Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang disebkan oleh kelainan
lokal local pada hidung atau kelainan sistemik. Penyebab lokal dapat diakibatkan
oleh sinusitis kronis, benda asing, iritan, dan trauma. Penyebab sistemiknya dapat
disebabkan oleh hipertensi, leukemia, sirosis hati dan Dengue Hemorrhagic Fever.
Terdapat dua sumber perdarahan pada epistaksis yaitu pada bagian anterior, dari
pleksus Kiesselbach (little area) dan pada bagian posterior yang berasal dari arteri
sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-80 tahun, sering
dijumpai pada musim dingin dan kering. Di Amerika Serikat angka kejadian
epistaksis dijumpai 1 dari 7 penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara
laki-laki dan wanita. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan
dewasa muda, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat
penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.5,6
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.5
1.1 Tujuan
Tujuan dari referat ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi,
patoogenesis, diagnosis, tatalaksana, pencegahan dan komplikasi dari epitaksis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 Anatomi Hidung
2
kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise.1
Setiap cavum nasi mempunyai dinding medial, dinding lateral, inferior dan
superior. Dinding medial adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang terdiri dari lamina perpendikularis os etmoid, vomer, Krista
nasalis os maksila dan nasalis os palatine (Gambar 2), sedangkan bagian tulang rawan
terdiri dari kartilagoseptum dan kolumela. Pada dinding lateral terdapat 3 konka yaitu
konka inferior, konka media dan konka superior.1,3
3
Dinding inferior rongga hidung merupakan dasar rongga hidung yang
dibentuk oleh os maksila dan os palatum. Dinding superior dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. Lamina
kribrosa merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid dan merupakan tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius.
Perdarahan hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna yaitu arteri palatine mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian atas rongga hidung mendapat
perdarahan dari arteri etmoidalis anterior dan anterior yang merupakan cabang dari
arteri oftalmika yang berasal dari arteri carotis interna, sedangkan bagian depan
hidung mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri fasialis.1
4
Gambar 3. Perdarahan Hidung 4
2.2 Epitaksis
2.2.1 Definisi
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang disebabkan oleh kelainan
lokal lokal pada hidung, kelainan sistemik dan pada beberapa kasus idiopatik.
seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain.5
2.2.2 Epidemiologi
Insiden epitaksis sulit ditentukan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar
kasus tidak dilaporkan. Epitaksis sering terjadi pana anak (2-10 tahun) dan pada usia
lanjut (50-80 tahun). Di Amerika Serikat angka kejadian epistaksis dijumpai 1 dari 7
penduduk. Tidak ada perbedaan yang bermaknaantara laki-laki dan wanita. Epistaksis
bagian anterior sangat umum dijumpai pada anak dan dewasa muda, sementara
epistaksis posterior sering pada orang tua dengan riwayat penyakit hipertensi atau
arteriosklerosis.6
5
2.2.3 Etiologi dan patogenesis
Epitaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung, kelainan sistemik
atau idiopatik. Kelainan lokal berupa 5 :
1. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan, misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin, mengeluarkan ingus terlalu keras atau sebagai akibat
trauma yang lebih hebat seperti pukulan dan kecelakaan.
3. Infeksi lokal
Epitaksis dapat terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal sperti rhinitis
dan sinusitis. Dapat juga terjadi pada infeksi spesifik di hidung seperti rhinitis
jamur, tuberculosis, lupus, sifilis dan lepra.
4. Tumor
Epitaksis dapat timbul karena hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering
terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epitaksis berat.
5. Benda asing
1. Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dank elainan pembuluh darah seperti arteriosklerosis, nefritis
kronik, sirosis hepatis dan diabetes mellitus dapat menyebabkan epitaksis.
2. Kelaianan darah
Kelaianan darah yang menyebabkan epitaksis adalah leukemia,
trombositopenia, dan hemophilia.
6
3. Infeksi sistemik
Infeksis sistemik yang dapat menyebabkan epitaksis adalah dengue
hemorrhagic fever. Serangan kedua oleh virus dengue dengan serotype
berbeda akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun antigen dan
antibody. Komleks antigen dan antibody akan mengaktifkan complemen dan
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah, virus secara langsung dapat
menyebabkan agregasi trombosit dan pemecahan trombosist pada sistem
retikuloendotel ditingkatkan. Trombositopenia dan kerusakan dindin
pembuluh darah dapat menyebabkan terjadinya epitaksis.
5. Kelaianan kongenital.
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epitaksis adalah teleangiktasis
hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-
Weber Disease) dan Von Wilenbrand disease).
6. Obat-obatan
Obat-obatan yang dapat menyebabkan terjadinya epitaksis adalah
kortikosteroid dan aspirin. Kortikosteroid dapat menyebabkan iritasi pada
mukosa hidung, sedangkan aspirin menghambat terjadinya agregasi trombosit
dengan menghambat pembentukan tromboksan.6
7
2.2.4 Klasifikasi Epitaksis
1. Epitaksis anterior
2. Epitaksis posterior
Epitaksis posterior dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri
sfenopalatina. Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri.
Sering ditemukan pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskular seperti
hipertensi dan arteriosklerosis.
2.2.5 Diagnosis
8
hidung dan alat penghisap. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan penunjang
laboratorium yaitu pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hemostatis.12
9
sementara. Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan
dilakukan evaluasi.5
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan.5
b. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan
konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.
c. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma.
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan
yang mendasari epistaksis.
10
Pemeriksaan Penunjang
Tes laboratorium tertentu bermanfaat dalam mengevaluasi pasien epistaksis.
Tes diagnostik seharusnya mencakup sel darah lengkap untuk memantau derajat
perdarahan dan apakah pasien anemia. Jika ada kemungkinan koagulopati sistematik,
maka harus dilakukan pemeriksaan pembekuan darah. Jika pemeriksaan ini abnormal,
maka harus dilakukan konsultasi yang tepat. Terakhir jika massa terlihat pada
pemeriksaan, maka harus dilakukan CT scan untuk menggambarkan luas lesi ini.13
2.2.6 Penatalaksanaan
Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC, yakni :8
11
Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya. Cavum nasi
diinspeksi dengan pemeriksaan rinoskopi anterior atau nasoendoskopi`dengan diikuti
dengan pemberian dekongestan dan anestesi lokal pada mukosa. Pada kebanyakan
kasus sumber perdarahan berasal dari pleksus Kiesselbach. Kasus epistaksis menjadi
sulit ketika sumber perdarahan berasal dari posterior cavum nasi.5,9
Alat-alat yang perlu disiapkan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum
hidung, dan alat pengisap. Anamnesis yang lengkap sangat membantu dalam
menentukan sebab perdarahan.5
Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir
keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Posisi pasien dipertahankan dalam
keadaan duduk dan postur tegak lurus untuk mengurangi aliran darah ke kepala dan
mencegah tertelannya darah. Jika keadaan pasien lemah, sebaiknya posisi pasien
setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan
sampai darah mengalir ke saluran napas bawah.5,9,10
Pasien anak duduk dipangku. Badan dan tangan anak dipeluk, kepala dipegangi
agar tetap tegak dan tidak bergerak-gerak.5
Menghentikan Perdarahan
Sumber perdarahan dicari dengan membersihkan hidung dari darah dan bekuan
darah dengan bantuan alat penghisap. Setelah itu dipasang tampon sementara yaitu
kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000-1/10.000 dan pantocain atau
lidocain 2% dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan
serta mengurangi rasa nyeri pada saat tindakan selanjutnya. Pastikan apakah pasien
mempunyai riwayat hipertensi atau tidak. Jika pasien mempunyai riwayat hipertensi
penggunaan adrenalin tidak dianjurkan. Tampon itu dibiarkan 10-15 menit. Setelah
itu terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari
anterior atau posterior hidung. Peanempatan ice bag pada punggung leher dinilai
mampu memberikan reflek vasokonstriksi.5,9,10
12
Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon
lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti
dengan sendirinya.5
13
Gambar 4. Kauterisasi dengan
larutan nitras argenti pada are
pleksu Kiessalbach.10
Bila dengan cara ini
perdarahan masih terus
berlangsung, maka diperlukan
pemasangan tampon anterior,
dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin atau salep
antibiotika. Tampon mudah dibuat
dari lembaran kasa steril
bervaselin, berukuran 72 x 0,5 inchi disusun dari dasar hingga atap hidung meluas
hingga keseluruh panjang rongga hidung. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon
berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan
ketika tampon dicabut. Suatu tampon hidung anterior harus memenuhi seluruh rongga
hidung. Tampon dipertahankan selama 2 x 24 jam dan setelah itu harus dikeluarkan
untuk mencegah infeksi. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan untuk mencari sebab
epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon baru.5
14
Gambar 5. Tampon pada perdarahan anterior.10
Gambar 6. Pemasangan tampon posterior. Tampak pada bagian leher terpasang ice
bag.9
Perdarahan Posterior
Perdarahan pada bagian posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan
hebat dan sumber perdarahan sulit dicari dengan rinoskopi anterior. Penting
menempatkan pasien dengan tepat. Kecuali hipovolemia, ia harus duduk tegak,
sehingga darah tidak menuju kembali ke tenggoroknya.5
15
keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior
supaya tampon tidak mudah bergerak. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan
secara longgar ke pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui
mulut setelah 2- 3 hari. Hati-hati dalam pencabutan tampon karena dapat terjadi
maserasi mukosa.5
Bila perdarahan berat pada kedua sisi misalnya pada kasus angiofibroma,
digunakan bantuan dua kateter masing melalui cavum nasi kiri dan kanan dan tampon
posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring.5
Sebagai pengganti Bellocq dapat digunakan kateter Folley dan balon. Beberapa
tahun terakhir telah ada pabrim yang membuat tampon posterior secara khusus.5
Tindakan Bedah
16
Pembedahan dilakukan pada kasus epistaksis berulang, namun beberapa
prosedur bedah untuk tindakan darurat untuk mengontrol kasus epistaksis berat
dilakukan untuk mencegah waktu perawatan yang lama sekaligus untuk
meningkatkan daya tahan pasien. Wong dan Vogel (1981) menemukan bahwa angka
kegagalan tindakan pembedahan lebih rendah ( 14% dibandingkan 26%),
menurunkan angka komplikasi (40% dibandingkan 68%) dan waktu perawatan di RS
menjadi 2,2% lebih rendah pada pasien dengan epistaksis posterior.11
17
ganglion sfenopalatina atau nervus Vidian, kerusakan pada nervus infrsorbita, fistula
oro-antral dan sinusitis.11
Ligasi arteri carotis eksterna dilakukan melalui insisi yang dibuat di sepanjang
garis anterior otot sternokleidomastoideus. Setelah dikenali 2 cabang arteri karotis
eksterna untuk mencegah terligasinya arteri karotis internal, arteri karotis eksternal
diligasi. Arteri diligasi dengan penuh kehati-hatian untuk mencegah perlukaan nervus
18
vagus, nervus laringeal superior, nervus hipoglossus, rantai nervus simpatis, atau
cabang mandibular nervus facial. Teknik ini sangat mudah dan anatomi daerah ini
cukup familiar. Kerugian prosedur ini karena kurang efektif dibandingkan ligasi
lainnya yang disebabkan lebih banyaknya aliran darah kolateral.11
Ligasi pada a.
etmoidalis
Angiografi selektif dapat digunakan sebagai alat diagnostik dan terapi untuk
mengontrol epistaksis. Embolisasi lebih efektif pada pasien dengan epistaksis yang
berulang setelah ligasi arteri, daerah perdarahn sulit untuk dicapai dengan bedah, atau
epistaksis yang disebabkan gangguan perdarahan sistemik. Setelah anatominya
dikenali, lokasi perdarahan di embolisasi dengan polyvinyl alcohol, partikel gel-foam,
atau kawat gulung. Prosedur ini dapat menyumbat pembuluh darah dekat dengan
daerah perdarahan sehingga dapat meminimalisasi kolateral. Prosedur in efektif
hanya ketika rata-rata perdarahan >0,5 ml/menit. Angka keberhasilan sekitar 90%
dengan angka komplikasi sekitar 0,1 %. Kerugiannya adalah arteri karotis eksterna
atau cabangnya dapat tersumbat dan menimbulkan komplikasi yang berat seperti
hemiplegi, paralisis nervus fasialis, dan nekrosis kulit.11
19
Septodermoplasty sering digunakan pada pasien dengan HHT, setelah
teleangiektasis pada mukosa nasal anterior diangkat dari setengah antreior septum,
dasar hidung, dan dinding lateral, kemudian diletakkan skin graft. Flap kulit,
myokutaneus atau mikrovaskuer dapat digunakan sebagai pengganti skin graft. Telah
didapatkan hasil eksperimen yang baik dari penggunaan autograft yang berasal dari
epitelial turunan mukosa buccal pasien. Pasien dapat mengalami epistaksis berulang
yang disebabkan pertumbuhan teleangiektasis ke dalam graft atau flap, namun
keparahan dan frekuensi perdarahan berkurang secara signifikan. Laser Neodymium-
yttrium-garnet (Nd-YAG) atau laser argon telah digunakan untuk fotokoagulasi lesi
epistaksis, terutama pada pasien dengan HHT. Penatalaksanaan kembali biasanya
dibutuhkan namun tingkat keparahan dan frekuensi perdarahan umumnya
meningkat.11
20
Gambar 9. Flow chart diagnosis dan penatalaksanaan epistaksis.9
21
2.2.7 Komplikasi dan Pencegahannya
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai
akibat dari usaha penanggulangan epistaksis. Akibat perdarahan yang hebat dapat
terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bawah, juga dapat menyebabkan syok,
anemia, dan gagal ginjal. Turunnya tekanan darah secara mendadak dapat
menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infark
miokard sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau
trans fusi darah harus dilakukan secepatnya.5
Pembuluh darah yang terbuka juga dapat berakibat terjadinya infeksi. Hal ini
perlu menjadi perhatian dan menjadi indikasi pemberian antibiotik.5
22
Pemeriksaan foto polos dan CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke
Penyakit Dalam atau Kesehatan Anak bila dicurigai kelainan sistemik.5
23
BAB III
KESIMPULAN
1. Epitaksis adalah perdarahan dari rongga hidung yang merupakan gejala atau
manifestasi klinis dari penyakit lain.
2. Epitaksis berdasarkan sumber dibagi atas epitaksis anterior dan epitaksis
posterior. Epitaksis anterior berasal dari pleksus kisselbach atau arteri
etmoidalis anterior, sedangkan epitaksis posterior berasal dari arteri etmoidalis
posterior atau arteri sfenopalatina.
3. Insiden Epitaksis sering terjadi pada anak usia 2-10 tahun dan usia lanjut 50-
80 tahun.
4. Etiologi dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan
sistemik. Kelainan lokal berupa trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh
darah, infeksi hidung, tumor dan bendang asing; sedangkan kelainan sistemik
berupa penyakit kardiovaskuler, kelainan darah dan kelainan kongenital
(kelainan pada faktor pembekuan darah).
5. Diagnosis pada pasien dengan epistaksis harus dilakukan dengan tepat dan
cermat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik yang adekuat. Anamnesis
yang dilakukan harus mampu mengarahkan kepada kemungkinan sumber
perdarahan dan sebab-sebab perdarahan. Pemeriksaan fisik yang tepat melalui
rinoskopi baik anterior ataupun posterior diharapkan mampu menemukan
sumber perdarahan secara cepat.
6. Penatalaksanaan epistaksis disesuaikan dengan lokasi sumber perdarahan.
Secara umum, kondisi vital pasien harus distabilkan misalnya melalui
pemasangan infuse. Posisi pasien harus dipertahankan tegak lurus atau
seminimalnya posisi kepala lebih tinggi agar tidak terjadi aspirasi dari
perdarahan yang terjado. Pada epistaksis anterior, penekanan hidung,
kauterisasi, ataupun pemasangan tampon anterior bisa menjadi tatalaksana
untuk menghentikan perdarahan sesuai indikasi yang jelas. Pada kasus
epistaksis posterior, pemasangan tampon Bellocq menjadi standar untuk
menghentikan perdarahan yang ada. Pada tiap tatalaksana harus dilaksanakan
secara hati-hati dan sesuai standar agar tidak menimbulkan komplikasi lain
24
yang mungkin saja terjadi seperti maserasi mukosa akibat pemasangan
tampon yang kurang benar. Pada beberapa kasus epistaksis yang berat
tindakan bedah seperti ligasi arteri, embolisasi, ataupun septoplasti dapat
menjadi pilihan terapi jika ada indikasi yang jelas.
7. Komplikasi pada pasien dengan epistaksis terjadi apabila tatalaksana yang
dilakukan tidak adekuat dan penyakit yang mendasari tidak tertangani.
Infeksi, trauma, aspirasi, syok, hemotimpanum, bloody tears adalah beberapa
komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan epistaksis. Penatalaksanaan
yang tepat dan adekuat diharapkan mampu mencegah terjadinya komplikasi
sekaligus mencegah terjadinya perdarahan berulang.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
Epistaksis.pdf/15PenatalaksanaanEpistaksis.html. Tanggal akses 30
November 2014
27
DAFTAR ISI
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................2
2.1 Anatomi Hidung...................................................................................................2
Perdarahan hidung.....................................................................................................4
2.2 Epitaksis...............................................................................................................5
2.2.1 Definisi..........................................................................................................5
2.2.2 Epidemiologi.................................................................................................5
2.2.3 Etiologi dan patogenesis................................................................................6
2.2.4 Klasifikasi Epitaksis......................................................................................8
2.2.5 Diagnosis.......................................................................................................9
2.2.6 Penatalaksanaan...........................................................................................11
2.2.7 Komplikasi dan Pencegahannya..................................................................23
BAB III........................................................................................................................25
KESIMPULAN...........................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................27
28