Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terjadinya proses sosialisasi gender hingga melembaga
di dalam masyarakat, telah melalui proses rentang waktu
perjalanan yang sangat panjang serta melewati berbagai
macam faktor dan kondisi alam di mana paham gender itu
berkembang. Masyarakat perkotaan yang hidup secara plural,
berbaur dengan berbagai ragam ras, suku bahkan bahasa
akan melahirkan social system khusus. Pada masyarakat
yang hidup di daerah dengan masyarakat yang boleh
dikatakan homogen dan tingkat populasi pertumbuhan
penduduk yang tidak dratis akan melahirkan tatanan sosial
yang lain pula.
Penentuan peran gender dalam berbagai sistem
masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjaun biologis
atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan
pada perbedaan fisik antara laki-laki dan perempuan. Organ
tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada
pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya.
Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat.
Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya
hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih
obyektif. Faktafakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan
perempuan menimbulkan berbagai macam pengaruh baik
secara psikologis maupun sosiologis yang berimplikasi pada
bias ketidakadilan gender, terutama di bidang pendidikan
sebagai faktor penentu dalam kerangka berpikir masyarakat.
Dalam proses pendidikan di Indonesia secara umum,
masih terdapat bias atau ketimpangan gender. Gender adalah
sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam
2

pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang


didasarkan pada pengaruh sosial budaya masyarakat dengan
tidak melihat jenis biologis secara equality dan
menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu
pihak karena pertimbangan yang sifatnya biologis.
Kaum laki-laki lebih dominan dalam jurusan dan
mempelajari kemampuan atau keterampilan pada bidang
kejuruan teknologi dan industri dan seolah-olah secara
khusus kaum laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pemain
utama dalam dunia produksi. Sementara itu, perempuan lebih
dipersiapkan untuk melaksanakan peran pambantu, misalnya
ketatausahaan dan teknologi kerumahtanggaan. Perbaikan
dalam sistem kurikulum yang menjamin terwujudnya content
pendidikan yang berperspektif gender, menghilangkan sekat-
sekat bias gender dalam pendidikan terutama dalam
mengkombinasikan antara hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang akan dibahas dalam makalah kami adalah
sebagai berikut :
1. Apa definisi gender dan pandangannya dalam Islam?
2. Apa problem-problem sensitif gender dalam pendidikan?
3. Bagaimana implikasi gender terhadap pengembangan
pendidikan?
4. Bagaimana kesetaraan gender dalam pendidikan?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini adalah untuk :
1. Agar mengetahui bagaimana definisi gender dalam
pandangan Islam.
2. Agar mengetahui apa saja problem gender yang terjadi
dalam pendidikan.
3. Agar mengetahui seperti apa implikasi gender terhadap
pengembangan pendidikan.
4. Agar mengetahui peran pendidikan dalam kesetaraan
gender.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Gender dan Pandangannya dalam Islam


Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan
sosial untuk menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-
laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan
yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan
disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting,
karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-
ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat
bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini
sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang
pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat
pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun
gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta
cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat.
Perbedaan konsep gender secara sosial telah
melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki
dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender
telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab,
fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia
beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini
melekat pada cara pandang kita, sehingga kita sering
lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang
4

permanen dan abadi sebagaimana permanen dan


abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan
laki-laki.
Kata gender dalam istilah bahasa Indonesia sebenarnya
berasal dari bahasa inggris, yaitu, gender. Jika dilihat dalam
kamus bahasa inggris, tidak secara jelas dibedakan
pengertian antara sex dan gender. Seringkali gender
dipersamakan dengan seks.1
Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-
ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu
(seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau
identitasnya dalam masyarakat. WHO (World Health
Organization) memberi batasan gender sebagai seperangkat
peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak
bagi laki-laki dan perempuan, yang dikontruksi secara sosial,
dalam suatu masyarakat.
Konsep gender berbeda dari seks atau jenis kelamin
(laki-laki dan perempuan) yang bersifat biologis, walaupun
dalam pembicaraan sehari-hari gender dapat saling
dipertukarkan.2
Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan
peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan
perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial
budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial
yang berkaitan dengan jenis kelamin manusia laki-laki

1 Riant Nugroho, Gender dan Pengarus Utamaannya di Indonesia,


(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008). Hal.1

2 Ali Maksum, Sosiologi Pendidikan, (Surabya: CV. Cahaya Intan,


2014). Hal. 159
5

dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat


reproduksi antara laki-laki dan perempuan memang
membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang berbeda
(perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan
dan menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa).
Konsep kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam sesungguhnya
telah menjadi bagian substantive nilai-nilai universal Islam melalui
pewahyuan (Al-Quran dan Al-Hadits) dari Allah Yang Maha Adil dan Maha
Pengasih. Laki-laki dan perempuan ditempatkan pada posisi yang setara
untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat.
Karena itu, laki-laki dan permpuan mempunyai hak-hak dasar dan kewajiban
yang sama sebagai hamba Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaan di
hadapan-Nya.
Berbicara mengenai perempuan, mengantarkan kita agar terlebih
dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran. Dalam hal ini, salah satu ayat
yang dapat diangkat dalam firman Allah SWT yang berbunyi:




Artinya:
Wahai seluruh manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu
(terdiri) dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling
mulia diantara kamu adalah yang paling bertaqwa(QS. Al-Hujurat: 13).

Ayat tersebut menjelaskan tentang asal kejadian manusia dari seorang


laki-laki dan perempuan sekaligus berbicara tentang kemuliaan manusia, baik
sebagai laki-laki ataupu perempuan. Yang didasarkan kemuliaannya bukan
keturunan, suku atau jenis kelamin, akan tetapi ketaqwaannya kepada Allah
SWT. Hal ini senada dengan pernyataan mantan Syekh al-Azhar, Syekh
Mahmud Syaltut di dalam bukunya Min Tajwihad Al-Islam tabiat
kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama,
6

Allah SWT telah menganugerahkannya kepada perempuan sebagaimana


menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan kemampuan yang cukup
untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melakukan
kegiatan maupun aktivitas yang bersifat umum maupun khusus.
Secara epistimologis, proses pembentukan kesetaraan gender yang
dilakukan Rasulullah saw tidak hanya dalam wilayah domestic saja, akan
tetapi hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat. Seluruh aspek
itu meliputi perempuan sebagai ibu, istri, anak, nenek dan maupun sebagai
anggota masyarakat, dan sekaligus juga untuk memberikan jaminan
keamanan serta perlindungan hak-hak dasar yang telah dianugerahkan oleh
Allah.3
Dengan demikian maka Rasulullah saw telah memulai tradisi baru
dalam pandangan perempuan, diantaranya adalah:
1. Pertama, beliau melakukan perombakan besar-besaran terhadap cara
pandang (world view) masyarkat Arab yang pada waktu itu di dominasi
oleh cara pandang masyarakat ear Firaun. Di mana latar historis yang
menyertai konstruk masyarakat ketika itu adalah bernuansa misoginis.
Salah satu contohnya adalah kebiasaan Rasulullah saw yang dipandang
spektakuler pada waktu itu adalah seringnya Rasulullah saw
menggendong puterinya (Fatimah az-Zahra) didepan umum. Kebiasaan
Rasulullah pada waktu itu dinilai tabu oleh tradisi masyarakat Arab, apa
yang telah dilakukan Rasulullah saw tersebut ini adalah merupakan
proses pembentukan wacana bahwa laki-laki dan perempuan tidak boleh
dibeda-bedakan (sama).
2. Kedua, Rasulullah saw memberikan teladan yang baik (Muasyarah bi al-
Makruf) terhadap perempuan di sepanjang hidupnya, yakni beliau tidak
pernah sedikitpun melakukan kekerasan terhadap istri-istrinya sekalipun
satu sama lainnya berpeluang untuk cemburu. Di dalam menkonstruk
masyarakat Islam, Rasulullah melakukan upaya-upaya yang mengangkat

3 Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan


Persoalan Gender dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Setia,2002). Hal. 40
7

harkat dan martabat perempuan, melalui perbaikan (revisi) terhadap


tradisi jahiliyah.
Hal inilah merupakan proses pembentukan konsep dan kesetaraan
gender dalam hukum Islam, yang diantaranya adalah: perlindungan hak
perempuan melalui hukum, perbaikan hukum keluarga (hak menentukan
jodoh, mahar, waris, pengajuan talak, dsb.), diperbolehkannya mengakses
peran-peran publik, mempunyai hak men-tasaruf-kan hartanya sebagai
symbol kemerdekaan dan kehormatan bagi setiap orang, perombakan aturan
tersebut menujukkan bahwa penghargaan Islam terhadap perempuan telah
dilakukan pada masa Rasulullah SAW masih hidup, di saat citra Islam dalam
tradisi Arab jahiliyah masih sangat rendah.
Di samping itu pula Islam juga mengatur tentang kesetaraan gender,
bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan
dalam bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling terhormat.
Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan
menerima petunjuk.
Oleh karena itu Al-Quran tidak mengenal pembedaan antara laki-
laki dan perempuan karena dihadapan Allah SWT, laki-laki dan perempuan
mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Demikian pandangan Islam
menempatkan wanita pada posisi yang terhormat. Sehingga, apapun
peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum
profesional, dan lain-lain mereka itu terhormat sejak kecil hingga usia lanjut.
Dari sinilah dapat kita pahami bagaiman Islam muncul pada situasi
seperti ini, di mana pribadi pembawa risalahnya pun hanya mempunyai satu
anak perempuan (yang hidup), padahal kita ketahui mempunyai anak
perempuan pada masa itu adalah keterhinaan, kalau kiat kaji lebih dalam
lagi, pasti ada rahasia di balik semua itu, yakni untuk mengangkat derajat
kaum perempuan dan merubah kultur, dari kultur jahiliyah menjadi kultur
Islami. Islam menggabungkan antara teori dan praktek, sekaligus. Islam
mengajarkan bagaimana memandang dan memperlakukan perempuan.
Kemudian Rasulullah mempraktekkannya, sehingga terwujud keutuhan dan
keselarasan di antara keduanya.
8

B. Problem-problem Sensitif Gender dalam Pendidikan

1. Problematikan Gender dalam pendidikan


Dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 dinyatakan bahwa Tiap-tiap
warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Walaupun pernyataan
pasal tersebut mengandung arti bahwa baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai hak yang ama dalam mengecap pendidikan formal, namun
dalam kenyatannya masih ada anggapan yang menghambat wanita untuk
tidak ikut serta dalam pendidikan formal.

Isu gender dalam pendidikan masing-masing


berkaitan dengan tiga permasalahan pokok, yakni
diantaranya:4

1. Isu gender berkaitan dengan pemerataan kesempatan


belajar

Isu gender yang berkaitan dengan pemerataan


kesempatan belajar pada setiap jenjang pendidikan yakni:

a. Perolehan kesempatan pendidikan pada awal 1970-


an menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang
pendidikan semakin lebar kesenjangan menurut
gender. Pola ini berubah pada waktu-waktu terakhir
(2001) di mana kesenjangan gender paling besar
terjadi pada pendidikan dasar dan tinggi tetapi
lebih seimbang pada SLTP dan pendidikan
menengah.
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan
gender di SD lebih disebabkan oleh faktor-faktor
struktural, yaitu perilaku masyarakat yang
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan

4 Sulistyo Rini, http://culieztyorinie.blogspot.co.id/, Diakses pada tanggal 14 Mei


2017.
9

ekonomi keluarga, yang lebih mementingkan


pendidikan anak laki-laki ketimbang anak
perempuan.
2. Isu gender berkaitan dengan proses pengelolaan
pendidikan dan pembelajaran

Isu gender berkaitan dengan permasalahan


kesenjangan gender berkaitan dengan proses
pengelolaan pendidikan dan pembelajaran adalah
sebagai berikut:

a. Kurikulum dan buku ajar yang belum berlandaskan


pada peran gender secara seimbang akan
menyebabkan perempuan tidak mempunyai
mentalitas sebagai warga masyarakat yang
produktif.
b. Pengaruh sosio-kultur masyarakat Indonesia masih
menempatkan perempuan dalam posisi yang
kurang strategis dalam mengambil keputusan di
bidang pendidikan dan pembelajaran.
c. Rendahnya angka partisipasi perempuan dalam
pendidikan akan mengakibatkan pendidikan
menjadi kurang efisien.
3. Isu gender berkaitan dengan pengelompokan siswa
atau mahasiswa

Isu gender berkaitan dengan pengelompokan siswa


atau mahasiswa dalam bidang kejuruan, jurusan
keahlian dan program studi pada pendidikan
menengah dan tinggi adalah sebagai berikut:

a. Dalam pembagian jurusan dan program studi telah


memunculkan gejala pemisahan gender (gender
segregation) ke dalam bidang keahlian dan
pekerjaan yang berlainan. Ini adalah gejala
10

diskriminasi gender secara sukarela (voluntarily


discrimination). Hal ini muncul karena kondisi sosio-
kultur masyarakat terhadap peran-peran gender
yang sudah terlembagakan.
b. Penjurusan pada pendidikan menengah dan tinggi
menunjukkan masih terdapatnya stereotipe dalam
pendidikan di Indonesia.
c. Terjadinya diskriminasi gender dalam jurusan-
jurusan atau program studi tertentu akan
mengakibatkan tidak berkembangnya pola
persaingan sehat menurut gender.
d. Mentalitas para pengelola dan pelaksana
pendidikan yang masih dominan laki-laki cenderung
akan mempertahankan kesenjangan gender dalam
waktu yang lama.
Rendahnya kualitas pendidikan diakibatkan oleh
adanya diskriminasi gender dalam dunia pendidikan.
Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan
yaitu:5
a. Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah
fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya,
banyak sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun
untuk jenjang pendidikan selanjutnya seperti SMP dan
SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki
sekolah tingkat SMP dan seterusnya, hingga banyak
siswa yang harus menempuh perjalanan jauh untuk
mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih
tradisional, umumnya orang tua segan mengirimkan
anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab
itu banyak anak perempuan yang terpaksa tinggal di

5 Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta:


Teras, 2009), hlm. 54
11

rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang


banyak dibebankan pada anak perempuan membuat
mereka sulit meninggalkan rumah. Akumulasi dari
faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak
yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
b. Partisipasi
Aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya
faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam
masyarakat kita di Indonesia, dimana terdapat
sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan
tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali
anak perempuan agak terhambat untuk memperoleh
kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan
formal. Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-
sumber pendanaan keluarga terbatas, maka yang
harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki.
Hal ini umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak
apabila sudah dewasa dan berumah-tangga, yaitu
bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan
pencari nafkah.
c. Manfaat dan penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf
di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan. Data
BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk
buta aksara usia 10tahun ke atas sebanyak
15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya
atau 67,85persen adalah perempuan.
Pendidikan tidak hanya sekedar proses
pembelajaran, tetapi merupakan salah satu
narasumber bagi segala pengetahuan karenanya ia
instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang
12

berkaitan dengan isu gender.6 Dengan demikian


pendidikan juga sarana sosialisasi kebudayaan yang
berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam kehidupan dalam
kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid,
dan murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas
pada saat pelajaran berlangsung maupun saat
istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang
terbangun selama ini. Selain itu penataan tempat
duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan upacara
tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu
ditempatkan dalam posisi yang lebih menentukan,
misalnya memimpin organisasi siswa, ketua kelas,
diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan
kesempatan bertanya dan mengemukakan pendapat.
Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul
dalam proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Idris, semakin rendah tingkat
pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam
pengupahan. Bahkan dari angka statistik menunjukkan
perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan
39,54%, dimana kesenjangan gender dalam
pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68% untuk
laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.7

2. Kesetaraan Gender dalam Pendidikan


Keadilan dan kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan
dan misi utama peradaban manusia untuk mencapai
kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan

6 Achmad Muthiain, Bias Gender dalam Pendidikan, (Surakarta: UMS, 2001),


hlm. 59

7 Acee Suryadi, Ecep Idris, Kesetaraan Gender dalam bidang Pendidikan,


(Jakarta: PT Genesindo, 2004)
13

bermasyarakat, bernegara dan membangun keluarga


berkualitas. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi
bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar
mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan
pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan
gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan
dan laki-laki. Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar
untuk terjadinya diskriminasi mengenai hak sosial,
budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin
tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender, ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka
memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol
atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan.
Dalam memenuhi kesetaraan dan keadilan gender
diatas, maka pendidikan perlu memenuhi dasar
pendidikan yakni menghantarkan setiap individu atau
rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
pendidikan kerakyatan. Ciri-ciri kesetaraan gender dalam
pendidikan adalah sebagai berikut:
Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam
pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi,
sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.8

8 Eni Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan


Islam, (Surabaya: Alpha, 2005), Hal. 30.
14

a. Adanya pemerataan pendidikan yang tidak mengalami


bias gender.
b. Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan bakat
dan minat setiap individu.
c. Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan
dengan tuntutan zaman.
d. Individu dalam pendidikannya juga diarahkan agar
mendapatkan kualitas sesuai dengan taraf
kemampuan dan minatnya.

Pendidikan berusaha menumbuh kembangkan


seluruh potensi individu dalam mempersiapkan kehidupan
yang mulia di tengah-tengah masyarakat. pendidikan
merupakan proses dinamis dan berkesinambungan yang
meliputi semua aspek kehidupan secara individu maupun
kolektif di masyarakat.Pendidikan dalam pengertian
menyeluruh bertemu dan berjalin dengan konsep-konsep
dan proses belajar, pertumbuhan, interaksi, penyerapan
pengalaman, adaptasi, kondisi psikologis, dan perubahan
sosial yang dapat mengubah tingkah laku individu dan
kehidupan masyarakat. pendidikan mengantarkan manusia
menuju keutuhan dan kesempurnaan secara berproses
dalam semua aspek (intelektual, spiritual, emosional, dan
sosial) untuk kehidupan dunia dan akhirat.
Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur
utama dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk
atau konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki
andil bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan harus
menyentuh kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman.
Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan
kualifikasi tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.

3. Upaya Penanggulangan Dampak Negatif dari Bias


Gender dalam Pendidikan
15

Upaya untuk mengatasi bias gender dalam pendidikan


yang dapat dilakukan sebagai berikut:9
a. Reintepretasi ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang bias
gender dilakukan secara kontinu (sudut pandang Islam).
b. Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan
dikotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian
pula kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan,
keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai
dengan kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai
dari tingkat pendidikan Taman Kanak-Kanak sampai ke
tingkat Perguruan Tinggi.
c. Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan
informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di
tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten
disesuaikan dengan kebutuhan daerah.

Contoh langkah kongkrit yang bisa diambil:

a. Kemendiknas, Kemenag dan Kementerian


Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPPA) mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang
terfokus pada penghapusan disparitas rasio gender
untuk indikator pendidikan pada semua jenjang
pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota,
serta memperkuat pelaksanaan pengarusutamaan
gender di semua tingkatan di bidang pendidikan.
b. Kemendiknas mengkaji kemajuan yang dicapai dalam
pelaksanaan Peraturan Menteri No. 84/2008 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat
sekolah dan kabupaten/kota dan untuk memperkuat
pelaksanaan Keputusan Menteri yang bertujuan
mencapai pendidikan yang responsif gender dengan

9 Ibid, hal. 36
16

pengembangan kapasitas di semua tingkatan dalam


sistem pendidikan.
c. Kemendiknas dan Kemenag melakukan penilaian
terhadap sejumlah sekolah sampel di beberapa lokasi
geografis yang berbeda tentang cara-cara
pengintegrasian kebijakan gender dalam rencana dan
pelaksanaan manajemen sekolah.
d. Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dengan
menggunakan perspektif gender, Peraturan Pemerintah
tentang Anggaran propinsi dan kabupaten/kota, dan
Peraturan Kemendagri No. 13/2006 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan No.
119/2009 tentang Anggaran responsif gender.
e. Kemendiknas dan Kemenag memberikan lebih banyak
perhatian pada propinsi yang belum berhasil dalam
menurunkan rasio paritas gender, transisi dan angka
putus sekolah, dengan membuat rancangan strategi
berdasar kebutuhan yang ada, dengan
memperhitungkan faktor-faktor dasar yang
berkontribusi terhadap rendahnya pencapaian indikator
di propinsi dan kabupaten/kota.
f. Kemendiknas mempercepat program pelatihan yang
ada untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan data
terpilah berdasar gender, analisa dan perencanaan dan
penganggaran responsif gender di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota untuk indikator tertentu.
g. Mempercepat program yang ada yang terkait akses
pendidikan dan memprioritaskan propinsi yang memiliki
kesenjangan paritas gender yang signifikan dalam
indikator pendidikan. Ini termasuk Program Sekolah
Satu Atap (gabungan SD dan SMP), Sekolah Kecil,
Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil dan
program Bantuan Langsung Tunai Bersyarat.
17

Meningkatkan cakupan dan kualitas program


pemerataan (Paket A, B dan C), khususnya jika
disparitas rasio gender terjadi pada angka putus
sekolah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan
berkualitas. Perlu juga dilakukan kajian untuk melihat
efektifitas skema yang digunakan untuk mengatasi
kesenjangan gender.
h. Mengembangkan kebijakan dan mensinkronisasinya di
tingkat nasional, daerah dan sekolah untuk memastikan
bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu
muda bisa melanjutkan pendidikan. Melaksanakan
kampanye untuk membangun kesadaran akan
pentingnya mengurangi insiden pernikahan dini dan
mendorong kelangsungan pendidikan bagi laki-laki, dan
apalagi perempuan, yang menikah dini.
i. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK perlu
mengkaji kurikulum pelatihan guru untuk memperbaiki
penyusunan materi dan keterampilan mengajar
sehingga responsif gender.
j. Kemendiknas dan Kemenag mengkaji dan
meningkatkan penyediaan buku teks pelajaran yang
peka gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk
teks, gambar dan akses yang sama terhadap kegiatan
ekstra-kurikuler olahraga, seni dan sains.
k. Kemendiknas memastikan mekanisme pembiayaan
pendidikan bersifat responsif gender. Misalnya, ketika
membiayai infrastruktur dan rehabilitasi sekolah baru,
dan merancang bangunan sekolah, maka harus
memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan perempuan.
Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi yang
terpisah dan memadai bagi perempuan, untuk
keperluan terkait menstruasi.
18

l. Kemendiknas dan Kemenag merumuskan kebijakan


yang jelas, yang mengatur penempatan laki-laki dan
perempuan yang memenuhi kualifikasi di semua
kegiatan pendidikan (termasuk pendidikan Islam),
terutama dalam posisi kepemimpinan, manajemen, dan
akademik di semua tingkatan pendidikan (sistem
sejenis sudah terlaksana di lapangan dengan adanya
perwakilan dalam partai politik dan parlemen).

C. Implikasi Gender terhadap Pengembangan Pendidikan


Pada mulanya, gender yang merupakan hasil pemikiran
manusia atau rekayasa manusia sehingga melahirkan
perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan.
Perbedaan tersebut tidak ditentukan karena keduanya
terdapat perbedaan biologis atau kodrat, melainkan
dibedakan menurut kedudukan, fungsi, dan peranan masing-
masing dalam berbagai kehidupan dan pembangunan. 10 Hal
itu pula lah yang menimbulkan kesenjangan diantara
keduanya, sehingga seolah-olah laki-laki menjadi pemeran
utama dalam segala aspek kehidupan. Namun, kemajuan
peradaban yang terjadi sekarang ini turut membawa
kedudukan wanita berada di garis depan. Hal ini tak lepas
dari perjuangan emansipasi yang menuntut keadilan bahwa
perempuan mempunyai kesempatan yang sama seperti
halnya laki-laki.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam pengembangannya,
pendidikan tak lepas dari hal utamanya, yakni pendidikan
merupakan sebuah wahana untuk memberikan kebebasan
pada anak untuk membangun kehidupan mereka sendiri,

10 Dwi Narwoko dan Bagong Yuryanto, Sosiologi Teks Pengantar


dan Terapan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004) Hal.
334
19

bukan untuk menjadi sasaran orang dewasa untuk masa


depan mereka. Fungsi pendidikan itu sendiri adalah: (1)
mengajarkan nilai-nilai prestasi, universal, dan peran yang
cocok bagi dunia kerja; (2) melatih keterampilan khusus dan
cocok bagi dunia kerja; (3) menjamin seleksi yang tepat dan
pembagian tugas pada peran kerja sesuai nilai guna; (4)
mengembangkan masyarakat demokrasi; dan (5)
mengembangkan stabilitas sosial dengan teman sebaya dan
keluarga.11 Namun demikian, dalam kenyataannya pendidikan
merupakan salah satu penghambat kebebasan berfikir
peserta didik. Hal itu dikarenakan pendidikan merupakan alat
reproduksi kelompok dominan, sehingga melahirkan suatu
fenomena yang menunjukkan adanya konflik kepentingan
antara hubungan kekuasaan yang menciptakan struktur
identitas seseorang. Bias gender dalam pendidikan, baik
pendidikan formal maupun pendidikan non formal merupakan
fenomena konkret yang terjadi di berbagai lapisan
masyarakat.
Pada prinsipnya pendidikan bertujuan untuk membentuk
sifat-sifat positif dalam diri manusia. Namun kenyataannya,
beberapa sistem pendidikan justru membentuk perilaku dan
kebiasaan negatif yang melahirkan ketidakadilan terhadap
wanita. Ketidakadilan tersebut terjadi sebagai akibat adanya
ketidakseimbangan hubungan antara laki-laki dan wanita.
Misalnya pola pendidikan dalam keluarga yang menerapkan
pola patriarkhi (pola pendidikan yang menggambarkan
dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam
keluarga).
Permasalahan tersebut bisa terjawab dengan adanya
pembangunan. Pembangunan dalam segala aspek, terutama

11 Umi Sumbulah, Spektrum Gender, (Malang: UIN Malang Press,


2008), Hal. 169
20

dalam bidang pendidikan. Pembangunan itu sendiri


merupakan suatu proses untuk mencapai kemajuan. Dalam
hal pendidikan, pembangunan itu bisa dilakukan dengan
mencanangkan sebuah paradigma baru mengenai pendidikan
berperspektif gender di sekolah. Jika sekolah memilih jalan untuk tidak
sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-
pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman, maka
menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya
ketidakadilan gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-
kesadaran palsu yang berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus
bersikap kritis dan mengajak masyarakat sekolah dan masyarakat di
sekitarnya untuk mengubah/membongkar kepalsuan-kepalsuan tersebut
sekaligus mentransformasikannya menjadi praktik-praktik yang lebih
berpihak kepada keadilan sesama, terutama keadilan bagi kaum perempuan.
1. Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam suatu institusi pendidikan, kita
tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi belaka, tetapi
seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat dari
pengamatan, penelitian dianalisis kiritis terhadap lembaga sekolah. Data-
data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan
mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-
perubahan yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada
elemen-elemen yang biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau
lembaga seperti misalnya: ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem
nilai yang dikembangkannya, struktur-struktur yang dibangun, gaya
manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan, pengaturan/tata ruang
kantornya, ungkapan-ungkapan, hubungan kekuasaaan, lambang-lambang
yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana
lembaga sekolah tergenderkan.
2. Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru harus diupayakan mendapatkan akses terhadap dasar-dasar
pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu, untuk membukakan
pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Jika guru/pendidik
sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender, maka
21

komitmen yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun


pendidikan gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila guru memiliki sensitivitas gender maka akan memiliki
itikad untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender dengan
sendirinya, melalui proses pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal
dan dalam perlakuan di kelas.12
3. Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode pembelajaran yang pada umumnya
dilakukan oleh sekolah adalah metode pembelajaran yang lebih
menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan adanya
penerimaan imu secara bulat (taken forgranted) yang tak terbantahkan,
yang memberi ruang gerak yang sempit bagiadanya dialog dan diskusi
kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan problematik-
problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog dan
diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas
tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan
kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-
konsep penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para
siswa.
4. Bahasa
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam pendidikan
peka gender, karena di dalam bahasa, lewat pilihan kata, tekanan-tekanan,
konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan dalam komunikasi baik
tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas pada
bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh seperti cara
bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau mengerling
menyiratkan makna yang mengandung muatan gender. Menyepelekan
peran bahasa dalam pendidikan peka gender sama dengan mengabaikan
unsur penting dalam pendidikan.

D. Peran Pendidikan dalam Gender


Pendidikan berusaha menumbuh kembangkan seluruh
potensi individu dalam mempersiapkan kehidupan yang mulia

12 Elfi Muawanah, Pendidikan Gender dan Hak Asasi Manusia..., Hal. 57


22

di tengah-tengah masyarakat. pendidikan merupakan proses


dinamis dan berkesinambungan yang meliputi semua aspek
kehidupan secara individu maupun kolektif di
masyarakat.Pendidikan dalam pengertian menyeluruh
bertemu dan berjalin dengan konsep-konsep dan proses
belajar, pertumbuhan, interaksi, penyerapan pengalaman,
adaptasi, kondisi psikologis, dan perubahan sosial yang dapat
mengubah tingkah laku individu dan kehidupan masyarakat.
pendidikan mengantarkan manusia menuju keutuhan dan
kesempurnaan secara berproses dalam semua aspek
(intelektual, spiritual, emosional, dan sosial) untuk kehidupan
dunia dan akhirat.
Pendidikan tidak hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama
dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau
konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi
terbentuknya relasi gender di masyarakat. Pendidikan harus menyentuh
kebutuhan juga harus relavan dengan tuntutan zaman. Perempuan dalam
pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi tersebut sesuai
dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Departemen Pendidikan Nasional berupaya menjawab isu tersebut
melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah terakomodasi dalam
kurikulum 2004 tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam bahan ajar
terutama isu gender meskipun pada kenyataannya masih membawa dampak
bias gender dalam masyarakat yang berakibat pada kurang optimalnya
sumber daya manusia yang optimal yang unggul disegala bidang tanpa
memandang jenis kelamin.13
Dengan demikian, pendidikan seharusnya memberikan mata pelajaran
yang sesuai dengan bakat minat setiap individu, khususnya adalah
perempuan. Materi dalam kurikulum pendidikan tidak hanya diarahkan pada
pendidikan agama dan ekonomi rumah tangga, melainkan juga masalah
pertanian dan ketrampilan lain. Pendidikan dan bantuan terhadap perempuan

13 Siswanto, Bias Gender dalam Pendidikan,


http://paksisgendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-dan-pendidikan.pdf
23

dalam semua bidang akan menjadikan nilai besar dalam kehidupan. Hal
demikian juga merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan
atau kesetaraan gender yang sesungguhnya.

E. Analisis Penyusun

Permasalahan yang sering terjadi dalam gender, dalam


sebagian besar literatur yang kami ketahui mencakup tiga
hal, meskipun terkadang pengungkapannya sedikit berbeda.
Yang pertama adalah akses, dimana dalam hal ini seringkali
perempuan hanya mendapat kesempatan yang sedikit dalam
mengakses pendidikan. Apalagi pada era tahun 90 an, peran
perempuan masih dibawah laki-laki meskipun tidak terlalu
parah. Tetapi tetap saja anggapan perempuan dibawah laki-
laki itu sudah anggapan yang biasa. Baru pada tahun 2000
an keatas, kiprah perempuan mulai terlihat dalam berbagai
lini. Mulai dari pendidikan, kedudukan sosial maupun politik.
Karena akses yang sudah mulai mudah didapat. Yang kedua
adalah partisipasi, seperti yang sudah saya paparkan diatas,
bahwasannya perempuan mendapat sedikit akses pada era
90 an, demikian juga dalam hal partisipasi. Bias gender
masih terlihat jelas, ini terbukti dengan mendahulukan
menyekolahkan laki-laki daripada perempuan, karena
anggapan bahwa laki-laki lebih bisa diandalkan daripada
perempuan. Dan yang terakhir dalam manfaat dan
penguasaan, dalam survei yang dilakukan pemerintah
terdapat banyak selisih hasil dari survei yang menunjukkan
buta huruf lebih banyak dialami oleh perempuan daripada
laki-laki. Tetapi menurut saya sendiri, permasalahan biar
gender masih ada dalam kehidupan sehari-hari baik disadari
atau tidak, baik dilakukan secara sukarela atau tidak.
Meskipun tidak terlalu menonjol, ini dibuktikan dengan akses
yang sudah mudah dalam mengenyam pendidikan,
24

kedudukan sosial juga dalam hal berpolitik. Tetapi juga masih


ada yang menganggap bila perempuan berkiprah yang
sering dilakoni laki-laki pasti terlihat saru. Juga dalam
kepemimpinan masih seringkali kemampuan perempuan
dianggap sebelah mata. Tetapi terlepas dari itu,
perkembangan yang sudah terjadi dari era 90 an dampai
sekarang bisa dibilang pesat, karena sekarang perempuan
sudah bisa masuk ke berbagai lini. Termasuk yang berkaitan
dengan pendidikan, mulai dari proses penyusunan kurikulum
sampai penerapannya.

Dan dalam rangka mencapai kesetaraan gender


khusunya dibidang pendidikan, perlu upaya-upaya yang
memenuhi dasar pendidikan yakni menghantarkan setiap
individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa
disebut pendidikan kerakyatan. Pendidikan dengan perlakuan
dan kesempatan yang sama pada setiap jenis kelamin.
Dengan pemerataan pendidikan yang tidak bias gender,
Pendidikan dapat menumbuh-kembangkan seluruh potensi
individu dalam mempersiapkan kehidupan yang mulia di
tengah-tengah masyarakat. Karena pendidikan tidak hanya
dianggap sebagai unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa, melainkan
juga sebagai produk, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil
bagi terbentuknya relasi gender di masyarakat.

Selain itu, terdapat berbagai upaya untuk mensukseskan kesetaraan


gender dalam pendidikan. Dan dalam islam sendiri sudah dijelaskan
bahwasannya kedudukan laki-laki sama halnya dengan perempuan.
Meskipun ada beberapa ayat yang masih bias gender, tetapi melalui
reinterpretasi diharapkan dapat mengubah pemahaman yang kelitu mengenai
masalah yang menyangkut biar gender. Juga dengan memberlakukan
kurikulum yang tidak dikotomis dalam artian kurikulum berbasis gender,
mulai dari TK sampai dengan perguruan tinggi. Juga dengan
25

memberdayakan kaum perempuan agar mempunyai kemampuan yang lebih


lagi dalam sektor informal.

Dan hal tersebut, tidak pernah terlepas dari peran pendidikan, karena
dengan pendidikan lah ketidakadilan gender tesebut dikritisi. Sesuai dengan
tujuan pendidikan di Indonesia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,
maka dengan pendidikan pula melahirkan pemikiran-pemikiran bahwa
perempuan memiliki kesempatan yang sama. Tidak hanya itu, perempuan
dalam hal pendidikannya juga diarahkan untuk dapat menempuh pendidikan
setinggi-tingginya sesuai minat dan kompetensinya.
26

BAB III
KESIMPULAN

Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan


peran, fungsi, status dan tanggungjawab pada laki-laki dan
perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial
budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Dalam Islam, laki-laki dan
perempuan ditempatkan pada posisi yang setara untuk kepentingan dan
kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat.
Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan
yaitu: (1) Akses, yaitu fasilitas pendidikan yang sulit dicapai;
(2) Aspek partisipasi adalah dimana tercakup di dalamnya
faktor bidang studi dan statistik pendidikan; (3) Manfaat dan
penguasaan; pendidikan tidak hanya sekedar proses
pembelajaran, tetapi merupakan salah satu narasumber
bagi segala pengetahuan.
Implikasi gender terhadap pengembangan pendidikan,
yakni: Jika sekolah memilih jalan untuk tidak sekadar menjadi pengawet
atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru pikiran-pikiran yang produktif
dengan berkolaborasi dengan kebutuhan zaman, maka menjadi salah satu
tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan gender
yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang
berkembang dalam masyarakat.
Sementara, peran pendidikan dalam gender adalah pendidikan tidak
hanya dianggap dan dinyatakan sebagai unsur utama dalam upaya
pencerdasan bangsa, melainkan juga sebagai produk atau konstruksi sosial,
maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi terbentuknya
relasi gender di masyarakat.
27

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Ikhwan. 2002. Perempuan dan Kekuasaan Menelusuri Hak Politik dan
Persoalan Gender dalam Islam. Jakarta: Pustaka Setia.
Maksum, Ali. 2014. Sosiologi Pendidikan. Surabaya: CV. Cahaya
Intan

Muawanah, Elfi. 2009. Pendidikan Gender dan Hak Asasi


Manusia. Yogyakarta: Teras.

Muthiain, Achmad. 2001. Bias Gender dalam Pendidikan.


Surakarta: UMS.

Narwoko, Dwi dan Yuryanto, Bagong. 2004. Sosiologi Teks


Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.

Nugroho, Riant. 2008. Gender dan Pengarus Utamaannya di


Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Purwati, Eni dan Asrohah, Hanun. 2005. Bias Gender dalam Pendidikan Islam.
Surabaya: Alpha.
Sumbulah, Umi. 2008. Spektrum Gender. Malang: UIN Malang

Suryadi, Acee dan Idris, Ecep. 2004. Kesetaraan Gender dalam


bidang Pendidikan. Jakarta: PT Genesindo.

http://culieztyorinie.blogspot.co.id/

http://paksisgendut.files.wordpress.com/2009/02/gender-dan-pendidikan.pdf

Anda mungkin juga menyukai