Anda di halaman 1dari 7

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Akne vulgaris adalah penyakit peradangan kronis pada unit pilosebaseus

yang ditandai dengan adanya lesi non inflamatif berupa komedo dan/atau lesi

inflamatif berupa papul, pustul dan nodul yang dapat mengalami progresivitas

menjadi jaringan parut (Elsaie dkk, 2010). Akne vulgaris banyak dijumpai pada

usia remaja sekitar 70% kasus (Dreno dkk, 2003). Beberapa studi menunjukkan

prevalensi akne pada remaja dan dewasa yang bervariasi pada berbagai ras dan

negara. Prevalensi akne di Turki sekitar 63,6% populasi remaja (Uslu dkk, 2008),

sedangkan di Hongkong prevalensi sekitar 52,6% populasi remaja (Yeung dkk,

2002). Prevalensi akne vulgaris di RSUP Dr. Sardjito dijumpai sekitar 8,8% dari

kunjungan poliklinik kulit dan kelamin selama periode 2009-2012 dan merupakan

urutan keempat sepuluh besar penyakit di poliklinik kulit dan kelamin.

Parut akne merupakan komplikasi akne vulgaris yang terjadi karena

kerusakan struktur mikroskopis kulit akibat inflamasi lesi akne sehingga tampak

perubahan warna, tekstur, atau keduanya, yang berbeda kontras dengan kulit

normal sekitar (Goodman, 2000). Prevalensi parut akne tidak banyak diketahui.

Insidensi parut akne pada populasi sebesar 1-11% (Cunliffe dan Gould, 1979).

Parut akne dapat terjadi pada 95% kasus akne pada semua derajat akne (Layton

dkk, 1994). Studi epidemiologi di India pada 280 penderita akne usia dewasa

didapatkan komplikasi parut sebesar 76,4%, dengan derajat ringan 69,6%, sedang

28,1%, dan berat 2,3% (Khunger dan Kumar, 2012). Studi epidemiologi di
2

Hongkong didapatkan prevalensi parut akne sebesar 52,6% dari penderita akne

dengan perempuan sebesar 57% dan laki-laki 48% (Yeung dkk, 2002). Survei

pada pasien akne di Perancis dilaporkan 49% penderita akne disertai dengan parut

(Poli dkk, 2001). Studi klinis pada penderita akne di Inggris yang berobat ke

dokter kulit didapatkan parut akne 14% pada perempuan dan 11% pada laki-laki

(Goulden dkk, 1999). Studi yang dilakukan pada penderita akne dari 5 kelompok

ras berbeda di dunia yaitu ras Asia, Afrika-Amerika, Hispanik, Indian dan

Kaukasia didapatkan prevalensi dispigmentasi dan parut atrofi lebih banyak

dijumpai pada tipe kulit gelap (ras Afrika-Amerika dan Hispanik) dibandingkan

tipe kulit lebih terang (ras Asia, Indian dan Kaukasia) (Perkins dkk, 2011). Di

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, studi mengenai prevalensi parut akne belum

pernah dilaporkan.

Parut akne merupakan komplikasi akne yang merugikan dan sering

menimbulkan stres psikologis dan stres emosional (Fife dkk, 2011). Studi

mengenai kualitas hidup penderita parut didapatkan gangguan fungsi dan

kenyamanan fisik sebesar 59%, masalah pada penerimaan diri dan orang lain

sebesar 91%, kepercayaan terhadap keberhasilan terapi sebesar 29%, gangguan

kesehatan emosional sebesar 76%, dan hambatan pada fungsi sosial sebesar 82%

(Brown dkk, 2008). Penderita dengan parut akne mempunyai risiko bunuh diri

dengan insidensi sebesar 1,57% populasi (Sundstrom dkk, 2010) dan terkait

dengan kurangnya rasa percaya diri, hambatan dalam berinteraksi sosial, depresi,

kemarahan dan terhambatnya penampilan akademis (Koo, 1995). Beberapa studi

melaporkan berbagai modalitas terapi parut akne. Terapi farmakologi tidak


3

banyak membantu penyembuhan parut yang terbentuk sehingga prosedur invasif

menjadi pilihan terapi perbaikan parut seperti peeling kimiawi, dermabrasi,

prosedur operatif dan laser. Berbagai prosedur membutuhkan biaya mahal dan

berisiko terjadinya efek samping parut yang lebih buruk serta efek pigmentasi

abnormal. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya parut merupakan pilihan terapi

dini daripada terapi perbaikan parut akne (Kang dkk, 2005).

Etiopatogenesis parut akne belum diketahui secara pasti. Parut yang terjadi

dikaitkan akibat inflamasi yang berlebihan pada lesi akne (Holland dkk, 2004)

yang menyebabkan kerusakan folikel dan perifolikuler pilosebaseus (Shamban

dkk, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perbaikan struktur/

penyembuhan luka lesi akne yang rusak akibat inflamasi tersebut yang

menentukan terjadinya resolusi spontan atau terjadinya parut (Goodman, 2001;

Fife, 2011). Penderita akne dengan tipe kulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV-VI)

cenderung berisiko terjadi parut akne lebih besar dibandingkan tipe kulit putih

(English dan Shenefelt, 1999; Tsao dkk, 2002; Rao, 2011) dan hiperpigmentasi

yang lebih sering terjadi (Rao, 2011). Parut akne dapat terjadi pada semua stadium

akne (Goodman, 2001; Fife, 2011). Selain itu, parut sering memburuk dengan

penuaan ataupun penuaan dini akibat pajanan matahari (Fife, 2011).

Parut akne dapat dinilai secara kualitatif berdasarkan morfologi parut

(Goodman dan Baron, 2006) dan secara kuantitatif seperti berdasarkan Global

Acne Scarring Classification (GASC) (Goodman dan Baron, 2006; Fabbrocini

dkk, 2010) dan berdasarkan klasifikasi ECCA (Echelle dEvaluation Clinique des

Cicatrices dacne) (Layton dkk, 1994; Micali dkk, 2009). Penilaian GASC
4

dilakukan berdasarkan multiplikasi tipe parut dan jumlah parut dan merupakan

penilaian yang lebih akurat dan objektif (Goodman dan Baron, 2006; Fabbrocini

dkk, 2010).

Sinar matahari yang mencapai permukaan bumi mengandung radiasi

ultraviolet (UV), terutama ultraviolet A (UVA) dan ultraviolet B (UVB) dan sinar

tampak. Radiasi UV menyebabkan berbagai efek di kulit tubuh manusia. Efek

jangka pendek paling sering dijumpai yaitu eritem dan pigmentasi kulit,

sedangkan efek jangka panjang pajanan UV menyebabkan penuaan kulit dan

karsinogenesis (Battie dan Verschoore, 2012). Pajanan UV merupakan faktor

penyebab utama proses melanogenesis yang menghasilkan pigmentasi kulit

(Coelho dkk, 2009). Pigmentasi kulit merupakan respon fotoprotektif melanin

untuk mencegah kerusakan DNA (deoxyribonucleic acid) sel di bawahnya akibat

radiasi UV (Tadokoro dkk, 2005; Yamaguchi dkk, 2006; Wolber dkk, 2008).

Pajanan UV menyebabkan pigmentasi kulit dalam beberapa tahapan tergantung

pada lama dan dosis paparan UV, seperti immediate pigment darkening (IPD),

persistent pigment darkening (PPD), delayed pigmentation dan long-lasting

pigmentation (Miyamura dkk, 2006; Coelho dkk, 2009). Kolorimeter dapat

digunakan untuk mengukur pigmentasi kulit akibat pajanan UV secara kuantitatif

dan objektif (Suh dkk, 2007).

Pajanan radiasi UV dilaporkan menyebabkan terbentuknya berbagai

mediator dan sitokin proinflamatori, terbentuknya reactive oxygen species (ROS)

yang akan menyebabkan kerusakan DNA, baik sel keratinosit di epidermis

maupun sel fibroblast di dermis (Tran dkk, 2008). Skualen peroksid dan
5

komponen lipid sebum lain yang teroksidasi akan mengaktivasi mediator

inflamasi dan kemoatraktan sel proinflamasi yang akan memperburuk proses

inflamasi lesi akne. Proses inflamasi yang berlebihan akan mempengaruhi proses

penyembuhan lesi akne dan berisiko terjadinya parut atrofi (Ottaviani dkk, 2006;

Thiboutot dkk. 2009).

Pajanan UV meningkatkan produksi matriks metalloproteinase (MMP)

oleh fibroblast dan keratinosit pada kulit manusia secara in vivo, yang merupakan

protease yang dapat mendegradasi kolagen (Quan dkk, 2009). Peningkatan

degradasi kolagen matrik ekstraseluler merupakan penyebab terjadinya parut

atrofi. Selain itu, pajanan radiasi UV sering dianggap berefek negatif pada

penyembuhan luka dan penampilan kosmetik sikatrik (Due dkk, 2007). Pasien

post-operasi sering direkomendasikan untuk menghindari pajanan matahari agar

penyembuhan luka tidak terganggu. Meskipun demikian, bukti penelitian

mengenai rekomendasi tersebut masih jarang ditemukan, penelitian yang

mengevaluasi efek radiasi ultraviolet pada penyembuhan luka pada manusia

masih sedikit dilakukan (Due dkk, 2007). Penelitian mengenai efek pajanan UV

(yang diukur dengan respon pigmentasi) terhadap penyembuhan lesi pada akne

yang menyebabkan terjadinya parut akne belum pernah dilaporkan.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Apakah jumlah pajanan matahari (yang diukur dengan respon pigmentasi)

berhubungan dengan derajat parut akne (berdasarkan skor GASC)


6

2. Apakah jumlah pajanan matahari (yang diukur dengan respon pigmentasi)

berhubungan dengan derajat parut akne (yang diukur dengan hitung morfologi

parut akne) pada penderita akne vulgaris?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara jumlah pajanan

UV (yang diukur dengan respon pigmentasi) dengan derajat parut akne pada

penderita akne vulgaris.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, dapat meningkatkan pemahaman mengenai terjadinya parut

akne dan pengaruh pajanan matahari terhadap terjadinya parut akne pada

penderita akne vulgaris.

2. Bagi institusi, dapat digunakan sebagai masukan data dan informasi mengenai

kemungkinan pajanan matahari dapat meningkatkan terjadinya parut akne

pada penderita akne vulgaris dan memberi asupan dalam pencegahan

terjadinya parut akne melalui intervensi perlindungan lesi akne terhadap

pajanan matahari menggunakan tabir surya fisik maupun kimiawi.

3. Bagi subyek penelitian, dapat memberikan informasi dan rekomendasi

mengenai pencegahan terjadinya parut akne yang kemungkinan meningkat

akibat pajanan matahari melalui intervensi perlindungan lesi akne terhadap

pajanan matahari menggunakan tabir surya fisik maupun kimiawi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran melalui http://search.ebscohost.com/ dengan kata

kunci acne vulgaris, acne scarring, ultraviolet radiation, sun exposure,


7

chromameter, colorimeter dan wound healing dari tahun 2000 sampai sekarang

terdapat 192 artikel. Hasil penelusuran melalui http://www.sciencedirect.com/

dengan kata kunci acne vulgaris, acne scarring, ultraviolet radiation, sun

exposure, chromameter, colorimeter, pigmentation dan wound healing pada

abstrak, judul dan kata kunci dari tahun 2000 sampai sekarang didapatkan 41

artikel. Sepengetahuan penulis sampai sejauh ini belum pernah dilakukan

penelitian mengenai pengukuran respon pigmentasi pajanan matahari dengan

pengukuran kolorimeter terhadap terjadinya parut akne di Yogyakarta.

Tabel 1. Penelitian mengenai hubungan pajanan ultraviolet terhadap parut

Peneliti, Judul Subyek


Intervensi Hasil Penelitian Perbedaan
Tahun Penelitian Penelitian

Due Effect of UV n = 14 pasien Radiasi UV panjang Evaluasi mg-5 tdk Studi RCT,
dkk, irradiation on laki-laki gelombang 297-400 ada perbedaan dosis
2007 cutaneous Usia 21-44 nm dengan dosis sikatrik grup paparan paparan
Acta cicatries: A tahun (rata- 2,7SED-0,027 J/cm2 dan non-paparan UV, UV
Derm randomized, rata 29,4) selama 30 menit tiap evaluasi mg-12 terukur,
Venereol controlled trial dengan 8 luka 2 hari/xsebanyak 11 terdapat perbedaan subyek
; 87: 22- with clinical, biopsi punch kali setelah 2 klinis sikatrik dg luka biopsi
32 skin reflectance, 5mm (n=4) minggu dilakukan pigmentasi, infiltrasi bukan lesi
histological, dan 6mm luka biopsi punch. pada grup paparan akne,
immunohistoche (n=4) di area Penilaian mg-5, 12 UV, sedangkan atrofi penilaian
mical and gluteal, tipe evaluasi warna, tdk dijumpai pada warna
biochemical kulit II,III atrofi, infiltrasi, grup paparan dan dengan
evaluations kontraksi sikatrik non-paparan UV fotografi

Anda mungkin juga menyukai