000 perikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam

ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat

mengurangi jumlah percikan, sementra sinar matahari langsung dapat membunuh

kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan

lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang

dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak,

makin menular pasien tersebut. Fakktor yang memungkinkan seseorang terpajan

kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikn dalam udara dan lamanya menghirup

udara tersebut. Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan

dahak. Pasien TB paru dengan BTA(+) memberikan kemungkinan resiko penularan

lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA(-). Resiko penularan setiap tahunnya di

tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu propors

penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10

(sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia

12
bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin

negatif menjadi positif.

2.1.3 Klasifikasi TB paru


a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena
1. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak

termasuk pleura (selaput paru)


2. Tuberkulosis Extra Paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang,

persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopik pada TB Paru
1. Tuberkulosis Paru BTA(+)
Sekurang-kurngnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA(+), 1

spesimen dahak SPS hasilnya BTA(+) dan foto toraks dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis, 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA(+) dan biakan

kuman TB Positif, 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3

spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA(-) dan

tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis Paru BTA(-)


Kriteria diagnosis TB paru BTA(-) harus meliputi : paling tidak 3 spesimen

dahak SPS hasilnya BTA(-) , foto toraks abnormal menunjukkan gambaran

tuberkulosis, tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT,

ditemukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.


c. Klasifikasi Berdasarkan Riwayat Pengobatan Sebelumnya.

13
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa

tipe pasien, yaitu :


1. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah

menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).


2. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan

pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di

diagnosis kembali dengan BTA(+) (apusan atau kultur).


3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pengobatan yng telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih

dengan BTA(+).
4. Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.


5. Pindahan ( Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain

untuk melanjutkan pengobatannya.


6. Lain-Lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam

kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan

masih BTA positif setelah selesai pengobatan (Arif, 2008) .


2.1.4 Patofisiologi

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman TB.

Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati sistem

pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan

menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berkasil berkembang biak dengan

cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan radang di dalam paru. Aliran getah

14
bening akan membawa kuman TB ke kelenjar getah benih di sekitar hilus paru, ini

disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai

pembentukan kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu. Infeksi dapat dibuktikan

dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan

besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya

tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian

beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisten atau dorman (tidur). Kadang

daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam

beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi sakit (Toyalis, 2010).

Web Of Coution (WOC) TBC

Mycobacterium tuberculusis

Airbone/ inhalasi droplet

Saluran pernafasan

Saluran pernafasan Saluran

atas pernafasan

Bakteri bertahan di bawah

bronkus

Peradangan bronkus Paru-paru

Penumpukkan sekret

Alveolus

Alveolus mengalami konsilidasi dan

15
Efektif Tidakeksudasi
efektif
Sekret keluar
saat batuk Sekret tidak
keluar saat
Batuk terus batuk Gangguan
menerus pertukaran
Bersihan Gas
Terhirup jalan
orang sehat nafas
tidak
Resiko efektif
penyebaran
infeksi
Gangguan
pola
istirahat
tidur
Bagan 2.1 WOC TBC

2.1.5 Gejala Klinis TB Paru


Keluhan yang dirasakan penderita tuberkulusis dapat bermacam-macam atau

tanpa keluhan sama sekali.

Gambaran klinik Tuberkulosis paru, (Etty wardani 2010).

a. Batuk
Batuk terus-menerus dan berdahak selama 3 (tiga) minggu atau, lebih.

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah melibatkan bronkus dan

terjadi iritasi. Akibat adanya peradangan pada bronkus, batuk akan menjadi

produktif yang berguna untuk membuang produk-produk ekskresi

peradangan.
b. Dahak

16
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,

kemudian berubah menjadi mukopurulen/kuning atau kuning hijau sampai

purulen dan kemudian dapat bercampur dengan darah.


c. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-

bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah

yang sangat banyak. Kehilangan darah yang banyak kadang akan

mengakibatkan kematian yang cepat.

d. Sesak Nafas
Gejala ini ditemukan pada penyakit yang lanjut dengan kerusakan paru

yang cukup luas atau pengumpulan cairan di rongga pleura sebagai

komplikasi tuberkulosis paru.


e. Nyeri Dada
Nyeri kadang berupa, nyeri menetap yang ringan. Kadang-kadang lebih

sakit sewaktu menarik nafas dalam. Bisa juga disebabkan regangan otot

karena batuk.
2.1.6 Penyebab TB Paru

TB paru disebabkan oleh kuman Mikobakterium tuberkulosis yang

berbentuk batang berukuran 0,3-0,6 dan panjang 1-4. Mempunyai sifat

khusus tahan terhadap asam pada pewarnaan. Kuman TB cepat mati dengan

sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di

tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat tertidur

lama (dorrman) selama beberapa tahun (Bustan, 2002). Ada beberapa jenis

Mikobakterium seperti Mycobacterium africanus, Mycobacterium bovis,

17
Mycobacterium kansaii, Mycobaterium avium dan Mycobacterium nenopi.

Namun yang penting adalah Mikobakterium tuberkulosis yang menyebabkan

penyakit tuberkulosis dan terutama menyerang paru. (Sudoyo, 2009)

2.1.7 Diagnosa TBC Paru

Diagnosa penyakit TBC Paru dapat dilakukan dengan cara :

1. Pemeriksaan Dahak Mikroskopis


2. Pemeriksaan Foto Toraks

Suspek TB Paru
Pemeriksaan dahak mikroskopis--sewaktu, pagi, Sewaktu (SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++ +-- ---
++ -

Antibiotik Non OAT

Foto Toraks dan Tidak Ada


pertimbangan ada perbaika
dokter perbaika n
n

Pemeriksaan Dahak
Mikroskopis

TB
Hasil BTA
+++
++-
+--

18
Foto Toraks dan
pertimbangan dokter

Bukan TB

Bagan 2.2 Alur Diagnosis TB Paru


Sumber Penanggulangan Tuberkulosis, KEMENKES RI, 2009

2.1.8 Pemeriksaan
2.1.8.1 Pemeriksaan Dahak Mikroskopis

Penemuan basil tahan asam (BTA) merupakan suatu alat penentu yang amat

penting dalam diagnosis Tuberkulosis Paru. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa

dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara

mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan apabila sedikitnya dua dari tiga spesimen

hasilnya positif.

Tujuan pemeriksaan dahak adalah untuk menegakkan diagnosis dan

menentukan klasifikasi/tipe penyakit, menilai kemajuan pengobatan dan untuk

menentukan tingkat penularan. Pemeriksaan dilakukan pada penderita Tuberkulosis

Paru dan suspek Tuberkulosis.

Pengambilan spesimen dahak yaitu : (Depkes RI, 2010)

S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan pada saat suspek datang berkunjung pertarma kali.

Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak

hari kedua.

19
P (Pagi) : dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun

tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK (Unit Pelayanan

Kesehatan).

S (Sewaktu) : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua saat menyerahkan dahak

pagi.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, Tuberkulosis Paru dibagi dalam :

a. Tuberkulosis Paru BTA(+)


1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA(+).
2. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA(+) dan foto rontgen dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis aktif


b. Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA(-) dan foto rontgen dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif ditentukan oleh dokter, selanjutnya dibagi

menjadi bentuk berat dan ringan tergantung pada gambaran luas kerusakan paru pada

foto rontgen dan melihat kepada keadaan penderita yang buruk. Penentuan klasifikasi

penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang

sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.

2.1.8.2 Pemeriksaan Foto Toraks

Tidak dibenarkan mendiagnosa penyakit TB Paru hanya dengan berdasarkan

foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB

Paru (Dinkes Provinsi SU, 2008). Indikasi pemeriksaan foto toraks adalah sebagai

berikut :

20
1. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA(+).

2. Mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan

khusus (Dinkes Provinsi SU, 2010).

2.1.9 Cara Penularan


Brunner dan Suddart menyatakan bahwa tuberkulosis ini ditularkan

melalui orang ke orang lain melalui udara. Individu terinfesi melalui berbicara,

batuk, bersin, atau bernyanyi. Melepaskan droplet besr (lebih besar dari 100)

dan kecil (1 sampai 5). Droplet yang besar menetap, sementra droplet yang

kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan (Smeltzert, 2002).
Sumber utama penularan TB ini adalah penderita TB BTA(+). Pada waktu

batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000

percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi yang baik dapat

mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari yang mengenai

langsung dapat membunuh baketri. Percikan tersebut dapat bertahan beberapa

jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya dari penularan seseorang

ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru-parunya. Makin

tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, maka semakin menular

pasien tersebut. Faktor yang menungkinkan seseorang terpajan kuman TB

ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamnya menghirup udara

tersebut (Depkes, 2007).

21
Menurut Naga (2012) secara umum, derajat atau tingkat penularan

penyakit tuberkulosis paru tergntung pada bnyaknya hasil tuberkulosis dalam

sputum, virulensi atas dan peluang adanya pencemaran udara dari batuk, bersin

dan berbicara keras. Kuman ini dapr bertahan diudara selama beberapa jam,

sehingga cepat tau lambat droplet yang mengandung bkteri TB akan terhirup

oleh orang lain.


Resiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.

Pasien TB dengan BTA(+) memberikan kemungkinan penularan lebih besar

ketimbang pasien dengan BTA(-). Resiko penularan setiap tahunnya

ditunjukkan dengan Annual Risk Of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu

proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar

1%, berarti sepuluh orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI

di Indonesia bervariasi yaitu antara 1-3%. Infeksi TB ini dibuktikan dengan

perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Kemungkinan seseorang

menjadi pasien TB dipengaruhi oleh daya tahan tubuh yang rendah dan

malnutrisi. Meningkatnya pasien TB, maka akan meningkat pula penlaran TB

di masyarakat.
Brunner dan Suddart dalam Smeltzer (2002) individu yng berisiko tinggi

untuk tertular penyakit tuberkulosis adalah :


a. Merek yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka

yang dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terinveksi HIV)


c. Pengguna obt-obat IV dan alkoholik
d. Setiap individu yang tanpa perawatan kesehatan yang adekuat
e. Setiap individu yang sudah ada gangguan medis sebelumnya

22
f. Setiap indvidu yang tinggal di institusi misalnya fasilitas perawatan jangka

panjang
g. Individu yang tingggal di perumahan kumuh
h. Petugas kesehatan
2.1.10 Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Adapun jenis

dan Dosis OAT adalah sebagai berikut:


1 Isoniasid (H)
Dikenal dengan INH, bersifat baktearisid, dapat membunuh 90% populasi

kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Obat ini sangat efektif terhadap

kuman dalam keadaan metabolic akti, yaitu kuman yang sedang berkembang.

Dosis harian yang dianjurkan 5 mg/kg BB, sedangkan untuk pengobatan

intermiten 3 kali seminggu diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.


2 Rifampisin (R)
Bersifat bakteri asid, dapat membunuh kuman semi-dormant (persister)

yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniasid. Dosis 10 mg/kg BB diberikan sama untuk

pengobatan harian maupun intermitten 3 kali seminggu.

3 Pirasinamid (Z)
Bersifat bakteriasid. Dosis harian yang dianjurkan 15 mg/kg BB sedangkan

untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis yang sama.

Penderitaberumur sampai 60 tahun dosisnya 0,75 gr/hari, sedangkan untuk

berumur 60 tahun atau lebih diberikan 0,50 gr/hari.


4 Etambutol (E)

23
Bersifat sebagai bakteriostatik. Dosis harian yang dianjurkan 25 mg/kg BB

sedangkan untuk pengobatan intermitten 3 kali seminggu digunakan dosis 30

mg/kg BB.
Obat TBC diberikan dalam bentuk kombinasi dari bebrapa jenis, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman

persisten) dapat dibunuh. Dosis tahap intensif dan dosis tahap lanjutan ditelan sebagai

dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Apabila paduan obat yang

digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TBC

akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan

penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung

(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TBC diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung

untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT, terutama rifampisin. Bila

pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular

menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TBC

BTA(+) menjadi BTA(-) (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap

lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang

lebih lama (Depkes RI, 2008).


2.1.11 Pencegahan Penularan
Pencegahan penularan di lakukan ole pasien TB paru sendiri dan dibantu oleh

petugas pelayanan kesehatan. Pencegahan tuberkulosis paru menurut Zain

dalam Ardiansyah (2012) yaitu dengan :

24
1. Pemeriksan kontak, yaitu pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat

dengan penderita TB paru BTA(+).


2. Mass chest X-Ray, yatu pemeriksaan masal terhadap kelompok-kelompok

populasi tertentu, misalnya karyawan rumah sakit atau puskesmas atau bali

kesehatan lainnya.
3. Vaksinasi BCG; reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi

langsung terdapat lesi lokal yang besar dalam waktu kurang dari 7 hari

setelah penyuntikan.
4. Kemoprofilaksis, dengan menggunkan INH mg/kg BB selama 6-12 bulan

dengan tujuan menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang

masih sedikit.
5. Komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit tuberkulosis kepada

masyarakat di tingkat puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas

kesehatan.
Pada setiap pelayanan kesehatan, Arias (2010) menyebutkan tindakan

pengendalian yang paling penting dalam mencegah penularan Tuberkulosis

meliputi :
a. Pengenalan segera orang-orang (pasien dan petugas) yang menderita TB

paru
b. Isolasi segera pasien yang diketahui atau diduga menderita TB paru dalam

sebuah ruangan khusus yang tidak bertukar udara


c. Membuat diagnosis yang tepat dengan cepat untuk orang-orang dengan

tanda dan gejala Tuberkulosis paru (misalnya riwayat medis dan fisik,

radiografi, dada, uji kulit tiberkulin dan pulasan serta biakan sputum untuk

uji bkteri tahan asam (BTA))

25
d. Penggunaan alat pelindung pernafasan (masker) untuk petugas yang

merawat pasien yang diketahui atau diduga TB. Perawatan segera pasien

dengan pengobatan anti tuberkulosis


e. Anjurkan pasien rawat jalan untuk mengggunakan masker
2.1.12 Komplikasi
Infeksi Tuberkulosis paru jika tidak ditangani dengan baik maka akan

menimbulkan komplikasi, menurut Sudoyo 2007 terbagi atas dua yaitu :


1. Akut : pleuritis, efusi pleura, empiema, gagal nafas, Poncets arthropsthy,

laringitis.
2. Kronis : obstruksi jalan nafas pasca TB, kerusakan parenkim berat/ fibrosis

paru, kor pulmonal, karsinoma paru, amiloidosis, syndrom gagal nafas

dewasa (ARDS).
2.1.13 Faktor yang berhubungan dengan terjadinya peningkatan angka kejadian

penyakit TB Paru.
Faktor yang mempengaruhi kejadian tuberkulusis diantaranya :
1. Faktor Predisposisi
a. Umur
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu

umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS. Hasil

penelitian yang dilaksanakan di New York pada panti penampungan orang-

orang gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi

tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden

tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia

diperkirakan 75% penderita Tb paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-

50 tahun.

26
b. Jenis Kelamin
Tuberkulosis paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan

dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

sehingga memudahkan terjadinya TB paru (Sudoyo, 2009)


c. Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan

seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan

pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga akan mencoba untuk mempunyai

perilaku hidup bersih dan sehat. Tingkat pendidikan seseorang juga akan

mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya. (Ruswanto, 2010).

Hasil (Riskesdas, 2013) menunjukkan bahwa proporsi penderita TB paru

paling banyak diderita pada orang yang tidak pernah sekolah yaitu sebesar 0,5%

Tingkat pendidikan yang rendah dapat mempengaruhi pengetahuan

dibidang kesehatan, maka secara langsung maupun tidak langsung dapat

mempengaruhi lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial

yang merugikan kesehatan dan dapat mempengaruhi penyakit TB dan pada

akhirnya mempengaruhi tingginya kasus TB yang ada (Wirdani, 2000).

d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor resiko apa yang harus dihadapi setiap

individu. Pekerja yang bekerja di lingkungan berdebu paparan partikel debu di

daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran

pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan

27
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan

umumnya TB paru (Arif, 2002).


Bila seseorang bekerja dilingkungan yang berdebu paparan partikel debu

di daerah terpapar akan menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan.

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama

terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB paru

(Ruswanto,2010). Hasil Riskesdas,2013) menunjukkan bahwa proporsi

penderita TB paru paling banyak diderita pada orang yang tidakbekerja yaitu

sebesar 11,7%.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan

keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari

diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan

mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (konstruksi rumah). Kepala

keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah Upah Minimum Rata-rata

(UMR) akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai

dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehinggga mempunyai status

nutrisi dan gizi yang kurang akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi

diantaranya TB paru. Jenis konstruksi rumah pada orang yang mempunyai

pendapatan kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi

syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan TB paru

(Sarwani, 2012)
e. Status Gizi

28
Secara umum kekurangan gizi atau gizi buruk akan berpengaruh

terhadap kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan penyakit.

Faktor ini sangat penting pada masyarakat miskin, baik pada orang dewasa

maupun pada anak.


Menurut Misnardiarly dalam Toyalis menyebutkan bahwa faktor

kurang gizi atau gizi buruk akan meningkatkan angka kesakitan/kejadian TB

Paru, terutama TB paru pertama sakit. (Toyalis, 2007)


Kejadian gizi buruk yang buruk, maka reaksi kekebalan tubuh akan

menurun sehingga kemampuan dalam mempertahankan diri terhadap penyakit

infeksi seperti TB paru mengalami penurunan, dengan demikian seseorang

yang menderita TB paru pada umumnya status gizinya mengalami penurunan

(Notoatmodjo, 2007).
2. Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di luar diri host (pejamu) baik benda

mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang terbentuk akibat

interaksi.

Unsur-unsur lingkungan sebagai berikut :


a. Lingkungan fisik :
Lingkungan yang kurang baik sebagai salah satu reservoir atau tempat

yang baik dalam menularkan peyakit menular seperti penyakit tuberkulosis.

Faktor lingkungan erat kaitannya dalam penularan penyakit seperti

lingkungan fisik, biologi, ekonomi, sosial dan budaya (Soemitrat, 2000).


Upaya pengendalian faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya

ancaman dan melindungi keluarga dari dampak kualitas lingkungan

29
perumahan dan rumah tempat tinggal yang tidak sehat, telah diatur dalam

Kemenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan

Perumahan.
1) Pencahayaan
Minimal vahaya matahari yang masuk kedalam ruangan 60 ux dan

tidak menyilaukan. Cahaya matahari yang masuk kedalam ruangan

mampu membunuh kuman-kuman pathogen. Menurut kusnidar et al

(1993) pencahayaan yang buruk berhubungan dengan kejadian TB paru di

Tanggerang, Jawa Barat. Begitu pula menurut dahlan, (2000) bahwa

pencahayaan ruang tempat anggota keluarga berkumpul dan ruang tidur

berhubungan dengan kejadian TB paru di kota Jambi.


Penularan TB terjadi karena exposure penderita Tb terhadap

anggota keluarga ataupun masyarakat melalui udara dalam bentuk droplet

penderita, selain itu kuman tersebut dapat bertahan hidup beberapa jam

ditempat yang gelap dan lembab, tetapi akan mati bila terkena cahaya

matahari langsung. Hal ini akan semakin baik bila konstruksi rumah

menggunakan genteng kaca dengan jendela kaca minimal 20% luas lantai,

agar diperoleh intensitas cahaya yang cukup, cahaya tersebut diutamakan

pada ruang keluarga dan kamar tidur mengingat pada tempat tersebut

merupakan tempat yang sering digunakan anggota keluarga dalam

menjalankan aktiftasnya di dalam rumah. Kebutuhan cahaya alami yaitu

sinar matahari sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela.

Pencahayaan alami selain sebagai penerangan juga dapat mengurangi

30
kelembaban dan dapat membunuh kuman penyakit akibat pengaruh sinar

ultraviolet. Semua cahaya pada dasarnya memetikan, tergantung jenis dan

lama cahaya tersebut (Surveilans PPM/PI,2003). Sinar matahari langsung

dapat membunuh bakteri TB Paru dalam 5 menit (Crofton, 2002).


2) Ventilasi/Penghawaan
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi (Notoadmojo, 2003,

Ranson, 2002) antara lain :


a) Menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar, sehingga

keseimbangan oksigen bagi penghuni tetap terjaga.


b) Membebaskan udara dari bakteri terutama bakteri pathogen.
c) Menjaga rumah dalam kelembaban yang optimal

Ventilasi dibagi menjadi 3 menurut U. S. Environment Protection

Agency (EPA) yaitu :

a. Infiltrasi, bila udara luar rumah masuk kedalam rumah melalui celah-

celah pintu, jendela, maupun retak pada dinding.


b. Ventilasi alamiah pergerakan udara terjadi dengan adanya pintu atau

jendela yang terbuka.


c. Ventilasi buatan (mechanical ventilation) yaitu dengan menggunakan

alat-alat khusus untuk mengalirkan udara.


Jika aliran udara melalui infiltrasi, ventilasi alamiah maupun ventilasi

buatan minimal maka rate pertukaran udara akan rendah pula, sedangkan

tingkat pollutan dalam rumah meningkat.


Perjalanan kuman TB Paru setelah dibatukkan akan terhirup oleh orang

disekitarnya sampai keparu-paru, sehingga dengan adanya ventilasi yang baik

akan menjamin pertukaran udara, sehingga konsentrasi droplet dapat dikurangi .

konsentrasi droplet pervolume udara dan lamanya waktu menghirup udara

31
tersebut memungkinkan seseorang akan terinfeksi kuman TB Paru (Depkes,

2002).
Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam

penularan tuberkulosis dimana ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere

yang menyenangkan dan menyehatkan bagi manusia. Suatu studi melaporkan

bahwa upaya penurunan angka kesakitan tuberkulosis dapat dilakukan

diantaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi

pencemaran udara lainnya termasuk asap rokok. (DepKes, 2004).


3) Kepadatan hunian dalam rumah
Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi

dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut. Persyaratan

kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasa dinyatakan dalam m2/orang.

Luas minimum perorang sangat relatif tergantung dari kualitas bangun

dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana minimum 10

m2/orang, jadi untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 orang minimum

50m (Soesanto, 2000). Berdasarkan Dir. Higiene dan Sanitasi Depkes RI

kepadatan penghuni dikategorikan menjadi memenuhi standar adalah 2

orang per 8m dan kepadatan tinggi lebih 2 orang per 8m dengan

ketentuan anak < 1 tahun tidak diperhitungkan dan umur 1-10 tahun

diperhitungkan setengah.
Hasil penelitian Rusnoto, menunjukkan bahwa adahubungan yang

bermakna antara kepadatan rumah dengan kejadian tuberkulosis paru

(OR=5,983).
3. Pelayanan Kesehatan

32
Perawatan di rumah sakit bukanlah suatu keharusan bagi penderita TB

paru untuk sembuh dari penyakitnya, kecuali terdapat komplikasi. Waktu

pengobatan relatif akan berjalan lama yaitu sekurang-kurangnya 6 bulan dan bisa

sembuh dengan kepatuhan menjalankan nasihat dokter atau patugas kesehatan

terlatih dan teratur minum obat sesuai petunjuk. Tempat pelayanan dapat berupa

Balai pengobatan, Puskesmas dan Rumah Sakit yang memberikan pelayanan

dengan tujuan (Depkes, 2000) :


a. Membuat penderita sembuh
b. Mencegah kematian penderita
c. Agar tidak kambuh
d. Untuk menurunkan resiko penularan

Upaya pelayanan untuk mencegah timbulnya penyakit tuberculosis dapat

dilakukan pada usia dini dengan pemberian imunisasi pada saat anak usia mulai 0

bulan atau anak usia 6 tahun dan efek imunitasnya hanya berlangsung 6 tahun atau

kurang. Anak yang sejak usia 1 bulan mndapat suntikan imunisasi BCG dapat

meninggikan daya tahan tubuh terhadap kuman tuberculosis yang virulen (Depkes,

2000)

Strategi DOTs merupakan upaya penanggulangan TB paru saat ini. Program

ini belum dapat menjangkau seluruh Puskesmas, rumah sakit pemerintah maupun

swasta dan unit pelayanan kesehatan lainnya.

2.2 Defenisi Perilaku


2.2.1 Perilaku Pencegahan Penyakit

Psikologi memandang perilaku manusia (human behavior) sebagai reaksi

yang dapat bersifat sederhana maupun bersifat kompleks. Pada manusia khususnya

33
dan pada berbagai spesies hewan umumnya memang terdapat bentuk bentuk

perilaku instinktif (speciesspecific behavior) yang didasari oleh kodrat untuk

mempertahankan kehidupan. Salah satu karakteristik reaksi perilaku manusia yang

menarik adalah sifat diferensialnya. Maksudnya, satu stimulus dapat menimbulkan

lebih dari satu respon yang berbeda dan beberapa stimulus yang berbeda dapat saja

menimbulkan satu respon .

Karakteristik individu meliputi berbagai variabel seperti motif, nilai nilai,

sifat kpribadian dan sikap yang saling berinteraksi pula dengan faktor faktor

lingkunga dalam menentukan perilaku. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar

dalam menentukan perilaku, bahkan kadang kadang kekuatannya lebih besar dari

pada karakteristik individu. Hal inilah yang menjadikan prediksi perilaku lebih

kompleks.

Teori tindakan beralasan mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku

lewat suatu proses pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya

terbatas hanya pada 3 hal yaitu :

1. Perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tetapi oleh sikap yang spesifik

terhadap sesuatu.
2. Perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tetapi juga oleh norma norma

subjektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain

inginkan agar kita perbuat.


3. Sikap terhadap suatu perilaku bersama normanorma subjektif membentuk suatu

intensi atau niat untuk berperilaku tertentu.

34
Secara sederhana, teori ini mengatakanbahwa seseorang akan melakukan

suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya

bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Dalam teori perilaku terencana

keyakinankeyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada

normanorma subjektif dan pada kontrol perilaku yang dia hayati. Ketiga komponen

ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan

menentukan apakah perilaku yang bersangkutan dilakukan atau tidak (Azwar, 2010).

Menurut Green dalam buku Notoatmodjo (2009), menganalisis bahwa

perilaku manusia dari tingkatan kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat

dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yakni faktor perilaku (behaviour causer) dan faktor

dari luar perilaku (non behaviour causer). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan

atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

1. Faktorfaktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.


2. Faktorfaktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan misalnya Puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan

sebagainya.
3. Faktorfaktor pendorong (reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

35
Di simpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan

ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang

atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan

perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan

memperkuat terbentuknya perilaku. Menurut Leavel dan Clark yang disebut

pencegahan adalah segala kegiatan yang dilakukan baik langsung maupun tidak

langsung untuk mencegah suatu masalah kesehatan atau penyakit.

Tingkatan pencegahan penyakit menurut Leavel dan Clark ada 5 tingkatan

yaitu (Notoatmodjo, 2008) :

a. Peningkatan kesehatan (Health Promotion).

1) Penyediaan makanan sehat cukup kualitas maupun kuantitas.

2) Perbaikan hygiene dan sanitasi lingkungan.

3) Peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat antara lain pelayanan

kesehatan reproduksi bagi remaja yang hamil diluar nikah, yang terkena

penyakit infeksi akibat seks bebas dan Pelayanan Keluarga Berencana.

b. Perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit tertentu (Spesific Protection).

1) Memberikan imunisasi pada golongan yang rentan untuk mencegah

terhadap penyakit penyakit tertentu.

2) Isolasi terhadap penyakit menular.

3) Perlindungan terhadap keamanan kecelakaan di tempat-tempat umum dan

ditempat kerja.

36
4) Perlindungan terhadap bahanbahan yang bersifat karsinogenik, bahan-

bahan racun maupun alergi.

c. Menggunakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (Early

Diagnosis and Promotion).

1) Mencari kasus sedini mungkin.

2) Melakukan pemeriksaan umum secara rutin.

3) Pengawasan selektif terhadap penyakit tertentu misalnya kusta, TBC, kanker

serviks.

4) Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita.

5) Mencari orang-orang yang pernah berhubungan dengan penderita

berpenyakit menular.

6) Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan kasus.

d. Pembatasan kecacatan (Dissability Limitation)

1) Penyempurnaan dan intensifikasi pengobatan lanjut agar terarah dan tidak

menimbulkan komplikasi.

2) Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan.

3) Perbaikan fasilitas kesehatan bagi pengunjung untuk dimungkinkan

pengobatan dan perawatan yang lebih intensif.

e. Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)

1) Mengembangkan lembaga lembaga rehablitasi dengan mengikutsertakan

masyarakat.

37
2) Menyadarkan masyarakat untuk menerima mereka kembali dengan memberi

dukungan moral, setidaknya bagi yang bersangkutan untuk bertahan.

3) Mengusahakan perkampungan rehabilitasi sosial sehingga setiap penderita

yang telah cacat mampu mempertahankan diri.

4) Penyuluhan dan usaha-usaha kelanjutannya harus tetap dilakukan seseorang

setelah ia sembuh dari suatu penyakit.

2.3.2 Praktik atau Tindakan

Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap suatu perbuatan nyata.

Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimilus dalam bentuk nyata

atau terbuka.

Suatu rangsangan akan direspon oleh seseorang sesuai dengan arti rangsangan

itu bagi orang yang bersangkutan. Respon atau reaksi ini disebut perilaku, bentuk

perilaku dapat bersifat sederhana dan kompleks. Dalam peraturan teoritis, tingkah

laku dapat dibedakan atas sikap, di dalam sikap diartikan sebagai suatu

kecenderungan potensi untuk mengadakan reaksi (tingkah laku). Suatu sikap belum

otomatis terwujud dalam suatu tindakan untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu

tindakan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi fasilitas yang

memungkinkan.

Menurut Notoatmodjo (2010), tindakan adalah gerakan atau perbuatan dari

tubuh setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam maupun luar tubuh

suatu lingkungan. Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak

38
ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut.

Secara biologis, sikap dapat dicerminkan dalam suatu bentuk tindakan, namun tidak

pula dapat dikatakan bahwa sikap tindakan memiliki hubungan yang sistematis.

Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek

(practice), yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh karena

itu disebut juga over behavior.

Menurut Notoatmodjo (2010), empat tingkatan tindakan adalah :

1. Persepsi (Perception), Mengenal dan memiliki berbagai objek sehubungan

dengan tindakan yang diambil.


2. Respon terpimpin (Guided Response), dapat melakukan sesuatu sesuai dengan

urutan yang benar.


3. Mekanisme (Mechanism), apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu

dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.


4. Adaptasi (Adaptation), adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah

berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa

mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Faktor-faktor yang merupakan penyebab perilaku menurut Green dipengaruhi

oleh tiga faktor yaotu faktor predisposisi seperti pengetahuan, sikap keyakinan, dan

nilai, berkanaan dengan motivasi seseorang bertindak. Faktor pemungkin atau faktor

pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas, sarana, atau prasarana yang

mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.

Terakhir faktor penguat seperti keluarga, petugas kesehatan dan lain-lain.

39
Jadi, dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang

kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya

dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu, ketersediaan fasilitas,

sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung

dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Seperti halnya pengetahuan dan sikap, praktik juga memiliki tingkatan-

tingkatan, yaitu :

a) Persepsi, yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sesuai dengan tindakan

yang akan dilakukan.


b) Respons terpimpin, yaitu individu dapat melakukan sesuatu dengan urutan

yang benar sesuai contoh.


c) Mekanisme, individu dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis

atau sudah menjadi kebiasaan.


d) Adaptasi, adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dan dimodifikasi

tanpa mengurangi kebenaran.

2.4 Kerangka Teori

Karakteristik Lingkungan Faktor M. Tuberculosis


Individu: Fisik pendorong:
Umur rumh : Pelayanan Menular melalui udara
Jenis kelamin pencahayaan kesehatan
Pendidikan ventilasi Masuk ke saluran pernafasan
Pekerjaan kepadatan
Penyakit HIV huni Proses fagositosis
Status gizi kelembaban

40
Status Imunisasi suhu Bakteri hidup Bakteri mati
BCG debu dalam sel
Merokok lantai Manifestasi
dinding Berkembang biak klinis:
-keringat
Pemeriksaan malam
penunjang : - anoreksia
- Pemeriksaan -penurunan
fisik BB
- Tes -malaise
Perilaku tuberkulin
pencegahan - Rontgen Komplikasi:
penularan : torak -gagal nafas
- Laboratoriu
- Mengguna -hemoptisis
kan masker m (sputum,
-efusi pleura
- Tidak urine, darah)
-empiema
meludah - Dll
-dll
- Minum obat
- Menutup
mulut saat Positif Tb
batuk
Penatalaksanaan

Bagan 2.3 Kerangka Teori

Sumber : Green dalam notoatmodjo (2007); Depkes RI (2002&2007); Brunner &


Suddarth dalam Smeltzer (2002)

2.5 Kerangka Konsep

Pada kerangka teori serta tinjauan kepustakaan, tidak semua variabel untuk

diteliti. Penulis hanya akan meneliti sebagian faktor yang berhubungan dengan

tuberkulosis paru BTA(+).

41
Selanjutnya disusun kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel dependen

Karakteristik Individu

1. Umur
2. Tingkat pendidikan
3. Pekerjaan
4. Jenis Kelamin
5. Status Gizi

Faktor Predisposi
Pengetahuan
Perilaku Penderita TB Paru

Lingkungan Fisik Rumah:


Pencahayaan
Ventilasi
Kepadatan huni

Faktor Pendorong :
Pelayanan Kesehatan

Bagan 2.4 Kerangka Konsep

2.6 Hipotesa Penelitian

H1 : Ada hubungan umur dengan kejadian TB Paru BTA(+)dalam


pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H2 : Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian TB Paru BTA(+)
dalam pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah

42
H3 : Ada hubungan pendidikan dengan kejadian TB Paru BTA(+) dalam
pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H4 : Ada hubungan pekerjaan dengan kejadian TB Paru BTA(+) dalam
pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H5 : Ada hubungan status gizi dengan kejadian TB Paru BTA(+) dalam
pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H6 : Ada hubungan Pengetahuan dengan kejadian TB Paru BTA(+) dalam
pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H7 : Ada hubungan pencahayaan dengan kejadian TB Paru BTA(+)
dalam pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H8 : Ada hubungan ventilasi dengan kejadian TB Paru BTA(+) dalam
pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H9 : Ada hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru BTA(+)
dalam pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di wilayah kerja
Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah
H10 : Ada hubungan pelayanan kesehatan dengan kejadian TB Paru
BTA(+) dalam pencegahan penularan TB Paru pada keluarga di
wilayah kerja Puskesmas Pinangsori kabupaten Tapanuli Tengah

43

Anda mungkin juga menyukai