Anda di halaman 1dari 11

Ulumul hadith

wilayahalquranhadist
blog ini akan memaparkan hal-hal seputar al qur'an dan hadist

Beranda

About

Bookmark the permalink.

Mukhtalif Hadist
2
Jan by wilayahalquranhadist

Mukhtalif Hadist

Terkadang para muhadditsin menyebut mukhtalif al hadits denganmusykil al


hadits, yaitu hadist- hadist yang lahirnya bertentangan dengan kaidah- kaidah
yang baku sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan
nashsh syara yang lain.[1]

Dalam beberapa mukhtalif ini, pembanding dalam menilai pertentangan ini tidak
hanya terdapat antar hadist saja, namun terkadang hadist dengan al Quran, dan
hadist dengan logika. Untuk memperjelas dapat di lihat pada beberapa contoh di
bawah ini:

1. Hadist Yang Bertentangan Dengan Ayat Al Quran



:

sesungguhnya Allah SWT mengusap punggung Nabi Adam AS, dan


mengeluarkan keturunannya sampai hari kiamat seperti buah jagung dan
memberi kesaksian pada diri mereka apakah aku adalah Tuhan kalian?
Mereka menjawab: Tentu.

Hadist ini bertentangan dengan firman Allah SWT,

(dan ingtlah) ktika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak- anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman) bukankah aku ini Tuhanmu? mereka menjawab, betul (engkau
Tuhan kami). (Q.S. Al Araf [7]: 172)

Karena hadist nabi mengabarkan bahwa keturunan nabi Adam diambil dari
punggung nabi Adam sementara Al Quran memberitahukan bahwa keturunan
nabi Muhammad diambil dari punggung Bani Adam.

Menurut Abu Muhammad, hal tersebut sebenarnya memiliki makna yang sama,
di mana keduanya benar, karena Al Quran datang membawa firman Allah SWT
yang bersifat global kemudian hadist yang memerincinya.

Maksud dari hadis dan ayat di atas adalah bahwa Allah SWT saat mengusap
punggung Nabi Adam As, lalu Adam mengeluarkan keturunannya darinya seperti
buah jagung sampai hari kiamat. Dan dari keturunan Nabi Adam itulah terdapat
anak- anak, cucu dan cicit sampai hari kiamat.

1. Dua Hadist Yang Kontradiktif


Mereka (Ahlul Mutakalimin) berkata: kalian meriwayatkan hadist, bahwa
Rasulullah SAW brsabda,

janganlah kalian menghadap kiblat saat membuang air besar dan membuang
air kecil.[2]

Kalian juga meriwayatkan hadist dari Isa bin Yunus, dari Abu Amanah dari
Khalid Al Hadza dari Arak bin Malik dari Aisyah RA, sesungguhnya ia berkata,

Dikemukakan kepada Rasulullah bahwa ada suatu kaum yang tidak suka
menghadap kiblat saat membuang air besar dan air kecil, lalu Nabi
Muhammad SAW memerintahkannya di tempat buang hajatnya (WC), dengan
tetap menghadap kiblat.[3]

Hal ini bertentangan.

Menurut Abu Muhammad, hadis ini boleh saja termasuk dalam nasikh mansukh
karena keduanya memiliki hukum yang berlawanan, yang pertama di larang dan
yang kedua justru diperintahkan. Namun, Abu Muhammad tidak
menggunakannya karena menurutnya hadist ini berbeda karena dipahami sesuai
konteksnya.

Tempat yang tidak boleh menghadap kiblat bagi orang yang membuang air besar
dan air kecil adalah padang pasir dan Al Bararah[4]

Barang siapa yang ingin melakukan kebaikan dan ia tidak melakukannya,


maka ditulis baginya satu kebaikan, dan barang siapa melakukannya maka
ditulis sepuluh kebaikan.(HR. Ahmad)

Hadis tersebut bertentangan dengan riwayat berikut,

Niat seseorang lebih baik dari perbuatannya.

Dengan demikian, niat pada hadits yang pertama bukan merupakan perbuatan
dan pada hadits kedua lebih baik dari perbuatan. Dua hadits ini berbeda dan
bertentangan.

Menurut Abu Muhammad, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan dalam hal
ini.

Orang yang ingin melakukan kebaikan, jika ia tidak melakukannya maka ia


berbeda dengan yang melakukannya, karena orang yang hanya niat saja tidak
melakukan hingga ia memiliki keinginan dan melakukan.

Sedangkan hadits kedua, sesungguhnya Allah mengekalkan orang mukmin di


dalam surga dengan niatnya bukan dengan amalnya.

Kenapa Allah mengekalkan seseorang dengan niatnya? Karena niat untuk taat
kepada Allah selamanya jika ia diizinkan oleh Allah, ketika Allah mematikannya
tanpa mematikan niatnya, maka Allah memberikan ganjaran atas niatnya
tersebut.

Begitu juga dengan orang kafir, niatnya lebih buruk dari perbuatannya, karena
sesungguhnya orang kafir berniat untuk tetap dalam kekafirannya jika dia diberi
kesempatan untuk itu, ketika Allah mematikannya tanpa mematikan niatnya,
maka Allah memberikan ganjaran atas niatnya tersebut.[5]

Kesimpulan kajian para Imam dan tokoh kritikus hadits secara umum adalah
bahwa mereka membagi hadits yang mengandung problem ini menjadi dua
kelompok:

1. kelompok hadits- hadits yang dapat dikompromikan dan di ambil titik


temunya.[6] Problem pada kasus ini terdapat pada segi pemahaman yang
saling berbeda.

2. 2. kelompok hadits- hadits mukhtalif yang sama sekali tidak dapat


dikompromikan dan tidak dapat diambil titik temunya.[7]

Hadist kelompok ini terbagi menjadi dua bagian: pertama, satu dari hadits yang
bertentangan itu merupakan nasikh sedangkan yang lain adalah mansukh, maka
nasikh diamalkan dan mansukh ditinggalkan.Kedua, tidak ada tanda dan
petunjuk bahwa salah satu riwayat itu merupakan nasikh dan yang lain mansukh.
Maka jalan penyelesaiannya adalah dengan ditarjih. Lalau di amalkan hadits
yang lebih kuat karena lebih banyak rawi (sanad
)-nya, atau rawinya lebih tinggi daya hafalannya atau lebih banyak menyertai
gurunya. Yang penting memiliki kelebihan dalam banyak hal yang
dipertimbangkan dalam tarjih.[8]

Penyelesaian Pertentangan hadits


Menurut pendapat ulama jumhur adalah dengan menggunakan beberapan hal
berikut :
a. Memakai teori Al-Jamu baina Al-Hadits, yakni menkompromikan kedua
yang bertentangan tersebut, hal ini dikarenakan diantara keduanya tidak bisa
lepas dari kemungkinan antara ke-umuman dan ke-khususan, mutlaq dan
muqayyad, serta mujmal dan mubayyan.
b. Memakai teori Al-Naskh atau menggugurkan dalil satu dengan dalil lain,
hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan teori Al-Jamu, teknisnya adalah
dengan menulusuri waktu munculnya (Wurud Al-Hadis) agar diketahui hadis
mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka kemudian yang akhir
dianggap telah merusak/menghapus (Al-Nasikh) terhadap hadis yang pertama.
c. Memakai teori Al-Tarjih. hal ini dilakukan ketika dua teori diatas tidak
memungkinkan, yakni dengan menguatkan satu diantara keduanya tersebut
dengan memandang sudut pandang masing-masing kekuatan dari dalil, bukan
semata-mata hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Mengenai hal ini Imam Syafii memberikan arahan dan penjelasan : termasuk
dari menggunakan teori Al-Tarjih adalah bahwasanya diantara kedua hadis
tersebut tidak bisa lepas dari kemungkinan paling mendekati pada Al-Quran,
atau paling mendekati dengan sunah-sunah Nabi SAW., selain dua hadis yang
mukhtalaf tersebut, atau lebih mendekati pada Qiyas, maka menurutku hadis
itulah yang saya menangkan.

d. Memakai teori Al-Tawaqquf. Teori ini digunakan apabila ketiga cara diatas
sudah tidak memungkinkan, teori ini berlaku sampai ditemukan dalil lain yang
mendukung.
Dalam konteks ini Imam Al-Syatibi berpendapat bahwa ma-mauquf-kan
keputusan ketika tidak dimungkinkan tarjih adalah menjadi hukum wajib.
Senada dengan Imam Al Syatibi adalah Imam Al-Sakhowi, ia mengatakan bahwa
melakukan tawaqquf lebih utama daripada melakukan pengguguran (tasaqquth)
dalil, karena kesamaran pemahaman terhadap dalil itu terjadi pada seseorang
pada waktu saat itu, padahal ada kemungkinan hal tersebut tidak samar lagi bagi
seseorang lain, karena diatas orang alim ada orang yang lebih alim.[9]

1. Hadits Yang Ditolak Oleh Logika

Mereka (Ahlul Mutakalimin) berkata: Kalian meriwayatkan hadits dari Abdul


Aziz bin bin Al Mukhtar Al Anshari dari Abdullah Ad-Danaj, ia berkata: Aku
menyaksikan Abu Salamah bin Abdurahman di dalam masjid yang ada di Basrah.
Hasan datang kemudian ia duduk dekatnya. Diceritakan dari Abu Hurairah dari
nabi Muhammad SAW, beliau bersabda:

Sesungguhnya matahari dan remblan merupakan dua sapi yang hitam di


neraka jahanam di hari kiamat.(HR. Muslim)

Al Hasan berkata,Apa dosa keduanya?

Dia berkata, Sesungguhnya aku menceritakan hadits kepadamu dari Rasulullah


SAW, lalu dia terdiam,

Hasan telah benar (apa dosa keduanya).

Ini adalah pendapat Al Hasan yang merupakan jawaban atasnya atau atas Abu
Hurairah.

Menurut Abu Muhammad matahari dan rembulan tidak disiksa di neraka saat
keduanya dimasukan ke dalamnya, lalu dikatakan apa dosa keduanya? Akan
tetapi keduanya diciptakan dari neraka kemudian dikembalikan kepadanya.

Rasulullah bersabda mengenai matahari-saat ia tenggelam-di dalam api Allah


SWT yang menyala- nyala, Seandainya Allah SWT tidak mencegahnya, maka
niscaya akan binasa apapun yang berada di atas bumi.[10]

Sesuatu yang berasal dari neraka, niscaya ia dikembalikan ke neraka Rasulullah


SAW tidak bersabda bahwa ia disiksa.
KESIMPULAN

Dapat kita ambil kesimpulan, bahwasannya hadits tidak cukup dipahami


begitu saja, karena hal tersebut dapat mengakibatkan kesalah fahaman.

Dari uraian di atas dapat di ambil pelajaran bahwasannya dalam


memahami sesuatu tidak cukup dengan melihat secara tekstual saja, namun
perlu melihat makna- makna tersirat dan segi yang lainnya. Mungkin kita pernah
membaca sabda Nabi SAW yang secara sekilas seperti tidak pas, dalam hal ini
kita tidak boleh gegabah dalam mengambil dan menyimpulkan pemahaman.

[1] Dr. Nuruddin Itr , Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012,
hlm. 350

[2] HR. Al Baihaqi dalam As Sunah Al Kubra 991/1), Ibnu Khuzaimah


dalam Shahih-nya (57), Abu Awanah dalam Al Musnad (199/1) dan Ibnu Hajar
dalam Fath Al Bari (177/10).

[3] HR. Imam Ahmad dalam Al Musnad (183/6)

[4] Al Bararah adalah tempat- tempat yang tidak ada pohon dan tanamannya.

[5] Qutaibah, Ibnu. Tawil Hadits- Hadits Yang Dinilai Kontradiktif.Jakrta:


Pustaka Azzam. 2008.hlm. 247-248.
[6] Dr. Nuruddin Itr , Ulumul Hadits, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
2012, hlm.351-352

[7] Ibid.

[8] Al Hazimi menyebutkan segi- segi dalam tarjih sebanyak 50 segi dalam
kitab al- itibar hlm 11-17, al Irqani 100 segi lebih, al Suyuthi mengelompokkan
kepada 7 macam dalam al Tadrib hlm 288- 291.

[9] file:///C:/Users/userfriendly/Downloads/mukhtalif-al-hadits.html

[10] HR. Ahmad dalam Al Musnad (207/2)

Iklanthis:
Share

Twitter

Facebook

Google

Terkait

HADIST TENTANG TEMPAT MUSTAJAB

dosa- dosa besar

Hadist Tentang Hati Sebagai Pusat Tubuh

This entry was posted in Uncategorized.

Navigasi pos
penciptaan burung dari tanah liat
Penafsiran Terhadap Ayat-Ayat Tentang Fahsya

Tinggalkan Balasan
Tulisan Terakhir

Syarat dan Adab Mufassir

ayat tentang perempuan

HERMENEUTIKA AL QURAN

dosa- dosa besar

tafsir ayat tentang bumi

Komentar Terbaru

Arsip

Januari 2014

Oktober 2013

Kategori

Uncategorized

Meta

Daftar

Masuk

RSS Entri

RSS Komentar

WordPress.com
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Ikuti

Anda mungkin juga menyukai