TINJAUAN PUSTAKA
5
berada, cara pemotongan dan cara pemeliharaan yang meliputi pemberian pakan
dan perawatan kesehatan.
Faktor setelah pemotongan (postmortem) yang mempengaruhi kualitas fisik
dan kimia daging antara lain metode pelayuan (chilling), stimulasi listrik, metode
pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk
daging, hormon antibiotik, macam otot serta perlakuan penyimpanan (lama dan
temperatur), preservasi, dan metode refrigerasi.
6
.
Gambar 2.1 Skor warna daging sapi
(sumber : SNI (3932:2008))
2. Perlemakan (marbling)
Marbling adalah garis-garis tipis dan bintik-bintik lemak putih pada
potongan daging. Marbling dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk
pola makan, genetika, kondisi, dan lokasi tempat ternak tersebut berada.
Pakan ternak yang kaya akan nutrisi menghasilkan marbling terbaik, dan
sapi yang dibesarkan dalam kondisi ideal sejak lahir cenderung memiliki
marbling yang unggul. Lemak daging yang berasal dari sapi muda akan
berwarna putih kekuningan, sedangkan lemak yang berasal dari sapi tua
akan berwarna kekuningan. Jumlah marbling yang dihasilkan menentukan
kelembutan, intensitas rasa, dan juiciness saat dimasak (Pollan, 2006).
Alasannya adalah marbling membuat asam lemak dalam daging sapi
mengalami perubahan kimia yang kompleks bila terkena panas. Perubahan
kimia tersebut berinteraksi dengan asam lemak, berkembang di daging,
dan menimbulkan cita rasa yang enak. Lemak tersebut juga memberikan
aroma khas daging sapi ketika dimasak dan juiciness yang disebabkan oleh
lemak yang meleleh di daging.
Standar marbling berdasarkan SNI (3932:2008) yaitu pada mutu daging I
berada pada skor 9-12, untuk mutu daging II berada pada skor 5-8,
sedangkan untuk mutu daging III berada pada skor 1-4. Skor marbling
7
terdiri atas 12 skor mulai dari tidak ada marbling sampai terdapat banyak
marbling, sebagaimana terlihat pada Gambar 2.2.
3. Warna Lemak
8
Gambar 2.3 Standar warna lemak
(sumber : SNI (3932:2008))
Faktor yang dapat mempengaruhi perubahan warna pada lemak yaitu umur
ternak yang disembelih, menurut Levie (1979) bahwa pada umumnya lemak
karkas yang berwarna kuning dihubungkan dengan ternak yang berumur tua.
Selain itu kondisi alam dan temperatur lingkungan dapat mempengaruhi
warna lemak, dimana semakin tinggi temperatur lingkungan maka semakin
kuning warnalemak. Faktor lain yang dapat mempengaruhi perubahan warna
lemak yaitu jenis kelamin ternak, namun tidak mempengaruhi secara
signifikan. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan pakan dan nutrisi serta
terjadinya proses katabolisme lemak yang akan meninggalkan zat karoten
yang semakin banyak sehingga dapat mempengaruhi kepekatan warna lemak.
4. Tekstur
9
Faktor postmortem antara lain meliputi metode pelayuan (chilling), refrigerasi
dan pembekuan termasuk faktor lama dan temperatur penyimpanan serta
metode pengolahan termasuk metode pemasakan dan penambahan bahan
pengempuk. Jadi keempukan bisa bervariasi diantaranya spesies, bangsa,
ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas dan diantara otot serta otot
yang sama. Tingkat tekstur daging sapi segar diukur berdasarkan nilai
kecepatan tembus (penetrasi) oleh jarum penetrometer. Semakin kecil nilai
kecepatan tembus daging menunjukkan tingkat tekstur yang semakin rendah.
Tekstur daging yang relatif lebih halus akan menghasilkan daging yang lebih
empuk (Lawrie, 2006).
Adapun standar mutu daging berdasarkan SNI (3932:2008) dibagi menjadi
tiga tingkatan sebagaimana diterangkan dalam tabel berikut.
10
1. pH
Menurut Aberle et al., (2001), ternak yang tidak diistirahatkan akan
menghasilkan daging yang berwarna gelap, bertekstur keras, kering, memiliki
nilai pH tinggi dan daya mengikat air tinggi. Faktor setelah pemotongan yang
mempengaruhi kualitas daging adalah metode pelayuan metode pemasakan,
tingkat keasaman (pH) daging, bahan tambahan (termasuk enzim daging), lemak
intramuskular (marbling), metode penyimpanan dan pengawetan macan otot
daging, serta lokasi otot.
Menurut Lawrie (2006), pH daging segar umumnya berkisar antara 5,4-5,8.
Pada penelitian Amri (2000), pH daging sapi BX (Brahman Cross) berkisar pada
5,07- 5,12. Nilai pH daging akan berubah setelah dilakukan pemotongan ternak.
Ditambahkan oleh Aberle et al. (2001), perubahan nilai pH tergantung dari jumlah
glikogen sebelum dilakukan pemotongan, bila jumlah glikogen dalam ternak
normal akan mendapatkan daging yang berkualitas baik, tetapi bila glikogen
dalam ternak tidak cukup atau banyak akan menghasilkan daging yang kurang
berkualitas.
2. Kadar Air
Menurut Nugroho (2008), bahwa nilai kadar air sapi adalah 77,50,4% untuk
bangsa sapi Bos Indicus, sedangkan untuk sapi bangsa Bos Taurus adalah berkisar
antara 72,4 74,8% (Boles and Shand, 2008). Faktor teknis, pemeliharaan ternak
sapi ketika masih hidup dapat mempengaruhi kadar air pada daging sapi. Nilai pH
akhir yang tinggi (diatas 5,9) dapat mengakibatkan tingginya (diatas 75%) kadar
air karena air terikat secara kuat oleh protein.
3. Drip Loss
Drip loss berasal dari dua kata yaitu drip dan loss. Drip yaitu nutrien yang
ikut keluar bersama cairan daging. Sedangkan loss yaitu kehilangan. Jadi, drip
loss dapat diartikan sebagai hilangnya beberapa komponen nutrien daging yang
ikut bersama keluarnya cairan daging. Drip Loss terjadi setelah daging dibekukan
dan diletakkan bukan ditempat yang dingin. Sedangkan menurut Soeparno (2005)
Cairan yang keluar dan tidak terserap kembali oleh serabut otot selama
11
penyegaran inilah yang disebut drip. Dua faktor yang mempengaruhi jumlah drip
yaitu besarnya cairan yang keluar dari daging dan faktor yang berhubungan
dengan daya ikat air oleh protein daging.
Pada laju pembekuan yang sangat cepat, kristal es kecil-kecil terbentuk
didalam sel, sehingga struktur daging tidak mengalami perubahan. Pada laju
pembekuan yang lambat, kristal es mulai terjadi diluar serabut otot
(ekstraselular), karena tekanan osmotik ekstraselular lebih kecil daripada didalam
otot. Pembentukan kristal es ekstraselular berlangsung terus, sehingga cairan
ekstraselular yang tersisa dan belum membeku akan meningkat kekuatan fisiknya
dan menarik air secara osmotik dari bagian dalam sel otot yang sangat dingin.
Denaturasi protein menyebabkan hilangnya daya ikat protein daging, dan pada
saat penyegaran kembali terjadi kegagalan serabut otot menyerap kembali semua
air yang menaglami translokasi atau keluar pada proses pembekuan. Drip loss
inilah yang akhirnya berimbas pada tekstur daging, kekenyalan dan
kelembabannya.
4. Cooking Loss
Cooking loss merupakan jumlah cairan dalam daging masak, yang apabila
mempunyai nilai yang rendah, maka akan mempunyai kualitas fisik yang lebih
baik daripada daging yang mempunyai nilai cooking loss yang besar. Menurut
Nurwantoro dan Mulyani (2003), cooking loss atau susut masak menggambarkan
jus daging yang merupakan fungsi temperatur dan lama waktu pemasakan atau
pemanasan.
Soeparno (2005) menjelaskan bahwa cooking loss dipengaruhi oleh waktu
post mati. Jangka waktu mati mempengaruhi cooking loss daging, Perubahan
cooking loss disebabkan terjadinya penurunan pH daging post mortem yang
mengakibatkan banyak protein miofibriller yang rusak, sehinggga diikuti dengan
kehilangan kemampuan protein untuk mengikat air yang pada akhirnya cooking
loss semakin besar. Soeparnao (2005) menambahkan bahwa susut masak
mempunyai hubungan negatif dengan daya ikat air (WHC).
12
2.4 Metode Pemeriksaan Kualitas Fisik (Organoleptik) Daging Sapi
Kualitas kimia daging dapat dilihat dari pH daging, Cooking Loss, Drip Loss,
dan jumlah kadar air dalam daging. pH daging diukur dengan menggunakan
kertas pH indikator (Lampiran 2). Untuk mengukur nilai susut masak (Cooking
Loss) dilakukan sesuai dengan metode Bouton dan Harris (1972) (Lampiran 2).
Nilai Drip Loss diukur dengan metode Wang et al., (2007) (Lampiran 2) dan
Kadar air juga perlu diukur untuk mengetahui kualitas kimia daging, pengukuran
kadar air menggunakan alat pengukur kadar air DY-6400 Meat Moisture Rapid
Detection Device (Lampiran 2).
13